• Tidak ada hasil yang ditemukan

Askep Hemothorax

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Askep Hemothorax"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 BAB 1

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1.1

1.1 Latar Latar BelakangBelakang

hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh

internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebratrauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat  pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan  pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya

diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume

indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura daridarah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika

2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah hemembutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah he rusrus dipertimbangkan. dipertimbangkan. 1.2 Tujuan 1.2 Tujuan Tujuan Umum Tujuan Umum

Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu mengetahui tantang hemotoraks. Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu mengetahui tantang hemotoraks.

Tujuan Khusus Tujuan Khusus

Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu : Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu :

1.

1. menjelaskan definisi hemotoraksmenjelaskan definisi hemotoraks 2.

2. menyebutkan etiologi hemotoraksmenyebutkan etiologi hemotoraks 3.

3. menjelaskan patofisiologi hemotoraksmenjelaskan patofisiologi hemotoraks 4.

4. menyebutkan tanda dan gejala hemotoraksmenyebutkan tanda dan gejala hemotoraks 5.

5. menyebutkan komplikasi hemotoraksmenyebutkan komplikasi hemotoraks 6.

6. menjelaskan derajat perdarahan hemotoraksmenjelaskan derajat perdarahan hemotoraks 7.

7. menyebutkan faktor resiko hemotoraksmenyebutkan faktor resiko hemotoraks 8.

8. menjelaskan diagnosis hemotoraksmenjelaskan diagnosis hemotoraks 9.

(2)

10.

10. menjelaskan diagnosis bandingmenjelaskan diagnosis banding 11.

11. melaksanakan penanganan pada pasien hemotoraksmelaksanakan penanganan pada pasien hemotoraks 12.

(3)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI

Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru (rongga  pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.Trauma misalnya :

 Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.

 Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh

 pembuluh internal.

Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid malformasi kongenital kistik:

malformasi ini kadang-kadang mengalami komplikasi, seperti hemothorax. 2.2 ETIOLOGI

1. 1. Traumatik 

 Trauma tumpul.

 Trauma tembus (termasuk iatrogenik)

1. 2. Nontraumatik / spontan

  Neoplasma.

 komplikasi antikoagulan.  emboli paru dengan infark

 robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.  Bullous emphysema.

  Nekrosis akibat infeksi.  Tuberculosis.

 fistula arteri atau vena pulmonal.  telangiectasia hemoragik herediter.

 kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars thoraxica, aneurisma

arteri mamaria interna).

(4)

  patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm, hemoperitoneum).  Catamenial

2.3 PATOFISIOLOGI

Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru atau arteri, menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti pisau atau peluru

menembus paru-paru. mengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi thorax dan paru-paru. Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga  pleura. Setiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.

Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra Alveoler, kolaps terjadi pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil , sehingga takanan perifer pembuluh darah  paru naik, aliran darah menurun. Vs :T ,S , N. Hb menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak

napas, tahipnea,sianosis, tahikardia. Gejala / tanda klinis

Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding dada. Luka di  pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok

hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul.

Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, a gitasi, sianosis, tahipnea berat, tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan  penurunan curah jantung.

1. Pemeriksaan diagnostik.

2. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura, dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).

3. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan mekanik  pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadan g meningkat. PaO2

mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun. 4. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak). 5. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.

2.4 Tanda dan gejala Hemotoraks · Denyut jantung yang cepat

(5)

· Kecemasan · Kegelisahan · Kelelahan

· Kulit yang dingin dan berkeringat · Kulit yang pucat

· Rasa sakit di dada · Sesak nafas

2.5 KOMPLIKASI

1. Komplikasi dapat berupa : 1. Kegagalan pernafasan 2. Kematian

3. Fibrosis atau parut dari membran pleura 4. Syok 

Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot besar di dasar toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak. Jika tekanan dalam rongga dada berubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap cairan yang mengumpul di rongga menempatkan pasien pada risiko infeksi dan mengurangi fungsi paru-paru, atau bahkan kehancuran (disebut pneumotoraks ).

2.6 DERAJAT PERDARAHAN

1. a. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

 Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.

 Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.  Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untu k kehilangan darah sekitar

10%

1. b. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)

 Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, pen urunan

tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan.

 Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang

menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.

(6)

1. c. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)

 Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,

oliguria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.

 Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah

kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.

 Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk

 pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan. 1. d. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)

 Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi

menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangn ya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.

 Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

2.7 Prognosis

Apabila dibiarkan tidak dirawat, akumulasi darah akan sampai pada titik dimana mulai menekan mediastinum dan trakea

2.8 FAKTOR RESIKO

1. a. Risiko terjangkit Hemotoraks meningkat bila Anda:

 Sebelumnya pernah menjalani Bedah Dada  Sebelumnya pernah menjalani Bedah Jantung  Sedang menderita Gangguan Pendarahan  Sedang menderita Tuberkulosis

 Telah didiagnosa mengidap Kanker Paru

2.9 DIAGNOSIS

Dari pemeriksaan fisik didapatkan: Inspeksi : ketinggalan gerak

Perkusi : redup di bagian basal karena darah mencapai tempat yang paling rendah Auskultasi : vesikuler

(7)

 Tachypnea

 Pada perkusi redup

 Jika kehilangan darah sistemik substansial akan terjadi hipotensi dan takikardia.  Gangguan pernafasan dan tanda awal syok hemoragi.

Selain dari pemeriksaan fisik hemotoraks dapat ditegakkan d engan rontgen toraks akan

didapatkan gambaran sudut costophrenicus menghilang, bahkan pada hemotoraks masif akan didapatkan gambaran pulmo hilang.

2.10 Pemeriksaan penunjang 1. Hematokrit cairan pleura

Biasanya tidak diperlukan untuk pasien hemotoraks traumatik. Diperlukan untuk analisis dari efusi yang mengandung darah dengan penyebab nontraumatik. Dalam kasus ini, efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50% dari hematokrit sirkulasi mengindikasikan kemungkinan kemotoraks  Chest X-ray  USG  CT-scan 2.11 Diagnosis banding KONDISI PENILAIAN

Tension pneumothorax • Deviasi Tracheal • Distensi vena leher

(8)

•  Hipersonor • Bising nafas (-) Massive hemothorax • ± Deviasi Tracheal

• Vena leher kolaps • Perkusi : dullness • Bising nafas (-) Cardiac tamponade • Distensi vena leher

• Bunyi jantung jauh dan lemah • EKG abnormal

2.12 PENANGANAN

Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan, dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura. Penanganan pada hemotoraks adalah

1. Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam  penampungan yang cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian infus

dipasang pula chest tube ( WSD ).

2. Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan dilakukannya  penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. WSD adalah

suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural / cavum pleura.

1. Macam WSD adalah :

WSD aktif : continous suction, gelembung berasal dari udara sistem. WSD pasif : gelembung udara berasal dari cavum toraks pasien

(9)

Setinggi SIC 5 –  6 sejajar dengan linea axillaris anterior pada sisi yang sakit . 1) Persiapkan kulit dengan antiseptik

2) Lakukan infiltratif kulit, otot dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela iga yang sesuai,  biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.

3) Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura 4) Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis

5) Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk menghindari melukai  pembuluh darah di bagian bawah iga

6) Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi pleura dan perlebar lubangnya

7) Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan ke dalam kulit 8) Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi dengan satu jahitan. 9) Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa dijahit, yang  berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti. Tutup dengan selembar kasa

hubungkan selang tersebut dengan sistem drainage tertutup air 10) Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage.

1. 3. Thoracotomy.

Torakotomi dilakukan bila dalam keadaan`:

1. Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.

2. b. Pada beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar < 1500ml, tetapi  perdarahan tetap berlangsung terus.

3. c. Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc / jam dalam waktu 2 –  4 jam.

4. d. Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau luka di daerah posterior, medial dari scapula harus dipertimbangkan kemun gkinan diperlukannya torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus atau  jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.

Tranfusi darah diperlukan selam aada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan chest tube dan kehilangan darah

(10)

artery / vena ) bukan merupakan indikator yang baik untuk di pakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.

Torakotomi sayatan yang dapat dilakukan di samping, di bawah lengan (aksilaris torakotomi); di  bagian depan, melalui dada (rata-rata sternotomy); miring dari belakang ke samping

(posterolateral torakotomi); atau di bawah payudara (anterolateral torakotomi) . Dalam bebe rapa kasus, dokter dapat membuat sayatan antara tulang rusuk (interkostal disebut pendekatan) untuk meminimalkan memotong tulang, saraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar dari hanya di bawah 12.7 cm hingga 25 cm.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN HEMOTORAKS

3.1 PENGKAJIAN

Berdasarkan klasifikasi Doenges, dkk (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah : 1. Aktifitas / istirahat.

Gejala : Dispnea dengan aktifitas ataupun istirahat 1) Sirkulasi

Tanda

 Takikardia

 Frekwensi tidak teratur/disritmia

 S3 atau S4 / irama jantung gallop (gagal jantung sekunder terhadap effusi)   Nadi apical berpindah oleh adanyapenyimpangan mediastinal (dengan tegangan

 pneumothorak).

 Tanda Homan (bunyi renyah s/d denyutan jantung, menunjukan udara dalam

mediastinum).

 Tekanan Darah : Hipertensi / hipotensi

2) Integritas Ego. Tanda : ketakutan, gelisah

(11)

3) Makanan / Cairan.

Tanda : Adanya pemasangan IV vena sentral/infus tekanan 4) Nyeri / Kenyamanan

Gejala:

  Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernapasan, batuk.

 Timbul tiba-tiba sementara batuk atau regangan (pneumothorak spontan).

 Tajam dan nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinanan menyebar

keleher, bahu abdomen (Effusi Pleural). Tanda:

 Berhati-hati pada area yang sakit  Perilaku distraksi.

 Mengkerutkan wajah.

5) Pernapasan Gejala:

 kesulitan bernapas, lapar napas  Batuk (mungkin gejala yang ada)

 Riwayat bedah dada/trauma: Penyakit paru kronik, inflamasi/infeksi paru (Empiema,

Efusi) ; penyakit interstisial menyebar (Sarkoidosis) ; k eganasan (mis: Obstruksi tumor).

 Pneumothorak spontan sebelumnya, ruptur empisematous bula spontan, bleb sub pleural

(PPOM). Tanda:

 Pernapasan ; peningkatan frekwensi/takipnea

 Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesoris pernapasan pada dada, leher, retraksi

interkostal, ekspirasi abdominal kuat.

 Bunyi napas menurun atau tidak ada (sisi yang terlibat)  Fremitus menurun (sisi yang terlibat).

 Perkusi dada : Hiperresonan diatas area terisi udara (pneumothorak), bunyi pekak diatas

area yang terisi cairan (hemothorak)

 Observasi dan palpasi dada : Gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau

kemps, penurunan penmgembangan thorak (are yang sakit).

 Kulit : pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subcutan (udara pada jaringan dengan

 palpasi).

 Mental : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan

(12)

6) Keamanan Gejala:

 Adanya trauma dada

 Radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. 1. Takefektif pola pernapasan b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan, gangguan muskuloskeletal, Nyeri ansietas, proses inflamasi.

2. 2. (Resiko tinggi)Trauma / penghentian napas b/d pen yakit saat ini/proses cedera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan.

3. 3. Kurang pengetahuan / kebutuhan belajar (tentang kondisi dan aturan pengobatan  b/d kurang terpajan dengan informasi.

4. 4. (Resiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d kemungkinan terjadi tension  pneumothorak sekunder terhadap sumbatan pada selang dada.

5. 5. Perubahan Kenyamanan (nyeri) b/d pemasangan selang dada. 6. 6. (Resiko tinggi) Infeksi b/d tindakan invasive.

3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

1. 1. Takefektif pola pernapasan b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan, gangguan muskuloskeletal, Nyeri ansietas, proses inflamasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Identifikasi etiologi /factor pencetus, contoh kolaps spontan, trauma, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik.

. Evaluasi fungsi pernapasan, catat

kecepatan/pernapasan serak, dispnea, terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.

3. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik dan catat  perubahan tekanan udara.

4. Auskultasi bunyi napas.

Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk  pemasangan selang dada yang tepat dan memilih

tindakan terapiutik yang tepat.

Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologis dan nyeri menunjukan terjadinya syok b/d

hipoksia/perdarahan.

Kesulitan bernapas dengan ventilator atau  peningkatan tekanan jalan napas diduga

memburuknya kondisi/terjadi komplikasi (ruptur spontan dari bleb, terjadi pneumotorak).

Bunyi napas dapat menurun atau tidak ada pada lobus, segmen paru/seluruh area paru (unilateral).

(13)

Catat pengembangan dada dan posisi trahea. 6. Kaji fremitus.

7. Kaji adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.

8. Pertahankan posisi nyaman (peninggian kepala tempat tidur).

9. Pertahankan perilaku tenang, Bantu klien untuk kontrol diri dengan gunakan pernapasan

lambat/dalam.

10. Bila selang dada dipasang :

- Periksa pengontrol pengisap untuk jumlah hisapan yang benar (batas air, pengatur dinding/meja

disusun tepat).

- Periksa batas cairan pada botol pengisap  pertahankan pada batas yang ditentukan.

- Observasi gelembung udara botol penampung. - Evaluasi ketidak normalan/kontuinitas gelembung  botol penampung.

- Tentukan lokasi kebocoran udara (berpusat pada  pasien atau system) dengan mengklem kateter torak  pada bagian distal sampai keluar dari dada.

- Klem selang pada bagian bawa unit drainase bila kebocoran udara berlanjut.

- Awasi pasang surut air penampung menetap atau sementara.

- Pertahankan posisi normal dari system drainase selang pada fungsi optimal.

- Catat karakteristik/jumlah drainase selang dada. - Evaluasi kebutuhan untuk memijat selang

Area Atelektasis tidak ada bunyi napas dan sebagian area kolaps menurun bunyinya.

Pengembangan dada sanma dengan ekspansi paru. Deviasi trahea dari area sisi yang sakit pada

tegangan pneumothoraks.

Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada aringan yang terisi cairan / konsolidasi.

Sokongan terhadap dada dan otot abdominal buat  batuk lebih efektif/mengurangi trauma.

Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yanmg tidak sakit

Membantu pasien alami efek fisiologis hipoksia yang dapat dimanifestaikan sebagai ansietas/takut Mempertahankan tekanan negatif intra pleural sesuai yang diberikan, meningkatkan ekspansi paru optimum atau drainase cairan.

Air botol penampung bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk kearea  pleural.

Gelembung udara selama ekspirasi menunjukan lubang angin dari pneumothorak (kerja yang diharapkan).

Bekerjanya pengisapan, menunjukan kebocoran udara menetap mungkin berasal dari pneumotoraks  besar pada sisi pemasangan selang dada (berpusat  pada pasien), unit drainase dada berpusat pada

system.

Bila gelembung berhenti saat kateter diklem pada sisi pemasangan, kebocoran terjadi pada pasien (sisi  pemasukan / dalam tubuh pasien).

Mengisolasi lokasi kebocoran udara pusat system. Botol penampung bertindak sebagai manometer intra pleural (ukuran tekanan intrapleural), sehingga

(14)

(milking).

- Pijat selang hati-hati sesuai protocol, yang meminimalkan tekanan negatif berlebihan. - Bila kateter torak putus/ lepas.Observasi tanda distress pernapasan

- Setelah kateter torak dilepas. Tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril.

INTERVENSI KOLABORASI - Kaji seri foto thorak.

- Awasi GDA dan nadi oksimetri, kaji kapasitas vital/pengukuran volume tidal.

- Berikan oksigen tambahan melalui kanula/masker sesuai indikasi.

fluktuasi (pasang surut) tunjukan perbedaan tekanan antara inspirasi dan ekspirasi. Pasang surut 2-6 selama inspirasi normal dan sedikit meningkat saat  batuk. Fluktuasi berlebihan menunjukan abstruksi

alan napas atau adanya pneumothorak besar. Berguna untuk mengevaluasi kondisi/terjadinya komplikasi atau perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.

Pemijatan mungkin perlu untuk

meyakinkan/mempertahankan drainase pada adanya  perdarahan segar/bekuan darah besar atau eksudat  purulen (Empiema).

Pemijatan biasanya tidak nyaman bagi pasien karena perubahan tekanan intratorakal, dimana dapat menimbulkan batuk/ketidaknyamanan dada. Pemijatan yang keras dapat timbulkan tekanan hisapan intratorakal yang tinggi dapat mencederai. Pneumothorak dapat terulang dan memerlukan intervensi cepat untuk cegah pulmonal fatal dan gangguan sirkulasi.

Deteksi dini terjadinya komplikasi penting, contoh  berulang pneumothorak, adanya infeksi.

Mengawasi kemajuan perbaikan

hemothorak/pneumothorak dan ekspansi paru. Mengidentifikasi posisi selang endotraheal mempengaruhi inflasi paru.

Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi.

Alat dalam menurunkan kerja napas, meningkatkan  penghilangan distress respirasi dan sianosis b/d

hipoksemia.

1. 2. (Resiko tinggi) Trauma / penghentian napas b/d penyakit saat ini/proses cedera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan. INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Kaji dengan pasien tujuan / fungsi drainase dada.

Informasi tentang bagaimana system bekerja  berikan keyakinan dan menurunkan kecemasan

(15)

2. Pasangkan kateter torak kedinding dada dan  berikan panjang selang ekstra sebelum

memindahkan/mengubah posisi pasien : - Amankan sisi sambungan selang.

- Beri bantalan pada sisi dengan kasa/plester. 3. Amankan unit drainase pada tempat tidur  pasien

4. Berikan alat transportasi aman bila pasien dikirim keluar unit untuk tujuan diagnostik. 5. Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit.

6. Anjurkan pasien untuk menghindari  berbaring/menarik selang.

7. Identifikasi perubahan / situasi yang harus dilaporkan pada perawat.Contoh perubahan  bunyi gelembung, lapar udara tiba-tiba, nyeri

dada segera lepaskan alat.

8. Observasi tanda distress pernapasan bila kateter torak terlepas/tercabut.

 pasien.

Mencegah terlepasnya kateter dada atau selang terlipat, menurunkan nyeri/ketidaknyamanan  b/d penarikan/penggerakan selang.

Mencegah terlepasnya selang.

Melindungi kulit dari iritasi / tekanan. Mempertahankan posisi duduk tinggi dan

menurunkan resiko kecelakaan jatuh/unit pecah. Meningkatkan kontuinitas evakuasi optimal cairan / udara selama pemindahan.

Memberikan pengenalan dini dan mengobati adanya erosi /infeksi kulit

Menurunkan resiko obstruksi drainase/terlepasnya selang.

Intervensi tepat waktu dapat mencegah komplikasi serius.

Pneumothorak dapat berulang/memburuk karena mempengaruhi fungsi pernapasan dan memerlukan intervensi darurat.

1. 3. Kurang pengetahuan / kebutuhan belajar (tentang kondisi dan aturan pengobatan b/d kurang terpajan dengan informasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien.

2 .Identifikasi kemungkinan

kambuh/komplikasi jangka panjang.

3. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, seperti : nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distress pernapasan lanjut.

4. Kaji ulang praktek kesehatan yang baik contoh : nutrisi baik, istrahat, latihan.

Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan.

Penyakit paru yang ada seperti PPOM berta dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh. Pasien sehat yang menderita pneumothorak spontan insiden kekambuhan 10 –  50 %. Berulangnya pneumothorak/hemothorak memerlukan intervensi medik untuk

mencegah/menurunkan potensial komplikasi. Mempertahankan kesehatan umum

(16)

meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.

BAB 4

PENELITIAN JOURNAL

PENGAMATAN HASIL PENANGANAN EVAKUASI HEMOTORAKS ANTARA WSD DAN CONTINOUS SUCTION DRAINAGE

Sub Bagian Bedah Toraks Bagian Ilmu Bedah FK-USU / RS HAM / RS Pirngadi Medan

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Penderita hemotoraks dapat terjadi akibat trauma tumpul toraks maupun trauma tajam toraks. Trauma tumpul toraks sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja1,2

(17)

Pengumpulan darah dalam rongga toraks akan menekan paru-paru sehingga mengganggu ventilasi yang berakibat hipoksia. Gabungan hipovolemia dan hipoksia akan menyebabkan kematian.2

Penanggulangan hemotoraks dengan pemasangan tube torakostomi dengan WSD atau CSD untuk evakuasi darah adalah tindakan penyelamatan jiwa penderita.1,3,4

Bila ada sisa darah akan menimbulkan komplikasi gangguan pengembangan paru, kronik atelektasis, pneumoni dan empiema.5

Perumusan Masalah

Kasus hemotoraks akibat trauma tumpul toraks dan trauma tajam toraks cenderung meningkat. Diperlukan penanganan segera untuk penyelamatan jiwa penderita dengan melakukan

 pemasangan tube torakostomi dihubungkan dengan WSD atau CSD.

Dirumah-rumah sakit daerah sering CSD tidak tersedia karena alat ini sangat mahal. Apakah WSD layak dipakai dibandingkan sisa darah.

Tujuan Penelitian

Membandingkan hasil penanganan evakuasi hemotoraks (sisa darah) antara Water Seal Drainage (WSD) dan Continous Suction Drainage (CSD) pada penderita hemotoraks.

Kontribusi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan adanya penyederhanaan biaya pada penanganan hemotoraks.

METODOLOGI PENELITIAN Rancangan/ Lokasi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian experimental, acak dan terbuka.Penelitian ini dilakukan pada Sub Bagian Bedah Toraks FK USU H.Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan.

Pelaksanaan Penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita hemotoraks yang datang ke Sub Bagian Bedah FK USU RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan, selama kurun waktu

(18)

Kriteria eksklusi: –  Penderita <> - Hemotoraks ringan jumlah darah <>

- Hemotoraks bukan oleh karena trauma tajam dan tumpul (misalnya akibat keganasan).

Setiap penderita hemotoraks dilakukan pemeriksaan gejala dan tanda klinis dan pemeriksaan foto Rontgen AP/L posisi tegak. Kemudian dilakukan pemasangan tube torakostomi dengan WSD atau CSD yang ditentukan secara acak. Setelah tiga hari dilakukan foto Rontgen kontrol toraks AP/L, dinilai residual darah ada (+) atau tidak (-).

Hasil penelitian dianalisa secara statistik dengan menggunakan S tudent t-test dengan tingkat  batas kemaknaan p 0,05. Besar sample berdasarkan jumlah penderita/kasus yang diamati selama

6 bulan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Pengumpulan data yang diperoleh selama periode penelitian ditemukan 44 penderita hemotoraks dimana secara acak 22 penderita diterapi dengan WSD dan 22 penderita lagi diterapi dengan Continous Suction Drainage (CSD). Satu dari 22 penderita yang diterapi dengan CSD keluar dari  penelitian oleh karena pindah ke rumah sakit lain.

Demografi Penderita

Tabel 1. Distribusi umur dan jenis kelamin pada penderita hemotoraks

UMUR (TAHUN) JENIS KELAMIN JUMLAH

LAKI-LAKI PEREMPUAN 15-25 20 1 21 26-35 10 1 11 36-45 8 - 8 46-55 2 - 2 56-65 1 - 1 Total 41 2 43

Penderita termuda dalam penelitian ini adalah berumur 15 tahun dan tertua berumur 64 tahun.

Jenis Trauma

(19)

JENIS TRAUMA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

Kecelakaan lalu lintas 14 2 16

Tusukan benda tajam 26 - 26

Luka tembak 1 - 1

Jumlah 41 2 43

Jenis trauma yang paling banyak adalah trauma tajam sebanyak 27 penderita (62,8%).

Residual darah pada WSD dan CSD

Tabel 3. Residual darah penderita hemotoraks pada WSD dan CSD

RESIDUAL DARAH WSD CSD JUMLAH

+ 9 3 12

- 13 18 31

Jumlah 22 21 43

X = 3,785 Df =1 p = 0,0517

4.1.4. Jenis penanganan menurut jenis trauma

Tabel 4. Jenis penanganan penderita hemotoraks menurut jenis trauma JENIS PENANGANAN KECELAKAAN LALU LINTAS TRAUMA TAJAM LUKA TEMBAK WSD 7 15 -CSD 9 12 1 X = 0,560 Df = 1 p = 0,4541 Penanganan

Tabel 5. Hasil penanganan penderita hemotoraks dengan WSD menurut jenis trauma

WSD KECELAKAAN LALU LINTAS TRAUMA TAJAM LUKA TEMBAK Residual darah (+) 5 4 -Residual darah (-) 2 11 -X = 3,956 Df = 1 p = 0,0467

(20)

CSD KECELAKAAN LALU LINTAS TRAUMA TAJAM LUKA TEMBAK Residual darah (+) 3 1 -Residual darah (-) 6 10 1 X = 0169 Df = 1 p = 0,4315 PEMBAHASAN

Dari 43 penderita hemotoraks pada penelitian ini selama kurun waktu 7 bulan, kelompok usia terbanyak adalah pada rentang umur 15 –  25 tahun sebanyak 21 penderita (48,9%). Hal ini dapat dimengerti karena mereka termasuk usia produktif yang selalu dekat dengan trauma.

Berdasarkan jenis kelamin, proporsi penderita laki-laki sangat menonjol yaitu 41 penderita

(95,3%) dibanding dengan penderita perempuan hanya 2 penderita (4,7%), yaitu 20 : 1. Schulpen et al (1986) mendapatkan hasil yang hampir sama, usia terbanyak adalah berumur antara 16-25 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4 : 1.21 Mandal (1989) mendapatkan usia rata-rata penderita adalah 28,1 tahun, sedangkan pada penelitian ini dijumpai rata-rata usia  penderita adalah 29 tahun (28,6 10,4 tahun).22

Pada penelitian ini penyebab hemotoraks yang paling banyak adalah trauma tajam (tusukan  benda tajam) 27 penderita (62,8 %) seperti diperlihatkan pada tabel 2. Mandal (1989)

melaporkan morbiditas penderita trauma tajam toraks adalah hemotoraks 41,5 % sedangkan Mattox dan Wall (1996) melaporkan 41% penderita hemotoraks.22,23Bila dibandingkan dengan  penelitian ini dengan hasil penelitian Mandal (1989) dan Mattox dan Wall (1996) didapati hasil

yang tidak jauh berbeda.

Mengenai residual darah pada WSD dan CSD pada penelitian ini adanya residual darah pada evakuasi hemotoraks dengan CSD dan WSD 12 penderita (27,9%), sedangkan 31 penderita (72,1%) residual darah menghilang, dengan uju statistik Chi Square hampir bermakna (p = 0,0517). Namun kelihatan lebih berhasil dengan mempergunakan CSD daripada WSD.

Pada penelitian ini jenis penanganan (tabel 4) menurut penelitian ini tidak mempengaruhi (p > 0,05) akibat trauma, kecelakaan lalu lintas ataupun luka tembak dengan penanganan WSD maupun CSD.Pada umumnya penderita trauma toraks (85%) dapat ditangani dengan prosedur dan kecakapan sederhana pemasangan tube torakostomi dengan WSD/CSD sebagai tindakan  penyelamatan jiwa penderita.1,3,4

Tabel 5 memperlihatkan 22 orang penderita hemotoraks dengan WSD lebih efektif dalam  pengosongan sisa darah akibat trauma tajam (p <>

Umumnya penderita hemotoraks dengan trauma tumpul disebabkan oleh patah tulang iga ataupun dislokasi patah tulang iga yang menyucuk atau merobek jaringan paru, sehingga rasa nyeri bila penderita bernafas mengganggu ekspansi paru untuk mengeluarkan darah.1,15 Akan tetapi hasil penanganan penderita hemotoraks dengan CSD (tabel 6) penderita dengan hasil tidak

(21)

ada sisa darah pada trauma tajam 11 penderita (28,6%). Ini berarti CSD lebih efektif dal am mengosongkan sisa darah akibat trauma tajam maupun akibat trauma tumpul (p> 0,05). Oleh karena pengosongan dilakukan dengan bantuan mesin penghisap kontiniu bertekanan negatif, maka ekspansi paru tidak perlu dengan cara aktif (tarik nafas dalam) tetapi dapat

 berlangsung secara pasif dan juga rasa nyeri pada waktu bernafas tidak berpengaruh untuk tidak terjadinya ekspansi.15

Perbedaan Komplikasi Drenase Torakostomi

Pada Trauma Toraks Tertutup dan Terbuka

Tahun 1997 Volume 32 Nomor 4 Oleh : Faik Heyder

Latar Belakang : Drenase torakostomi biasanya dilakukan untuk mengembangkan kembali paru atau evakuasi darah / udara yang terjadi pada trauma tajam ataupun trauma tumpul toraks.

Tindakan tersebut merupakan pembedahan yang invasif hingga mungkin timbul komplikasi yang  perlu dicegah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tindakan tersebut .

Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi komplicasi-komplikasi yang mungkin timbul akibat drenase torakostomi akibat tauma torak dan faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan komplikasi-komplikasi tersebut.

Bahan dan Cara Kerja : Penelitian ini dilakukan pada semua penderita yang dirawat di RS Dr. Kariadi dengan riwayat trauma tumpul atau tajam toraks yang memerlukan drenase torakostomi (biasanya karena pneumo dan atau hemotoraks, pasca bedah atau emfisema sub kutan) selama  periode Januari 1995 sampai dengan Desember 1996. Setiap penderita dicatat : umur, jenis

kelamin, jenis dan penyebab trauma. Beratnya trauma dinilai dengan dinilai dengan “Revised Trauma Score” (RTS). Saat keluar dari rumah sakit, tiap penderita dicatat lama rawat di ICU, lama penggunaan ventilator dan komplikasi yang terjadi selama pengobatan (empiema,

emfisema sub kutan, hemotoraks residual atau pneumotoraks berulang).

Hasil : Selama penelitian drainase torakostomi dilakukan p enderita dengan trauma tajam toraks dan 51 dengan trauma tumpul toraks selama 24 bulan. Penderita-penderita dengan trauma tumpul toraks mempunyai nilai RTS yang lebih rendah 5.439 (+ 1.283) : 5.901 (+ 1.212) p = 0.132, lebih sering masuk ke ICU (31.3% : 19.1%), dan lebih alam dirawat di ICU 7.81 (+ 3.310) : 5.6

(+ 1.140) hari, lebih sering menggunakan ventilator (24.4% : 8.3%) dan lebih lama

menggunakan ventilator 5.7 (+2.110) : 4 (+ 1.414) hari, jika dibandingkan dengan penderita dengan trauma tajam toraks. Komplikasi drainase torakostomi meliputi empiema, hematoraks yang tersisa dan pneumotoraks berulang terjadi pada 31% penderita dengan trauma tajam dan 27% penderita dengan trauma tumpul toraks.

(22)

Kesimpulan : Penderita-penderita dengan trauma tumpul lebih sering dan lama dirawat di ICU, lebih sering dna lebih lama menggunakan ventilator. Di lain pihak, komplikasi akibat drainase torakostomi pada kedua jenis trauma toraks tidak didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan drainase torakostomi masih merupakan cara yang paling efektif untuk mengembangkan kembali paru dan mengevakuasi darah dan udara tanpa komplikasi yang signifikan.

Background : Drainage thoracostomy is usually performed as a measure t o reexpand the lugs as well as to evacuate blood or air trapped there following or penetrating thoracic trauma. As with every invasive surgical procedure it is not without complications that have be anticipated in order to decrease morbidity or even mortality rates associated with it.

Objective : This study was conducted to identify possible complications following drainage thoracostomy for thoracic trauma and the the factors associated with the emergnce of these complications.

Methods : This is an observational study over all the patients admitted to the Hospital of Dr Kariadi for blunt or penetrating thoracic trauma who needed a drainage thoracostomy (usually for pneumo and or hemathothorax, post operation or subcutan emphysema) during the period of January 1995 to December 1996. Every patient was recorded for age, sex, kind and cause of the trauma were recorded. The severity of the trauma was acessed with the Revised Trauma Score (RTS). At the time of discharge, every patient had an additional record of the length of stay in the ICU, length of ventilator apparatus usage and complications occurred during treatment (empyema, subcutan emphysema, residual hemothorax or even recurrence of the pnemothorax). Result : During the period of study (24 months) drainage thoracostomy was performed in 26  patients with penetrating thoracic trauma and 51 with blunt thoracic trauma during a period of 24

months. Patients with blunt thoracic trauma had lower RTS 5.439 (+ 1.283) : 5.901 (+ 1.212) p = 0.132, where more frequent admitted to the ICU (31.3% : 19.1%), and had longer stay in ICU 7.81 (+ 3.310) : 5.6 (+ 1.140) days, more often used ventilator (24.4% : 8.3%) and more longer used ventilator 5.7 (+2.110) : 4 (+ 1.414) days, if compared hemothorax and recurrent

 pneumothorax, which occurred in 31% patients with penetrating trauma and 27% patients with  blunt trauma.

Conclusions : Patients with blunt traumas had more frequent and longer stay in ICU, and more frequent and longer usage of ventilator. On the hand, regarding complications following drainage thoracostomy, both blunt and penetrating trauma showed no statistically significant difference. It is concluded that the usage of drainage thoracostomy is still a very effective way to reex pand the lungs and evacuate blood and or air without very significant complication rate.

(23)

BAB 5 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN

(24)

Hemotoraks adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya darah di ruangan antara dua pleura (rongga pleura). Pleura adalah dua lapisan kantung yang meliputi paru-paru dan

memisahkannya dari dinding dada. Penyebab paling umum dari hemotoraks adalah cedera tumpul atau tajam pada dada, seperti ketika terjadi patah tulang iga yang menembus pleura dan menyebabkan darah memasuki rongga pleura. Hal ini dapat membuat paru-paru mengempis, menyebabkan nyeri dada dan kesulitan bernafas. Hal ini merupakan suatu kondisi medis yang darurat yang memerlukan perawatan segera karena jika tidak, dapat terjadi komplikasi yang mengancam jiwa, seperti syok hipovolemik akibat perdarahan yang hebat dan gagal nafas. Perawatan dengan memasukan jarum ke rongga dada biasanya dilakukan untuk mengeluarkan darah di dalam rongga pleura sehingga tekanan terhadap paru-paru dapat berkurang. Apabila hemotoraks berat, tindakan pembedahan yang dikenal dengan nama torakotomi diperlukan untuk menghentikan perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi Revisi.1996.jakarta:EGC

(25)

http://bams-sujatmiko.blogspot.com/2012/12/pengamatan-hasil-penanganan-evakuasi.html http://indobeta.com/hemothorax

http://wikidoc.org/index.php/Hemothorax

Definisi

Hematotoraks adalah pengumpulan darah dalam ruang potensial antara pleura viseral dan  parietal. Gejala dan tindakan pada waktu penderita masuk sangat tergantung pada jumlah  perdarahan yang ada di rongga toraks.

Manifestasi Klinis

Pada penderita hematotoraks keluhannya nyeri dan sesak napas. Bila ada keluhan yang progresif, curigai adanya tension pneumothorax.

Pada inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin gerakan napas tertinggal atau pucat karena perdarahan. Fremitus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas seperti garis miring atau mungkin tidak jelas, tergantung pada  jumlah darah yang ada di rongga toraks. Bunyi napas mungkin tidak terdengar atau menghilang.

Penatalaksanaan

Pada trauma toraks dengan tanda-tanda hematotoraks, dilakukanWSD. Keluarnya darah/cairan intravaskular sebanyak 15 –  20% dari volume darah total atau perdarahan lebih dari 5 cc/kg BB/jam dapat menimbulkan renjatan. Bila volume darah total 80 cc/kgBB atau 15% dari berat  badan, darah yang keluar melaluiWSD dapat dihitung apakah sesuai untuk dianggap sebagai  penyebab renjatan. Renjatan merupakan indikasi untuk torakotomi.

Pasien yang datang dengan renjatan harus segera diinfus dan ditransfusi dengan cairan, dan darah yang sesuai dengan menggunakan jarum infus yang besar. Jika dianggap perlu gunakan dua infus sekaligus. Darah yang sesuai untuk mengatasi renjatan adalah darah plasma, namun jika tidak tersedia gunakan cairan plasma ekspander atau cairan kristaloid sampai keadaan darah membaik.

Sementara itu dengan cepat lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap, terutama  perhatikan adanya tanda-tandaanemia, sesak napas, takipnu, atau takikardi. Adanya perkusi

(26)

daerah tersebut. Terkadang didapatkan pula bunyi napas yang melemah atau menghilang. Pada  pungsi mungkin keluar darah.

Segera setelah itu lakukanWSD, dan pasien dikirim ke kamar bedah untuk dilakukan torakotomi eksplorasi.

Gambar

Tabel 1. Distribusi umur dan jenis kelamin pada penderita hemotoraks
Tabel 3. Residual darah penderita hemotoraks pada WSD dan CSD

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Uji Kepekaan (Sensitivity Test) Bakteri Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawa (PE) di Beberapa Kecamatan Kabupaten Banyuwangi

'5. Sudahkah saudara membaca dalam Alkitab semua ayat yang ha r us saudara baca dalam Unit 3? Bila sudah lingkarilah nomer 5.. Bagian 2 - Pertanyaan

Pada bulan November ini, ada beberapa kegiatan yang menjadi bagian dari program kerja PIU seperti Penilaian Desa (baik desa lama maupun baru), sosialisasi program

Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan indeks adalah menyeleksi artikel pada surat kabar yang ada di Perpustakaan Universitas Dharma Andalas. Surat

Hasil: Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin, frekuensi lebih tinggi pada laki-laki, rentang umur 23-92 tahun, dan median 57 tahun. Sebagian besar pasien berstatus menikah

Setiap Pendidik wajib melakukan penilaian hasil belajar Peserta Didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf h pada Satuan Pendidikan Menengah, Satuan

Kemudian tempat-tempat berkumpulnya gigolo serta dapat telihat kode-kode apa saja yang mereka pergunakan pada saat bertransaksi seks, seperti kode isyarat, kode sapaan, kode

Penulis menemukan fakta bahwa perceraian dari tahun ke tahun semakin meningkat, salah satunya perkara cerai gugat yang masuk pada tahun 2012 di Pengadilan Agama Malang