• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang MASA LALU ASASI EDISI MARET- APRIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tentang MASA LALU ASASI EDISI MARET- APRIL"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Tentang

MASA LALU

Tentang

MASA LALU

Tentang

MASA LALU

(2)

laporan utama

5 - 12

editorial

04

daftar isi

Suara Korban yang tak Tertahankan

Propaganda hitam (black propaganda) Angkatan Darat – kemudian Rezim Orde Baru – telah memutar balik peran mereka dalam catatan sejarah. Dari pahlawan, oleh militer Orde Baru, mereka diposisikan sebagai pengkhianat bangsa.

Kolom

Mudah-mudahan membanjirnya ingatan masa lalu itu bisa membangunkan publik dari amnesia akut akan keniscayaan penataan ulang dan konsolidasi demokrasi tanpa menghadapi masa lalu.

Sebuah Jerat bernama Masa Lalu

Perayaan oleh GAPKI (Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) sebagai sebuah keberhasilan ekonomi dalam sektor sawit telah mengaburkan realitas konflik yang menjadi gambaran sesungguhnya bagi industri perkebunan. Keuntungan besar yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya didasari pada ketersediaannya lahan dari petani skala kecil dan masyarakat adat, dan eksploitasi buruh.

Mencari Celah Penyelesaian Masa Lalu:

Mendorong Pembentukan Kembali

UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Tidak terbukanya katup masa lalu, akan berakibat pada langgengnya segregasi sosial di masyarakat, sebagai akibat stigmatisasi warisan rezim otoriter. Jika dibiarkan, situasi ini bisa menjadi bom waktu, yang setiap saat bisa meletupkan konflik horisontal, dan bukan tidak mungkin, menghadirkan peristiwa yang lebih buruk dari masa lalu.

nasional

18-19

profil elsam

24

Seabad (Kejahatan) Perkebunan Sawit

Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi-aksi kekerasan, yang bukan hanya meresahkan masyarakat luas, tapi nyata-nyata telah banyak menimbulkan korban, pada para penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah dan legal untuk bisa perlu dilakukan pembubaran atau perubahan (Presiden SBY)

nasional

13-15

Peluang Pembubaran Organisasi Massa

Anarkis

(politikana.com)

laporan kegiatan

20-23

Kekuatan sebuah Lembaga Studi & Advokasi yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia terletak pada Informasi & Pengetahuan" (alm. Asmara Nababan, 2009)

Persidangan kasus penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Kampung Cisalada pada 1 Oktober 2010 lalu akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Kelas 1B Cibinong Kabupaten Bogor mulai tanggal 17 Januari 2011. Persidangan tersebut terkait dengan penyerangan yang dilakukan oleh ratusan warga Kampung Kebon Kopi dan Pasar Salasa Desa Ciampea Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor terhadap warga Kampung Cisalada

monitoring sidang

16-17

P e r k e m b a n g a n P e r s i d a n g a n K a s u s

Penyerangan Ahmadiyah Cisalada

Mengurangi Pelanggaran HAM dengan

Pendokumentasian.

(3)

Redaksional

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi:

Redaktur Pelaksana:

Dewan Redaksi:

Redaktur:

Sekretaris Redaksi:

Sirkulasi/Distribusi:

Desain & Tata Letak:

Penerbit: Alamat Redaksi: E-mail: Website: Bank Mandiri No. 127.00.0412864-9

Indriaswati Dyah Saptaningrum

Widiyanto

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Otto Adi Yulianto, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien, Ester Rini Pratsnawati, Paijo

Triana Dyah

Khumaedy

alang-alang

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510,

Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519

office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id

www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening

ELSAM Cabang Pasar Minggu

w w w . e l s a m . o r . i d

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Pembaca yang budiman,

Redaksi mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada pembaca yang telah mengirim balik survey Buletin Asasi, antara lain Sdr. Mohammad Wahyudin dari Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan ( YLKMP ) Lombok Utara NTB; Bp. Husnu Abadi Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Riau; Sdr. Amir Fadhiah, dan Yayasan Yaltin Sejahtera, Ruteng.

Berdasarkan hasil survey tersebut, semua rubrik sangat berguna bagi pembaca dan kami tentunya akan semakin meningkatkan mutu bulletin ini. .

Salam HAM, Redaksi

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:

asasi@elsam.or.id

(4)

editorial

Sebuah Jerat bernama Masa Lalu

T

Tiga belas tahun yang lalu, pada bulan-bulan

ini suhu politik mulai memanas. Diawali dengan melambungnya harga-harga komoditi akibat krisi ekonomi di tahun sebelumnya yang memberikan amunisi awal bagi serangkaian konsolidasi protes dalam berbagai rupa demonstrasi. Seperti masih lekat dalam ingatan, kegaduhan politik ini ditutup dengan serangkaian 'amok' yang meninggalkan ratusan orang dengan luka batin akibat penjarahan, dan kekerasan. Secara khusus 'amok' ini dipercaya meninggalkan ratusan korban perempuan yang membisu, menutup rapat narasi atas pemandangan ribuan mayat perempuan yang teronggok telanjang di got-got, terpanggang hidup-hidup dalam rumah yang dijarah dan menjadi sasaran 'gang rape' dari sekelompok massa yang beringas yang tiba-tiba saja menyentak kesadaran warga ibukota kala itu.

Seperti sudah menjadi kebiasaan dalam regim sebelumnya, tak ada satu versi resmi yang mendekati kebenaran atas apa yang terjadi, kecuali dalam satu laporan yang diterbitkan oleh TGPF yang sayangnya tak berhasil memperoleh leverage politik untuk menjadi satu pengakuan resmi dari negara atas apa yang sesungguhnya terjadi. Seperti juga sudah menjadi suatu kebiasaan yang umum, sekali lagi serangkaian kekerasan ini hanya meninggalkan korban tanpa pelaku. Narasi atas apa yang terjadi bergulir dari mulut ke mulut tak ubahnya cerita hantu yang sering jadi momok bagi anak-anak, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Mungkin karena itulah justru ingatan itu tak pernah pupus dari ruang individual, tertutup rapat, meski masih terus membisu diruang publik.

Realitas ini dengan segera tergulung oleh riuhnya agenda reformasi membawa berbagai diksi yang akrab dengan publik, berorientasi pada penataan ulang kelembagaan negara, mulai dari institusi judicial, eksekutif, legislatif, dan birokrasi, termasuk menata ulang cara pandang dan model pengelolaan administrasi tata pemerintahan seperti akrab dengan diksi tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance), rule of law ( baca supremasi hukum); mendedahkan konteks baru beralihnya tahap dari transisi ke konsolidasi (demokrasi). Namun, berbagai peristiwa kekerasan yang terus m e n y e n t a k k e s a d a r a n p u b l i k b e l a k a n g a n menyisakan sejumlah pertanyaan mengenai validitas asumsi tersebut. Benarkah yang ada adalah konsolidasi atau justru sebenarnya belum bergerak terlampau jauh melangkah dari garis awal dimulainya transisi?

Gambaran visual beberapa orang yang sudah sekarat berbalut lumpur yang terus dipukuli oleh massa dalam video yang beredar dan ditayangkan salah satu televisi nasional dalam peristiwa kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah segera menghadirkan kembali ingatan akan kekejaman serupa ditahun 1965 terhadap mereka yang disangka komunis seperti dipampangkan dalam salah satu buku rekaman sejarah Indonesia yang hadir dalam tiga jilid foto bernarasi. Rentetan penembakan terhadap petani (penduduk lokal) di kawasan Urut Sewu, desa Setrojenar segera mengingatkan kembali tragedi Alas Tlogo. Belum usai, sudah ada usulan RUU Intelijen yang segera disambut dengan teriakan publik, “Mengapa kita panggil kembali Bakorstanas, Kopkamtib dan sejenisnya dari masa lalu dalam RUU ini?” Deretan peristiwa lain dengan segera akan memanggil ulang ingatan sangat hidup akan peristiwa serupa bila tak boleh dibilang sama di masa lalu, seperti pemindahan makam paksa Pak Heru Atmojo dari Taman Makam Pahlawan oleh sekelompok orang yang mengaku bernama GUIB dengan alasan yang bersangkutan terlibat G30S. Mengklaim sebagai respon atas desakan tersebut, Cilangkap mengirim utusan untuk mendesak keluarga secara diam-diam memindahkan jenazah yang belum lagi menjadi tanah ke lokasi yang lain. Betapa miris seseorang harus mati dua kali hanya karena narasi G30S terus “dipelihara” sebagai cerita hantu dalam ingatan publik.

Mudah-mudahan membanjirnya ingatan masa lalu itu bisa membangunkan publik dari amnesia akut akan keniscayaan penataan ulang dan konsolidasi demokrasi tanpa menghadapi masa lalu. Membabar dan memblejeti, bukan untuk pertama-tama mencari siapa yang keliru, atau menghukum yang disangka berbuat seperti dalam semangat keadilan retributive; Namun lebih mulia dari itu, untuk menancapkan titik baru yang memutus siklus keberulangan seperti diuraikan diatas. Sehingga pengalaman pahit di masa lalu tak terus menjadi hantu yang hidup dalam pikiran dan ketakutan, muncul berulang dari satu generasi ke generasi yang lain. Jadi adakah alasan lain yang mungkin bisa menghentikan kita untuk berhenti mendorong negara menghadapi masa lalu?

Direktur Eksekutif

(5)

laporan utama

Memetakan Dukungan Politik

Penyelesaian Masa Lalu:

(Mendorong Pembentukan Kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi)

Oleh

Wahyudi Djafar

(Program Officer Monitoring Kebijakan ELSAM) maupun hak atas pemulihan.

UU Pengadilan HAM sebenarnya tidak hanya menjadi dasar bagi pembentukan pengadilan HAM, namun juga mengamanatkan pembentukan KKR, seperti ditegaskan dalam Pasal 47. Menurut UU ini, pembentukan KKR penting, khususnya dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum terbentuknya UU Pengadilan HAM.

Selain UU Pengadilan HAM, amanat pembentukan KKR juga tersebar di pelbagai UU lainnya. Sebagai contoh, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang menegaskan pembentukan KKR secara terbatas di Papua, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU ini. Pun demikian dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Kesepakatan Damai Helsinki, antara Pemerintah Indonesia dengan GAM.

Kemudian pada 16 Januari 2007, bersamaan dengan pengesahan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, bangsa Indonesia juga kembali diingatkan tentang pentingnya melaksanakan rekonsiliasi nasional. Tindakan ini diperuntukan sebagai sebuah mekanisme penyelesaian dan penuntasan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara, sebagai salah satu bagain dari konsolidasi demokrasi.

2

3

Tabel 1: Mandat Pembentukan KKR

L

ebih dari satu dekade bangsa ini lepas dari cengkeraman rezim otoritarian, namun beragam persoalan yang diwariskan sebagai akibat pilihan kebijakan di masa yang lalu, masih terus melekat dalam perjalanan bangsa. Salah satu faktor utama, dari masih sinambungnya problematika masa lalu, di dalam kehidupan hari-hari ini adalah belum adanya kejelasan penyelesaian atas sejumlah kesalahan di masa lalu. Banyak kejahatan hak asasi manusia masa lalu yang belum tuntas penyelesaiannya hingga kini.

Tiadanya penyelesaian masa lalu dalam proses transisi dari periode otoritarian ke demokratik, tentu akan menjadi 'ganjalan sejarah' perjalanan bangsa ini ke depan. Ini berakibat pada langgengnya segregasi sosial di masyarakat. Korban akan terus menerima stigmatisasi warisan rezim otoriter. Jika dibiarkan, situasi ini bisa menjadi bom waktu, yang setiap saat bisa meletupkan konflik horisontal, dan bukan tidak mungkin, menghadirkan peristiwa yang lebih buruk dari masa lalu. Mengapa demikian? Sebab bangsa ini tak pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya. Dengan penyelesaian masa lalu, bangsa ini bisa belajar dan berupaya untuk tidak mengulangi kesalahannya, pada masa yang akan datang.

Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang mengalami proses transisi, sesaat setelah bergulirnya reformasi, Indonesia sebenarnya pernah memiliki inisiatif untuk menyelesaikan sejumlah warisan kasus-kasus masa lalu. Inisiatif diawali dengan pembentukan TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional. Ketetapan itu mengamanatkan pentingnya kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional, hal-hal yang harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Selanjutnya, Indonesia juga telah memiliki UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menjadi dasar bagi terbentuknya pengadilan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Kehadiran pengadilan ini penting sebagai satu langkah penyelesaian masa lalu, khususnya demi adanya pertanggungjawaban hukum atas kejahatan masa lalu sehingga menjadi jelas siapa pelaku dan korbannya. Sejak berdiri, Pengadilan HAM telah menyidangkan setidaknya dua kasus masa lalu, yaitu kasus kejahatan HAM di Timor Timur menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999, serta kasus Tanjung Priok yang terjadi pada 1984. Sayangnya mekanisme pengadilan ini tidak sepenuhnya memenuhi hak-hak korban atas keadilan,

Mandat Pembentukan KKR

(6)

Kilas Balik UU KKR Jilid Pertama

Segera setelah tumbangnya rezim otoritarianisme b i r o k r a t i k S o e h a r t o , d a n t e r j a d i p e r a l i h a n pemerintahan, sejumlah pihak termasuk di dalamnya Komnas HAM, menanggapinya dengan gagasan mengenai perlunya rekonsiliasi nasional. Gagasan ini kian mendapat ruang, setelah keluarnya TAP MPR No. V/MPR/2000 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengamanatkan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Menanggapi mandat tersebut, selanjutnya pemerintah melalui Departemen Hukum dan Perundang-Undangan meyiapkan rancangan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Setelah mendapatkan masukan dari berbagai kalangan, pada 2003 RUU tersebut kemudian diserahkan ke Sekretariat Negara.

Pada tahun yang sama, rancangan undang-undang inisiatif pemerintah ini selanjutnya dilimpahkan ke DPR, untuk dilakukan pembahasan. Proses pembahasan di DPR dilakukan melalui sebuah Panitia Khusus (Pansus) yang beranggotakan 50 orang anggota DPR dari lintas fraksi. Dalam prosesnya, pembahasan RUU KKR sedikitnya mengundang lima puluh kelompok dan individu dari berbagai kalangan, untuk dimintai pendapat dan masukannya perihal substansi dari RUU KKR. Setelah dilakukan pembahasan lebih dari satu setengah tahun lamanya, akhirnya RUU KKR disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR pada 7 September 2004, dan diundangkan menjadi UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

M e s k i p u n U U K K R m e n g a m a n a t k a n pembentukan KKR dengan batas waktu setahun setelah disahkan, namun pemerintah terlihat kurang responsif untuk segera melakukan pembentukan KKR. Proses seleksi pemilihan anggota komisioner KKR baru dilakukan pada April 2005 dan berakhir pada Agustus 2005. Telah terpilih 42 orang calon anggota komisioner KKR saat itu. Calon-calon tersebut selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk dipilih 21 orang sebagai komisioner KKR.

Belum sampai terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pada tahun 2006, sejumlah elemen masyarakat sipil, berinisiatif untuk mengajukan permohonan pengujian atas UU No. 27 Tahun 2004, kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan pengujian ini berangkat dari beberapa catatan kritis terhadap UU KKR, khususnya terkait dengan amnesti, pemberian kompensasi yang digantungkan pada amnesti, dan sifat substitutif mekanisme KKR atas pengadilan. Ketidakjelasan dan ketidaksempurnaan konsep atas tiga materi tersebut dikuatirkan berimplikasi pada hilangnya kerangka hukum bagi narasi korban sehingga terbuka kembali ruang pengingkaran tanggung jawab negara atas kekerasan masa lalu. Selain itu, materi-materi di dalam undang-undang tersebut juga telah kehilangan roh pengungkapan kebenaran dan memungkinkan keberlangsungan praktik impunitas.

Lebih jauh dalam permohonan para pemohon mendalilkan bahwa sejumlah ketentuan dalam UU KKR telah bertentangan dengan UUD 1945, di antaranya mengenai pemberian amnesti kepada pelaku, dan

4

laporan utama

penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang “seolah” membiarkan terjadinya tawar-menawar dengan pelaku, karena adanya pra-syarat rekonsiliasi atau penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dilakukan setelah adanya amnesti kepada para pelaku. Klausul-klausul tersebut juga dianggap bertentang dengan hukum hak asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait hak-hak korban.

Di luar dugaan, pada 7 Desember 2006, MK tidak hanya membatalkan pasal yang dimohonkan, tetapi malah membatalkan keseluruhan UU KKR melalui Putusan No. 006/PUU-IV/2006. MK beralasan, tujuan dari KKR tidak akan mungkin dicapai dengan undang-undang ini. Dalam pertimbangan hukum putusannya (ratio decidendi), MK menyatakan bahwa pasal yang dibatalkan merupakan pasal jantung dari apa yang menjadi tujuan UU KKR. Sehingga dengan pembatalan pasal ini, maka KKR tidak lagi bisa menjadi tujuannya, karenanya UU KKR perlu dibatalkan secara keseluruhan.

Namun demikian, meski membatalkan secara keseluruhan UU KKR, dalam pertimbangan hukum putusannya, MK tetap menekankan perlu dan pentingnya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi bagi bangsa Indonesia. Menurut MK, banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (UU) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. Artinya, melalui putusan ini, MK sesungguhnya m e n e g a s k a n k o n s t i t u s i o n a l i t a s K K R d a l a m penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, sebagai bagian dari proses transisi demokrasi. Karena itu MK memerintahkan pembentukan kembali UU KKR yang sejalan dengan UUD 1945 dan hukum HAM internasional.

Menjelang lima tahun sesudah MK membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, akhirnya pada November 2010, Kementerian Hukum dan HAM menyelesaikan Naskah Akademis dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Setelah dilakukan harmonisasi, Naskah Akademis dan RUU tersebut selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk dimintakan Surat Presiden, guna dilimpahkan ke DPR, untuk

5

6

(7)

laporan utama

dilakukan pembahasan bersama. Dalam Program

Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masuk ke dalam prioritas legislasi tahun 2011. Sayangnya, hingga menginjak bulan keempat tahun 2011, Presiden tidak segera melimpahkan RUU tersebut ke DPR, untuk dilakukan pembahasan.

Melihat janji kampanye pasangan SBY-Boediono pada Pemilu Presiden 2009, seharusnya tidak ada alasan untuk tidak menyegerakan proses pembahasan RUU KKR. Dalam janji kampanye di bidang hak asasi manusia, SBY setidaknya menyebutkan empat hal: (1) Keadilan tanpa diskriminasi; (2) Menjamin kebebasan dan hak asasi; (3) Melindungi kaum perempuan dan anak; dan (4) Politik non-diskriminasi. Untuk memenuhi keempat hal tersebut, pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus dilakukan, demi terpenuhinya hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, yang sampai sekarang belum dilakukan. Keadilan yang seharusnya bisa dinikmati oleh para korban, pada kenyataannya terus mengalami penundaaan bahkan mengarah pada peniadaan, yang sesungguhnya memiliki arti penyangkalan terhadap hak atas keadilan mereka (justice delayed is justice denied).

Sementara sikap partai-partai politik di DPR saat ini, dari pemetaan pandangan yang dilakukan ELSAM, dapat dikatakan secara umum mereka memberikan dukungan atas pembentukan kembali UU KKR, melihat urgensi UU tersebut, bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Salah satu dukungan datang dari Yahdil Harahap, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN). Dia menyatakan bahwa keberadaan UU KKR sangat penting, sebab ada banyak tragedi sejarah bangsa ini yang belum terselesaikan, serta operasi yang bersifat rahasia, yang tidak diketahui kejadian sebenarnya. Dengan adanya UU KKR, itu semua diharapkan akan bisa terselesaikan, termasuk kasus Aceh, Tanjung Priok, penghilangan orang secara paksa, kasus Trisakti, dan Kasus Semanggi I dan II.

Yahdil yang juga anggota Komisi III DPR memberikan penekanan bahwa UU ini sama sekali tidak memiliki maksud mencari kesalahan orang atau mengungkit kesalahan masa lalu. “Banyak sejarah bangsa ini yang gelap, dengan undang-undang ini sejarah tidak akan gelap lagi, sehingga anak cucu kita akan tahu sejarahnya,” demikian ditegaskannya.

Mengenai proses perjalanan RUU KKR Jilid Kedua, meski F-PAN belum pernah secara khusus membicarakan RUU ini, tapi secara umum semua fraksi di DPR sudah mengetahuinya. Yahdil mengatakan, Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, pernah mengundang anggota Komisi III DPR, masing-masing tiga orang tiap fraksi, untuk menyosialisasikan substansi RUU KKR. Artinya, pada prinsipnya semua fraksi sudah memiliki draft RUU. Anggota DPR dari Dapil Sumatera Utara II ini menuturkan, KKR menjadi harapan dari para korban pelanggaran HAM, sebagai salah satu alternatif penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Terkait

Dukungan Politik Pembentukan Kembali UU KKR

dengan pembentukan Pengadilan HAM, diungkapkan Yahdil, jika presiden memiliki kemauan politik, sebenarnya tinggal dilakukan pembentukan saja. Sekarang posisi DPR hanya menunggu keputusan Presiden saja.

Sementara Anggota Komisi III DPR, dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Ahmad Yani, justru menanyakan kenapa dahulu MK membatalkan undang-undang ini. Menurut dia, Indonesia perlu belajar dari Afrika Selatan yang sudah menyelesaikan masa lalunya. Anggota DPR dari Dapil Sumatera Selatan I ini menyebutkan, bahwa RUU KKR harus segera dilakukan pembahasan, supaya bangsa ini tidak terus membicarakan masa lalunya, “kita harus memotong sejarah yang kelam, kita harus berpikir ke depan”, tegasnya. Menurutnya, sejarah menjadi bagian dari dinamika perjalanan bangsa kita ke depan, jadi keberadaan UU KKR sangat penting, agar kita tidak terus tersandera. Yani memberikan penegasan bahwa apa yang dilakukan di masa lalu adalah suatu kesalahan, karena itu harus ada fakta yang diungkap, baru kemudian melakukan rekonsiliasi, “bagaimana mau rekonsiliasi jika tidak ada faktanya tentang kesalahan dan kebenarannya,” gugatnya.

Ahmad Yani, salah satu Ketua DPP PPP ini, menyebutkan penyelesaian masa lalu menjadi agenda sangat penting agar kita tidak terus-menerus dibebani sejarah gelap bangsa ini, yang tentunya akan menjadi beban pula bagi generasi yang akan datang. Itulah pentingnya UU ini, apa dan bagaimana mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, akan diatur. Bahwa sejarah bangsa ini berdarah-darah, supaya ke depan tidak lagi berulang peristiwa itu, maka perlu ada penyelesaiannya, termasuk perlunya rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban, seperti korban peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, termasuk juga korban peristiwa 1965, tutupnya.

Sedangkan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) di DPR, Marwan Ja'far, mengaku, sejauh ini fraksinya belum melakukan pembicaraan atas RUU KKR. Namun demikian, secara ide dan substansinya, PKB sangat setuju dengan kehadiran RUU KKR. Menurut anggota Komisi V DPR ini, seluruh pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu harus dibongkar, tidak hanya pelaku yang kecil yang mendapat hukuman, tetapi juga aktor intelektualnya harus diungkap. Lebih jauh diutarakan oleh anggota DPR dari Dapil Jawa Tengah III ini, bahwa dari proses rekonsiliasi nasional, diharapkan akan terungkap seluruh kebenaran dari peristiwa di masa lalu, “masa lalu jangan dilupakan, karena itu menjadi bagian sejarah dari bangsa ini”, ditekankan Marwan.

Ganjar Pranowo, anggota Fraksi PDIP di DPR, menyatakan harus hati-hati dalam pembentukan undang-undang ini, sebab sudah pernah dibatalkan di MK. Harus dipikirkan baik-baik dasar filosofis dan sosiologisnya, agar jangan sampai masuk kembali atau dibatalkan kembali di MK. Meski sejauh ini diakui Ganjar, belum dibicarakan di fraksi, namun menurutnya undang-undang ini penting sekali jika bangsa ini mau maju, dan berkeinginan untuk bersama–sama membangun negara ini. Menurut anggota Komisi II DPR ini, bangsa Indonesia tidak boleh pada situasi

(8)

laporan utama

kelam terus-menerus, yang tidak pernah ketahuan ujung pangkalnya.

Selain harus hati-hati dalam penyusunannya, menurut anggota DPR yang mewakili Dapil Jawa Tengah VII ini, Indonesia harus belajar dari Afrika Selatan, bahwa untuk melakukan rekonsiliasi itu ada syaratnya. Sebelum ada permintaan maaf, harus ada pengakuan terlebih dahulu, setelah itu baru memasuki tahap berikutnya. Secara umum, menurut Ganjar, F-PDIP mendukung keberadaan undang-undang ini, akan tetapi tentunya nanti akan melihat bagaimana materi RUU yang disodorkan oleh Pemerintah. “Sampai detik ini, kita tidak pernah mengerti, kenapa pada waktu itu undang-undang ini dibatalkan seluruhnya oleh MK”, gugat Ganjar.

Bagi Ganjar, UU KKR ini seperti hari raya yang mensucikan semuanya, karena undang-undang ini menjadi momentum untuk kembali ke titik nol. Dari titik nol itulah, selanjutnya bangsa ini memulai kembali pembangunan negara ini. Mengenai relasi KKR dengan Pengadilan HAM, menurut Ganjar, KKR ini lebih pada pendekatan politiknya, sedangkan pengadilan lebih pada hukumnya. Harus ada sebuah sikap, bahwa bangsa ini tidak boleh saling balas terus-menerus, mereka harus duduk bersama, saling meminta maaf, sehingga di situ ada rekonsiliasi.

Sedangkan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond J. Mahesa, mengaku telah mengikuti beberapa kali rapat dengan Kementerian Hukum dan HAM, namun sampai sekarang RUU KKR belum sampai di Baleg DPR. Dijelaskan Desmond bahwa semenjak reformasi, KKR menjadi sesuatu yang penting, karena KKR berbicara mengenai bagaimana kita sebagai anak bangsa tidak ada lagi luka-luka. Menurut Desmond, perlu ada UU untuk memberikan amnesti, pengampunan, rehabilitasi dan kompensai bagi kelompok korban. Namun yang membuat dia heran adalah perjalanan RUU KKR ini yang diperlambat.

Diakui Desmond, Fraksi Gerindra sangat serius membicarakan RUU ini. Fraksinya sudah beberapa kali melakukan rapat. Menurutnya, RUU KKR menjadi isu strategis Partai Gerindra untuk berbicara pelanggaran HAM masa lalu. Dikarenakan beberapa nama di partai dituduh menjadi bagian dari pelaku masa lalu, serta posisi Desmond sendiri sebagai korban, maka wacana RUU KKR ini menjadi konsen partai. Dia berharap, dengan adanya UU KKR, akan ada kepastian mengenai status, baik korban maupun pelaku, agar proses penyanderaaan kasus ini dapat tuntas.

Lebih jauh menurutnya, secara praktik kita bisa belajar dari KKR di Afrika Selatan, Indonesia bisa mengadopsi dari sana, bisa melakukan komparasi, dengan penyesuaian kondisi lokal Indonesia. Secara umum, menurut perwakilan Dapil Kalimantan Timur ini, UU KKR memiliki urgensi yang penting. Mengenai jangkauan dari undang-undang ini, bisa diperdebatkan. Menurut Desmond, menjadi kewajiban negara untuk mengampuni pelaku, dan memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban dengan catatan harus sesuai dengan kultur kita.

Sutan Bhatoegana, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, menyebutkan UU KKR ini penting, “kita bisa menyontoh Afrika Selatan, mereka bisa maju karena tidak lagi mengungkit-ungkit yang lama, karena yang lama-lama itu salah, semua ikut salah, mari kita lihat ke depan, lihat itu Mandela, semuanya dimaafkan, jangan melihat dosa-dosa yang lalu, tidak bisa maju nantinya”, ungkap Sutan. Dijelaskannya, Partai Demokrat akan mendukung, jikalau untuk kebaikan bangsa dan negara. “Dahulu ketika kita mendirikan partai ini, kita memiliki slogan 3R, yang terdiri dari Rekonsiliasi, Rekonstruksi, dan Reformasi, jadi kita akan dukung pembentukan undang-undang ini. Jadi yang bisa dimaafkan kita maafkan, seperti yang tadi dikatakan, kita semua itu salah, ke depan harus lebih baik”, pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, menuturkan UU KKR memiliki urgensi yang penting karena bangsa ini masih memiliki problem dari masa lalu yang belum selesai. Segala bentuk pelanggaran HAM di masa lalu harus diselesaikan, dan tidak boleh terjadi lagi, cara mengkhiri itu semua salah satunya dengan pembentukan undang-undang ini. “Kecuali kita menganggap itu sudah tidak ada, tapi pada faktanya itu semua masih ada, masalah orang hilang, kasus Tanjung Priok, kasus PKI, itu semua harus diselesaikan, jadi tidak boleh ada lagi masalah di antara kita,” jelas Fahri. Semua bentuk kejahatan negara akan selalu mengundang gugataan di masa datang, jadi kalau tidak diselesaikan saat ini, generasi mendatang juga akan meminta kelak. Menurut Fahri penyelesaian di luar pengadilan jauh lebih penting, karena tidak semuanya bisa dilihat sebagai sebuah persoalan hukum.

Sikap tidak tegas datang dari Fraksi Partai Golkar, seperti disampaikan salah satu anggotanya, Harry Azhar Aziz. Menurut Wakil Sekjen Partai Golkar ini, masa lalu sebaiknya diambil kasus per kasus, tidak dibuat secara umum, “jadi kasus apa yang muncul, itu yang kemudian diselesaikan, itu jauh lebih efektif dari pada itu digeneralisir menjadi isu politik”, tegasnya. Sikap Partai Golkar sendiri, apakah mendukung atau tidak terhadap RUU KKR, menurutnya itu tergantung pada kasusnya, mau berpihak pada siapa. “Musti ada case by case-nya, jangan sampai ini menjadi alat politik untuk menekan kelompok lain, dengan menggunakan alat undang-undang”, kilahnya.

Anggota Komisi XI DPR ini mengatakan, sebenarnya secara politik, kelompok masyarakat korban seperti eks-PKI dan dari keturunan Tionghoa, yang dahulu terdiskriminasi, zamannya Gus Dur sudah terperbaiki. Justru menurut dia, sekarang yang lebih pelik adalah rekonsiliasi bidang ekonomi, mengenai akses ekonomi dan konflik pertanahan yang belum ada penyelesaian. Dia menyontohkan ada beberapa pejabat dan jendral, yang atas desakan pihak luar, disebutkan telah melakukan pelanggaran HAM, seperti pada kasus Timor Timur. “Apakah kita sepakat negara tidak melindungi warga yang tertuduh itu, bisa dia bersalah bisa juga tidak bersalah, jika sistem pengadilan kita mengatakan tidak, sementara sistem

(9)

laporan utama

pengadilan lain mengatakan bersalah, lalu bagimana?”

belanya.

Penolakan terhadap RUU KKR datang dari Fraksi Partai Hanura. Menurut salah anggotanya, Akbar Faisal, meski Fraksi Hanura belum pernah melakukan pembicaraan resmi, “akan tetapi jika ujungnya menyangkut Pak Wiranto, saya katakan dengan resmi bahwa itu sudah basi. Setiap kali Pak Wiranto hendak melakukan sesuatu yang kritis, selalu dilakukan pembunuhan karakter, itu sudah basi”, tegas anggota Komisi II DPR ini.

Besarnya dukungan politik seperti terungkap di atas, setidaknya bisa menjadi harapan untuk melakukan percepatan pembentukan kembali UU KKR, maupun penyelesaian masa lalu secara umum. Langkah penyegeraan dan penyelesaian masa lalu akan menjadi bukti ketaatan Presiden dan DPR terhadap konstitusi, serta janji politiknya. Sedangkan penundaan terhadap penyelesaian masa lalu, khususnya dalam pembentukan KKR, adalah satu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi, karena telah mengabaikan hak-hak yang seharusnya bisa dinikmati para korban. Selain itu, ketiadaan penyelesaian masa lalu, tentunya akan menjadikan bangsa ini terus berjalan di tempat, tidak segara melangkah maju ke depan. [ ]

Besarnya dukungan politik seperti terungkap di atas, setidaknya bisa menjadi harapan untuk melakukan percepatan pembentukan kembali UU KKR, maupun penyelesaian masa lalu secara umum. Langkah penyegeraan dan penyelesaian masa lalu akan menjadi bukti ketaatan Presiden dan DPR terhadap konstitusi, serta janji politiknya. Sedangkan penundaan terhadap penyelesaian masa lalu,

Tabel 2: Dukungan Politik Terhadap RUU KKR di DPR

khususnya dalam pembentukan KKR, adalah satu bentuk pengingkaran terhadap konstitusi, karena telah mengabaikan hak-hak yang seharusnya bisa dinikmati para korban. Selain itu, ketiadaan penyelesaian masa lalu, tentunya akan menjadikan bangsa ini terus berjalan di tempat, tidak segera melangkah maju ke depan.

Keterangan

1. Secara detail Bab V Tap MPR No. V/MPR/2000 perihal Kaidah Pelaksanakan, dalam butir 3 menyebutkan: “Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan sepenuhnya memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat”. 2. Pengadilan HAM untuk Kasus Timor Timur menyidangkan 18 Terdakwa, keseluruhannya diputus bebas, serta tidak ada kompensasi bagi para korban. Sementara Pengadilan HAM untuk Kasus Tanjung Priok, menyidangkan 14 Terdakwa semuanya dari Militer, dan akhirnya pun semua terdakwa bebas (di Pengadilan Tingkat I, 12 orang dinyatakan bersalah dan ada putusan tentang kompensasi korban, tingkat banding dan kasasi semua Terdakwa dibebaskan).

3. Di dalam bagian Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu klausula kesepakatan damai, disebutkan bahwa KKR di Aceh akan dibentuk oleh KKR Indonesia, dengan tugas untuk memformulasikan dan menetapkan langkah-langkah pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

4. Lihat ELSAM, Mendorong Pembentukan Kembali Undang-Undang KKR, Policy Brief 1 Tahun 2011.

5. Lihat Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk., Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional: Pandangan Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU KKR dan Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Seri Briefing Paper ELSAM, No. 01 January 2007.

(10)

laporan utama

K

ebanyakan korban Peristiwa 1965 adalah pejuang kemerdekaan. Oleh karena itu, yang umumnya paling menyadari bagaimana rezim Orde Baru telah mengingkari kesepakatan awal pendirian negara-bangsa Indonesia. Mereka tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sejak jatuhnya Soeharto, sebagian dari mereka mengorganisir diri dalam sejumlah organisasi berskala nasional, di antaranya Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Penelitian Korban Pembantaian (LPKP), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru (LPRKrob), Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran HAM (YPKP). Sebagian lain mengorganisir diri dalam paguyuban lokal.

Kebanyakan korban 1965 saat ini hidup dalam kemiskinan. Mereka saling membantu untuk bertahan hidup, saling memberi dukungan moril, dan karena kesadaran bahwa mereka telah berusia mempersiapkan kebutuhan. Hidup mereka sangat prihatin. Sejumlah besar korban lainnya hidup dalam situasi yang tertekan, yang tidak jauh berbeda dengan situasi ketika Orde Baru masih berkuasa dan tidak terorganisir.

Prioritas advokasi organisasi-organisasi korban 1965 adalah menuntut tanggung jawab negara untuk mengungkap dan mengakui peristiwa tersebut. Mereka menuntut negara untuk merehabilitasi nama baik. Para korban 1965 berasal dari generasi yang terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pekerjaan membangun negara-bangsa pasca-revolusi. Mereka meyakini sepenuhnya gagasan revolusi kemerdekaan.

Propaganda hitam (black propaganda) Angkatan Darat – kemudian Rezim Orde Baru – telah memutar balik peran mereka dalam catatan sejarah. Dari pahlawan, oleh militer Orde Baru, mereka diposisikan sebagai pengkhianat bangsa. Itu sebabnya, bagi militer Orde Baru, tidak dibutuhkan pemeriksaan lagi terhadap mereka untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya.

Korban tidak lagi diperlakukan sebagai warga negara sepenuhnya. Hubungan sosial dan kekerabatan mereka menjadi rusak. Hak politik dikebiri. Demikian juga kesewenang-wenangan rezim Orde Baru yang memenjarakan mereka tanpa proses peradilan. Para korban 1965 ini dibuat pula mati secara perdata oleh pemerintahan otoritarian Soeharto. Berangkat dari pengalaman pahit para korban kejahatan politik 1965

tersebut, pengungkapan kebenaran dan pengakuan negara, serta rehabilitasi nama baik mereka, menjadi agenda penting demi pemulihan hubungan-hubungan sosial. Mereka menuntut pula adanya revisi kurikulum pendidikan sejarah di sekolah yang dibikin berdasar kehendak penguasa. Para korban yang makin uzur ini menolak sejarah versi penguasa.

Awal 1999 paska reformasi, ELSAM dan ISSI mendekati perempuan korban sebagai pribadi-pribadi dan mencari tahu apa yang ingin mereka sampaikan. Sebelum melaksanakan niat ini banyak pihak yang memperingatkan agar berhati-hati karena kebanyakan perempuan korban menderita trauma sangat dalam dan mungkin tidak bersedia berbicara dengan orang asing. Ternyata kekhawatiran ini tidak sepenuhnya tepat. Satu tanggapan terhadap salam perkenalan yang tidak bisa terlupakan berupa pertanyaan dari Ibu (alm) Kartinah Kurdi. Ibu korban peristiwa politik 1965 ini menolak propaganda yang disebarluaskan Pemerintah Orde Baru tentang perempuan-perempuan yang menari-nari sambil memutilasi para perwira di Lubang Buaya. Mantan anggota DPR yang mewakili Gerwani itu mengatakan, “Kamu percaya bahwa seorang perempuan seperti saya akan menari telanjang dan menyilet-nyilet penis j e n d e r a l ? ” D i a p u n m u l a i b e r k i s a h t e n t a n g pengalamannya yang kemudian ditanggapi hampir tak putus-putus dan saling menyambung dari ibu-ibu korban lainnya.

Di antara alunan cerita nostalgia dan luka-luka memilukan kami berulangkali mendengar ujaran-ujaran reflektif, “Sekarang kalian tahu bahwa kami bukanlah segerombolan pelacur. Kami percayakan cerita kami kepada kalian, generasi muda, agar kebenaran pada akhirnya terungkap.”

Mereka pun melanjutkan kisah tentang Peristiwa 1965. Tak satu pun ibu-ibu ini tahu tentang Peristiwa Lubang Buaya, peristiwa kelam yang tiba-tiba membuat hidup mereka berubah total. Dari berstatus guru, aktivis, pimpinan organisasi legal, ibu rumah tangga, tiba-tiba dituduh sebagai penjahat yang amoral. Dari perempuan-perempuan yang biasa bekerja merawat masyarakat seketika menjadi penyakit dalam masyarakat. Mereka yang ditahan, dipindah dari satu penjara ke penjara lain. Sebagian di antaranya kemudian ditampung sementara di LP Bulu untuk kemudian dikirimkan ke kamp konsentrasi

Suara Korban yang tak Tertahankan

OlehRini Pratsnawati

(Staf ELSAM)

Satu generasi lebih kami diberangus dan dipinggirkan. Sekarang tibalah waktunya kami tampil ke depan dan berbicara. Kami akan terus bicara dan bicara, menulis dan menulis, bersaksi dan bersaksi tentang masa lalu yang penuh kejahatan dan ketidakadilan. Tidak untuk membangkitkan amuk dan balas dendam. Justru sebaliknya: untuk mendudukkan masalah pada tempat dan proporsinya. Barangsiapa bersalah, dihukum. Barangsiapa benar, diganjar, dengan pemulihan atas hak-hak asasinya sebagai manusia sesama. Hanya dengan demikian tragedi berdarah masa lalu tidak akan terulang kembali. Demokrasi hanya bisa dihidupkan di atas fondasi ke-Kita-an. Keadilan hanya bisa

ditegakkan di atas fondasi Kebenaran.

KKe-Kita-an dan Kebenaran hanya bisa dibangun apabila tabir kegelapan masa lalu disingkap dan disingkirkan selama-lamanya.

Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Cabang Solo, dalam Hersri Setiawan, Kidung untuk Korban, Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala: Pakorba-Sala, Oktober, 2006 hal. xix).

(11)

laporan utama

Plantungan, selatan Kendal. Plantungan merupakan kamp konsentrasi karena di sanalah penampungan terakhir di mana perempuan-perempuan dari berbagai wilayah dikumpulkan untuk diperbudak. Perempuan-perempuan dipekerjakan tanpa bayaran.

Selain peristiwa kekerasan yang bersifat fisik, ada juga kekerasan lain yang tak kalah penting, yaitu penghancuran ide-ide progresif perempuan. Para ibu korban peristiwa 1965 tersebut terlibat dalam aktivitas politik. Mereka berpandangan jika perempuan tidak mau keluar rumah, maka mereka tidak akan maju alias ketinggalan zaman. Namun sekarang amat kontras. Perempuan-perempuan saat ini hanya mengikuti organisasi-organisasi yang konservatif, yang jauh dari gagasan merawat masyarakat, tersubordinasi dengan laki-laki. Ada proses individualisasi dan domestifikasi yang dialami kaum perempuan masa kini.

Ketika demokratisasi berhasil melengserkan rezim otoriter Orde Baru, para ibu korban tragedi 1965 ini tak tinggal diam. Mereka menuntut kepada negara untuk memberikan penjelasan resmi mengapa mereka bisa menjadi korban kejahatan politik; menuntut pemulihan nama baik lewat pengakuan kebenaran atau klarifikasi sejarah; menjadikan sejarah mereka sebagai bagian dari sejarah generasi muda, untuk melanjutkan sejarah; terakhir mereka menuntut rekonstruksi hubungan perempuan dengan keluarga, masyarakat, maupun jaminan dari negara.

Tuntutan korban ini selanjutnya dibawa kepada KOMNAS Perempuan, Komisi III DPR RI dan Komnas HAM. Dari ketiga lembaga negara, hanya Komnas Perempuan yang menanggapi dengan membuat Gugus Kerja yang menghasilkan sebuah laporan kekerasan negara berbasis jender: Mendengar Suara Perempuan Korban 65. Laporan ini juga sudah disampaikan kepada Presiden SBY. Jawaban SBY pada waktu itu adalah kami akan memperhatikan korban, tetapi jangan menimbulkan kegaduhan. Apa yang dimaksud SBY mengenai ”jangan menimbulkan kegaduhan” pun tidak jelas. Lagi-lagi SBY ingkar janji, sampai saat ini korban tidak diperhatikan.

Karena tidak mempunyai mandat projustisia, Komnas Perempuan mendesak Komnas HAM untuk membuat penyelidikan. Namun sayang Komnas HAM sampai sekarang belum mampu menyelesaikan laporan tersebut, bahkan beberapa waktu yang lalu korban dan para aktivis HAM menyampaikan pandangan kepada Komnas HAM untuk menyegerakan penyelesaian penyelidikan.

Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang hingga sekarang belum tuntas dan terus-menerus menjadi tuntutan untuk diselesaikan. Berdasarkan pandangan berbagai kalangan, terdapat sejumlah hambatan-hambatan baik dari pegalaman selama ini maupun potensi yang akan timbul dalam upaya untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Berbagai faktor yang menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu diantaranya adalah: pertama, ketiadaan kemauan politik pemerintah, dimana Pemerintah tidak serius dalam melakukan penyelesaian pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, tidak adanya kebijakan konkrit dan ketidaksiapan elemen (pemerintah dan pelaku politik) menjadi hambatan utama pelaksanaan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Semua yang memerintah sekarang punya masalah dan kepentingan, sehingga penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan proses rekonsiliasi sulit dilaksanakan.

Kedua, terdapat kompleksitas dalam mencari kebenaran, yang ditunjukkan dengan adanya penolakan untuk mengakui perbuatan. Selama ini tidak ada pengakuan yang jujur dari pihak-pihak yang terlibat sebagai pelaku pelanggaran HAM sehingga sulit mencari kebenaran. Ada faktor egoisme kedua belah pihak dengan mengatasnamakan kebenaran relatif. Hal ini juga masih adanya dugaan resistensi pihak-pihak tertentu misalnya militer, untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu hingga saat ini. Selama rezim orde baru berkuasa, militer/tentara merupakan salah satu penopang kekuasaan dan menjadi alat Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai penopang utama, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, misalnya dengan melakukan pengungkapan kebenaran akan berkonsekuensi bagi militer sebagai pihak yang juga akan dimintai pertanggungjawaban.

Ketiga, dukungan publik yang semakin redup. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, misalnya dengan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi masih belum mendapatkan dukungan publik yang memadai dari publik. Masyarakat luas belum memahami kepentingan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Meski dahulu ada upaya untuk menyadarkan pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu misalnya melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi (dengan adanya UU KKR), namun belum dilakukan secara meluas sehingga belum mendapatkan dukungan publik yang penuh. Saat ini juga belum banyak tokoh yang mampu dan mau mendorong secara serius penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, misalnya dengan adanya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Dahulu memang ada figur seperti Gus Dur, yang memulai melakukan upaya untuk proses penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, namun sekarang tidak ada lagi. Ketiadaan tokoh ini menghambat dukungan dalam dua level, pertama adalah penggalangan dukungan publik ke bawah dan yang kedua adalah memberikan daya tekan kepada pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Keempat, konsep pertanggungjawaban misalnya melalui KKR belum dipahami semua pihak. Bahwa meski pada periode tahun 1998-2004, Konsep tentang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi telah ada, bahkan dengan adanya UU KKR, namun konsep tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diyakini oleh berbagai pihak sebagai upaya yang terbaik dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Berbagai penolakan dari pemerintah, militer dan juga minimnya dukungan tokoh dan publik menunjukkan bahwa ada konsep penyelesaian masa lalu ini yang kurang dipahami atau bahkan dicurigai.

D i t e n g a h h a m b a t a n - h a m b a t a n t e r s e b u t , perjuangan korban tidak akan pernah berhenti. Suara para korban akan terus bergema untuk menuntut pertanggungjawaban negara dengan adanya pengungkapan kebenaran, keadilan dan pemulihan. Korban akan terus bergerak dan berjuang untuk menegakkan keadilan!.

(12)

laporan utama

P

e

ta

P

e

rsebaran K

orban

K

asus P

elanggaran Ham

(13)

nasional

P

idato yang disampaikan Presiden SBY di atas seolah merefleksikan kegeraman masyarakat Indonesia atas maraknya peristiwa penyerangan dan kekerasan yang dilakukan organisasi massa anarkis di awal 2011. Tahun ini diawali dengan terjadinya Peristiwa Cikeusik,Pandeglang, Banten. Ratusan massa anarkis menyerang dan melakukan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di sana, pada Minggu 6 Februari 2011. Diawali dengan berkumpulnya Jamaah Ahmadiyah di rumah salah seorang pimpinan Ahmadiyah Cikeusik yang mulai berdatangan sejak Sabtu 5 Februari 2011. Sehari berikutnya ratusan massa yang diduga dari luar kampung Cikeusik, dengan menggunakan pita, berpakaian hitam, dan membawa senjata tajam, meminta Jamaah Ahmadiyah untuk membubarkan diri. Namun, jamaah menolak. Seolah tak terima dengan penolakan dari jamaah, ratusan massa secara membabi buta

melakukan penyerangan. Akibatnya, tiga orang J a m a a h A h m a d i y a h m e n i n g g a l s e c a r a mengenaskan, lima orang mengalami luka-luka. Selain itu, rumah-rumah dan kendaraan bermotor juga rusak dan dibakar massa.

Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 8 Februari 2011, peristiwa serupa juga terjadi di Temanggung. Peristiwa ini terjadi pada saat sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa kasus penistaan agama, Antonius Richmond Bawengan, penduduk Jakarta yang didakwa melakukan penistaan agama di Temanggung pada 3 Oktober 2010 dengan membagikan buku dan selebaran berisi tulisan yang dianggap menghina umat Islam.

Peristiwa berawal pada saat Antonius memasuki ruang sidang. Pada saat yang bersamaan seorang pengunjung mencoba mendekati Antonius dan mencoba memukul. Aksi provokatif tersebut dapat dihentikan polisi yang berjaga di dalam ruang sidang. Pengunjung itu diamankan. Penangkapan tersebut memancing anggota massa yang lain mengejar polisi dan mencoba membebaskan rekan mereka. Sidang dibatalkan karena ricuh. Antonius dievakuasi dan coba dikeluarkan ke luar lokasi Pengadilan Negeri Temanggung. Ketika terdakwa hendak dikeluarkan dari Pengadilan Negeri Temanggung massa mencoba menghalang-halangi. Terjadi bentrokan antara massa dengan polisi.

S e l a n j u t n y a m a s s a p u n b e r g e r a k meninggalkan Pengadilan Negeri Temanggung. Dalam perjalanan, massa merusak Gereja Katolik Santo Petrus dan Santo Paulus yang terletak 2 kilometer dari pengadilan; Gereja Pantekosta Di Indonesia yang berjarak 3 kilometer; dan Sekolah Sekolah Kristen Graha Shekinah yang berjarak sama dengan Gereja Pantekosta.

Peristiwa di atas hanyalah sebagian kecil dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang melibatkan ormas anarkis. Sebelum dua peristiwa tersebut, telah terjadi berbagai kekerasan yang dilakukan ormas anarkis: Peristiwa Parung 2005; Peristiwa Cianjur 2005; Peristiwa Ketapang, Lombok Barat; Peristiwa Praya, Lombok Tengah; Peristiwa Bulukumba, Sulsel; Manislor, Kuningan Peristiwa Monas Juni 2008; Peristiwa Cisalada 2010, Peristiwa Ciketing 2010, Peristiwa Tanjung Priok 2010, merupakan bukti-bukti dari keberingasan ormas anarkis.

Peluang Pembubaran Organisasi

Massa Anarkis

Oleh

Wahyu Wagiman

(Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan)

"Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi-aksi kekerasan, yang bukan hanya meresahkan masyarakat luas, tapi nyata-nyata telah banyak menimbulkan korban, pada para penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah dan legal untuk bisa perlu dilakukan pembubaran atau perubahan"1

(14)

nasional

Kekerasan yang dilakukan organisasi massa anarkis ini mulai marak terjadi sejak awal 2000-an dan semakin menjadi setelah 2005. Sepanjang 2007-2010 Markas Besar Kepolisian Indonesia mencatat paling tidak terjadi 107 kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis keagamaan maupun primordialisme etnis. Pada 2007 ada 10 tindak kekerasan. Pada 2008 ada 8 kali. Pada 2009 ada 40 kali, sementara pada 2010 ada 29 kali. Data Mabes Polri ini diperkuat dengan data yang dikeluarkan Setara Institute, yang menunjukkan sepanjang 2009-2010 terjadi sebanyak 183 kekerasan atas nama agama dilakukan aktor non-negara, termasuk ormas anarkis.

Berdasarkan catatan Mabes Polri tersebut, FPI merupakan ormas yang paling banyak melakukan tindakan kekerasan. Selain FPI, ormas-ormas anarkis lain yang sering melakukan tindakan anarkis antara lain GUI, LPPI, FUI, HTI, FBR dan Forkabi.

Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini perlu untuk dibubarkan, mengingat dalam setiap tindakannya, kekerasan merupakan sarana dan cara organisasi-organisasi massa ini menyampaikan pendapat dan eksistensinya. Setiap kali ada kelompok lain atau kebijakan Pemerintah yang dianggap bertentangan dengan visi misinya, ormas-ormas ini selalu menggunakan kekerasan dan ancaman sebagai alat perjuangannya.

Intimidasi, penyerangan, dan kekerasan seolah menjadi “trademark” ormas-ormas ini. Akibatnya masyarakat merasa resah dengan aksi-aksi penyerangan terhadap kelompok tertentu. Demikian juga apabila masyarakat melihat ormas

2

Mengapa harus dibubarkan?

melakukan demonstrasi dengan kekerasan, melakukan penyisiran terhadap pihak yang berbeda pendapat, ataupun melakukan penutupan tempat ibadah milik kelompok lain.

Keresahan masyarakat tersebut dipicu oleh kekhawatiran tindakan kekerasan yang kerap ditunjukkan itu akan menjadi pemecah belah p e r s a t u a n b a n g s a . P e n g g e r e b e k a n d a n penggusuran terhadap mereka yang secara ekonomi dan sosial terpinggirkan, juga terhadap pemeluk agama lain, bisa berujung pada pelanggaran hak warga negara atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak, serta hak untuk bebas memeluk agama dan beribadah yang semuanya dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.

Hal yang paling membahayakan dari adanya ormas-ormas anarkis ini adalah melemahnya peran dan fungsi aparat pemerintah dan penegak hukum. Masyarakat akan melihat pemerintah dan penegak hukum tidak dapat menangani keberadaan ormas-ormas anarkis ini. Pembiaran dan tidak adanya tindakan tegas dari Pemerintah mengesankan bahwa Pemerintah bersama jajaran aparat penegak hukum tidak berdaya menghadapi berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan ormas. Apalagi untuk menangkap dan menghukum anggota-anggota dan pimpinan ormas anarkis. Sehingga, akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum.

Secara jelas dan komprehensif Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen hak asasi manusia telah melindungi hak dan kebebasan setiap orang untuk berserikat dan berkumpul. Aspirasi masyarakat yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan memang harus dilindungi dan dihormati. Namun, o r g a n i s a s i k e m a s y a r a k a t a n - o r g a n i s a s i kemasyarakatan ini juga harus tetap menghormati dan mempromosikan hak-hak asasi warga masyarakat lainnya.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah pembubaran terhadap ormas-ormas anarkis pengusung intoleransi merupakan pelanggaran hak asasi manusia?

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Demikian juga dengan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”. Dua regulasi ini diperkuat dengan Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005, yang menjamin “hak untuk berkumpul secara damai”.

Berdasarkan instrumen-instrumen hak asasi manusia tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak-hak

3

Apakah Pembubaran Ormas Anarkis

Melanggar HAM?

(15)

1. SBY: Bubarkan Ormas Bermasalah, 9 February 2011 -Tribunnews.com

2. Kapolri: Ormas Anarkis Harus Dibekukan, Beberapa Ormas Anarkis Versi Kapolri, August 30, 2010, sekilasindonesia.com. 3. Menggerus Noda Aksi Kekerasan Ormas, 6 September 2010 |

03.20 WIB, http://m.kompas.com/news/read/data/2010.09.06. 03203337

4. Lengkapnya lihat Pasal 21 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik 5. Aturan perundangan-undangan ini merupakan peninggalan

Orde Baru, yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dasar demokrasi, di mana setelah amandemen konstitusi, kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat dijamin sebagai hak asasi manusia oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Namun, apabila pelaksanaannya dilakukan melalui mekanisme pengadilan yang adil dan tidak memihak, tentulah masih relevan dengan konstitusi dan standar-standar hak asasi manusia internasional

untuk berserikat dan berkumpul tersebut merupakan suatu hak yang dilindungi. Tetapi hak-hak tersebut haruslah dilakukan dalam kerangka dan tujuan yang “damai”. Terlebih lagi, Kovenan Hak Sipil dan Politik juga telah menggarisbawahi bahwa “pembatasan terhadap hak untuk berserikat dan berkumpul (melalui ormas, misalnya) dapat dibatasi berdasarkan UU dan yang diperlukan dalam masyarakat nasional atau keamanan umum, ketertiban umum, (public order), serta untuk menjaga kesehatan atau kesusilaan umum atau melindungi hak dan kebebasan orang lain”.

Oleh karenanya, berdasarkan fakta-fakta, regulasi dan instrumen hak asasi manusia, pembubaran terhadap ormas anarkis yang didirikan tidak dimaksudkan untuk membuat kedamaian dapat dlakukan sepanjang berdasarkan UU atau keamanan umum, ketertiban umum, serta untuk menjaga kesehatan atau kesusilaan umum atau melindungi hak dan kebebasan orang lain, dan yang paling penting adalah, dilakukan melalui mekanisme pengadilan yang adil dan tidak memihak.

Secara yuridis pembubaran ormas anarkis dimungkinkan. Sarana yang dapat digunakan adalah melalui UU No 8 tahun 1985 tentang Ormas dan PP No 18 tahun 1986 , yakni dengan melakukan pembekuan terhadap suatu organisasi, terutama terhadap suatu organisasi yang nyata melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum (pasal 13 ayat (a) UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan). Berdasarkan ketentuan Pasal 19 PP 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, kegiatan-kegiatan yang dikualifikasi mengganggu keamanan dan ketertiban umum meliputi:

a. menyebarluaskan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan;

b. memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa;

c. merongrong kewibawaan dan/atau mendiskreditkan Pemerintah; d. menghambat pelaksanaan program

pembangunan;

e. kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Memang aturan ini belum pernah dicabut dalam arti masih berlaku hingga sekarang. Namun mengingat konteks kelahiran aturan ini yang digunakan oleh rezim otoriter Orde Baru untuk membungkam kebebasan berserikat dan berekspresi, maka penggunaan dua aturan ini mengandung legitimasi yang lemah.Cara lain yang efektif dan masih dalam koridor negara hukum yakni melalui pengajuan pembubaran organisasi ke pengadilan. Ada due process of law di sini. Putusan menyetujui atau

4

5

Cara Pembubaran Ormas Anarkis

menolak berada di tangan majelis hakim, tidak di tangan rezim berkuasa.

Kita tentu masih ingat, permohonan pembubaran Partai Golkar beberapa tahun setelah Soeharto tumbang. Pada pertengahan 2001, sejumlah perwakilan masyarakat menggugat pembubaran partai berlabang beringin ini karena dianggap melanggar UU Pemilu 1999 mengenai batas maksimum penerimaan sumbangan partai, selain diduga menerima dana aliran kasus korupsi Bank Bali. Kasusnya memang lain dengan ormas anarkis. Jika ormas anarkis dituntut karena aksi kekerasan yang mengancam hak atas rasa aman dan kebebasan berkeyakinan, maka Partai Golkar dituntut pembubarannya karena korup. Pada waktu itu Mahkamah Agung yang menyidangkan gugatan ini menolak pembubaran.

Terlepas dari putusan MA yang menolak permohonan penggugat, namun belajar dari kasus Partai Golkar, tampaknya gugatan pembubaran organisasi sangat dimungkinkan. Dengan memilih jalur pengadilan maka kita masih mengedepankan due process of law. Mempercayakan proses hukum pembubaran organisasi melalui pengadilan adalah cara yang legal dan legitimasinya kuat. Sekarang tinggal siapa yang akan melakukannya terhadap organisasi-organisasi massa anarkis.

Keterangan

(16)

monitoring sidang

sekitarnya dan berujung pada penghancuran dan pembakaran rumah serta harta benda warga Cisalada.

Meskipun penyerangan terhadap Kampung Cisalada dilakukan oleh jumlah pelaku yang banyak, anehnya persidangan hanya memeriksa tiga orang terdakwa saja. Selain Akbar Ramanda, terdakwa lainnya adalah Aldi Afriansyah (21 tahun) dan Dede Novi (19 tahun). Ketiganya didampingi kuasa hukum San Alauddin S.H. Bertindak selaku penuntut umum adalah Jaksa Aji, S., S.H. dan Suprapti, S.H. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari: Astriwati, S.H., Sri Sulastri, S.H., dan Alfon, S.H., M.H.

Persidangan kasus penyerangan kampung Cisalada digelar dalam dua bagian. Persidangan tertutup untuk umum dilakukan terhadap terdakwa yang masih di bawah umur, yakni Akbar Ramanda. Sedangkan persidangan terbuka untuk umum diperuntukkan para terdakwa yang sudah dewasa, yakni Aldi Afriansyah dan Dede Novi. Mereka didakwa oleh Penuntut Umum Pasal 170 jo. Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau melakukan kekerasan bersama-sama terhadap barang yang ancaman hukumannya mencapai 5 tahun 6 bulan penjara.

Dalam persidangan tersebut juga dihadirkan saksi-saksi, baik yang memberatkan para terdakwa maupun yang meringankan. Beberapa warga Cisalada dihadirkan oleh Penuntut Umum sebagai saksi yang memberatkan. Sementara untuk saksi yang meringankan dihadirkan dari warga sekitar Cisalada. Sidang juga menghadirkan korban insiden penusukan saat penyerangan pertama ke Kampung Cisalada terjadi. Yang agak janggal, sidang juga menghadirkan saksi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), padahal semestinya tidak ada relevansi saksi dengan perkara penyerangan ini, kecuali saksi ada pada saat penyerangan terjadi.

Hakim terkesan tidak imparsial dalam menyidangkan perkara tersebut. Dalam pemeriksaan saksi korban, hakim tampak menekan saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tertuju pada keyakinan saksi. Pertanyaan demikian membuat saksi menjadi gugup. Belum lagi, ditambah tekanan dari massa yang menghadiri persidangan sambil meneriakkan ancaman dan hujatan terhadap keyakinan saksi.

Situasi Persidangan

S

idang kasus penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Kampung Cisalada pada 1 Oktober 2010 lalu akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Kelas 1B Cibinong Kabupaten Bogor sejak 17 Januari 2011. Penyerangan dilakukan ratusan warga Kampung Kebon Kopi dan Pasar Salasa Desa Ciampea Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor terhadap warga Kampung Cisalada yang terletak di desa yang sama.

Dalam penyerangan ini setidaknya satu buah masjid, madrasah, empat unit rumah, satu unit mobil, dan dua unit motor habis dibakar. Sementara 24 unit rumah rusak, dan harta benda lainnya dijarah. Penyerangan yang dilakukan sekitar pukul delapan malam merupakan penyerangan kali kedua, dimana satu jam sebelumnya, telah terjadi penyerangan dalam skala kecil.

Salah seorang terdakwa, Akbar Ramanda, termasuk dalam penyerangan pertama. Pada penyerangan pertama ini diduga terjadi insiden penusukan terhadap salah seorang penyerang yang bernama Rendi. Tapi kemudian tersiar isu bahwa ia tertusuk hingga tewas oleh pihak Ahmadiyah. Isu ini yang kemudian menyulut reaksi meluas warga

Perkembangan Sidang

Kasus Penyerangan Ahmadiyah Cisalada

1

Oleh

Atika Yuanita dan F. Yonesta

(Asisten Pengacara Publik dan Pengacara Publik LBH Jakarta)

(17)

monitoring sidang

Aksi Massa Anarkis

Penjagaan Aparat

Tuntutan

Persidangan kasus ini kerap diwarnai oleh aksi massa pendukung para terdakwa sejak awal. Massa yang menggelar aksinya di depan Pengadilan Negeri Cibinong, menuntut majelis hakim untuk membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan. Terlihat keterlibatan beberapa ormas radikal seperti Gerakan Reformasi Islam (GARIS) dan Persatuan Umat Islam (PUI) di dalam aksi tersebut. Salah seorang massa aksi mengaku bahwa kegiatan aksi mereka dibiayai oleh Kepala Desa Ciaruteun.

Pada persidangan kedua, 26 Januari 2011, bahkan sempat terjadi kericuhan yang dilakukan oleh massa aksi. Sempat terjadi aksi saling dorong dengan aparat yang berjaga karena massa memaksa masuk. Setelah bernegosiasi, akhirnya aparat mengijinkan perwakilan massa untuk masuk mengikuti persidangan. Massa yang berada di luar terus membuat kerusuhan. Mereka meneriakkan ancaman dan kecaman terhadap saksi dari pihak Ahmadiyah. Terdengar teriakan massa yang bernada ancaman bahwa mereka mengetahui dimana anak saksi sekolah. Massa juga menuduh bahwa sidang tersebut merupakan rekayasa Ahmadiyah. Massa menuntut pembubaran Ahmadiyah, serta menuntut agar para terdakwa dibebaskan. Massa sempat mengejar sebuah mobil di pelataran parkir pengadilan, akan tetapi ternyata yang berada dalam mobil tersebut adalah jaksa.

Begitu pula pada persidangan tanggal 2 Februari 2011. Meskipun jauh berkurang dari sidang sebelumnya, namun massa masih melakukan kericuhan dan intimidasi. Massa bahkan sempat melakukan sweeping saksi dari pihak korban. Massa masih tetap meneriakkan berbagai ancaman dan intimidasi. Ancaman serius terjadi pada sidang tanggal 9 Februari 2011, dimana terdengar teriakan bahwa orang Ahmadiyah boleh dibunuh, dan mayatnya tidak perlu dikubur.

Selama persidangan berlangsung, aparat kepolisian dan tentara terlihat melakukan penjagaan. Jumlah aparat kepolisian yang berjaga mencapai ratusan personel, lebih banyak dari pada personel tentara yang hanya berjumlah puluhan saja.

Aparat berjaga di luar gedung pengadilan untuk mengendalikan massa. Sementara belasan anggota kepolisian terlihat berjaga pas di depan pintu masuk ruang sidang. Hal ini dilakukan untuk membatasi jumlah massa yang berusaha memadati ruang sidangyang dapat mengganggu jalannya persidangan.

Meskipun ancaman hukuman perbuatan para terdakwa sebagaimana didakwakan mencapai 5

tahun 6 bulan penjara, anehnya Penuntut Umum hanya menuntut para terdakwa dengan hukuman penjara yang begitu rendah. Untuk para terdakwa dewasa, Penuntut Umum hanya menuntut hukuman selama 10 bulan penjara dengan 1 tahun masa percobaan. Sedangkan, untuk terdakwa anak, penuntut umum menuntut hukuman 5 bulan penjara dengan 8 bulan masa percobaan.

T u n t u t a n d e m i k i a n m e n u n j u k k a n ketidakseriusan penuntut umum dalam penegakan hukum, jika dibandingkan dengan besarnya kerusakan dan kerugian yang dialami warga Cisalada atas penyerangan yang terjadi. Begitu rendahnya tuntutan itu tidak akan membuat para pelaku jera ataupun bagi kelompok yang melakukan aksi anarkis. Rendahnya tuntutan j a k s a p u l a s a n g a t p o t e n s i a l m e n d o r o n g penyerangan-penyerangan serupa di masa mendatang.

shock therapy

1. Disarikan dari hasil pemantauan lapangan sidang penyerangan Kampung Cisalada di Pengadilan Negeri Cibinong Bogor, yang nama para pemantaunya tidak dapat disebutkan dalam tulisan ini.

Keterangan

Masjid Ahmadiyah yang dibakar dan dirusak masa dijaga pihak kepolisian dok: gresnews.com.com

(18)

K

omersialisasi sawit sebagai salah satu komoditas di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1911 oleh kolonial Belanda. Mula-mula sawit didatangkan dari Afrika Barat dan mulai ditanam di dua daerah perkebunan, yaitu Pulo Raja dan Tanah Itam, Sumatera Utara. Seiring waktu berjalan, perkebunan sawit di Indonesia berkembang makin luas dan menyebar. Hingga ini total luas kebun sawit sudah mencapai lebih dari 9,4 juta Ha. Perusahaan nasional dan Malaysia mendominasi pasar dan telah memproduksi sekitar 90% dari total produsi sawit se-dunia. Sejak awal tahun 1990an, tingkat produksi tahunan Indonesia lebih besar jika dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Malaysia sehingga tak heran jika pada tahun 2006 Mentan Anton Apriyanto menyatakan bahwa Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia.

Massifnya ekspansi perkebunan sawit di Indonesia tentu memiliki dampak. Perkebunan sawit telah nyata melahirkan konflik agraria terutama konflik lahan yang merupakan warisan kolonial di perkebunan dan hingga sekarang terus berlanjut melalui UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi perusahaan untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas. Hal ini perlu dilihat sebagai kebangkitan kembali kebijakan zaman kolonial, yaitu onderneeming ordonantie dan agrarische wet 1870 yang menjamin penguasaan lahan selama 75 tahun. Sebenarnya kebijakan kolonial sudah dikoreksi UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Akibatnya kini tak hanya kondisi kolonialisme kembali muncul, petani yang memperjuangkan tanah dan penghidupannya pun tergusur, bahkan mereka menjadi sasaran kriminalisasi.

Pada tahun 2011 ekspansi perkebunan sawit genap berusia 100 tahun. Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) merayakannya melalui acara “Peringatan Seratus Tahun Komersialisasi Sawit di Indonesia” yang diadakan di Tiara Convention Hall, Medan, Sumatera Utara pada 28-30 Maret 2011. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk meluruskan kampanye negatif terhadap industri Perkebunan sawit.

1

2

Menandingi GAPKI

Perayaan oleh GAPKI sebagai sebuah keberhasilan ekonomi dalam sektor sawit telah mengaburkan realitas konflik yang menjadi gambaran s e s u n g g u h n y a b a g i i n d u s t r i p e r k e b u n a n . Keuntungan besar yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya didasari pada ketersediaannya lahan dari petani skala kecil, masyarakat adat, dan eksploitasi buruh.

Menanggapi perayaan GAPKI tersebut, sejumlah organisasi nonpemerintah mengadakan acara yang bisa disebut “tandingan” demi mengimbangi informasi yang akan dikonsumsi masyarakat tentang perkebunan sawit. Acara tersebut dinamakan Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia, diselenggarakan pada 27-29 Maret 2011 yang juga dilaksanakan di Medan. Konferensi ini diorganisir sebagai sebuah forum di mana masyarakat, pers, pembuat kebijakan, konsumen dan pengusaha dapat memiliki kesempatan yang sama dalam melihat gambaran utuh dari eksistensi perkebunan sawit, juga untuk meningkatkan kesadaran bersama-sama akan hubungan sawit dengan isu-isu penebangan hutan, perubahan iklim, kedaulatan pangan, dan pelanggaran HAM. Selain itu, dalam acara tersebut juga terdapat kesempatan bertukar pikiran dan ide, serta mencari solusi atas keadaan tersebut.

Acara ini dibuka pada Minggu, 27 Maret 2011 oleh Ketua Komnas HAM Republik Indonesia, Ifdhal Kasim yang memukul gong sebagai simbol pembukaan di Balai Rasa Sayang, Hotel Polonia, Medan. Kemudian acara dilanjutkan dengan seminar pembuka dengan tema “Kejahatan dan Pelanggaran Hak Asasi Yang Melibatkan Korporasi Perkebunan Sawit: Kelemahan Kerangka Kerja Akuntabilitas Hukum dan Dampaknya Terhadap Hak-hak Korban”. Hadir sebagai narasumber, yaitu George Junus Aditjondro, Ifdhal Kasim, Abetnego Tarigan (Sawit Watch), Septer Manufandu (Fokker LSM Papua), dan Emerson Juntho (ICW) dengan moderator Wahyu Wagiman dari ELSAM.

Sessi berikutnya juga seminar yang kemudian dibagi menjadi tiga paralel. Pada satu seminar yang bertema “Realitas Perburuhan & Marginalisasi di Sektor Perkebunan” hadir sebagai

Dari Seminar sampai Aksi Massa Menentang Ekpansi Sawit

Seabad (Kejahatan) Perkebunan Sawit

Oleh

Andi Muttaqien

(Staf Program ELSAM)

nasional

(19)

pembicara yaitu: Manginar Situmorang (KPS), Dr. Oliver Pye (Uni Bonn, Jerman) dan Indriaswati Dyah Saptaningrum (ELSAM). Kemudian malam hari para peserta konferensi diajak menonton film-film bertema ekspansi sawit, hutan dan lingkungan di Asrama Haji Medan.

Hari kedua konferensi, Senin 28 Maret 2011, dilaksanakan dua seminar bertema “Laju Deforestasi Implikasi Dari Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit” dan “Krisis Pangan dan Ekspansi Perkebunan Sawit” masing-masing di ruangan berbeda di Hotel Tiara Medan yang juga berlangsung perayaan seratus tahun sawit oleh GAPKI. Saat itu sempat terjadi ketegangan antara peserta dengan pihak hotel, karena atas desakan GAPKI, pihak hotel berencana menurunkan spanduk milik Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), meskipun akhirnya batal diturunkan.

Pada hari kedua juga peserta konferensi alternatif tersebut mendeklarasikan “Satu Abad Kejahatan Korporasi Sawit di Indonesia” yang dibacakan masing-masing perwakilan lembaga.

Pasca deklarasi pada hari ketiga, Selasa, 29 Maret 2011, masih dalam rangkaian acara konferensi alternatif peringatan 100 tahun sawit di Indonesia, p e s e r t a m e l a k u k a n a k s i m a s s a u n t u k mengkampanyekan bersama-sama kejahatan yang telah disebabkan karena adanya perkebunan sawit. Dimulai dari Gedung DPRD Sumut menuju Hotel Tiara dimana terdapat perayaan yang dilaksanakan GAPKI.

Sesampai di depan Hotel Tiara, peserta aksi bergantian berorasi tentang kejahatan sawit, sontak aksi ini membuat pihak GAPKI terkejut, bahkan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti yang menjadi salah seorang narasumber di acara GAPKI sempat meninggalkan ruangan dan tak kembali karena adanya aksi massa tersebut. Sempat terjadi ketegangan antara pihak keamanan GAPKI dengan demonstran, karena saat itu massa membakar replika bola bumi sebagai simbol terbakarnya dunia akibat ekspansi sawit yang merusak hutan. Peserta aksi juga menampilkan sebuah opera singkat yang menceritakan tentang kongkalikong antara pengusaha dan pejabat dalam usaha penerbitan izin beroperasinya perusahaan perkebunan sawit.

Dengan membacakan naskah Deklarasi di depan Hotel Tiara tempat dilaksanakannya “Peringatan Seratus Tahun Komersialisasi Sawit di Indonesia” oleh GAPKI, para peserta aksi massa diwakili Saurlin Siagian, Koordinator Komite Eksekutif menyikapi kejahatan korporasi perkebunan sawit,

3

d e n g a n m e n u n t u t d i h e n t i k a n n y a e k s p a n s i perkebunan sawit kepada Pemerintah. Selain itu demonstran juga menuntut pencabutan UU No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Massa juga mendesak pemerintah untuk mengembalikan tanah rakyat yang dirampas serta menyediakan lahan untuk pertanian pangan. Kepada Bank Internasional, Bank Nasional, dan Bank Asing massa menuntut agar menghentikan kredit kepada korporasi dalam rangka ekspansi sawit. Perusahaan sawit juga dituntut untuk menghentikan sistem perbudakan modern yaitu buruh murah dalam bentuk Buruh Kontrak, Buruh Harial Lepas di industri perkebunan kelapa sawit.

Selesai menyampaikan deklarasi di depan Hotel Tiara, Medan, peserta aksi melanjutkan long march ke Kantor Gubernur Sumatera Utara dan aksi berakhir di sana. Acara yang telah digagas 6 (enam) bulan sebelumnya ini diselenggarakan oleh 35 Organisasi Non Pemerintah (Ornop) se-Indonesia, yaitu: Perserikatan KPS, Lentera, Perkumpulan KOTIB, Walhi Sumut, ELSAM, Bitra Indonesia, Sawit Watch, ELSAKA, Serikat Petani Indonesia, Sintesa, Kontras Sumut, HAPSARI, PBHI Sumut, KSPPM, SPKS, Petra, LBH Medan, KPA, BPRPI, Jala, Gemawan Kalbar, Walhi Kaltim, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau, Fokker LSM Papua, YPMP, Formatsu, WABPIS, Bakumsu, JPIC MSC, UEM, Green Peace dan ADS

1. Abetnego Tarigan, Pelanggaran HAM Korporasi: Dampak Terhadap Masyarakat Lokal, makalah disampaikan pada Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia, Medan, 27 Maret 2011, hal.3.

2. Industri Sawit Masih Terhambat Black Campaign, Senin 28 M a r e t 2 0 11 , l i h a t : h t t p : / / w w w. m e d a n b i s n i s d a i l y. com/news/read/2011/03/28/26160/industri_sawit_masih_terh ambat_black_campaign/.

3. Pembukaan Konferensi Seabad Sawit Didemo, Selasa, 29 Maret 2011, lihat:http://regional.kompas.com/read/ 2011/03/29/15231450/Pembukaan%20Konferensi%20Seab ad%20Sawit%20Didemo.

Keterangan

Gambar

Tabel 1: Mandat Pembentukan KKR

Referensi

Dokumen terkait

Seleksi primer dilakukan berdasarkan tingkat ketebalan pita dan polimorfik dari 11 primer yang sukses amplifikasi untuk analisis RAPD tanaman Nepenthes.. Hasil Amplifikasi pada

Penyajian dan Analisis Data Uji Coba Bahan Ajar Berdasarkan Aspek Isi Data dari aspek isi bahan ajar diperoleh dari uji coba dengan ahli materi pidato, ahli

Halmahera Tengah, Propinsi Maluku Utara pasca kegiatan penambangan nikel yang dapat merupakan bahan pertimbangan untuk merumuskan kebijakan, strategi, rencana program dan

Majalengka, 31 Mei 2011 Sub Total Kelas XII. Total Seluruh Kelas Sub Total

Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa untuk menggagalkan RUU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang telah disetujui DPR. Dari segi pelaku

Hasil penelitian dengan α = 5% adalah (1) ada pengaruh yang signifikan antara penggunaan pendekatan saintifik berbasis Comcept Map dan Mind Mapping terhadap prestasi

No. Berdasarkan proses terjadinya tsunami, kita seharusnya dapat belajar dengan memperkirakan kapan terjadi tsunami tersebut. Perkiraan itu dapat diketahui melalui ciri-cirinya. 2)

sedangkan yang dilakukan pada untuk mengatisipasi pasien yang belum Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Nuning Versianita, Rini Sovia dan l “Perancangan