• Tidak ada hasil yang ditemukan

manusia; (2) hak asasi manusia yang dikaitkan kepada hak yang diciptakan berdasarkan proses hukum dari sebuah masyarakat, baik secara nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "manusia; (2) hak asasi manusia yang dikaitkan kepada hak yang diciptakan berdasarkan proses hukum dari sebuah masyarakat, baik secara nasional"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

A. LATAR BELAKANG

Hak asasi manusia merupakan hak mendasar yang tak dapat dipisahkan dari individu sebagai seorang manusia yang melekat sejak ia dilahirkan. Hak asasi manusia memiliki dua pengertian dasar yaitu : (1) hak yang melekat kepada individu dalam hakekatnya sebagai seorang manusia; (2) hak asasi manusia yang dikaitkan kepada hak yang diciptakan berdasarkan proses hukum dari sebuah masyarakat, baik secara nasional maupun internasional1. Pada era globalisasi informasi, hak asasi manusia merupakan salah satu isu aktual. Keberadaan hak asasi manusia semakin disadari oleh masyarakat sebagai hal yang penting. Hak asasi manusia yang mereka miliki dirasakan wajib dihargai oleh orang lain serta dilindungi oleh negara.

Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya, termasuk hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negaranya. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengakui keberadaan hak asasi manusia sebagai hak fundamental setiap warga negara. Hal tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum2. Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon mengakui keterkaitan antara hak asasi manusia dan negara hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari beberapa pandangan mengenai prinsip maupun ciri khas dari suatu negara hukum sebagai berikut :

1 Leah Levin, 1981, Human Rights : Question & Answers, Unesco Press, hlm. 11. 2

(2)

Ikrar Athena 1955 dari International Commission of Jurist mengemukakan bahwa sebagai prinsip utama negara hukum (rule of law) ialah 3:

1. Negara harus tunduk kepada hukum;

2. Pemerintah harus menghormati hak-hak individu di bawah

rule of law;

3. Hakim-hakim harus dibimbing oleh rule of law, melindungi dan menjalankan tanpa takut, tanpa memihak, dan menentang setiap campur tangan oleh pemerintah atau partai-partai terhadap kebebasannya sebagai hakim.

Simposium Indonesia Negara Hukum tahun 1966 merumuskan bahwa ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum ialah4:

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural, dan pendidikan.

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak yang tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan / kekuatan lain apapun;

3. Legalitas, dalam arti hukum baik formal maupun materiil.

3

Ellydar Chaidir, 2007, Negara Hukum, Demokrasi, dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm.33

(3)

Sedangkan Frederich Julius Stahl seperti yang dikutip oleh Bahder Johan Nasution mengemukakan empat ciri-ciri negara hukum yang klasik (formalrechtsstaat), yaitu5 :

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan

3. Adanya pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid

vanbestuur); dan

4. Adanya peradilan tata usaha negara.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat dilihat bahwa hak asasi manusia selalu tercantum dalam unsur negara hukum. Hal tersebut menunjukkan hak asasi manusia memiliki kedudukan yang penting dalam sebuah negara. Hak asasi manusia secara tidak langsung turut berpengaruh dalam pemerintahan suatu negara. Kebijakan politik, ekonomi, maupun hukum menjadi bidang yang bersisian dengan hak asasi manusia.

Di Indonesia, perkembangan hak asasi manusia memiliki catatan yang tidak baik. Perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial lainnya mewarnai lembaran hak asasi manusia di negeri ini. Tidak hanya perilaku yang tidak adil dan diskriminatif, tindak kejahatan yang termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross

violation of human rights) juga terjadi di Indonesia seperti

5 Bahder Johan Nasution, 2012, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung,

(4)

penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa, dan menghilangkan nyawa.

Pelanggaran-pelanggaran itu menjadi sebuah cerminan bahwa penegakan serta perlindungan HAM di Indonesia belum maksimal. Jika dalam suatu negara HAM dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak dapat diatasi secara adil, maka negara tersebut tidak dapat disebut sebagai negara hukum dan demokrasi dalam arti sesungguhnya6. Sebuah kontradiksi bagi Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum.

Permasalahan HAM di Indonesia mulai mendapat perhatian pada masa orde baru. Pemberangusan HAM yang terjadi membuat Indonesia sebagai negara dengan penegakan HAM yang lemah. Namun, saat rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun itu runtuh, muncul optimisme yang kuat akan proses penegakan hukum yang adil, fair, dan transparan; jauh dari pengaruh intervensi kekuasaan. Usaha untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis pun mulai dilakukan yaitu penghapusan pelbagai undang-undang yang bertentangan dengan HAM serta perubahan terhadap UUD 19457.

Desakan internasional untuk segera menangani kasus HAM yang terjadi membuat pemerintahan pada masa BJ Habibie membuat

6 Suparman Marzuki, 2011, Tragedi Politik Hukum HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.11 7

(5)

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang diteruskan oleh pemerintahan Gus Dur dengan pembentukan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, pembentukan undang-undang tersebut ternyata belum dapat menyelesaikan masalah HAM di Indonesia secara tuntas. Penegakan atas aturan tersebut tergolong belum maksimal.

Ketidakseriusan penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat dapat diambil contoh dari kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Tragedi kemanusiaan tersebut ditanggapi oleh DPR RI dengan membentuk pantia khusus (pansus) DPR dengan Surat Keputusan (SK) DPR RI Nomor 29/DPR-RI/III/2000-2001 tanggal 15 Januari 2000 yang mulai bekerja semenjak bulan November 2000 hingga Juli 20018. Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban penyelesaian kasus ini9 : 1) Kelompok pandangan pertama yang mengusulkan rekomendasi

penyelesaian melalui Pengadilan Umum atau Militer dengan alasan-alasan sebagai berikut :

a. Semangat yang mendasari kerja pansus adalah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut secara objektif, adil, dan transparan guna memperoleh kejelasan dari kejadian yang sebenarnya untuk dapat dicarikan solusi penanganannya secara tepat sehingga kasus tersebut dapat diselesaikan. Dengan demikian,

8 Lihat “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Proses Demokratisasi” Laporan

Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPR RI pada Sidang Tahunan MPR RI, Tahun 2000-2001, Jakarta, 2000-2001, hlm. 498-499.

9 Suparman Marzuki, 2012, Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity, Erlangga,

(6)

proses pembentukan dan kerja pansus serta kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan sudah semestinya dijauhkan dari upaya politisasi kasus-kasus tersebut dalam rangka mendapatkan popularitas, atau karena adanya tekanan dan perintah politik tertentu yang kesemuanya bias, akan menghasilkan analisis dan kesimpulan yang bias atau cenderung menihilkan fakta. Pansus juga harus berpijak pada komitmen bahwa penegakan HAM tidak boleh dilakukan dengan cara melanggar prinsip-prinsip HAM. b. Secara faktual pansus mencatat bahwa dalam ketiga kasus tersebut (Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II), antara kasus yang satu dan yang lain sangat berbeda dan tidak ada hubungannya sama sekali. Kasus Trisakti dilakukan oleh gerakan mahasiswa yang bertujuan menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto. Kasus Semanggi dilakukan untuk menggagalkan Sidang Istimewa MPR dan menuntut pembentukan apa yang disebut Presedium Pemerintahan Rakyat. Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa untuk menggagalkan RUU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang telah disetujui DPR. Dari segi pelaku ,demonstran, dan aparat keamanan yang bertugas saat itu juga berbeda dengan yang lainnya.

c. Dengan pendekatan yang didasarkan atas cara pandang tersebut, baik pada saat sebelum terjadinya peristiwa, saat peristiwa, maupun setelah peristiwa, bentuk-bentuk “partisipasi politik”

(7)

masyarakat tersebut merupakan suatu momentum yang berbeda-beda, baik dalam dimensi hubungan peristiwa, metode pangamanan, kebijakan yang diputuskan, dan perencanaan yang dilakukan. Dengan demikian, ketiga kasus tersebut merupakan kasus yang berdiri sendiri, tidak terkait satu sama lain, dan tidak bisa dibuktikan.

d. Jika dikaitkan dengan aspek penanganan dari partisipasi politik, pola penanganan juga berbeda-beda walaupun pada kenyataan peristiwa-peristiwa tersebut telah menimbulkan korban. Hal ini tampaknya tidak dapat dihindari oleh aparat keamanan meningat adanya partisipasi politik yang berlebihan dari masyarakat sehingga sebagian personil keamaan terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

e. Berdasarkan kriteria-kriteria Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, kelompok pandangan ini berpendapat bahwa ketiga peristiwa tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Hal ini antara lain dikarenakan bahwa dalam ketiga kasus tersebut sama sekali tidak terpenuhi unsur “sistematis”, “terencana”, ataupun “konseptual” serta “meluas”. Unsur “sistematis” tidak terpenuhi karena rezim dan kasusnya berbeda. Unsur “terencana” ataupun “konseptual” tidak terpenuhi karena rezim, tujuan, kasus, dan tujuannya berbeda. Di samping itu, tidak

(8)

terdapat perintah baik lisan maupun tertulis untuk menggunakan peluru tajam. Unsur “meluas” tidak terpenuhi karena rezim, tujuan, dan sasaran pengamanan serta lokasi dan kejadiannya juga berbeda. 2) Kelompok kedua mengusulkan atau merekomendasikan

pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut10:

a. Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan oleh aparat keamanan saat membendung aksi protes yang dimotori oleh mahasiswa di berbagai tempat. Meskipun tidak terbukti efektif, penggunaan kekerasan tetap terus-menerus dipilih. Penggunaan alat-alat dan senjata api oleh aparat keamanan itu mengakibatkan korban tewas dan luka-luka pun berjatuhan dari kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya yang mendukung aksi mahasiswa. Dengan dominannya penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan, wajar menurut pengusung pandangan ini jika jatuhnya banyak korban bukan karena kesalahan prosedur, tetapi justru hasil dari prosedur yang memang telah digariskan. Meninggalnya warga sipil sudah merupakan pelanggaran HAM yang berat karena telah merampas hak paling dasar dari manusia, yaitu hak untuk hidup yang harus dilindungi oleh negara yang tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun.

10

(9)

b. Keterangan yang dihimpun oleh pansus terungkap bahwa pelaku penembakan peristiwa TSS diduga adalah aparat keamanan. Dalam ketiga peristiwa tersebut, terdapat persamaan bahwa bentrokan antara massa pengunjuk rasa dengan aparat keamanan selalu berakhir dengan penembakan yang berakibat jatuhnya korban. Oleh karena itu, pengusung pandangan ini berkeyakinan bahwa ketiga peristiwa merupakan tindakan berencana, bukan kesalahan prosedur atau reaksi spontan para prajurit di lapangan. Untuk itu, kelompok ini menyarankan perlunya diupayakan suatu tindakan hukum yang optimal, transparan, acceptable, dan capable. c. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan dalam poin pertama dan kedua, kelompok ini mengajukan tiga pilihan dengan tiga catatan sebagai bahan pertimbangan, yaitu sebagai berikut :

1) Merekomendasikan pembentukan KPP HAM kepada Komnas HAM guna penyelidikan lebih lanjut, kemudian Komnas HAM mengajukan kembali hasil penyelidikan kepada DPR.

2) Merekomendasikan penerbitan Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc guna penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus ini dan menuntaskannya.

3) Diselesaikan melalui Pengadilan Umum. Menurut kelompok ini, jika pilihan ketiga yang diambil, akan

(10)

menutup kemungkinan proses penyelidikan lebih lanjut oleh institusi yang kompeten melakukan penyelidikan guna menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat atau tidak.

Rapat pleno Pansus ternyata tidak mencapai mufakat bulat sehingga pengambilan keputusan dilakukan melalui voting. Hasil voting tersebut menyatakan bahwa kasus TSS bukan pelanggaran HAM yang berat sehingga merekomendasikan diteruskan ke Pengadilan Militer11. Keputusan tersebut menjadi sebuah bukti bahwa memang penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang berat kerap terkendala.

Keputusan untuk menangani pelanggaran HAM yang berat yang berujung dengan diadilinya tersangka hanya di Pengadilan Militer juga terjadi dalam kasus yang penulis angkat pada penulisan hukum ini yaitu penghilangan paksa aktivis pada tahun 1997/1998. Kasus penghilangan paksa merupakan masalah pelanggaran HAM yang pelik karena memiliki keterkaitan erat dengan permasalahan politik. Setelah terjadi konflik situasi yang disusul dengan peristiwa G 30 S di tahun 1965, lahir rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto atas pengejewantahan dari Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar). Ketika Orde Baru muncul, rakyat mengharapkan sebuah pemerintahan

11

(11)

yang jauh lebih baik daripada Orde Lama dalam berbagai bidang kehidupan.

Republik yang besar ini diharapkan untuk tidak melupakan sejarah dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di masa lalu. Kejadian pembantaian terhadap golongan berideologi tertentu pada tahun 1965-1966 sudah sepatutnya tidak dilupakan dan menjadi sebuah pelajaran agar tak mengulangi hal yang sama. Namun, kenyataan tak berjalan dengan adagium yang dicetuskan maupun harapan yang disuarakan. Pada tahun 1997/1998 terjadi pergolakan dan pertentangan di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintahan Soeharto dianggap gagal untuk membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mulai menggerogoti bangsa dan merintis sebuah kesengsaraan. Harga barang yang mencekik, inflasi yang membumbung tinggi, dan kasus-kasus kekerasan menjadi topik utama media dan pembicaraan masyarakat. Kondisi tersebut mengobarkan semangat juang di antara rakyat untuk melakukan revolusi. Para aktivis baik dari kaum mahasiswa, seniman, hingga buruh secara sendiri-sendiri maupun bersama mulai menyuarakan tuntutan kepada pemerintah Orde Baru. Protes keras dari para aktivis tersebut menimbulkan suatu kejadian yang menambah potret kelam HAM di Indonesia. Mereka yang aktif menyuarakan pendapat atas pemerintahan yang dianggap bobrok mengalami penangkapan atau penculikan secara misterius.

(12)

Kasus „penghilangan paksa‟ merupakan bagian dari sejarah dan pelanggaran HAM yang seharusnya tidak diabaikan begitu saja. Kekejaman atas pelanggaran hak untuk hidup sangat terasa dalam tindakan tersebut. Sangat disayangkan ketika penyelesaian akan kasus penghilangan paksa aktivis ini mengalami kemacetan.

Dewan Kehornatan Perwira (DKP) sempat dibuat oleh Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan oleh Puspom ABRI, selanjutnya diketahui adanya Tim Mawar yang dibentuk oleh Kopassus sebagai kelompok yang terlibat dan diduga bertanggungjawab dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998. Kasus ini akhirnya dilanjutkan hingga ke pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta yang menghasilkan keputusan berisi12 : Tabel 1.1. Daftar 11 Anggota Kopassus Terdakwa Penculikan Aktivis

1997/1998

No. Nama Terdakwa Vonis/Hukuman

1. Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan / dipecat 2. Kapten (Inf) F.S. Multhazar 20 bulan / dipecat 3. Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan / dipecat 4. Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat 5. Kapten (Inf) Untung Budi Harto 20 bulan / dipecat 6. Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda 16 bulan / dipecat

12 KontraS, “Kronik Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998”, diakses dari

http://kontras.org/data/Kronik%20kasus%20penculikan%20dan%20penghilangan%20paksa%20ak tivis%201997-1998, pada tanggal 6 Juni 2014.

(13)

7. Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan / dipecat 8. Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat

9. Sersan Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat

10. Sersan Kepala Sigit Sugianto 12 bulan / dipecat

11. Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat

Selanjutnya, pada tahun 2005-2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus ini. Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke proses penyidikan (Pasal 21 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000), namun Jaksa Agung sampai dengan saat ini tidak juga melakukan penyidikan, dengan alasan belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan telah digelar pengadilan militer untuk kasus ini (ne bis in

idem).

Kemacetan penyelesaian kasus penghilangan paksa sangat disayangkan mengingat desakan masyarakat akan penuntasan kasus penghilangan paksa di Indonesia terus disuarakan. Terutama dari keluarga korban penghilangan paksa tersebut. Para keluarga korban maupun korban dari penghilangan paksa bahkan mendirikan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan melaksanakan aksi Kamisan13 sebagai upaya dalam mengadvokasi kasus penghilangan paksa yang mereka alami.

13 Aksi Kamisan diinspirasi dari aksi yang dilakukan oleh para ibu dari korban penghilangan paksa

di Argentina sejak tahun 1977. Para ibu tersebut berkumpul setiap hari Kamis di Plaza de Mayo, Buenos Aires. Sedangkan pada Aksi Kamisan, korban dan keluarga korban melakukan aksi diam

(14)

Carut-marut penyelesaian kasus penghilangan paksa ini juga merupakan ekses dari kekaburan akan pengaturan pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Khususnya mengenai penghilangan paksa yang merupakan salah satu bentuk dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat. Aturan mengenai penghilangan paksa di Indonesia belum mempunyai pijakan yang kuat. Penghilangan paksa hanya disebutkan sekilas dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Tak heran apabila penyelesaian penghilangan paksa tersebut terkesan setengah hati sehingga para pelaku pun tidak pernah dihadapkan kepada Pengadilan HAM. Mereka malah diadili dalam Pengadilan Militer yang tentu saja tak menyentuh esensi dari kejahatan yang merupakan sebuah pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan hal-hal tersebut maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum berjudul “Penghilangan Orang Secara

Paksa sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia (Studi Kasus : Penculikan Aktivis 1997/1998)”.

B. RUMUSAN MASALAH

selama satu jam, pukul 16.00-17.00 WIB di depan Istana Merdeka. Aksi ini dilakukan pertama kali pada tanggal 18 Januari 2007.

(15)

1. Bagaimana pengaturan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN HUKUM

Dalam setiap penulisan hukum terdapat sasaran tertentu yang menjadi tujuannya. Berdasarkan hal tersebut maka penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan objektif :

a.) Mendapatkan penjelasan mengenai pengaturan tentang penghilangan paksa sebagai pelanggaran HAM yang berat di Indonesia;

b.) Mendapatkan penjelasan mengenai pelaksanaan penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 yang terjadi di Indonesia.

2. Tujuan Subjektif :

Mendapatkan data guna penyusunan penulisan hukum sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum UGM.

(16)

D. KEASLIAN PENULISAN HUKUM

Permasalahan penghilangan paksa telah menjadi objek kajian bagi beberapa pihak seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Pembahasan yang dilakukan membahas mengenai penanganan akan tindakan penghilangan paksa yang tersendat. Selanjutnya, pembahasan mengenai penghilangan paksa pernah dibuat oleh Irawan Saptono pada tahun 2004 yang berjudul „Penghilangan Paksa dan Ekseskusi di Luar Perintah Pengadilan : Metode Teror‟ dalam bentuk

Occasional Paper Series #1 milik ELSAM. Makalah tersebut membahas

penghilangan paksa secara umum seperti penjelasan pengertian „enforced

disappearance’ dan pengaturan penghilangan paksa dalam Statuta Roma.

Sedangkan dalam penulisan hukum ini akan dibahas mengenai pengaturan penghilangan paksa di Indonesia. Penelitian tersebut juga sedikit menyinggung mengenai kasus penculikan aktivis. Namun, hanya sebatas penyajian data mengenai korban penculikan dan dampak psikologis dari kasus penghilangan paksa. Makalah ini lebih menitikberatkan pada penghilangan paksa yang terjadi dalam daerah konflik seperti Aceh dan Papua. Sedangkan dalam penulisan hukum ini akan membahas mengenai kasus penculikan aktivis 1997/1998.

Perbedaan dengan penulisan hukum ini adalah dalam penulisan hukum ini akan dibahas mengenai pengaturan dan unsur-unsur Penghilangan Paksa sehingga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak

(17)

asasi manusia yang berat. Padahal, pengaturan mengenai pengertian pelanggaran hak asasi manusia yang berat sendiri masih kabur dan hanya dapat disimpulkan secara praktis dari pengkualifikasian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Penulisan hukum ini juga membahas mengenai pelaksanaa penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 yang telah dilakukan. Penyelesaian tersebut ditinjau secara hukum dan keefektifan dari upaya tersebut. Penulisan Hukum mengenai Penghilangan Paksa belum terdapat dalam kumpulan Penulisan Hukum di Fakultas Hukum UGM.

E. KEGUNAAN PENULISAN HUKUM

Penulisan hukum ini memiliki manfaat yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat akademis :

a. Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai penghilangan paksa sebagai pelanggaran berat HAM di Indonesia;

b. Memberikan kontribusi pemikiran dan pendapat terhadap ilmu hukum pada umumnya serta tindak pidana pelanggaran HAM yang berat berupa penghilangan orang secara paksa pada khususnya. 2. Manfaat praktis :

(18)

Memberi masukan kepada pihak yang terkait dalam permasalahan penghilangan orang secara paksa dan membantu dalam hal pemahaman atas permasalahan tersebut.

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM

Untuk memberikan kelancaran dalam penyusunan penulisan hukum ini maka digunakan sistematika penyusunan dan perincian sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian peneltian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan mengenai tinjauan umum tentang penghilangan paksa yang termasuk sebagai kejahatan kemanusiaan yang merupakan bentuk pelanggaran HAM yang berat.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang pengaturan mengenai sifat penelitian, sumber data, alat yang digunakan, hambatan, serta analisa data.

(19)

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang pengaturan mengenai penghilangan orang secara paksa sebagai pelanggaran HAM yang berat serta pelaksanaan penyelesaian kasus penghilangan aktivis 1997/1998 yang telah dilakukan di Indonesia.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran tentang permasalahan yang diteliti dan bentuk rekomendasi berupa saran perubahan.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian penjatuhan sanksi tindak pidana penjualan organ tubuh putusan nomor 1015/PID.B/PN.JKT.PST/2016 dalam pertimbangan hukum hakim menurut Penulis tidak sesuai

Bunyi nasal velar bersuara [ŋ] pada posisi akhir kata yang memang belum dikuasai Mia muncul sebagai bunyi nasal alveolar bersuara [n] seperti pada kata [?indin]

[r]

Ringan dan mudah untuk ditangani, belt conveyor Siegling Transilon dan belt modular Siegling Prolink mengganti belt karet berat konvensional dalam semua jenis belt pekerja dan

, pola pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan preferensi pemangku kepentingan adalah pola pengelolaan hutan produksi multikultur/agroforestri berbasis pemberdayaan

Rata-rata rugi daya yang direduksi dan kenaikan tegangan pada masing-masing phasa dengan pemasangan kapasitor daya (Tabel 4,5 dan 6) nilainya cukup kecil hal ini

Faktor dari diri informan yang menyebabkan informan menggukanakan narkoba adalah Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir , panjang

Penatausahaan aset tetap sangat terkait erat dengan administrasi atas pengelolaan aset tetap. Masalah administrasi ini yang paling banyak dijumpai di hampir setiap