• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

Status gizi adalah tanda tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat terutama di gambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson, 1989).

Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dua kualitatif (frekwensi makan dan cara mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara biokmia, dietetika, klinik dan antropometri (cara yang paling umum dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan). Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan Menurut Umur (BB/U). Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB). (Depkes RI,2005)

(2)

2.1.1 Faktor Penyebab Kurang Gizi

Faktor yang dapat berhubungan dengan status gizi balita adalah faktor biologis (umur, jenis kelamin, dan kesehatan anak) dan beberapa faktor perilaku seperti lama pendidikan orang tua, pemberian imunisasi (erat kaitannya dengan kunjungan ibu ke posyandu), pemberian kolostrum berhubungan dengan kejadian malnutrisi akut atau kronik. Pada umumnya kejadian malnutrisi (kurang gizi) dihubungkan dengan kondisi kemiskinan atau sosial ekonomi lemah dimana konsumsi makanan yang tidak adekuat disertai dengan penyakit infeksi yang berulang.

Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya kurang gizi pada anak balita, sebagaimana digambarkan pada bagan 2.1 yang diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan luas secara internasional. Dari bagan tersebut terlihat tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah di masyarakat dan akar masalah.

Oleh Soekirman (2000), bagan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

(3)

Bagan. 2.1 Penyebab Masalah Gizi, modifikasi Unicef dengan Soekirman 2000.

Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak yang tiak seimbang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup baik, maka

KURANG GIZI

Makan

Tidak Seimbang Penyakit Infeksi

Tidak Cukup

Persediaan Pangan Pola Asuh AnakTidak Memadai

Sanitasi dan Air Bersih /Pelayanan Kesehatan Dasar

Tidak Memadai

Kurang Pendidikan , Pengetahuan dan Keterampilan Kurang pemberdayaan wanita

dan keluarga , kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat

Pengangguran , inflasi , kurang pangan dan kemiskinan

Krisis Ekonomi , Politik , dan Sosial Dampak Penyebab langsung Penyebab Tidak langsung Pokok Masalah di Masyarakat Akar Masalah (nasional )

PENYEBAB MASALAH GIZI

PENYEBAB MASALAH GIZI

Kurang Gizi Makanan Tidak seimbang Seimbang Penyakit Infeksi Tidak Cukup Persediaan Pangan Pola Asuh Anak Tidak Memadai Sanitasi &Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai

Kurang Pemberdayaan Wanita & Keluarga, Kurang Pemanfaatan Sumberdaya

Masyarakat

Krisis Ekonomi, Politik & Sosial

(4)

daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Dalam kenyataan keduanya (makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Kedua, penyebab tidak langsung, yaitu : ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.

(5)

Berbagai faktor langsung dan tidak langsung diatas, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat Nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidak berdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidak tahuan pangasuhan anak yang baik, serta ketidak mampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Meningkatnya jumlah anak yang gizi buruk dibeberapa daerah di Indonesia sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga miskin akibat ekonomi, politik dan keresahan sosial yang melanda Indonesia sejak Tahun 1997.

2.1.2 Karakteristik Anak

Menurut Thaha, dkk (2004), bahwa beberapa faktor yang dapat berhubungan dengan status gizi balita adalah faktor biologis (umur, jenis kelamin, dan kesehatan anak) dan faktor perilaku seperti lama pendidikan orang tua, pemberian imunisasi, pemberian kolostrum berhubungan dengan kejadian malnutrisi akut atau kronik.

2.1.2.1 Usia Anak

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan dalam penentuan umur akan menyebabkan interprestasi status gizi menjadi salah (IDN.Supariasa, dkk (2002).

Anak usia balita adalah suatu masa yang rentan dan usia yang rawan , oleh karena pada masa tersebut anak mudah sakit dan mudah terjadi

(6)

kurang gizi. Masa balita merupakan masa pembentukan kepribadian anak, sehingga diperlukan perhatian khusus (Soetjiningsih, 1998).

2.1.2.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan dengan anak perempuan, namun belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut. Pada umumnya anak laki-laki membutuhkan zat gizi lebih banyak dari pada anak perempuan dalam hal tenaga dan protein. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas fisik sehingga memerlukan kalori yang lebih banyak dibandingkan anak perempuan (Soetjiningsih 1998dalamM. Soffa , 2012).

Pada masyarakat tradisional, perempuan mempunyai status yang lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga angka kematian bayi dan malnutrisi pada anak perempuan masih tinggi (Soetjiningsih, 1998dalamM. Soffa , 2012).

2.1.3 Karakteristik Keluarga 2.1.3.1 Pendidikan Ibu

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dalam mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

(7)

Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (A.Wawan dan Dewi M, 2010).

Menurut Notoatmodjo.S (2003), pendidikan adalah suatu usaha sadar dari seseorang untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan luar sekolah. Tingkat pendidikan yang rata-rata masih rendah terutama dikalangan wanita merupakan salah satu masalah pokok yang berpengaruh terhadap masalah kesehatan. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi pengetahuan mengenai penyediaan makanan yang baik.

Tingkat pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, khususnya di kalangan wanita merupakan salah satu produk yang berpengaruh terhadap masalah-masalah kesehatan. Khususnya untuk tingkat pendidikan, pengaruhnya terhadap status gizi dan kesehatan anggota keluarga sangat besar, karena biasannya rumah tangga menjadi pembantu dan mengatur konsumsi makanan. Ibu rumah tangga juga mempunyai peranan dan fungsi yang besar, terutama sebagai pengasuh anak, mengatur konsumsi makanan dan secara tidak langsung menentukan status gizi anak (Subagyo, dkk, 1984 dalamM. Soffa, 2012).

2.1.3.2 Pekerjaan Ibu dan Penghasilan Orang Tua

Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan

(8)

bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Nursalam, 2003dalamA.Wawan dan Dewi M, 2010).

Makanan sebagai kebutuhan pokok manuasia untuk tetap dapat bertahan hidup, sehingga sebesar apapun penghasilan seseorang ia akan tetap berusaha untuk mendapatkan makanan. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang semakin berkurang persentase penghasilan yang dibelanjakan untuk makanan (Aritonang, 2000).

Suhardjo, dkk (2009), menyatakan bahwa pada umumnya jika penghasilan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung meningkat pula. Peningkatan penghasilan perorangan akan menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Namun pengeluaran yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya makanan yang dikonsumsi.

2.1.3.3 Jumlah Anggota Keluarga

Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga sangat penting untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil dan ibu menyusuiharus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat

(9)

bagian energi, protein dan zat-zat gizi lainnya yang cukup setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Suhardjo, dkk, 2009).

Jumlah anak yang banyak pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak, lebih-lebih apabila jarak usia anak terlalu dekat. Pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang dan perumahan yang tidak terpenuhi (Soetjiningsih, 1998 dalam M. Soffa, 2012).

Menurut Kresno (2001), secara tradisional ayah atau kepala keluarga mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga. Apabila kebiasaan tersebut diterapkan, maka setelah kepala keluarga ialah anak laki-laki yang mendapat prioritas untuk dilayani, biasanya mulai dari yang tertua.

2.1.4 Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu 2.1.4.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian presepsi terhadap obyek. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh

(10)

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003 dalam A.Wawan dan Dewi M, 2010).

Pengetahuan gizi ibu adalah segala sesuatu yang diketahui ibu balita yang dikaitkan dengan gizi terutama tentang menu dan mutu makanan. Perkembangan perbaikan gizi sering kali dipandang sebagai suatu keberhasilan adopsi inovasi gizi dalam meningkatkan taraf gizi masyarakat. Peningkatan keberhasilan diukur dari perubahan perilaku yang mendukung tercapainya perbaikan gizi anak balita. Ibu hamil dan ibu menyusui. Walaupun hal ini bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan perbaikan gizi masyarakat (Setiaji D,dkk, 2000dalamKusmiati,2002).

Pengetahuan orang tua dapat menentukan status gizi balita, karena makanan apa yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan gizi dan kesehatan. (Sri Mulyati, 1993dalamKusmiati 2002).

2.1.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinannya (Notoatmojo.S, 2003).

(11)

Menurut Suhardjo (1986)dalamKusmiati (2002), pengetahuan gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, disamping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan dan frekuensi kontak dengan media masa juga mempengaruhi pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi-informasi tentang gizi dalam kehidupan. Pentingnya pengetahuan gizi berdasarkan tiga kenyataan antara lain :

1. Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan yang optimal dan pemeliharaan tubuh

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik untuk kesejahteraan.

2.1.4.3 Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi diperlukan dalam hal penyelenggaraan makanan. Banyak bahan makanan yang bernilai gizi tinggi, tetapi tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas akibat prasangka yang tidak baik terhadap makanan itu. Penggunaan makanan sayuran seperti genjer, daun turi, beluntas dan daun ubi kayu, yang semuanya kaya akan zat gizi. Beberapa daerah masih menganggap sebagai makanan yang dapat mengurangi harkat keluarga, sehingga bahan makanan yang kaya gizi tersebut tidak bisa

(12)

dikonsumsi sebagaimana mestinya. Anggapan tersebut timbul karena kurangnya pengetahuan gizi. Untuk memelihara kesehatan dan untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuh, maka diperlukan pengetahuan gizi yang baik sehingga dalam peyelenggaraan makanan dapat dilakukan dengan baik dan benar serta kebutuhan tubuh akan zat-zat gizi tercukupi (Syahmien Muhji, 1986 dalam Ida Sriharyanti, 2006).

Menurut Budiyanto (2004), kurangnya pengetahuan dan salah presepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum disetiap negara di dunia. Penduduk dimanapun akan beruntung dengan bertambahnya pengetahuan mengenai gizi dan cara menerapkan informasi tersebut untuk orang yang berbeda tingkat usia dan keadaan fisiologisnya.

2.1.4.4 Pengukuran Pengetahuan

Seseorang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat dikatakan dia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge). Pengukuran pengetahuan dapat diketahui dengan cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban, baik lisan maupun tulisan (Notoatmodjo, S,2003).

(13)

Pertanyaan dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan secaraumum dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Pertanyaan subyektif, misalnya jenis pertanyaan essay.

2. Pertanyaan obyektif, misalnya pertanyaan pilihan ganda, betul (Notoatmodjo.S, 2003).

Pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang kebutuhan akan zat gizi menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, demikian pula pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi makanan dan status gizi balita. Dalam suatu penelitian di Bogor tentang keragaman pengetahuan gizi buruk, diketahui bahwa didapat hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak. Demikian pula semakin baik pengetahuan gizi ibu, semakin baik pula status gizi anaknya (Hermin, 1992,dalamKusmiati 2002).

2.1.5 Perilaku Ibu dalam Perawatan Anak 2.1.5.1 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting

(14)

untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut (A.Wawan dan Dewi M, 2010).

2.1.5.2 Proses Perubahan Perilaku

Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama, secara teori perubahan perilaku seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap. Yaitu :

1. Pengetahuan, seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya.

2. Sikap, sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek.

3. Praktek atau tindakan, seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan atau perilaku kesehatan. (Notoatmodjo.S, 2003).

Perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Perubahan atau adopsi

(15)

perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama, secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap. Yaitu 1. Pengetahuan, seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. 2. Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek. 3. Praktek atau tindakan, seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practise) kesehatan atau perilaku kesehatan. (Notoatmodjo, 2003). Jadi dalam merubah perilaku baru secara teori melalui perubahan: pengetahuan (knowledge) - sikap (attitude) – praktek (practice) atau “K A P” namun dalam pendekatan positive deviance yang terjadi sebaliknya yaitu diawali dengan berpraktek atau melakukan perilaku positif kemudian diikuti dengan perubahan pengetahuan, dan sikap( pratice – attitude – knowledge= “P A K”).

2.1.5.3 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulasi yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.

(16)

Batasan ini mempunyai dua unsur pokok yaitu respon dan stimulasi atau perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik sifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) sedangkan stimulasi atau rangsangan disini terdiri dari sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungannya (A.Wawan dan Dewi M, 2010).

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat serta sebagiannya dari si ibu atau pengasuh anak (Nanang Sunarya, 2005).

2.1.5.4 Pengukuran Perilaku

Menurut Notoatmodjo.S (2003), pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan respon. Cara perawatan anak sangat erat hubungannya dengan perilaku seseorang,

(17)

pada dasarnya perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.

2.1.6 Pertumbuhan Anak dan Status Gizi 2.1.6.1 Pengertian Pertumbuhan

Menurut Abas Basuni Jahari (2002), bahwa pertumbuhan memiliki pengertian ”perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu”. Ukuran fisik tidak lain adalah ukuran tubuh manusia baik dari segi dimensi, proporsi maupun komposisi yang lebih dikenal dengan sebutan antropometri. Oleh karena pertumbuhan merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu maka pertumbuhan pada manusia dapat diartikan pula sebagai perubahan antropometri dari waktu ke waktu. Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan antropometri (berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya) dari waktu ke waktu, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang perkembangan keadaan keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requerement) zat gizi seorang anak untuk berbagai proses biologis termasuk untuk tumbuh.

2.1.6.2 Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Dikatakan status gizi baik (seimbang) bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi tidak seimbang (kurang) yaitu bila

(18)

asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan sedangkan status gizi lebih, bila asupan zat gizi melebihi batas yang dibutuhkan. Selain itu status gizi (Nutritional status) adalah ekspresi dari keseimbangan zat gizi dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu.

2.1.6.3 Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi

Indikator adalah suatu tanda yang dapat memberikan indikasi tentang suatu keadaan. Suatu tanda disebut indikator yang baik apabila tanda tersebut dapat memberikan indikasi yang sensitif atas suatu keadaan gizi. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang kontinyu, oleh karena itu pertumbuhan merupakan indikator dari perkembangan status gizi anak. Dengan demikian penilaian pencapaian pertumbuhan (growth achievement) atau ukuran fisik atau antropometri pada saat tertentu dapat memberikan indikasi tentang status gizi seorang anak pada saat pengukuran. Jadi dengan antropometri dapat digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Agar diperoleh hasil yang tepat, diperlukan patokan sebagai pedoman atau parameter. Ada tiga macam parameter antropometri yang dianggap tepat di Indonesia dan diakui oleh Internasional, yaitu berat badan, tinggi badan dan ukuran lingkar lengan atas. Untuk pengukuran status gizi anak usia balita, digunakan parameter tinggi badan, berat badan dan umur (IDN Supariasa, dkk, 2002).

(19)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defesiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu relatif lama. Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestasi status gizi menjadi salah. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (IDN.Supariasa, dkk, 2002).

2.1.6.4 Indeks Antropometri

Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks ini merupakan indikator status gizi yang memiliki karakteristik masing-masing. Batasan (cut-off point) tertentu nilai indeks antropometri dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan status gizi (Abas Basuni Jahari, 2002).

(20)

a) Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan berhubungan linier dengan Tinggi Badan, maka indikator BB/U dapat memberikan gambaran masalah gizi masa lalu atau kronis (menahun). Disamping itu karena berat badan juga labil terhadap perubahan yang terjadi, maka BB/U juga memberikan gambaran masalah gizi akut (saat kini). Akan tetapi kemampuan ini sangat tergantung dari keadaan sosial ekonomi masyarakat yang dinilai.

Bagaimana kemampuan Indeks BB/U bila digunakan sendiri? 1) Dalam keadaan biasa indeks ini kurang sensitif untuk menilai

status gizi kurang yang akut pada anak-anak di lingkungan masyarakat miskin. Sebaliknya indeks ini cukup sensitif untuk menilai status gizi kurang yang akut sebagi akibat memburuknya situasi, baik pada masyarakat miskin maupun pada masyarakat yang keadaan sosial ekonominya lebih baik. 2) Dalam keadaan biasa indeks ini cukup sensitif untuk menilai

masalah gizi kronis pada masyarakat miskin, tetapi tidak sensitif untuk masyarakat yang keadaan sosial ekonominya baik.

Penggunaan indeks BB/U pada masyarakat miskin dapat menggambarkan situasi yang akut maupun kronis, sedangkan pada masyarakat golongan ekonomi menengah keatas menunjukkan situasi yang akut (Abas Basuni Jahari, 2002).

(21)

b) Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Gangguan pertumbuhan pada tinggi badan berlangsung pada kurun waktu yang cukup lama, dari beberapa bulan sampai beberapa tahun. Oleh karena itu indikator TB/U memberikan indikasi adanya masalah gizi kronis. Banyaknya jumlah anak yang pendek memberikan indikasi bahwa di masyarakat bersangkutan ada masalah yang sudah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu, maka perlu dipelajari apa masalah dasar dari gangguan pertumbuhan ini, sebelum dilakukan program perbaikan gizi secara menyeluruh (Abas Basuni Jahari, 2002).

Bagaiman kemampuan indeks TB/U bila digunakan sendiri ? 1) Bila banyak anak yang pendek, maka indikator ini

memberikan petunjuk tentang adanya masalah gizi kronis yang harus dicari penyebab dasarnya.

2) Kalau tinggi badan dipantau secara teratur, maka indeks TB/U dapat digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

3) Tidak dapat digunakan untuk memberikan indikasi adanya masalah gizi akut (Abas Basuni Jahari, 2002).

c) Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Menurut Abas Basuni Jahari (2002), pada keadaan yang baik berat badan anak akan berbanding lurus dengan tinggi badannya,

(22)

dengan kata lain berat badan akan seimbang dengan tinggi badannya. Bila terjadi kondisi yang memburuk dalam waktu singkat, berat badan akan berubah karena sifatnya yang labil sedangkan tinggi badan tidak banyak terpengaruh. Akibatnya berat badan dalam waktu singkat akan menjadi tidak seimbang dengan tingi badannya. Oleh karena itu indeks BB/TB merupakan atau masalah gizi akut. Di sisi lain indeks BB/TB ini tidak sensitif untuk memberikan indikasi masalah gizi kronis karena indeks ini tidak menggunakan referensi waktu atau umur.

Bagaimana kemampuan indeks BB/TB bila digunakan sendiri 1) Banyaknya anak dengan nilai indeks BB/TB rendah atau tidak

seimbang atau kurus memberikan gambaran adanya masalah gizi akut yang disebabkan oleh perubahan kondisi dalam waktu singkat.

2) Indeks BB/TB ini berguna untuk pemilihan sasaran (targeting) bagi tindakan segera, seperti pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan agar berat badannya kembali seimbang dengan tinggi badannya atau dalam bentuk tindakan untuk memperbaiki lingkungan yang kurang sehat.

Kategori dan ambang batas status gizi anak balita umur 0 – 60 bulan sesuai dengan penggunaan indeks antropometri berdasarkan

(23)

standar antropometri WHO 2005 adalah sebagai mana terdapat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Kategori dan ambang batas status gizi balita indeks antropometri berdasarkan standar antropometri WHO 2005

Indeks Status GiziKategori Ambang Batas( Z-Score)

Berat Badan menurut Umur Gizi Buruk <-3 SD

(BB/U) Gizi Kurang -3 SD s/d <-2 SD

Anak Umur 0 – 60 Bulan Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD

Gizi Lebih >2 SD

Panjang Badan menurut

Umur Sangat Pendek <-3 SD

(PB/U) atau Pendek -3 SD s/d <-2 SD

Tinggi Badan menurut

Umur (TB/U) Normal -2 SD s/d 2 SD

Anak Umur 0 – 60 Bulan Tinggi >2 SD

Berat Badan menurut

Panjang Badan Sangat Kurus <-3 SD

(BB/PB) atau Kurus -3 SD s/d <-2 SD

Berat Badan menurut Tinggi

Badan (BB/TB) Normal -2 SD s/d 2 SD

Anak Umur 0 – 60 Bulan Gemuk >2 SD

Sumber : Kementrian Kesehatan RI, 2011.

2.1.7 Pola Asuh

2.1.7.1 Pengertian Pola Asuh Gizi

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai / norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Theresia,2009)

(24)

2.1.7.2 Pola Asuh Gizi

Pola asuh gizi merupakan asupan makan dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita secara tepat dan berimbang (Eveline & nanang D, 2010, p.11).

Pola pengasuhan anak berupa sikap perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu terutama dalam kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga, masyarakat dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak (Soekirman 2000, p.85).

2.2 Landasan Teoritik

2.2.1 Upaya Penanggulangan Kurang Gizi pada Balita

Soekirman (2000), menyatakan pencegahan dan penanggulangan kurang gizi pada balita tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya. Di masyarakat sering terdapat anggapan bahwa masalah kurang gizi adalah sama dengan masalah kekurangan pangan. Oleh karena itu, upaya penanggulangannya adalah meningkatkan produksi dan persediaan pangan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masalahnya tidak selalu terletak pada persediaan makanan. Sering terjadi di pasar dan di gudang berlimpah beras, terigu dan bahan pangan lain, tetapi banyak keluarga yang kekurangan gizi. Selain melihat dari sisi penyediaan pangan, perlu diperhatikan juga aspek permintaan yang efektif. Artinya

(25)

apakah kebanyakan keluarga mampu membeli pangan itu. Kemudian apabila mereka mampu apakah mereka membelinya. Kalau tidak mengapa? Dengan demikian langkah paling penting adalah mengkaji tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga. Apakah masalah kurang gizi karena kemiskinan atau karena pendidikan atau karena dua-duanya.

Sementara itu menurut IDN. Supariasa (2002), masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat. Namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multi faktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

Era desentralisasi sekarang ini upaya penanggulangan masalah kurang gizi berbeda di setiap daerah disesuaikan dengan kemampuan daerah dan potensi yang dimiliki masyarakat. Menurut Thaha, dkk (2004), hal ini mengisyaratkan bahwa suatu program tidak selalu harus berpedoman semata-mata pada juknis/juklak yang telah ditetapkan, bila kondisi dilapangan tidak mendukung. Daerah mempunyai kewenangan dan peluang dalam menentukan sendiri model intervensi gizi atau dapat mengadakan reformulasi sesuai kondisi lokal. Namun semua itu mempunyai dasar kebijakan sama yang merujuk pada komitmen global, khususnya kesepakatan semua negara untuk menghapuskan kelaparan dan memberikan mandat ketahanan pangan dan peningkatan gizi anak.

(26)

Berdasarkan kebijakan ini program penanggulangan gizi harus mendapat perhatian dan prioritas utama dalam pembangunan kesehatan.

Berbagai upaya penanggulangan kurang gizi telah dilakukan terutama yang ditujukan pada sasaran langsung baik balita gizi buruk maupun gizi kurang melalui pemberdayaan masyarakat dan keluarga balita. Di Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam penanggulangan kurang gizi dilakukan dengan Kegiatan Praktek Perilaku dan Pemulihan Gizi (KP3G)/Pos Gizi melalaui pendekatanPositive Deviance (PD).

2.3 Pos Gizi Melalui PendekatanPositive Deviance (PD).

Pos Gizi merupakan tempat atau rumah yang digunakan untuk kegiatan program gizi yang berbasis rumah tangga dan masyarakat bagi anak yang beresiko kurang energi-protein di negara sedang berkembang. Program ini menggunakan pendekatan Perilaku Khusus Positif untuk mengidentifikasi berbagai perilaku tersebut dari ibu atau pengasuh yang memiliki anak bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu dan menularkan kebiasaan positif tersebut kepada keluarga yang lain dengan anak kurang gizi di suatu masyarakat (CORE, 2003)

MenurutCORE (2003), bahwa tujuan dari kegiatan Pos Gizi : 1. Merehabilitasi anak-anak yang mengalami malnutrisi yang

teridentifikasi di dalam masyarakat mereka.

2. Memungkinkan keluarga untuk dapat mempertahankan rehabilitasi anak-anak tersebut di rumah masing-masing secara mandiri.

(27)

3. Mencegah kekurangan gizi pada anak-anak yang lahir dalam kelompok masyarakat tersebut di masa yang akan datang, dengan merubah norma-norma masyarakat mengenai perilaku-perilaku pengasuhan anak, pemberian makan dan kesehatan.

Kegiatan Pos Gizi melalui pendekatan Positive Deviance mulai dilakukan di Kabupaten Sidoarjo awal tahun 2007 dengan tujuan meningkatkan status gizi masyarakat secara mandiri dan berkesinambungan. Mandiri artinya hidup dan berkembang dengan kekuatan sendiri (Gani, 1994dalamNanang Sunarya, 2005).

2.4 Pengertian Pendidikan dan Perilaku

Menurut Notoatmodjo.S (2003), Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni: a) input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), b) proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), c) output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku). Jadi yang dimaksud pendidikan gizi adalah aplikasi atau penerapan pendidikan di dalam bidang gizi. Output yang diharapkan dari pendidikan gizi ini adanya perubahan perilaku yang mendukung terhadap upaya pemulihan atau perbaikan gizi. Sedangkan perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama

(28)

atau resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas (Notoatmodjo.S, 2003).

Dalam merubah perilaku baru secara teori melalui perubahan: pengetahuan (knowledge) - sikap (attitude) - praktek (practice) atau “K A P” namun dalam pendekatan positive deviance yang terjadi sebaliknya yaitu diawali dengan berpraktek atau melakukan perilaku positif kemudian diikuti dengan perubahan pengetahuan, dan sikap ( pratice – attitude – knowledge= “P A K”) (Jerry Sternin, 2000).

2.5 Positive Deviance

Menurut Jerry Sternin (2000), Positive Deviance (PD) adalah suatu pendekatan pengembangan yang berbasis masyarakat. Positive Deviance berdasar pada keyakinan bahwa pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat pada prinsipnya telah ada dalam masyarakat itu sendiri. Artinya pendekatan pemecahan masalah yang memusatkan perhatian pada apa yang dapat dilaksanakan, bukan apa yang salah atau

(29)

yang menjadi sebab masalah. Positive Deviancememusatkan perhatian pada apa yang tersedia pada setiap orang dalam masyarakat, bukan pada kebutuhan yang memerlukan bantuan dari luar. Hal ini menjamin kesinambungan program karena Positive Deviance tergantung pada sumber-sumber yang telah ada dalam masyarakat sendiri. Positive Deviance menggerakkan masyarakat. Pencarian dan penemuan atas perilaku unik positif mendorong masyarakat untuk melihat, mencari dan menggali kembali kearifan serta sumber-sumber yang ada dan membangun kembali kekuatannya untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Intervensi dan hasil Positive Deviance segera terlihat, tidak membutuhkan studi dan intervensi bertahun-tahun untuk mencapai solusi. Positive Deviance merupakan praktek perilaku baru, dimana pendekatan pengembangan yang berbasis masyarakat.

Positive deviancedidasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada didalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positive yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus atau tidak umumyang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-carayang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive

(30)

deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita disuatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan keluarga yang menguntungkan sebagai inti program positive deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makanan, pengasuhan, kebersihan dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE, 2003).

2.5.1 Kebiasaan Pemberian Makan

Berbagai kebiasaan baik, termasuk memberi makan anak anak berusia di atas 6 bulan dengan berbagai variasi makanan dalam porsi kecil setiap hari sebagai tambahan Air Susu Ibu (ASI), pemberian makan secara aktif dan respontif. Kebiasaan pemberian makan lebih diutamakan pada anak daripada orang tua.

2.5.2 Kebiasaan Pengasuhan

Interaktif positif antara anak dan pengasuh utama atau penganti, membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan positif seperti sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya pembagian tugas agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik dan partisipasi ayah dalam pengasuhan anak. Kebiasaan tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak yang normal namun seringkali terabaikan.

(31)

2.5.3 Kebiasaan kebersihan

Kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan berperan penting dalam memelihara kesehatan serta mencegah penyakit misalnya saja kecacingan, infeksi, diare dan yang lainnya. Salah satu kebiasaan yang bersih seperti cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar, telah menjadi fokus kampanye WHO untuk mengurangi timbulnya penyakit diare

2.5.4 Kebiasaan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan

Selain memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak sebelum ulang tahun pertama, pengobatan penyakit pada masa anak-anak dan pencaharian bantuan profesional pada waktu yang tepat memegang peranan penting dalam membantu memelihara kesehatan anak.

2.6 Konsep UmumPositive Deviance

Dalam positive deviance, secara teoritis ada tahapan yang harus dilakukan yang disebut dengan istilah 6 “D” sebagai langkah yang harus dilalui dengan catatan yang melakukannya adalah komunitas yang bersangkutan yang didampingi oleh fasilitator. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Define (merumuskan) tetapkan atau definisikan masalah dan solusinya, dengarkan apa penyebabnya (analisis situasi) menurut mereka/komunitas sehingga lahir problem statement dari komunitas. Misalnya, dalam suatu kelompok masyarakat, anak-anak keluarga miskin mengalami kekurangan gizi.

(32)

2. Determine (Menentukan) tentukan apakah ada orang-orang dari komunitas mereka yang telah menunjukkan perilaku yang diharapkan atau menyimpang (deviants) dari keluarga miskin yang lain. Misalnya, ada anak dari keluarga miskin yang gizinya baik, sementara mereka berasal dari tempat yang sama dan menggunakan sumber yang sama 3. Discover (menemukan) cari tahu apa yang membuat “penyimpang”

mampu menemukan solusi yang lebih baik dari pada tetanggganya. Misalnya, “penyimpang” memberikan makanan secara aktif kepada anaknya, memberikan makanan yang bergizi (bersumber lokal) walau tidak biasa dikonsumsi oleh orang lain, memberi makan lebih sering kepada anaknya. Pastikan “penyimpang“ tidak mendapatkan subsidi dari sanak keluarganya yang mampu, baik yang berada di perkampungan itu maupun di daerah lain, sehingga itu juga merupakan penyebab anak tersebut menjadi lebih sehat.

4. Design (merancang) rancang dan susun strategi yang memampukan orang lain mengakses dan mengadopsi perilaku baru tersebut. Misalnya, membuat program gizi dan peserta diwajibkan membawa food contributions berupa makanan “penyimpang” dan mempraktekkannya secara aktif. Atau ada strategi lain yang bersumber kepada kebiasaan lokal yang bisa mendukung pengadopsian perilaku “penyimpang” yang sehat tadi.

5. Discern (mengevaluasi) amati tingkat efektivitas intervensi melalui pengawasan dan monitoring yang dilakukan secara terus menerus.

(33)

Misalnya, mengukur status gizi anak-anak yang ikut program gizi dengan penimbangan dan dampaknya kepada anak-anak sepanjang waktu. Juga jangan lupa mengukur tingkat kepedulian anggota masyarakat lain terhadap peningkatan gizi anak, karena ini juga merupakan peningkatan kapasitas masyarakat terhadap kesehatan terutama gizi anak.

6. Disseminate (menyebarkan) sebar luaskan keberhasilan kepada kelompok lain yang sesuai. Misalnya mengundang ibu balita/kelompok lain untuk belajar dari ibu balita/masyarakat yang sedang mengimplementasikan pos gizi, untuk mengadopsi perilaku mereka sendiri di tempat lain dan siap berpartisipasi dalam program tersebut. Untuk pendukung juga lebih bagus dilakukan kampanye terhadap peningkatan status gizi anak yang lebih efektif dan efisien daripada pola yang konvensional. Jadikan isu ini menjadi isu komunitas, tidak isu pribadi hanya keluarga yang terkena kasus gizi buruk saja.

Dari keenam langkah tersebut, langkah ketiga merupakan langkah yang sangat kritis karena membutuhkan keterampilan mengamati dan menyelidiki dengan metode yang khusus(CORE, 2003)

Untuk menanggulangi masalah kurang gizi (malnutrisi), selama penyelidikan Positive Deviance mencakup perilaku pemberian makan, pengasuhan, mencari pelayanan kesehatan dan kebersihan. Hasil / temuan penyelidikan Positive Deviance digunakan untuk merancang program intervensi yang disebut Kegiatan Pos Gizi dan hasilnya dapat

(34)

dilihat pada perubahan perilaku pada anak balita, pengasuh, keluarga, dan tetangga (CORE, 2003).

2.7 Keuntungan PendekatanPositive Deviance.

Beberapa keuntungan pendekatan positive deviance, yaitu : (CORE,2003)

2.7.1 Cepat pendekatan ini memberikan solusi yang dapat menyelesaikan masalah dengan segera.

2.7.2 Terjangkau, positive deviance dapat dijangkau dan keluarga tidak perlu bergantung pada sumber daya dari luar untuk mempraktekkan perilaku baru. Pelaksanaannya lebih murah tetapi efektif dibandingkan mendirikan pusat rehabilitasi gizi atau melakukan intervensi rumah sakit.

2.7.3 Partisipatif, partisipasi masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam rangka mencapai keberhasilan pendekatan positive deviance. Masyarakat memainkan peran sangat penting dalam keseluruhan proses mulai dari menemukan perilaku dan strategi sukses di antara masyarakat sampai mendukung ibu balita setelah kegiatan berakhir.

2.7.4 Berkesinambungan, pendekatan positive deviance merupakan pendekatan berkesinambungan karena berbagai perilaku baru sudah dihayati dan berlanjut setelah kegiatan berakhir. Kegiatan ini tidak hanya merubah perilaku anggota keluarga secara individu, tetapi juga

(35)

mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekurangan gizi serta kemampuan mereka untuk mengubah situasi.

2.7.5 Asli, karena solusi sudah ada ditempat itu, maka kemajuan dapat dicapai secara cepat tanpa banyak menggunakan analisis atau sumber daya dari luar. Pendekatan tersebut dapat diterapkan secara luas karena pelaku positive deviance selalu ada di setiap masyarakat.

2.7.6 Secara Budaya Dapat Diterima, karena pendekatan ini didasarkan pada perilaku setempat yang diidentifikasikan dalam kontek sosial, etnik, bahasa dan agama di setiap masyarakat, maka sesuai dengan budaya setempat

2.7.7 Berdasarkan Perubahan Perilaku, pendekatan ini tidak mengutamakan perolehan pengetahuan, namun ada tiga langkah proses perubahan perilaku yang termasuk didalamnya, yaitu penemuan (penyelidikan), demontrasi (kegiatan pos gizi), dan persiapan penerapan (kegiatan pos gizi dan di rumah).

(36)

2.8 Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA)

Tabel 2.2 Praktek Pemberian Makan Bayi dan Anak yang dianjurkan

Usia Rekomendasi

Frekuensi

(per hari) Berapabanyak setiap kali makan

Tekstur (kekentalan/ konsistensi) Variasi Mulai berikan makanan tambahan ketika anak berusia 6 bulan 2 sampai 3 kali makan ditambah ASI Mulai dengan 2 sampai 3 sendok makan. Mulai dengan pengenalan rasa dan secara perlahan tingkatkan jumlahnya Bubur kental ASI (bayi disusui sesering yang diinginkan) + Makanan hewani (makanan lokal) + Makanan pokok (bubur, makanan lokal lainnya) + Kacang (makanan lokal) + Buah-buah / sayuran (makanan Dari usia 6 sampai 9

Bulan 2 - 3 kalimakan ditambah ASI 1-2 kali makanan selingan 2 sampai 3 sendok makan penuh setiap kali makan Tingkatkan secara perlahan sampai setengah (1/2) dari cangkir/mangkuk berukuran 250 ml Bubur kental / makanan keluarga yang dilumatkan

Dari usia 9 sampai 12

Bulan 3- 4 kali makanditambah ASI 1-2 kali makanan

selingan

Setengah mangkuk

berukuran 250 ml Makanankeluarga yang dicincang/ dicacah. Makanan dengan potongan kecil yang dapat dipegang Makanan yang diiris-iris

(37)

Dari usia 12-24 bulan 3 sampai 4 kali makan ditambah ASI 1 sampai 2 kali makanan selingan(snack) bisa diberikan

Tiga perempat dari mangkuk ukuran 250 ml Makanan yang diiris-iris Makanan keluarga lokal) Catatan:

Jika anak kurang dari 24 bulan tidak diberi ASI Tambahkan 1-2 kali makan ekstra 1 sampai 2 kali makanan selingan bisa diberikan Sama dengan di atas- menurut kelompok Usia Sama dengan di atas-menurut kelompok usia Sama dengan di atas, dengan penambahan 1 sampai 2 gelas susu per hari

+ 2 sampai 3 kali cairan tambahan terutama di daerah dengan udara panas Pemberian makanan aktif/responsif (waspada dan responsif terhadap tanda-tanda yang ditunjukkan oleh bayi bahwa ia siap untuk makan; dorong bayi/anak untuk makan tapi jangan dipaksa

 Bersabarlah dan dorong terus bayi Anda untuk makan lebih banyak

 Jika bayi Anda menolak untuk makan, terus dorong untuk makan; pangkulah bayi Anda sewaktu ia diberi makan, atau menghadap ke dia kalau ia dipangku oleh orang lain

 Tawarkan makanan baru berkali-kali, anak-anak mungkin tidak suka (tidak mau menerima) makanan baru pada awalnya.

 Waktu pemberian makan adalah masa-masa bagi anak untuk belajar dan mencintai. Berinteraksilah dengannya dan kurangi gangguan waktu ia diberi makan.

 Jangan paksa anak untuk makan.

 Bantu anak yang lebih tua untuk makan

Kebersihan  Berikan makan kepada bayi dalam mangkuk/piring yang bersih; jangan gunakan botol karena susah dibersihkan dan dapat menyebabkan bayi mengalami diare.

 Cuci tangan Anda dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan dan sebelum memberi makan anak.

 Cuci tangan anak Anda dengan sabun sebelum ia makan. Beberapa hal untuk bahan diskusi mengenai kebersihan: - Awali dengan memberikan pujian

- Gunakan KK untuk memulai diskusi: “Apa yang harus dilakukann di lingkungan rumah kita serta untuk kebersihan diri kita”

- Gunakan Kegiatan Kelompok Berorientasi Tindakan untuk diskusi

Diadaptasi dari WHO Infant and Young Child Feeding Counselling An ntegrated Couse (2006)

(38)
(39)
(40)

Gambar

Tabel 2.1 Kategori dan ambang batas status gizi balita indeks antropometri berdasarkan standar antropometri WHO 2005
Tabel 2.2 Praktek Pemberian Makan Bayi dan Anak yang dianjurkan

Referensi

Dokumen terkait

Puruhito, dr., SpB, SpBTKV mantan rektor yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Doktor hingga selesainya Pendidikan Program Doktor pada

oleh UUD 1945 yang saat menjabat Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi Periode Tahun 2004-2009 dan/atau Periode Tahun 2009- 2014, keanggotaan para Pemohon sebagai Anggota DPRD, dan

Tanggal Penandatanganan Akta Penggabungan 21 Januari 2011 Periode pembelian saham dari pemegang saham publik ICON yang 25 – 27 Januari 2011 tidak setuju terhadap

Sesuai dengan visi Fakultas Ekonomi dan visi Universitas Islam Malang, Program Studi Perbankan syariah Unisma mempunyai visi untuk menjadi program studi perbankan syariah yang

Induksi dihentikan pada hari ke-7 karena setelah data tekanan darah pasca induksi dianalisis statistik melalui uji anava dan uji Beda Nyata Terkecil (LSD) dengan nilai

Furqon (1996:112) latihan half squat ini terutama dapat “ mengembangkan otot-otot paha bagian depan dan kaki bagian bawah “. Latihan half squat dipilih karena sampel penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah tepung tapioka dapat digunakan sebagai bahan pengganti tepung terigu, serta mencari tahu tingkat kesukaan

Ada pengaruh yang positif dan signifikan Kemandirian Belajar, Cara Belajar, dan Budaya Membaca terhadap Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas XI IPS Semester Ganjil SMA Perintis 2