• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum 1%, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum 1%, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Fisiologis Penuaan Pada Lansia

Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis dan fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti), memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30 tahun (Martono, 2004).

Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi (2000), pada lansia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya ingat 61%, serta kelenturan tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang muncul pada lansia dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses penuaan antara lain:

2.1.1 Sistem panca-indera

Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan terdapat kesenggangan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indera yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensoris.

a. Pengelihatan

Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi disekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sclera.

(2)

Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata, yaitu katarak (Suhartin, 2010).

Hal ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem visual dari indera penglihatan yang berfungsi sebagai pemberi informasi ke susunan saraf pusat tentang posisi dan letak tubuh terhadap lingkungan di sekitar dan antar bagian tubuh sehingga tubuh dapat mempertahankan posisinya agar tetap tegak dan tidak jatuh.

b. Pendengaran

Penurunan pendengaran merupakan kondisi secara dramatis dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kehalangan pendengaran pada lansia disebut dengan presbikusis. Presbikusis merupakan perubahan yang terjadi pada pendengaran akibat proses penuaan yaitu telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi (Chaccione, 2005).

Telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timfani, pengapuran dari tulang pendengaran, lemah dan kakunya otot dan ligamen. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi pada suara (Miller, 2009).

(3)

Pada telinga bagian luar terjadi perpanjangan dan penebalan rambut, kulit menjadi lebih tipis dan kering serta terjadi peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara (Miller, 2009).

Penuruan kemampuan telinga seperti diatas dapat berdampak pula terhadap komponen vestibular yang terletak di telinga bagian dalam. Komponen vestibular ini berperan sangat penting terhadap keseimbangan tubuh. Saat posisi kepala berubah maka komponen vestibular akan merespon perubahan tesebut dan mempertahakan posisi tubuh agar tetap tegak.

c. Perabaan

Pada lansia terjadi penurunan kemampuan dalam mempersepsikan rasa pada kulit, ini terjadi karena penurunan korpus free nerve ending pada kulit. Rasa tersebut berbeda untuk setiap bagian tubuh sehingga terjadi penurunan dalam merasakan tekanan, raba panas dan dingin. Gangguan pada indera peraba tentunya berpengaruh pada sistem somatosensoris.

Somatosensoris adalah reseptor pada kulit, subkutan telapak kaki dan propioceptor pada otot, tendon dan sendi yang memberikan informasi tentang kekuatan otot, ketegangan otot, kontraksi otot dan juga nyeri, suhu, tekanan dan posisi sendi. Pada lansia dengan semakin menurunnya kemampuan akibat faktor degenerasi maka informasi yang digunakan dalam menjaga posisi tubuh yang didapat dari tungkai, panggul, punggung dan leher akan menurun (Chaitow, 2005). Hal ini berdampak pada keseimbangan yang akan terganggu akibat dari penurunan implus somatosensoris ke susunan saraf pusat.

(4)

2.1.2 Sistem muskuloskeletal a. Otot

Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunnya kemampuan aktivitas. Penurunan kemampuan aktivitas akan menyebabkan kelemahan serta atrofi dan mengakibatkan kesuliatan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu aktivitas rutin pada individu tersebut. Perubahan pada otot inilah yang menjadi fokus dalam penurunan keseimbangan berkaitan dengan kondisi lansia.

Menurut Lumbantobing (2005) perubahan yang jelas pada sistem otot lansia adalah berkurangnya massa otot. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik atau denervasi saraf (Martono, 2004). Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal berkurang (Taslim, 2001). Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak. Akibatnya otot akan berkurang kemampuannya sehingga dapat mempengaruhi postur.

Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh

disuse. Lansia yang aktif sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat

mempertahankan massa otot, kekuatan otot dan koordinasi dibanding mereka yang hidupnya santai (Rubenstein, 2006). Tetapi harus diingat bahwa olahraga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara sempurna proses penurunan massa otot (Lumbatobing, 2005).

(5)

Permasalahan yang terjadi pada lansia biasa sangat terlihat pada menurunnya kekuatan grup otot besar. Otot-otot pada batang tubuh (trunk) akan berkurang kemampuannya dalam menjaga tubuh agar tetap tegak. Respon dari otot-otot postural dalam mempertahankan postur tubuh juga menurun. Respon otot postural menjadi kurang sinergis saat bekerja mempertahankan posisi akibat adanya perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen tubuh.

Pada otot pinggul (gluteal) dan otot-otot pada tungkai seperti grup otot

quadriceps, hamstring, gastrocnemius dan tibialis mengalami penurunan

kemampuan berupa cepat lelah, turunnya kemampuan, dan adanya atrofi yang berakibat daya topang tubuh akan menurun dan keseimbangan mudah goyah.

b. Tulang

Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan remodeling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia dua puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagai disebabkan oleh faktor usia dan disuse (Wilk, 2009).

Dengan bertambahannya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon estrogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekular menjadi lebih berongga, mikroarsitekur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan maupun spotan (Martono, 2004). Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya resiko osteoporosis dan fraktur (Suhartin, 2010).

(6)

c. Perubahan postur

Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan usia. Hal itu dapat dihubungkan dengan keseimbangan dan resiko jatuh. Gangguan keseimbangan lansia disebakan oleh degenerasi progresif mekanoreseptor sendi intervertebra. Degenerasi karena peradangan atau trauma pada vertebra dapat menggangu afferent feedback ke saraf pusat yang berguna untuk stabilitas postural. Banyak perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti spondilosis servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang berusia 55 tahun keatas. Hal itu berpengaruh terhadap penurunan stabilitas dan fleksibilitas pada postur (Pudjiastuti, 2003).

Perubahan yang paling banyak terjadi pada vertebra lansia meliputi kepala condong ke depan (kifosis servikal), peningkatan kurva kifosis torakalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis), penurunan ketebalan diskus intervertebralis sehingga tinggi badan menjadi berkurang. Kepala yang condong ke depan seringkali diartikan tidak normal, tetapi dapat dikatakan normal apabila hal itu merupakan kompensasi dari perubahan postur yang lain. Kurva skoliosis dapat timbul pada lansia karena perubahan vertebra, ketidakseimbangan otot erctor

spine dan kebiasaan atau aktivitas yang salah (Pudjiastuti, 2003).

Pada anggota gerak, variasi perubahan postur yang paling banyak adalah protraksi bahu dan sedikit fleksi sendi siku, sendi panggul dan lutut. Adanya perubahan permukaan dan kapsul sendi, akan mengakibatkan kecacatan varus atau valgus dapat sendi panggul, lutut atau pergelangan kaki.

(7)

Perubahan yang terjadi pada sistem saraf dan tulang memungkinkan terjadinya penurunan kontrol terhadap postural secara statis. Selanjutnya, perubahan otot, jaringan pengikat dan kulit dapat mempengaruhi perubahan postur. Adanya trauma, gaya hidup atau kebiasaan memakai sepatu hak tinggi juga memberi kontribusi pada percepatan perubahan postur lansia. Perubahan postur ini tentunya akan berpengaruh pada keseimbangan saat berdiri karena pusat gravitasi pada tubuh juga turut berubah.

2.1.3 Sistem persarafan a. Saraf pusat

Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan berat otak sebesar 10%. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat.

Pada penuaan, otak kehilangan 100.000 neuron/tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi atrofi cerebal (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur-angsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria (Suhartin, 2010).

(8)

b. Saraf perifer

Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan (saraf motorik) dan sensasi (saraf sensoris). Jaringan saraf ini berhubungan dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui batang otak dan pada beberapa tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju berbagai bagian tubuh. Saraf perifer membentuk komunikasi antara otak dan organ, pembuluh darah, otot dan kulit. Perintah otak akan dihantarkan oleh saraf motor, dan informasi dihantar kembali ke otak oleh saraf sensori.

Penuaan menyebabkan penurunan presepsi sensorik dan respon motorik pada susunan SSP. Hal ini terjadi karena SSP pada usia lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lambat. Akson dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi (Sherwood, 2009).

Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 105 kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Secara fungsional terdapat suatu perlambat reflek tendon, terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan

(9)

dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena pengurangan dendrit dan perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi (Suhartin, 2010).

Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan berpengaruh pada keadaan postural dan kemampuan lansia dalam menjaga keseimbangan tubuhnya terhadap bidang tumpu. Kondisi penurunan kemampuan visual, vestibular dan somatosensoris tentunya akan memperburuk keseimbangan pada lansia. Tubuh akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan base of support atau landasan tempat berpijak. Kondisi muskuloskeletal yang mengalami penurunan juga berpengaruh pada keseimbangan otot dan postural. Perubahan postur tersebut berpengaruh pada perubahan Center of Gravity (COG) tubuh terhadap bidang tumpu. Otot-otot baik ekstremitas bawah maupun atas akan mengalami penurunan kekuatan. Akibat dari keadaan tersebut lansia sering mengalami gangguan keseimbangan saat berdiri maupun saat beraktivitas dan rentan untuk jatuh.

2.2 Keseimbangan

2.2.1 Definisi keseimbangan

Keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan keadaan yang setimbang pada pusat gravitasi atas bidang tumpu, biasanya ketika dalam posisi tegak dan pada berbagai posisi. Menurut Delitto (2003), keseimbangan

(10)

merupakan kemampuan untuk mempertahankan equilibrium statis dan dinamis tubuh ketika ditempatkan pada berbagai posisi.

Menurut Suhartono (2005), keseimbangan merupakan suatu pengaturan yang kompleks untuk mempertahankan posisi tubuh terhadap aktivitas tubuh yang disadari dan merespon terhadap perubahan dari luar. Dengan kata lain keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol dan mempertahankan pusat massa tubuh (center of body mass) atau pusat gravitasi

(center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support) dengan mengunakan

aktivitas otot yang minimal.

Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG) tidak berubah. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG) berubah (Abrahamova, 2008). Menurut Permana (2012), keseimbangan statis merupakan keseimbangan yang diperlukan seseorang untuk mempertahankan posisi tertentu, sedangkan keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan saat melakukan gerakan atau aktivitas seperti berjalan dan berlari.

Keseimbangan berfungsi untuk bergerak, mengidentifikasi orientasi dengan terhadap gravitasi, menentukan arah dan kecepatan gerakan, dan membuat otomatis penyesuaian postural untuk mempertahankan postur dan stabilitas di berbagai kondisi dan kegiatan (Cook, 2001). Derajat stabilitas tubuh terhadap bidang tumpu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu (1) ketinggian dari titik pusat

(11)

gravitasi dengan bidang tumpu, (2) ukuran luas bidang tumpu, (3) posisi garis gravitasi dengan bidang tumpu dan (4) berat badan.

Dalam mempertahankan keseimbangan dibutuhkan interaksi yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (visual, vestibular, dan somatosensoris termasuk proprioceptif) dan sensomotorik (muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia,

cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009). Keseimbangan melibatkan berbagai

gerakan di setiap segmen tubuh dengan didukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien.

2.2.2 Mekanisme Neurofisiologi Keseimbangan

Terdapat beberapa komponen fisiologis tubuh manusia untuk melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting menjaga keseimbangan dengan merasakan posisi bagian sendi atau tubuh saat bergerak adalah proprioseptif yang menjaga keseimbangan. Kemampuan untuk merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam gerak (Brown et al., 2006).

Keseimbangan terbentuk melalui 3 proses utama dimulai dari input sensoris, integrasi dari sensoris, dan output motoris. Keseimbangan normal membutuhkan kontrol dari gravitasi untuk menjaga postur dan percepatan. Percepatan dihasilkan dari dalam tubuh akibat gerakan volunter atau dari luar

(12)

sebagai akibat dari gangguan tak terduga (Felix, 2006). Keseimbangan diperlukan koordinasi dari tiga sistem, yaitu sebagai berikut:

a. Sistem saraf menyediakan proses sensoris untuk persepsi tubuh melalui sistem visual, vestibular dan somatosensoris.

b. Muskuloskeletal sistem meliputi postural alligment, fleksibilitas otot seperti

range of motion, integritas sendi dan muscle performance.

c. Contextual effect terbagi atas dua sistem yaitu sistem lingkungan baik

terbuka maupun tertutup, efek gravitasi, tekanan pada tubuh dan berbagai gerakan.

Elemen-elemen diatas sangat penting untuk menjaga keseimbangan tubuh dalam keadaan statis maupun dinamis. Dalam mempertahankan keseimbangan postural membutuhkan kerja sama dan interaksi dari tiga komponen kontrol postural, yaitu sistem sensori perifer meliputi sistem visual, vestibular dan somatosensoris (taktil dan propioseptif) yang memberikan informasi secara berkelanjutan tentang posisi dan gerakan dari seluruh bagian tubuh yang dibutuhkan dalam mempertahankan keseimbangan postural (Kisner, 2010).

2.2.3 Sistem Vestibular

Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan, gerakan kepala, dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi organ-organ bagian telinga dalam yaitu telinga kanalis semisirkularis dan organ otolit (utrikulus dan sakulus). Kanalis semisirkularis merasakan putaran kepala dan organ otolit merasakan percepatan linier pada kepala. Utrikulus berfungsi mengisyaratkan posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Sakulus bereaksi pada percepatan linier. Sakulus

(13)

memberikan reaksi terhadap percepatan vertikal tingkat tinggi yang menimbulkan respon motorik yang dibutuhkan untuk merespon gerakan secara optimal sewaktu terjatuh (Jafek, 2005).

Gangguan fungsi vestibular dapat menyebabkan vertigo atau gangguan keseimbangan. Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibular di labirin, organ visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu (Silverthrone, 2010).

Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi dan akan merangsang penglepasan neurotransmitter eksitator diteruskan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang terletak di batang otak (brain stem). Beberapa stimulus tidak menuju langsung ke nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi. Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, formasi (gabungan retikular), dan serebelum. Hasil dari nukleus vestibular di salurkan menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu

(14)

mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Watson et al., 2008).

2.2.4 Sistem Visual

Mata adalah organ visual mempunyai tugas penting bagi kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan objek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke otak, kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh (Kolb, 2011).

2.2.5 Sistem Somatosensori

Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya yang mana sistem somatosensori memiliki tiga neuron yang panjang yaitu : primer, sekunder dan tersier (Hanes, 2006).

Sistem somatosensori terdiri dari reseptor sensori dan motorik (aferen) neuron di pinggiran (kulit, otot dan organ-organ misalnya), ke neuron yang lebih dalam dari sistem saraf pusat. Sistem somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti sentuhan, temperatur, proprioception (posisi tubuh),

dan nociception (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan epitel, otot rangka,

tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar

(15)

masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Horak, 2006).

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indera dalam dan sekitar sendi. Alat indera tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Sezler, 2006).

2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan

Keseimbangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari pusat COG, garis gravitasi, bidang tumpu (base of support) dan kekuatan otot sehingga dipengaruhi dari kematangan dan pertumbuhan pada komponen yang terdapat individu.

a. Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)

Pusat gravitasi merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan (unstable). Titik pusat gravitasi selalu berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau perubahan berat, jika center of gravity terletak di dalam dan tepat ditengah maka tubuh akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka akan

(16)

terjadi keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada satu inchi di depan vertebra sacrum dua (Bishop, 2009).

b. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan base of support (Huxam, 2005).

Gambar 2.1 Line of Gravity (Huxam, 2005) c. Bidang tumpu (Base of Support-BOS)

Base of Support (BOS) merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan

dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Chang, 2009).

(17)

d. Kekuatan otot (Muscle Strength)

Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dihasilkan oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain sebagainya. Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh (Knudson, 2007).

Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah kognitif. Kognitif berpengaruh langsung pada kemampuan motorik seseorang. Kemampuan motorik yang di maksud dapat berupa koordinasi, dexterity, agility dan keseimbangan (Thomas, 2012). Pendapat tersebut diperkuat dalam hasil penelitian tentang keseimbangan yang menyatakan bahwa latihan kognitif dapat meningkatkan keseimbangan dan mengurangi resiko jatuh (Bowers, 2010).

Kognitif dapat meningkat bila seseorang melakukan aktivitas fisik secara teratur. Aktivitas fisik langsung dapat menstimulasi otak dan meningkatkan protein di otak yang disebut Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat serta berperan terhadap fungsi memori pada otak. Kadar BDNF yang rendah dapat menyebabkan

(18)

penurunan daya hantar antar saraf sehingga gerak menjadi lambat. Semakin banyak lansia melakukan aktivitas fisik akan mengaktifkan peningkatan protein BDNF pada otak sehingga daya hantar saraf mengalami peningkatan dan akan meningkatkan waktu reaksi, kognitif dan reflek yang akan mempengaruhi keseimbangan (Turana,2013).

Keseimbangan dinamis perlu untuk dijaga dan dioptimalkan kemampuannya. Hal ini karena saat melakukan aktivitas sehari-hari keseimbangan dinamis sangat berperan penting dalam menjaga posisi tubuh agar tetap tegak dan akan tercipta koordinasi gerakan yang baik dan terarah. Menurut Sudarsono (2006), keseimbangan dinamis sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena dapat mencegah seseorang terjatuh, baik ketika jalan, bangkit dari duduk, naik-turun tangga serta saat berjalan pada permukaan yang tidak rata.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa kemampuan fungsional seperti jalan cepat, perubahan langkah, melangkah ke samping dan melangkah melewati rintangan akan sulit dilakukan oleh lansia. Penurunan kemampuan fungsional lansia dikaitkan dengan masalah keseimbangan dan jatuh. Beberapa faktor yang menyebabkan jatuh seperti penurunan kekuatan otot, penurunan fleksibilitas, dan hilangnya propioseptor ekstremitas bawah. Untuk mencegah jatuh pada lansia, dapat dilakukan dengan cara olahraga dengan prinsip penguatan, kontrol, keseimbangan dan berjalan dalam arah yang berbeda (Mao, 2006).

(19)

2.6 Senam Aerobic Low Impact

2.6.1 Definisi Senam Aerobic Low Impact

Pada kondisi lanjut usia (lansia) terjadi penurunan massa otot serta kekuatan (Martono, 2004). Hal tersebut diperburuk dengan keadaan lansia yang kurang aktif. Kondisi demikian dapat berdampak pada kemampuan para lansia dalam beraktivitas. Guna menjaga kemampuan para lansia yang non-patologis (kondisi bugar) namun kurang aktif maka lansia disarankan untuk melakukan senam aerobic low impact atau sering disebut senam lansia.

Caines (2014) menyatakan senam yang dapat diaplikasikan pada kondisi lansia merupakan senam jenis aerobic low impact dimana tidak adanya gerakan pembebanan yang berat maupun gerakan-gerakan melompat yang dapat menciderai lansia. Selain itu, gerakan pada aerobic low impact juga disesuaikan dengan gerakan tubuh yang dinamis dan irama musik yang lambat-sedang. Senam

aerobic low impact adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak

memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktifitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkliaran di dalam tubuh.

Prinsip dalam senam aerobic low impact pada lansia sama dengan senam aerobik pada umumnya. Gerakan-gerakan pada senam dirancang untuk menggerakan seluruh otot secara berkesinambungan, terutama otot besar dengan gerakan secara terus menerus, berirama, maju dan berkelanjutan serta energi yang diperlukan berasal dari proses oksidasi (Budiharjo, 2005). Pollock (2003)

(20)

mengklasifiksikan intensitas latihan berdasarkan pencapaian frekuensi denyut jantung latihan. Kecukupan frekuensi denyut jantung maksimal atau Maximal

Heart Rate (MHR) yaitu 35-59% disebut intensitas sangat ringan, 60-69% disebut

ringan, 70-79% disebut sedang, 80-89% disebut tinggi dan lebih besar dari 90% disebut sangat tinggi. American College of Sport Medicine (ACSM) merekomendasikan bahwa untuk perkembangan kapasitas aerobik, intensitas harus mencapai 60-69% dari MHR. Menurut Budiharjo (2005) MHR pada pria dapat diukur dengan rumus (220 – umur) dalam tahun, sedangkan pada wanita dapat diukur dengan (200 – umur) dalam tahun. Gerakan pada senam tersebut terbagi menjadi 3 fase yaitu: (1) warming up (pemanasan) selama 10, (2) gerakan inti selama 30 menit dan (3) colling down (pendinginan) selama 15 menit.

Menurut Kostic, et all (2006), untuk memperoleh kebugaran serta tujuan, latihan sebaliknya dilakukan dengan frekuensi 2-5 kali perminggu dan dengan durasi latihan 20-60 menit. Yu (2009), menyatakan bahwa durasi latihan 15-30 menit sudah dinilai cukup apabila latihan dilakukan secara terus menerus dan didahului 5-10 menit pemanasan dan diakhiri dengan 5-10 menit pendinginan 2.6.2 Fase Gerakan Dalam Senam Aerobic Low Impact

Dalam penelitian ini diberikan program senam aerobic low impact yang sama pada kedua kelompok. Senam ini dilakukan dalam tiga fase yaitu pemanasan

(warming up), (2) inti (conditioning) dan (3) pendinginan (colling down). Kriteria

(21)

a. Gerakan Pemanasan (warming up)

Pemanasan merupakan serangkaian gerakan persiapan yang harus dilakukan untuk mengawali aktifitas senam dengan tujuan untuk mempersiapkan anggota gerak tubuh baik otot, tulang maupun sistem kardiovaskuler agar dapat melakukan aktifitas gerakan yang lebih berat pada latihan berikutnya dan mencegah terjadinya cidera.

Pemanasan dilakukan secara bertahap tanpa menyebabkan kelelahan dan sukup untuk meningkatkan suhu otot dan suhu inti tubuh. Pemanasan dapat dilakukan mulai dari gerakan-gerakan sederhana yang kecil ke gerakan yang lebih kompleks dan besar secara bertahap guna mempersiapkan otot-otot dan sendi, meningkatkan denyut jantung, meningkatkan sirkulasi cairan dalam tubuh serta mempersiapkan tubuh secara psikologis dan emosional (Brick, 2001).

Karakteristik dari fase pemanasan yaitu dilakukan selama 10 menit dari total latihan dengan gerakan berupa penguluran otot-otot, sendi dan gerakan senam ringan untuk memperkenalkan organ tubuh serta merangsang otot agar mengenali kebutuhan gerak.

Keberhasilan dalam melakukan pemanasan ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh 1-2oC, pengeluaran keringat, peningkatan denyut jantung secara bertahap hingga mencapai 60% denyut jantung maksimal.

b. Gerakan Inti (conditioning)

Fase inti merupakan fase utama dari sistematika senam. Pada fase ini harus tercapai target latihan sebagai indikator untuk memprediksi bahwa latihan tersebut telah mencapai zona latihan. Rentang zona latihan aerobik adalah 60-90% dari

(22)

denyut jantung maksimal, dimana denyut nadi seseorang bervariasi tergantung umur, genetik, jenis kelamin, IMT, etnis dan stress.

Menurut Giriwijoyo (2013) fase ini mempertimbangkan latihan dengan intensitas cukup besar untuk merangsang peningkatan stroke volume dan cardiac

output serta untuk meningkatkan sirkulasi lokal dan metabolisme aerobik pada

kelompok otot yang terlibat. Penekanan latihan submaksimal, berirama, berulang-ulang, dinamis dan melibatkan kelompok otot besar. Waktu yang dibutuhkan dalam fase ini 30 menit untuk total gerakan.

Gerakan dalam fase ini dapat bertujuan untuk menguatkan otot-otot terutama pada tungkai agar kestabilan tubuh terjaga. Posisi gerakan yang berdiri sambil menggerakan tubuh bagian atas selain memperkuat otot-otot tubuh juga dapat membantu otot-otot ekstremitas bawah terutama gluteal, quadriceps,

hamstring, gastrocnemius dan tibialis unutk berkerja meningkatkan keseimbangan

karena otot-otot pada pinggul dan tungkai bawah tersebut semakin kuat. c. Gerakan pendinginan

Pada fase pendinginan dapat menggunakan gerakan yang berupa penguluran ringan atau menyerupai pemanasan. Pendinginan mencegah akumulasi darah pada anggota gerak tubuh dengan tetap menggunakan otot untuk mempertahankan aliran balik vena. Pendinginan bermanfaat untuk mencegah pingsan dengan meningkatkan kembalinya darah ke jantung dan otak saat cardic

output dan aliran balik vena menurun. Fase pendinginan berlangsung 5-10 menit

(23)

2.6.3 Senam Aerobik Low Impact terhadap Keseimbangan

Senam aerobic low impact meningkatkan keseimbangan pada lansia, oleh karena gerakan yang digunakan dalam senam aerobic low impact komponen keseimbangan seperti sistem muskuloskeletal, sensomotorik dan neuromuskular, berikut analisis unsur-unsur posisi dan gerakan senam aerobic low impact yang meningkatkan keseimbangan:

a. Gerakan pada posisi kaki rapat

Kaki rapat mengakibatkan base of support menjadi sempit. Sempitnya

base of support akan meminimalisir kerja visual dan meningkatnya body sway.

Minimalnya kerja visual akan mengakibatkan berkurangnya input vestibular sehingga mengakibatkan propioseptif bekerja mempertahankan keseimbangan akibat adanya persepsi ketidakseimbangan. Respon keseimbangan akan muncul sebagai umpan balik adanya ketidakstabilan akibat BOS yang sempit. Respon umpan balik terjadi secara cepat dengan adanya aktifasi desenden dan tanggapan singkat atency refleks akibat adanya gerakan kompensasi mekanik pergelangan kaki menstabilkan otot dan mengubah informasi proprioseptif (Chang, 2009)

b. Gerakan membuka kaki, gerakan jalan di tempat dan gerakan berjalan ke samping

Kaki terbuka mengakibatkan base of support menjadi bervariasi. Base of

support yang bervariasi akan merangsang propioseptif untuk identifikasi posisi

sendi. Identifikasi posisi sendi direspon tubuh sebagai informasi gerakan baru kemudian timbul umpan balik untuk mempertahankan posisi tetap seimbang. Pengulangan posisi dengan BOS yang besar akan diterima oleh otak dan COG

(24)

untuk secara cepat memberikan umpan balik sehingga keseimbangan dapat dicapai secara otomatis (Streepey, 2007)

c. Gerakan kepala

Senam aerobic low impact memiliki unsur gerakan kepala yaitu fleksi, ekstensi, lateral fleksi, dan rotasi kepala. Gerakan kepala tersebut terdapat pada bagian pemanasan, inti dan pendinginan. Gerakan kepala yang paling mempengaruhi keseimbangan adalah gerakan lateral fleksi dan gerakan rotasi.

Gerakan lateral fleksi kepala akan mempengaruhi sistem vestibular yaitu utrikulus dan sakulus. Pergerakan linier seperti gerakan fleksi kepala akan merangsang makula yang terdiri dari sel-sel rambut. Stereosilia dari sel-sel rambut yang panjang menjadi gel kental yang disebut membran otolithic akan menanggapi gerakan kepala. Lateral fleksi kepala menyebabkan membran

otolithic untuk meluncur di atas makula arah gravitasi. Membran otolithic

bergerak, stereosilia menekuk menyebabkan beberapa sel rambut untuk mendepolarisasi dan yang lain hiperpolarisasi. Posisi yang tepat dari kepala ditafsirkan oleh otak berdasarkan pola depolarisasi sel rambut. Perbedaan inersia antara stereosilia sel rambut dan membran otolithic mengarahkan ke gaya geser yang menyebabkan stereosilia untuk menekuk ke arah akselerasi linear dan tubuh harus merespon secara tepat agar seimbang.

Gerakan rotasi pada senam aerobic low impact akan mempengaruhi semisirkular kanal oleh mekanisme sistem push-pull. Pergerakan rotasi kepala akan menyebabkan seluruh cairan keluar kanal dan selama gerakan rotasi maka terjadi pergerakan kupula dan rambut sensorik. Pergerakan silia menyebabkan

(25)

exictation sel menuju kinocilium dan frekuensi perubahan kecepatan gerak rotasi yang ditransmisikan kinocilium akan menggerakan serabut saraf vestibular memberi input menuju ke saraf kranial. Sinyal yang dikirim ke saraf ini menyebabkan refleks vestibulo-okular yang akan memungkinkan mata untuk memperbaiki posisi pada objek bergerak.

Gerakan baru akan dikirim ke retikular kemudian dikirim ke sumsum tulang belakang dan terjadi reaksi refleks cepat untuk kedua tungkai dan batang untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Saladin, 2011). Perubahan rotasi kepala akan di proses ke thalamus yang memungkinkan untuk kepala dan kontrol motor tubuh serta menjadi sadar posisi tubuh dan merespon gerakan rotasi kepala yang berlawanan yaitu gerakan ke kiri atau sebaliknya.

d. Gerakan persilangan antara kaki dan tangan

Gerakan persilangan akan mengkoordinasikan otak atas (korteks) dan batang otak kemudian ke pusat gerak dan pusat nerves cranialis yang akan aktivasi di serebelum sehingga merangsang vestibular system (Thomas, 2012).

e. Gerakan berdiri dan gerakan berdiri satu kaki

Masukan (input) proprioseptor pada sendi, tendon dan otot dari kulit di telapak kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri statis maupun dinamis. Pengaturan posisi tubuh akan merangsang central

processing yang berfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata respon

sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor. Selain itu, efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan respon yang telah

(26)

terprogram sistem saraf pusat, yang terdiri dari unsur lingkup gerak sendi, kekuatan otot, aligmen sikap, serta stamina.

Pada saat berdiri tegak, dan berdiri satu kaki tubuh harus meminimalisir gerakan kecil yang muncul dari tubuh, yang biasa disebut dengan ayunan tubuh agar tetap seimbang.

2.7 Aquatic Exercise Therapy

2.7.1 Prinsip Aquatic Exercise Therapy

Prinsip-prinsip yang dimiliki oleh air membuat latihan menjadi lebih mudah dan bermanfaat terhadap keseimbangan lansia, sebagai berikut:

a. Gaya apung (buoyancy)

Gaya apung (buoyancy) adalah gaya tekan ke atas yang dihasilkan cairan yang terjadi ketika tubuh masuk kedalam air. Hukum Archimedes menyatakan ketika tubuh masuk ke dalam air dalam keadaan istirahat, maka akan terjadi dorongan oleh air terhadap tubuh ke arah atas (Brody, 2009).

Buoyancy dan gaya gravitasi secara konstan saling melawan dan mencapai

keseimbangan saat tubuh terbenam sebagian. Posisi tubuh berdiri atau vertikal mencapai keseimbangan jika terbenam sedalam bahu. Buoyancy dapat memberikan dukungan atau tahanan. Buoyancy digunakan untuk mengurangi gaya gravitasi pada anggota gerak tubuh yang lemah sehingga mampu menahan berat badan, mengurangi tekanan sendi dan mengurangi tegangan otot yang menumpu badan serta dapat digunakan untuk latihan mobilisasi seseorang yang mengalami kekakuan sendi atau penurunan kekuatan otot. Buoyancy juga dapat menjadi

(27)

tahanan untuk meningkatkan kekuatan otot jika tubuh digerakkan menjauhi permukaan air (Vargas, 2004).

Ketika melakukan latihan di dalam air, gerakan akan dihambat oleh tekanan air sehingga otot akan berkontraksi lebih kuat untuk melawan dan mempertahankan posisi tubuh agar mencapai keadaan stabil.

b. Tekanan hidrostatik atau hukum pascal

Cairan memberikan tekanan pada seluruh permukaan tubuh yang terbenam sesuai dengan kedalaman. Tekanan hidrostatik membantu mendorong darah kembali kejantung lebih efisian. Air disekeliling tubuh membantu sirkulasi darah dari tungkai menuju jantung. Tekanan hidrostatis juga memberikan penekanan ringan di sekitar tulang rusuk sehingga pada saat bernapas ketika tubuh berada di dalam air, akan membentuk latihan yang sangat baik bagi pernapasan (Brody, 2009).

c. Kepadatan relative (Relative density)

Relative density berhubungan dengan berat jenis suatu objek sama dengan

isi dari cairan pada suhu dan tekanan yang standar. Objek yang memiliki kepadatan lebih tinggi dari pada air akan tenggelam dan sebaliknya. Jaringan otot lebih padat dibandingkan jaringan lemak. Sehingga orang yang kurus dan berotot akan cenderung tenggelam, sedangkan orang yang lebih banyak jaringan lemaknya akan cenderung mengapung (Brody, 2009).

d. Tahanan cairan (fluid resistance)

Tahanan cairan terjadi akibat gaya yang melawan suatu ketika bergerak melewati air. Gerakan yang dilakukan di dalam air akan diperlambat oleh tahanan

(28)

cairan, semakin cepat benda bergerak maka semakin besar usaha yang harus dilakukan dan semakin besar pula tahanan cairan yang menghambat dari segala arah. Sementara bila di darat, tahan dirasakan hanya dari satu arah saja yang tergantung pada arah beban yang diberikan (Vargas, 2004).

Tahanan cairan memberikan keuntungan saat melakukan latihan di dalam air, karena memberikan efek penyanggan sehingga otot postural akan berkontraksi menjaga tubuh agar tetap pada posisi stabil. Tahanan cairan juga dapat meningkatkan kesadaran sensoris, meningkatkan waktu reaksi dan belajar mempertahankan keseimbangan dalam lingkungan air (Brody, 2009)

e. Turbulence

Teori Bernoulli menyatakan turbulence merupakan hubungan antara kecepatan cairan dengan tekanan cairan di dalam aliran yang tenang. Perubahan kecepatan dan arah gerakan dapat mengubah turbulence. Gerakan acak yang terjadi di dalam air, sebagai respon dari ketidakstabilan. Hal ini menyebabkan perubahan tekanan cairan dan terjadi putaran di dalam air. Efek dari putaran air memberikan efek pijatan untuk rileksasi dan tahanan pada saat latihan. Apabila seseorang bergerak melewati air, maka akan menghasilkan putaran arus. Putaran arus menyebabkan gangguan yang membuat kondisi tubuh di dalam air menjadi tidak stabil, sehingga otot-otot tungkai dan postural akan berkontaksi menjaga tubuh agar tetap seimbang (Brody, 2009).

(29)

2.7.3 Komponen spesifik aquatic exercise therapy

Aquatic exercise therapy terdiri dari beberapa komponen spesifik, yaitu

sebagai berikut :

a. Pemanasan (warming up)

Pemanasan merupakan latihan permulaan yang berguna untuk mempersiapkan fisik dan harus selalu dilakukan saat pertama kali sebelum memulai latihan. Gerakan dalam pemanasan harus dilakukan secara perlahan-lahan, yang bertujuan untuk mempersiapkan grup otot dan persendian, agar dapat terulur serta kuat saat terjadi kenaikan suhu dan sirkulasi dalam otot, tanpa harus menyebabkan timbulnya kelelahan pada otot dan adanya pengurangan cadangan energi. Pemanasan dapat membuat otot menjadi lebih fleksibel dan mengurangi terjadinya cedera (Brody, 2009).

Tujuan dari pemanasan adalah sebagai berikut (1) menaikkan suhu tubuh dan otot, (2) mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pada otot dan penguluran pada ligamen, (3) meningkatkan lingkup gerak sendi, (4) mengidentifikasi adanya nyeri atau keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS), (5) mencegah sakit pada otot atau spasme.

b. Inti (conditioning)

Latihan inti yang dirancang oleh peneliti terdiri dari dua tahap, yaitu penguluran (stretching) dan latihan keseimbangan.

1. Penguluran (stretching)

Stretching dirancang untuk meningkatkan LGS pada persendian.

(30)

kemampuan seseorang dan membuat pergerakan menjadi lebih efisien. Apabila fleksibilitas persendian meningkat, maka otot dan tendon akan menjadi lebih lunak (soft) dan ligamen menjadi lebih luwes (Kisner, 2010).

Spasme pada otot akan membuat LGS seseorang menjadi lebih

terbatas. Ketika melakukan latihan fleksibilitas, harus dihindari ballistic

stretching atau penguluran yang dilakukan secara tiba-tiba atau mendadak,

yang dapat memicu terjadinya spasme otot. Penguluran harus dilakukan secara perlahan dan dengan kecepatan sedang saat melakukan penguluran. Penguluran secara statis paling baik, karena saat dilakukan penguluran otot dibiarkan dalam keadaan memanjang tanpa menghasilkan sobekan pada jaringan otot. Untuk menghasilkan penguluran terbaik, maka saat melakukan penguluran pada suatu persendian, dilakukan penahanan selama 15 – 20 detik (Brody, 2009).

Tujuan dari latihan stretching ini adalah sebagai berikut (1) mengembalikan lingkup gerak sendi normal pada suatu persendian dan meningkatkan mobilitas jaringan lunak disekitar persendian, (2) untuk mencegah spasme otot, (3) untuk memfasilitasi rileksasi pada otot, (4) untuk mengurangi resiko terjadinya cedera pada otot saat latihan atau melakukan suatu pergerakan.

2. Latihan keseimbangan

Latihan keseimbangan bagi lansia di dalam air memberikan pengaruh yang baik, karena latihan di dalam air memanfaatkan prinsip fisik yang dimiliki oleh air. Prinsip penahanan yang diberikan oleh zat cair

(31)

dapat meningkatkan kesadaran sensoris seseorang serta meningkatkan waktu reaksi seseorang, sehingga dapat tetap mempertahankan posisi tubuh dalam keadaan tetap stabil. Hal ini dapat membuat seseorang menjadi lebih tanggap sehingga dapat menurunkan resiko jatuh yang sering terjadi pada lansia.

c. Pendinginan (colling down)

Pendinginan berfungsi menghilangkan ketegangan otot. Ketegangan otot dapat dihasilkan oleh tubuh secara fisiologis dan juga oleh psikologis. Ketegangan otot secara fisiologis dapat disebabkan oleh karena nyeri akut atau cedera, sedangkan ketegangan otot secara psikologis disebabkan oleh karena stres atau cemas. Faktor seperti kelelahan dan tekanan yang berlebihan pada seseorang akan dapat berpengaruh terhadap ketegangan ototnya. Rileksasi lokal dapat dilakukan dengan pemanasan, pemijatan (massage) dan penarikkan pada persendian. Rileksasi general dapat dilakukan dengan mengapung, meditasi seperti yoga, dan latihan pernapasan.

Tujuan dari gerakan rileksasi adalah menurunkan ketegangan otot, menurunkan atau mengurangi stres dan kecemasan, serta dapat untuk menghentikan lingkaran nyeri.

2.7.4 Aquatic exercise therapy terhadap keseimbangan

Aquatic exercise therapy meningkatkan keseimbangan pada lansia, oleh

karena gerakan yang digunakan dalam aquatic exercise therapy dapat meningkatan kualitas dari komponen keseimbangan seperti sistem

(32)

muskuloskeletal, sensomotorik dan neuromuskular, berikut analisis unsur-unsur posisi dan gerakan aquatic exercise therapy yang meningkatkan keseimbangan:

1. Straddle standing, Thigh side bends dan Heel raises

Saat kaki jinjit dan menyangga berat tubuh dengan kedua kaki atau satu kaki dan akan terjadi perubahan pada base of support (BOS) yang bervariasi, sehingga merangsang propioseptif untuk identifikasi posisi sendi. Identifikasi posisi sendi direspon tubuh sebagai informasi gerakan baru kemudian timbul umpan balik untuk mempertahan posisi tetap seimbang. Pengulangan posisi dengan BOS yang besar akan di terima oleh otak dan COG untuk secara cepat memberikan umpan balik sehingga keseimbangan dapat dicapai secara otomatis, dapat dilihat gambar 2.4.

(a) (b) (c)

Gambar 2.2 (a) Straddle standing, (b) Thigh side bends, (c) Heel raises (Brody, 2009)

2. Stork stand,Leg balance exercise dan Four-corner pivot

Bertumpu pada satu kaki dapat merangsang kontraksi otot tungkai agar mempertahankan posisi tubuh agar tetap stabil di dalam air. Gerakan ini juga merangsang propioseptif terhadap posisi sendi yang akan berdampak pada BOS yang akan memberikan respon ke otak dan COG mengalami perubahan secara cepat yang akan menimbulkan keseimbangan secara

(33)

otomatis. Terlebih lagi, saat bertumpu pada satu tungkai dan tungkai lainnya bergerak kedepan, samping dan belakang akan menyebabkan terjadinya putaran arus yang mengakibatkan ketidakstabilan tubuh. Otot-otot tungkai juga menerima hambatan oleh air sehingga otot-otot tungkai dan postural bekerja lebih kuat agar dapat mempertahankan kestabilan tubuh, dapat dilihat gambar 2.5.

(a) (b) (c)

Gambar 2.3 (a) Thigh side bends, (b) Leg balance exercise, (c) Four-corner pivot (Brody, 2009)

3. Forward walking, Backward walking, Side walking

Berjalan maju, mundur dan ke samping di dalam air dapat menimbulkan terjadinya tahanan cairan dan turbulence terhadap otot-otot tungkai dan postural dari segala arah serta memberikan efek kesadaran sensoris pada seluruh permukaan tubuh. Hal tersebut dapat meningkatkan waktu reaksi sehingga otot akan memberikan umpan balik terhadap tubuh agar mampu mempertahankan keseimbangan secara otomatis, dilihat dari gambar 2.6.

(34)

(a) (b) (c)

Gambar 2.4 (a) Forward walking, (b) Backward walking, (c) Side walking (Brody, 2009)

2.8 Pengukuran Keseimbangan Dinamis Pada Lansia

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur keseimbangan dimanis adalah

four square step test. Peralatan yang diperlukan dalam four square step test adalah

stopwatch dan 4 buah tongkat dengan panjang 90 cm digunakan untuk membuat

persegi di lantai. Keseimbangan dinamis diukur dengan satuan detik.

Gambar 2.7 Four square step test

Pelaksanaan four square step test adalah subjek berdiri pada persegi angka 1 dengan menghadap ke depan. Kemudian subjek melangkah ke samping kanan (persegi angka 2), melangkah ke belakang (persegi angka 3), melangkah ke

(35)

samping kiri (persegi angka 4), melangkah ke depan (persegi angka 1). Setelah itu, subyek kembali melangkah ke belakang (persegi angka 4), melangkah ke samping kanan (persegi angka 3), melangkah ke depan (persegi angka 2) dan berakhir melangkah ke samping kiri (persegi angka 1). Stopwatch dimulai sejak kaki pertama menyentuh lantai pada persegi angka 2 dan stopwatch dihentikan saat kaki terakhir menyentuh lantai pada persegi angka 1. Subjek diminta untuk menyelesaikan urutan secepat mungkin tanpa menyentuh tongkat dan kedua kaki harus menyentuh lantai pada setiap persegi (Gunarto, 2005).

Four square step test merupakan salah satu alat ukur keseimbangan yang

baik. Alat ukur ini mempunyai validitas dan reliabilitas yang baik pula. Dite (2002) menjelaskan bahwa alat ukur ini mempunyai reliabilitas inter-rater dengan r=0,99 dan retest reliability 0,98. Selain itu four square step test berkorelasi dengan alat ukur keseimbangan yang lainnya. Bahkan alat ukur ini mempunyai validitas yang lebih tinggi dengan nilai p<0,01.

Whitney (2007) menjelaskan bahwa ada kriteria dari hasil pengukuran menggunakan four square step test, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1

Kriteria Pengukuran Menggunakan Four Square Step Test

RESIKO JATUH NILAI

Tinggi > 15 detik

Sedang 11 – 15 detik

Gambar

Gambar 2.1 Line of Gravity (Huxam, 2005)  c.  Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
Gambar 2.7 Four square step test

Referensi

Dokumen terkait

PNPM Mandiri digagas untuk menjadi payung (koordinasi) dari puluhan program penanggulangan kemiskinan dari berbagai departemen yang ada pada saat itu, khususnya

Faktor koreksi yang digunakan pada model konstanta pengeringan dapat meningkatkan COD antara model dengan pengukuran untuk udara pengering dan menurunkan error

Tidak terdapat hubungan antara frekuensi makan sehari, kebiasaan sarapan pagi, dan kesukaan jajan dengan status gizi (p &gt;0.05), namun demikian frekuensi makan pada contoh

Tugas Akhir ini menggunakan teori dan perhitungan data yang ada untuk memilih jenis pompa, diameter pipa, tekanan air di dalam pipa dengan menggunakan data di lapangan sehingga

Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen pembimbing III bagi

Penerapan ERP dalam suatu perusahaan tidak harus dalam sistem yang utuh, tetapi dapat diterapkan dengan hanya menggunakan satu modul saja dulu sebagai pilot

Pengembalian akan menyebabkan promosi, kredit, komisi dan bonus akan disesuaikan atau ditarik kembali, untuk orang yang melakukan pengembalian dan untuk semua upline

Orang, proses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat di luar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun