• Tidak ada hasil yang ditemukan

Âli-’Imrân

Dalam dokumen tafsir - Repository UNISBA (Halaman 187-200)

Nama Surah

Surah Âli ‘Imrân adalah surah ketiga dari urutan surah dalam Mushaf Al-Quran. Ia termasuk golongan surah Madaniyyah, yaitu surah yang diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad Saw, setelah beliau hijrah ke Madinah, meskipun turun di Mekah. Jumlah ayat dalam surah ini sebanyak 200 (dua ratus), dan diturunkan setelah Surah Al-Baqarah (Al- Zuhaili, III, 1991: 140-142).

Surah tersebut diberi nama Âli ‘Imrân (keluarga `Imrân), menurut Al-Zuhaili, karena terdapat kisah keluarga Imran. Imran adalah ayah Siti Maryam (ibu kandung Nabi Isa as). Dengan kata lain, Imran adalah kakek Nabi Isa as. Dijelaskan, dalam surah ini, Siti Maryam dipersiapkan kedua orangtuanya, melalui nazar ibundanya, beribadah dan mengabdi di Baitul Maqdis. Allah Swt menganugerahkan rezeki baginya di dalam mihrab, memilih dan mengunggulkan Maryam dari wanita lain di zaman itu, dan memberi kabar gembira tentang akan lahir dari rahimnya seorang anak bernama Isa, pemilik pelbagai mukjizat.

Surah Âli ‘Imrân dan Al-Baqarah disebut juga dengan nama Al- Zahrawaini. Keduanya merupakan cahaya penerang pembaca pada

3

157



Âli-’Imrân

kebenaran. Boleh jadi, dampak bacaan kedua surah ini berupa cahaya yang prima di hari kiamat. Atau, keduanya mengandung nama Allah Yang Maha Agung.

Yang disebut terakhir ini, didasarkan pada riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah, dan lainnya, yang bersumber dari Asma Binti Yazid. Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya nama Allah Yang Maha Agung itu terdapat dalam dua ayat wa ilâhukum ilâhun wâhidun lâ ilâha illâ huwa l-Rahmânu l- Rahîm dan Allâhu lâ ilâha illâ huwa l-Hayyu l-Qayyûm.

Keutamaan Surah Âli ‘Imrân

Imam Muslim meriwayatkan, Al-Nawwas Ibnu Sam’an berkata, Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, pada hari kiamat nanti, Al-Quran dan ahlinya (Al-Quran) yang telah mengamalkan isi ajarannya akan didatangkan, didahului oleh Surah Al-Baqarah dan Âli ‘Imrân.

Hadis lain yang disandarkan kepada Abu Umamah Al-Bahili, menyatakan, Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, Bacalah Al-Quran, karena ia akan datang pada hari kiamat nanti sebagai pemberi syafaat kepada ahli Al-Quran. Bacalah pula Al-Zahrawaini (Surah Al-Baqarah dan Âli

‘Imrân), karena kedua surah ini akan datang pada hari kiamat seperti awan tebal atau seakan menjadi pelindung di atas kepala ahli Al-Quran (artinya, pahala membacanya datang sebagai pelindung); atau seperti dua kelompok burung yang melindungi pembaca dan pengamalnya. Bacalah Surah Al- Baqarah, karena mengambil dan mengamalkannya adalah berkah;

meninggalkannya adalah kerugian, para tukang sihir tidak sanggup mengambilnya (Al-Zuhaili, I, 1991: 142).

Hubungan antara Surah Al-Baqarah dan Surah Âli ‘Imrân

Al-Maraghi (I, t.t.: 92) melihat kaitan antara kedua surah ini sebagai berikut:

Pertama, kedua surah ini sama-sama dimulai dengan menyebut Al- Kitab (Al-Quran), dan penjelasan tentang keadaan manusia yang mengambil petunjuk-Nya. Pada Surah Al-Baqarah disebutkan tentang:

Pertama, orang yang beriman kepadanya (Mukmin); kedua, orang yang mengingkarinya (kafir) dan; ketiga, orang yang munafik. Adapun surah kedua, Âli ‘Imrân, menyebutkan kelompok orang yang ragu-ragu, yaitu orang-orang yang mengikuti apa yang samar (ayat mutasyabihât), karena hendak menebar fitnah. Sedangkan kelompok lain adalah orang yang

mendalam keilmuannya, beriman kepada ayat yang muhkamât (jelas) dan yang mutasyabihât (samar-samar) secara sama dan seimbang, seraya menyatakan bahwa keduanya datang dari sisi Tuhannya.

Kedua, dalam Surah Al-Baqarah diingatkan tentang penciptaan Adam as, sedangkan pada Surah Âli ‘Imrân disebutkan tentang penciptaan Isa as. Kemudian, menyerupakan (sebagai perbandingan) antara oknum yang kedua, yaitu Isa as yang lahir tanpa ayah, dengan oknum yang pertama (Adam as yang hadir tanpa ayah dan ibu): bahwa penciptaan itu berlaku tanpa melalui proses sunatullah yang sama dan lazim terjadi sebagaimana biasa.

Ketiga, masing-masing surah berisi penentangan terhadap Ahli Kitab.

Namun, penentangan terhadap Ahli Kitab (kaum Yahudi) di Surah Al-Baqarah diungkapkan secara panjang lebar, sedangkan penentangan terhadap kaun Nasrani disampaikan secara singkat. Di Surah Âli ‘Imrân, berlaku sebaliknya, yaitu penentangan terhadap kaum Nasrani dijelaskan secara panjang lebar, sedangkan penentangan terhadap kaum Yahudi dinyatakan secara lebih singkat. Ini lantaran kaum Nasrani datang lebih akhir dibanding kaum Yahudi. Oleh karena itu, pembicaraan tentang mereka (kaum Nasrani) datangnya kemudian daripada yang pertama, Yahudi, ditinjau dari urutan/

kedudukannya.

Keempat, di setiap akhir surah terdapat doa. Namun, doa di surah pertama berkisar tentang permohonan kemenangan atas penolak dakwah dan para penyerangnya, serta permohonan dihilangkannya beberapa beban agama (taklif). Ini sesuai dengan kondisi di permulaan perkembangan Islam. Adapun doa pada surah yang kedua mengandung permohonan agar umat mau menerima ajakan dakwah Islam dan permohonan pahala atas semua itu di akhirat.

Kelima, surah yang kedua ditutup dengan sesuatu yang relevan/

sesuai dengan awal surah yang pertama, seolah-olah sebagai penyempurnaan. Surah pertama dimulai dengan penetapan kebahagiaan/

kemenangan bagi orang-orang yang bertakwa, sedangkan surah ini diakhiri dengan firman Allah Swt, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Kandungan Surah Âli ‘Imrân

Surah Âli ‘Imrân ini, dalam tinjauan Al-Zuhaili (III, 1991; 141), mengandung perbicaraan tentang dua aspek, yaitu akidah dan syariat.

Tentang akidah, beberapa ayat menetapkan tentang: keesaan Allah Swt,

kenabian, kebenaran Al-Quran, penolakan atas keraguan Ahli Kitab tentang Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw, pengungkapan/deklarasi agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam, diskusi dengan kaum Nasrani tentang Al-Masih dan ketuhanannya, serta pendustaan mereka terhadap risalah Islam.

Perbincangan tentang perdebatan/diskusi tersebut menghabiskan hampir setengah dari surah ini. Tidak jauh berbeda dengan Surah Al-Baqarah yang hampir menghabiskan dua pertiga surah berkenaan kaum Yahudi dengan membongkar sejumlah keburukan, sifat, dan dosa keji yang mereka perbuat. Ditambahkan pula melalui surah ini, kritik tajam tentang mereka dan peringatan kepada siapa pun dari tipu daya Ahli Kitab.

Adapun tentang tasyrî’ (pemberlakuan syariat), beberapa ayatnya menjelaskan tentang hukum haji, jihad, larangan riba, dan balasan bagi para penolak (membayar) zakat. Di samping itu pula, ia berisi beberapa pelajaran, iktibar, dan nasihat dari dua peperangan yang telah terjadi, yaitu Perang Badar dan Uhud, serta bantahan terhadap sikap/sifat kaum munafik.

Surah ini ditutup sesuai dengan keadaan dua aspek di atas. Maka, surah ini menuntut agar (manusia) memikirkan dan merenungkan penciptaan langit dan bumi dengan berbagai rahasia dan keajaiban yang menakjubkan. Surah ini mewasiatkan agar bersabar dalam jihad di jalan Allah Swt dan bersiap-siaga di jalan-Nya, agar manusia mencapai derajat kebahagiaan yang tinggi, sebagaimana firman-Nya dalam ayat 200, Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

***

Penetapan Tauhid dan Penurunan Al-Kitab (Ayat 1-6)

(1) Alîf Lâm Mîm; (2) Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); (3) Dia menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil;

(4) Sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al- Furqan. Sungguh, orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah akan memeroleh azab yang berat. Allah Mahaperkasa lagi mempunyai hukuman;

(5) Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit;

(6) Dialah yang membentuk kamu dalam rahim menurut yang Dia kehendaki.

Tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS Âli ‘Imrân [3]: 1-6)

Latar dan Konteks

Ibnu Jarir, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Al-Mundzir, seperti dikutip Al-Maraghi (I, t.t.: 93-94), meriwayatkan bahwa ayat-ayat surah ini, kurang-lebih 80 ayat, diturunkan sehubungan peristiwa kehadiran kaum Nasrani Najran ke hadapan Nabi Saw Mereka hadir di sana sekitar 60 orang. Mereka berdebat dengan Nabi Saw soal Isa Ibnu Maryam as, selain mengadakan kedustaan terhadap Allah Swt dengan pendapatnya sendiri tentang-Nya.

“Bukankah kalian mengetahui bahwa anak itu akan mirip dan















































































































































menyerupai ayahnya?” Nabi Saw bertanya,

“Benar sekali,” jawab mereka.

“Bukankah kalian juga mengetahui bahwa Tuhan kita semua Maha Hidup dan tidak akan mati, sedangkan Nabi Isa as meninggal dunia?” tanya Nabi Saw lagi.

“Ya, itu juga benar,” jawab mereka.

“Bukankah kalian mengetahui bahwa Tuhan kita menguasai segala sesuatu, menjaga, dan memberinya rezeki?” Nabi Saw melanjutkan pertanyaan,

“Benar,” kata mereka.

“Apakah Isa as menguasai sesuatu dari semua itu?” tanya Nabi Saw.

“Tidak,” jawab mereka jujur.

“Bukankah kalian mengetahui bahwa Rabb kita telah menciptakan dan membentuk Isa as di dalam rahim sesuai dengan kehendak-Nya; dan Dia tidak makan, tidak minum, dan tidak buang hajat (seperti kita)?” tanya Nabi Saw.

“Benar!” kata mereka lagi.

“Bukankah kalian juga tahu bahwa Isa as dikandung oleh ibunya sebagaimana layaknya seorang ibu mengandung (janin), lalu melahirkan putranya sebagaimana pula seorang ibu melahirkan anaknya. Setelah lahir bayi itu diberi makanan, dan ia memakan makanan itu, minum, dan membuang hajat?” tanya Nabi Saw.

“Ya, itu benar,” jawab mereka.

“Kalau demikian halnya, mengapa kalian mengaku-aku dan mengarang-ngarang cerita tentang dirinya (sebagai anak Tuhan)?” tukas Nabi Saw, mengakhiri perbicangan itu.

Akhirnya, mulut mereka bungkam. Diam seribu bahasa. Mereka sebenarnya mengetahui (kebenaran) dan menyadari, tapi kemudian enggan, hingga menimbulkan penolakan. Atas kejadian itu, Allah Swt menurunkan ayat 1 dari Surah Âli ‘Imrân ini sampai akhir ayat.

Ditambahkan Al-Zuhaili (I, 1991: 145), kaum Nasrani Najran itu berdebat dengan Nabi Saw, mengenai Isa as. Namun demikian, pandangan mereka tentang Isa as tidak jelas dan tidak konsisen. Suatu kali mereka memandang Isa as sebagai putra Allah Swt, karena tidak memiliki ayah (seperti layaknya manusia lainnya). Di waktu lain, mereka mengatakan Isa as sebagai Tuhan karena menghidupkan orang yang sudah mati. Di saat berbeda, mereka mengatakan Isa adalah salah satu oknum Tuhan

dari yang tiga (konsep Trinitas), karena Allah Swt sering menggunakan kata qulnâ (Kami berkata) dan kata fa’alnâ (Kami mengerjakan/melakukan). Kalau memang Tuhan itu hanya satu, dalih mereka, niscaya Allah akan berfirman, Aku berfirman dan Aku mengerjakan (sesuatu).

Penjelasan Ayat

Allah Swt mengawali Surah Âli ‘Imrân ini dengan menetapkan keesaan Tuhan sebagai dasar agama, guna menafikkan/menghilangkan akidah atau ideologi Trinitas dengan firman-Nya:

(1) Alîf Lâm Mîm; (2) Allah, tidak ada tuhan selain Dia. (QS Âli ‘Imrân [3]: 1-2)

Ayat pertama, yaitu alif, lâm, mîm, adalah huruf-huruf yang teputus- putus (dibaca secara dieja), terletak di permulaan surah. Ini ditujukan untuk peringatan dan perhatian bagi orang yang diajak bicara tentang apa yang akan disampaikan (Al-Zuhaili, I, 1991: 146). Huruf-huruf ini pula yang digunakan untuk menantang orang-orang Arab untuk mendatangkan sesuatu yang setara atau seperti Al-Quran, sepanjang ia terdiri atas bahasa mereka, huruf-huruf yang mereka ucapkan, dan tersusun dari bahasa mereka.

Pada ayat kedua, Allah Swt menjelaskan siapa jati diri-Nya dan sifat- sifat yang dimiliki-Nya. Hanyalah Allah Tuhan yang layak diibadahi dengan sebenar-benarnya di alam yang wujud ini. Sebab, lanjut Al-Zuhaili, Dia-lah yang menciptakan dan menguasai alam dan jiwa. Dia pula yang menjadi sumber kebaikan dan penolak kejahatan. Dia Yang Maha hidup yang tiada berpermulaan dan tiada berakhir. Dia berdiri sendiri dalam mengatur alam atau makhluk-Nya, serta berkuasa atas bumi dan langit, sebelum Isa as diciptakan. Maka, bagaimana mungkin langit dan bumi bisa berdiri tegak dan teratur sebelum kelahiran Isa as dan setelah kematian beliau?

… Dia menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran …. (QS Âli ‘Imrân [3]: 3)





























….

Menurut Ibnu Katsir (I, 1980: 344), Allah Swt menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Al-Quran secara bertahap kepada Muhammad Saw dengan benar dan membawa kebenaran, tiada keraguan di dalamnya. B ahkan, i a di turunkan dari s i si Tuhannya dengan sepengetahuan-Nya dan disaksikan oleh malaikat-Nya. Maka, cukuplah Tuhan sebagai saksi.

… membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya.... (QS Âli ‘Imrân [3]: 3) Maksudnya, Al-Quran menjelaskan kebenaran kitab-kitab terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi pendahulu. Sebab, Al- Quran menetapkan wahyu dan menceritakan bahwa Allah telah mengirim beberapa Rasul yang diberi wahyu. Al-Quran membenarkan kitab terdahulu, dalam konteks ini, adalah bersifat global terhadap dasar dan asal wahyu yang dikirim kepada mereka. Bukan membenarkan secara rinci dan detail kitab-kitab yang ada dan dimiliki umat-umat terdahulu.

Bukankah Anda mengetahui bahwa kita membenarkan Nabi Muhammad Saw itu dengan mengambil apa saja yang diriwayatkan kitab-kitab hadis tanpa seleksi? Kita tidak lazim membenarkan apa yang diriwayatkan kitab-kitab itu, kecuali yang telah ditetapkan sebagai hadis yang sahih.

… dan menurunkan Taurat dan Injil; (4) sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia .... (QS Âli ‘Imrân [3]: 3-4)

Maksudnya, menurut Al-Zuhaili (I, 1991: 147), Allah Swt telah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as dan kitab Injil kepada Nabi Isa as sebelum Al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk kepada manusia pada zaman keduanya. Maka, Allah Swt yang menurunkan wahyu dan syariat sebelum datangnya Isa as dan setelah kematiannya. Nabi Isa as bukanlah sumber wahyu, melainkan seperti Nabi-Nabi yang lain, sebagai penerima wahyu. Bagaimana mungkin ia dapat menjadi Tuhan?

Menurut penafsiran Al-Maraghi (I, t.t.: 95-96), Allah Swt menurunkan

 …







.…

...

















….

kitab Taurat kepada Nabi Musa as sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Quran Al-Karim mengabarkan bahwa kaum Nabi Musa as tidak dapat memelihara kitab mereka. Al-Quran menjelaskan firman Allah Swt dalam QS Al-Maidah (5): 13, ... dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka.... Ini mengabarkan bahwa mereka telah mengubah perkataan Allah Swt dari tempatnya, padahal mereka telah menghapal dan meyakininya.

Perbuatan mereka dikuatkan oleh kitab-kitab yang berada di tangan mereka. Dalam kitab Tatsniyah disebutkan, ketika Musa as telah menyelesaikan tulisan kitab Taurat ini, Nabi Musa as memerintahkan orang-orang yang Al-Lawiyun, pembawa Tabut: Ambillah kitab Taurat ini dan letakkanlah di dalam Tabut, Tuhan kalian memerintahkan agar ada seorang saksi atas kamu sekalian. Sebab, aku mengetahui bahwa setelah kematianku nanti kalian akan menjadi perusak dan menyimpang dari jalan yang aku wasiatkan kepada kalian. Kalian akan ditimpa musibah/keburukan di kemudian hari, karena kalian membuat kejahatan di hadapan Tuhan, sehingga kalian membuat-Nya menjadi murka lantaran perbuatan kalian sendiri ... sampai Musa berkata kepada mereka,”Hadapkan hati kalian kepada kalimat-kalimat yang aku menjadi saksi atas kalian pada hari ini.

Agar kalian berwasiat dengan kalimat itu kepada anak-anak kalian, supaya mereka bersemangat untuk mengerjakan kalimat-kalimat Taurat tersebut.

Kalimat itu bukan perkara yang batil, melainkan hidup kalian. Dengan perintah ini, kalian berhari-hari menempuh jalan di bumi, melewati Yordania, untuk menguasainya.

Demikian pula tentang berita wafatnya Nabi Musa as dan keadaan tidak ada seorang Nabi pun dari Bani Israil yang menggantikan posisinya.

Maka, kedua berita ini, yaitu informasi tentang Musa menulis kitab Taurat dan kabar kematian beliau, adalah terbatas sekali dalam Taurat, dan bukan pula berita tentang syariat yang diturunkan kepada Musa as yang ditulisnya dan diletakkannya di dalam Tabut. Akan tetapi, keduanya ditulis sebagaimana berita lainnya sesudah beliau tidak ada/wafat (Al-Maraghi, III, t.t.: 96).

Allah Swt juga menurunkan kitab Injil kepada Nabi Isa as dan mengabarkan bahwa kaum Nasrani telah melupakan sebagian yang diajarkan kepada mereka, sebagaimana yang terjadi pada kaum Yahudi.

Bahkan, apa yang terjadi pada kaum Nasrani lebih parah lagi. Sebab, kitab Taurat ditulis pada zaman diturunkannya, (hingga) banyak orang yang membaca dan mengamalkan syariat dan hukum-hukumnya, tetapi

kemudian dinyatakan hilang. Meskipun demikian, masih banyak hukum kitab Taurat ini yang masih mereka pelihara dan mereka ketahui.

Adapun kitab-kitab kaum Nasrani tidak dikenal dan termasyhur, kecuali pada abad keempat Masehi, karena para pengikutnya berperang dengan Yahudi dan Romawi, sehingga Kostantin menganut agama Nasrani, lebih jauhnya lagi, muncullah kitab-kitab mereka, antara lain, sejarah tentang Al-Masih yang mencakup sebagian sabda-sabdanya (Injil). Kitab- kitab itu banyak sekali. Kemudian, para pemimpin memberlakukan hukum itu, sehingga akhirnya disepakati bahwa kitab itu berjumlah empat saja (Al-Maraghi, III, t.t.: 97).

Ringkasnya, kata Al-Maraghi, Allah Swt telah menurunkan kitab Taurat dan Injil guna menjadi petunjuk bagi mereka kepada kebenaran saat diturunkannya. Di antara ajarannya adalah tentang (perintah) beriman kepada Muhammad Saw dan mengikuti beliau setelah diangkat menjadi Rasul. Baik kitab Taurat maupun Injil berisi berita gembira kedatangan beliau dan perintah untuk menaatinya serta penghapusan syariat dan hukum kedua kitab di atas dengan kitab yang diturunkan kepada beliau.

Al-Zuhaili (III, t.t.: 147) menambahkan, Allah Swt telah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa as dan Injil kepada Nabi Isa as, sebelum datangnya Al-Quran, sebagai hidayah (petunjuk) dan bimbingan kepada manusia pada zamannya. Karena itu, Allah-lah yang menurunkan wahyu dan syariat sebelum adanya Isa dan sesudahnya. Isa as bukanlah sumber datangnya wahyu, akan tetapi beliau, seperti juga nabi-nabi lainnya, adalah penerima wahyu. Bagaimana mungkin Isa as, menjadi Tuhan?

… dan Dia menurunkan Al-Furqan .... (QS Âli ‘Imrân [3]: 4)

Maksudnya, menurut Al-Maraghi (III, t.t.: 97), sesungguhnya Allah Swt telah menurunkan akal yang dapat membedakan antara hak dan batil.

Ayat lain menyebutkan bahwa “Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dengan benar dan menurunkan timbangan (al-mîzân) (QS Al-Syûrâ` [42]:

17) sedangkan al-mîzân artinya adalah adil/keadilan.

Maka, Allah Swt menggandengkan dua hal kepada Al-Kitab ini, yaitu al-furqân yang dengannya kita dapat membedakan antara akidah yang benar dengan yang batil; sedangkan al-mîzân adalah sesuatu yang dengan menggunakannya kita dapat mengetahui kebenaran dalam bidang hukum dan

…



....

berlaku adil di tengah-tengah manusia.

Singkatnya, akidah yang dilandasi dengan keterangan yang rasional/

masuk akal, maka itu adalah kebenaran yang bersumber dari Allah Swt.

Sedangkan suatu hukum yang dilandasi dengan adil dan keadilan adalah diturunkan dari-Nya, sekalipun tidak ditetapkan secara tertulis dalam Al- Quran. Sebab, Allah Swt adalah Zat yang menurunkan (kebenaran) dan memberi ruang dan peluang kepada akal dan keadilan (al-furqân dan al- mîzân), sebagaimana Allah yang menurunkan Al-Quran ini.

… Sungguh, orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah akan memeroleh azab yang berat. Allah Mahaperkasa lagi mempunyai hukuman.

(QS Âli ‘Imrân [3]: 4)

Sesungguhnya orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah yang isinya membicarakan keesaan-Nya dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Kemudian, yang pertama-tama mereka dustakan Al-Quran, lalu mendustakan juga kitab-kitab samawi lainnya sebagai dampak lanjutannya. Maka, bagi mereka disediakan azab yang keras, lantaran kekufuran akal pikiran mereka, yaitu berupa khurafat dan kebatilan yang mengotori jiwa, dan menjadi penyebab mereka mendapat hukuman di akhirat nanti, di mana kehidupan ruhani dikalahkan oleh kehidupan materi.

Allah Mahaperkasa, yang dengan keperkasaan-Nya dapat melaksanakan sunatullah yang dimiliki-Nya , dan membalas kepada yang menyalahi dan menentang keperkasaan-Nya dengan kekuasaan-Nya yang tidak mungkin dapat dicegah (Al-Maraghi, III, t.t.: 98).

Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.

(QS Âli ‘Imrân [3]: 5)

Sesungguhnya, Allah Swt menurunkan kitab-kitab yang berisi ajaran kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, apabila mereka mau menegakkannya. Dia mengetahui apa yang dilahirkan/ dinyatakan atau yang tersimpan di hati, sehingga tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, tentang keadaaan orang yang benar dalam keimanannya, keadaan orang kafir,

 ...

















































Dalam dokumen tafsir - Repository UNISBA (Halaman 187-200)

Dokumen terkait