Seperti masalah masa ‘iddah mut}allaqahyang terputus hadinya sebelum umur monopous, imam Shafi’i didalam qaul qadimnya dan imam Malik berpendapat bahwasanya masa‘iddahwanita tersebut adalah satu tahun. Hal ini karena mempertimbangkan kepastian kosongnya rahim dengan menghitung masa biasanya hamil dan ‘iddah tiga bulan bagi wanita yang monopous, jadi semua genap menjadi satu tahun.196
Sedangkan imam Shafi’i dalam qaul jadidnya197 berpendapat bahwasanya wanita tersebut wajib menunggu haidnya keluar hingga mencapai umur monopous, setelah itu, ber’iddah selama tiga bulan layaknya wanita monopous. Setelah penulis meneliti pada sub Bab sebelumnya ternyata pendapat imam Shafi’i lebih banyak mengandung d}arar daripada maslahat, maka harus mengedepankan menolak mafsadat dari pada mendatangkan maslahat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah fiqh
َد ْر
ُأ
mempertimbangkan bahwasanya pendapat imam Shafi’i adalah pendapat yang merupakan yurisprudensi yang dihasilkan dari ijtihad dan masih terdapat ikhtila>fdi dalamnya.
Untuk melakukan rekonstruksi maka penulis harus mengkaji dalil yang digunakan shafi’iyah yaitu al-Baqarah ayat 228:, dari dalil yang digunakan imam Shafi’i untuk konteks masalah ini memang tidak salah, akan tetapi apabila ayat ini dipaksakan terhadap masalah ini maka akan terjadi paradok antara maslahat dan ayat talak.
Dalam hal ini al-Tufi menawarkan konsep maslahatnya disaat terjadi paradoks antara maslahat dan nas. Al-Tufi berpendapat sumber- sumber hukum tradisional yang paling kuat adalah konsensus para ahli hukum (ijma’) dan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Sunnah atau hadits-hadits Nabi).Jika dua sumber ini sejalan dengan kemasalahatan manusia, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan, maka perlidungan kemaslahatan diprioritaskan dari kedua sumber tersebut. Pemberian prioritas kepada perlindungan kemaslahatan, kata al- Tûfi tidak dimaksudkan untuk menghentikan secara total validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk menjelaskan fungsinya yang proposional Menurutnya, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan prinsip hukum paling tinggi karena ia merupakan tujuan pertama agama dan pokok dari maksud syari’ah.198
Pernyataan al-Ṭūfī yang menganggap maslahat dapat didahulukan atas naṣ dan ijmā’ memang sangat kontroversial. Terlebih, apabila pernyataan al-
198 Bazro Jamhar, Konsep Maslahat dan Aplikasinya dalam Penetapan Hukum Islam, Sinopsis (semarang, 2012), 10-11
Ṭūfī dipahami apa adanya dan tanpa melihat secara utuh pesan yang ingin disampaikan olehnya. Tidak heran kemudian, akibat pernyataannya yang kontroversial ini, al-Ṭūfī mendapat julukan sebagai pemikir liberal yang wajib dijauhi.
Namun demikian, menurut penulis, pemikiran al-Ṭūfī masih berada dalam track shari’ah. Secara tekstual, al-Ṭūfī memang menyatakan bahwa maslahat dapat mengalahkan naṣ dan ijmā’ ketika dua dalil tersebut tidak sejalan dengan prinsip kemaslahatan. Didahulukannya prinsip kemaslahatan atas naṣ dan ijmā’ melalui mekanisme Takhṣīṣ dan Tabyīn merupakan sikap al-Ṭūfī yang oleh penulis dijadikan alasan mengapa dia dianggap tetap berada dalam track syari’ah. MekanismeTakhṣīṣ danTabyīnadalah cara yang biasa dalam praktek Ushul Fiqh. Banyak contoh yang dapat diajukan dalam masalah ini.
Mekanisme TakhṣīṣdanTabyīntidak menjadikan naṣ ataupun ijmā’ tidak berlaku lagi. Mekanisme ini hanya mengenyampingkan ketentuan yang ada dalam naṣ maupun ijmā’ tanpa membuang sama sekali fungsinya. Dalam praktek ushul fiqh berbagai mazhab, mekanisme ini lazim digunakan.
Bahkan salah satu fungsi dari Hadis Nabi adalah melakukan Takhṣīṣ dan Tabyīn terhadap Al-Qur’an. Mekanisme Takhṣīṣ dan Tabyīn Hadis terhadap Al-Qur’an tidak mereduksi dan meniadakan ketentuan yang ada dalam Al-
Qur’an, namun justru semakin memperjelas ketentuan yang ada di dalamnya.199
Kalau konsep al-Tufi tersebut diterapkan pada masalah ini, maka masalah mut}allaqah yang terputus haidnya sebelum umur monopous bisa diposisikan
sebagai mukhas}s}is} bagi keumuman lafad mut}allaqah yang ada pada surat al- Baqarah :228. Lafad 200تﺎﻘﻠﻄﻤﻟا pada surat al-Baqarah :228 mengandung pengertian bahwaasanya semua wanita yang ditalak suaminya baik yang masih haid, monopous, anak kecil, dan wanita yang terputus haidnya sebelum umur monopous wajib menjalani masa‘iddahselama tigaQuru>’.
Dengan menggunakan konsep maslahat al-Tu>fi maka pemahamannya
menjadi, semua wanita yang ditalak suaminya wajib menjalankan masa ‘iddah selama tigaquru>’kecualimut}allaqahyang terputus haidnya sebelum mencapai umur monopous.
Untuk menentukan masa ‘iddahnya maka dibutuhkan penelitian terhadap masa ‘iddah tigaquru>’. Penentuan tiga quru>’adalah hukum yang kebanyakan pertimbangannya memakai pertimbangan ta’abbudi, karena kalau tiga quru>’
bertujuan untuk mengetahui kebersihan rahim maka hal itu bisa diketahui pada masa haid yang pertama.
Sedangkan pertimbangan yang dipakai al-shafi’i didalam qaul qadi>mnya adalah pertimbangan bersihnya rahim perempuan dengan cara mengira-ngira dengan membatasi waktu sembilan bulan ditambah tiga bulan yaitu satu tahun.
199 Syaiful Bahri, “Menakar Liberitas Pemikiran al-Tufi Tentang Maslahat dalam Hukum Islam”,Universum,9 (2) (Juli, 2015), 147.
200 Lafad al-mutallaqat Termasuk lafad am karena lafad tersebut adalah lafad yang didahului oleh al. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, al-Wadih fi Usul al-Fiqh (Kairo:
Dar al-Salam, 2004), 187
jadi bisa diketahui bahwasanya imam Shafi’i dalam qaul qadi>mnya lebih banyak menggunakan pertimbangan akal dan bersihnya rahim dan qaul jadi>dnya lebih menggunakan terhadap pendekatan tekstual yang ada pada ayat talak. Untuk menentukan masa ‘iddahdalam konteks masalah yang diteliti oleh penulis, maka penulis harus menggabungkan pendekatan akal dan tekstual.
Salah satu tujuan dishari’atkannya ‘iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim, oleh karena itu didalam hukum ‘iddah masa maksimal yang berlaku yang ditetapkan langsung oleh sha>ri’ adalah sampai lahirnya kandungan. Sementara masa tiga kali sucian adalah masa yang langsung ditetapkan olehsha>ri’yang akal masih belum bisa menjangkau tujuannya.
Akan tetapi apabila masa tiga kali sucian dihitung dengan menggunakan bulan, maka normalnya adalah tiga bulan. Hal ini sama dengan masa ‘iddah wanita yang monopous dan anak yang masih belum pernah haid. Ini dikarenakan karena kedua perempuan ini sudah tidak lagi keluar darah haid.
Oleh karena itu tiga bulan adalah sebagai ganti dari tiga kali suci.
Dengan menggunakan pertimbangan yang sudah dipaparkan maka masa
‘iddah mut}allaqahyang terputus haidnya sebelum umur monopous adalah tiga bulan. Karena masa ini adalah masa yang ditetapkan oleh Allah sebagai ganti dari masa tiga kali suci bagi perempuan yang sudah tidak lagi keluar haid. Dan pada masa ini, adalah masa yang tidak akan memberatkan terhadap laki-laki dan perempuan.
BAB V