Al-Ghurâb wa al-bulbul
Gagak Dan Burung Bul Bul
Cha`-cha`iyah
43.
نهاذش اي
Ya syadzâhan HaiSyadzahan
Ha`-ha`iyah 44.
بدا نم
حونزلا
Min adab az- zunûch
Tata Karma Si Kulit Hitam
Lam-lam-dal Nun-nun-dal Ra`-ra`-dal 45.
ةيمارغ
gharâmiyah Percintaan Ra`-ra`iyah46.
ريقفلا
Al-faqîr Fakir Hamzah-hamziyah
Berdasarkan tabel tersebut, penyair menginovasikan bunyi akhir dengan tertata, teratur, dan sistematis sehingga menimbulkan efoni yang indah dan merdu. Pembaruan ini tidak terlepas dari persinggungan sastra Arab dengan sastra Barat di Amerika melalui para penyair Mahjar.
Persinggungan ini juga menumbuhkan kesadaran para penyair Arab (Mahjar) untuk memasukkan gagasan-gagasan yang lebih universal dan kaidah-kaidah estetika kontemporer dalam puisi Arab, termasuk munculnya rima awal, rima tengah, dan rima akhir (qâfiyah).
Di antara fungsi irama dalam sajak-sajak dalam antologi puisi Al- Jadawil adalah sebagai berikut.
1. Memperjelas makna sajak.
Sebagaimana fungsi unsur bunyi yang lain, irama juga berfungsi untuk memperjelas makna sajak. Misalnya, pada sajak ath-thalasim; Al- Bachru, terdapat bunyi panjang karena adanya huruf alif tidak berpemarkah yang terletak setelah konsonan berpemarkah. Contohnya ungkapan pertanyaan yang ada pada bait ke-6 “hal anâ yâ bachru minkâ?
Bunyi a pada yâ, bunyi a pada minkâ, dan a setelah konsonan n pada anâ akan berbeda nuansanya jika 3 kata tersebut dibaca pendek.
Dengan adanya vokal a panjang (long vowels) tersebut, maka kalimat itu jika dibaca akan terasa berat dan rendah yang panjang. Hal ini sesuai dengan ungkapan pertanyaan si aku lirik kepada lautan yang tanpa batas sebagai si engkau lirik. Bunyi k yang mendominasi sajak akhir sajak al- bachru ini juga bisa menuansakan suasana ketertekanan, yaitu keingintahuan si aku lirik akan jati dirinya dan keinginannya hidup bebas merdeka. Untuk melenyapkan keresahan hati dan ketertekanannya, si aku lirik berdialog dengan lautan yang dianggap bernasib sama dengan dirinya.
Kegundahan hati si aku lirik yang ingin tahu jati dirinya, kemudian pertanyaannya kepada lautan yang luas menjadi cocok jika ungkapan pertanyaan itu menggunakan vokal a panjang dan bukan vokal i panjang.
Vokal a yang panjang menggambarkan keresahan yang belum berakhir
dalam jiwa si aku lirik karena pertanyaannya masih menjadi teka-teki yang belum terjawab. Dengan demikian, irama ini sesuai dengan asonansi a yang mendominasi sajak “Ath-Thalâsim”. Begitu pula dengan persajakannya, bait-bait sajak ini didominasi pula oleh bunyi konsonan hambat yang berkombinasi dengan vokal a yang berat dan rendah.
Pola persajakan yang berubah-ubah antara bait yang satu dengan bait yang lain tentu menjadikan ritme sajak ini pun bervariasi. Ritme ini tentunya terkait dengan makna sajak yang berisi ketidakpastian dalam diri si aku lirik. Ketidakpastian dan pergolakan dalam jiwa si aku lirik membuatnya bertanya dan mempertanyakan apa yang sedang dialaminya dari awal kehidupan hingga akhir kehidupan. Pertanyaan si aku lirik yang belum terjawab itu menjadi teka-teki bagi si aku lirik dan tentunya juga bagi pembaca.
Ritme yang berubah-ubah dan bervariasi, khususnya ritme sajak akhir dari awal bait sampai akhir bait menunjukkan bahwa pertanyaan yang diajukan si aku lirik pun berbeda-beda dan jawaban yang dibutuhkannya pun berbeda sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Di samping itu, perubahan ritme bertujuan untuk menimbulkan perubahan tema (Tarigan, 1984: 34-35; Situmorang, 1983: 35). Hal ini juga tampak pada sajak “Ath-Thalâsim” yang dibagi dalam beberapa subbab yang tentunya memiliki subtema.
Di samping ritme, metrum juga mendukung makna sajak. Misalnya, metrum pada sajak ini yang berubah-ubah dan tidak mengikuti pola baku dalam sastra Arab menunjukkan ketidakpastian akibat keresahan hati si aku lirik yang ingin mengetahui jawaban atas berbagai pertanyaannya.
Pada sajak Ath-Thalasim misalnya, terdapat satu bentuk pola yang tetap yang terletak di akhir baris ke-4 pada setiap bait, yaitu pola fâ’ilâtun.
Pola ini mendukung makna sajak, yaitu jawaban yang konsisten atas pertanyaan-pertanyaan si aku lirik, yaitu ungkapan ‘aku tak tahu’ (lastu adri). Meskipun pola ini konsisten, tetapi karena pola sebelumnya tidak konsisten, maka pola ini pun tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu jenis metrum karena ternyata beberapa metrum menggunakan pola tersebut, yaitu metrum khafif, madid, raml, khafif, dan mujtats (Aziz, 1993:
24-47). Ketidakjelasan pola metrum ini tentunya juga mendukung makna sajak yang berisi teka-teki yang belum terjawab. Jadi, irama (ritme dan metrum) berfungsi mendukung makna sajak.
2. Sebagai orkestrasi, yaitu menimbulkan bunyi musik.
Sajak-sajak dalam antologi puisi Al-Jadawil, jika dibaca akan dapat dirasakan keindahannya akibat adanya pola-pola irama yang teratur dan melodius karena ketika dibaca terasa merdu bunyinya. Misalnya pada sajak ath-thalasim, Terdapat pola persajakan yang bervariasi dan persamaan bunyi pada setiap akhir baris ke-4. Perulangan bunyi, pergantian bunyi, dan pertentangan bunyi yang terdapat dalam sajak ini menimbulkan puisi terdengar merdu dan menyebabkan pikiran terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan yang jelas dan hidup.
Dengan adanya irama, seolah pembaca dan pendengar bersatu dengan objeknya. Intensitas ciri penggunaan bahasa dengan berbagai tujuan dan motif yang melatarbelakanginya tidak dapat dilepaskan dari konteks keberadaan penyair sesuai dengan karakteristik zamannya.
Artinya, keberadaan sajak-sajak dalam antologi puisi Al-Jadawil karya Îliyyâ Âbû Mâdhî, tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan.
Ditinjau dari proses penciptaannya, penyair adalah seorang individu yang memiliki dunia dan pengalaman serta pengetahuan yang juga dibentuk oleh ruang dan waktu sesuai dengan zamannya. Dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki itu menentukan karakteristik karya sastra yang diciptakannya (Aminuddin, 1995: 125).
Îliyyâ Âbû Mâdhî sebagai seorang sastrawan Arab mahjar, yaitu sastrawan Arab yang pindah ke New York pada tahun 1911 dapatlah dikatakan sebagai penyair modern. Îliyyâ Âbû Mâdhî adalah penyair modern yang mengikuti aliran romantisme. Hal ini tampak pada sajak- sajaknya yang memanfaatkan aspek bunyi secara maksimal. Îliyyâ Âbû Mâdhî, di samping menggunakan perulangan bunyi berupa asonansi dan aliterasi, ia juga memanfaatkan penggunaan rima dan irama yang
menimbulkan keindahan dalam sajak dan mengintensifkan arti sajak tersebut.
1.1.2 Gaya kata sajak-sajak dalam antologi puisi Al-Jadâwil
Penyair menggunakan perulangan kata pada hampir keseluruhan sajak dalam antologi. Perulangan kata dimaksudkan untuk memberi penekanan akan pentingnya kata tersebut dalam sajak, di samping juga perulangan kata dan kalimat. Misal, Kata “Ath-Thalâsim” yang berarti
“teka-teki” dipilih sebagai judul karena kata inilah yang mewakili seluruh bait sajak tersebut. Pada akhir bait sajak pendahuluan, penyair menyatakan bahwa sajak ini sebagai teka-teki (lughzun). Penyair berkata:” A lihâdzâl-lughzi challun? Am sayabqâ abadiyyâ (Apakah teka-teki ini memiliki pemecahan? ataukah akan tetap kekal?) Sebagai sebuah teka-teki, Si aku menjawab ‘lastu adrî (aku tak tahu).
Selanjutnya, pada bait sajak terakhir, penyair juga berkata:” Anâ lughzun, wa dzihâbî kamaji`î thalsamu Wal-ladzî aujada hâdzâl-lughza lughzun mubhamu. Lâ tujâdil...dzul-chijâ man qâla innî (Aku sebuah teka-teki, dan pergiku seperti datangku, teka-teki pula. Yang membuat teka-teki ini adalah teka-teki yang tersembunyi. Jangan kau berdebat...yang punya teka-teki adalah yang berkata bahwa sungguh aku. Aku tak tahu).
Kata Thalâsim adalah bentuk jamak dari thilasmun. Kata “Ath- Thalâsim” memiliki arti puzzles, talismans, mysteries, riddles (http://www.free webs.com/poetry translation, 2004). Kata “Ath-Thalâsim” merupakan kata serapan dari bahasa Inggris ‘talismans’. Penyerapan ini dalam bahasa Arab disebut dengan ta’rib (Arabization). Penyerapan itu menimbulkan adanya perubahan aspek fonologis, yaitu berubahnya bunyi /t/ dalam bahasa Inggris (talismans) menjadi bunyi ط (th) dalam bahasa Arab
(مسلاط). Perubahan itu mengikuti kelaziman dalam bahasa Arab (Syamsul
Hadi, 2002: 77-79).
Bait-bait sajak “Ath-Thalâsim” berisi teka-teki kehidupan yang ditulis dalam bentuk sajak dengan model pertanyaan sebagaimana teka-teki pada umumnya. Ungkapan-ungkapan pertanyaan itu sengaja dijawab si aku lirik dengan kalimat “aku tak tahu” untuk memancing mitra tutur
(pembaca/ pendengar) berpikir mengenai jawabannya sesuai dengan konteks masing-masing. Tawaran jawaban yang disodorkan si aku dengan beberapa pilihan yang muncul dalam sajak ini, menunjukkan bahwa si aku lirik bukannya tidak mengetahui jawaban tersebut, melainkan sebagai sebuah pertanyaan teka-teki, soal-soal yang diajukan memang tidak seharusnya dijawab sendiri. Si aku lirik memberikan kesempatan kepada mitra tuturnya untuk merenungkan teka-teki kehidupan tersebut sehingga sajak benar-benar memerankan fungsinya sebagai media komunikasi antara penyair dan pembaca.
Bentuk-betuk repetisi huruf dan kata yang muncul selain dalam antologi puisi AL-Jadawil Adalah sebagai berikut.
1. Repetisi Huruf Tabel 18: Repetisi huruf
Rima Akhir Teks
Nama Sajak