• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Tidak Dijaminnya Pemenuhan Hak Penganut Aliran Kepercayaan

Dalam dokumen SANIRI - fh unpatti (Halaman 42-46)

88

masih merasa kesulitan untuk menggunakan hak konstitusionalnya, seperti yang dialami oleh penganut aliran kepercayaan.

Ketua Umum Puan Hayati pusat, Dian Jennie Tjahjawati menegaskan, semakin berkurangnya pemeluk/penerus suatu agama, maka jumlah pemeluknya juga semakin berkurang. Hal ini terjadi karena pemeluk kepercayaan sampai saat ini menghadapi stigma dan diskriminasi. Namun bagi yang percaya, Putusan MK Nomor 97/PUU- XIV/2016 menghadirkan peluang sekaligus kesulitan. Pilihan ini memungkinkan pemeluk agama untuk mencantumkan keyakinan mereka pada kartu identitas pemerintah. Menurut evaluasi peraturan yang berlaku, akan lebih mudah untuk meningkatkan layanan publik bagi penganut aliran kepercayaan.

Begitu pula dengan administrasi perkawinan, tidak sedikit pasangan penghayat

89

Negara memiliki banyak kewajiban sebagai pelindung hak konstitusi. Kewajiban yang paling awal adalah untuk menegakkan hak-hak dasar masyarakat, maka negara berkewajiban memenuhi perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya. Hal itu harus termasuk kedalam kesepakatan yang bersifat universal. Dengan begitu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara ada tiga. Pertama, yaitu negara wajib untuk menghormati (to respect) hak konstitusi. Maksudnya adalah, Setiap orang memiliki hak dasar yang harus diakui oleh negara dan tidak dapat dibatasi oleh undang-undang.

Kedua, pemerintah wajib membela hak konstitusional.

Kewajiban tersebut sudah terpenuhi misal dengan cara meratifikasi perjanjian internasional tentang hak asasi manusia menjadi hukum nasional, namun dengan cara lainnya seperti negara menghapus peraturan yang diskriminatif sebagai tindakan lain dari jaminan negara terhadap hak konstiusi. Ketiga, negara wajib untuk memenuhi (to fulfill) hak konstitusi. Memenuhi hak konstitusi adalah langkah formal untuk melanjutkan jaminan pemenuhan hak-hak terhadap penganut aliran kepercayaan.

Selain memiliki tanggung jawab, negara juga erat kaitannya dengan kewajiban.

Sederhananya, state responsibility terjadi ketika negara gagal menegakkan tanggung jawabnya, yang meliputi pengakuan, pembelaan, dan pelaksanaan hak asasi manusia.

Mengingat posisi kekuasaan negara, memungkinkan adanya pelanggaran yang sangat tinggi oleh negara. Ada tiga cara pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Pertama, negara melakukan kekerasan dengan tindakan (violence by commission). Kedua, negara membiarkan terjadinya pelanggaran yang terjadi (violence by omission). Ketiga, negara melakukan pelanggaran dengan membuat produk yang membatasi bahkan melanggar hak asasi manusia (violence by judicial). Ini tidak diragukan lagi menjadi subjek tugas negara, oleh karena itu, kepatuhan suatu negara terhadap hukum memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana hak konstitusionalnya dilaksanakan. Kepatuhan terhadap hukum sangat penting adanya ratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional yang mengikat, tetapi tidak menjamin bahwa akan ada lebih sedikit atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang berada di bawah kendali hukumnya. Oleh karena itu, kepatuhan dan moral suatu negara harus berjalan selaras satu sama lain.

Sikap tegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi merupakan pengujian undang- undang terhadap UUD 1945 adalah putusan dari negative legislator yang kekuatannya mengikatnya sama dengan kekuatan mengikat undang-undang. Oleh karena itu, tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi sama kualifikasinya dengan tidak mematuhi

90

undang-undang. Lebih jauh lagi, oleh karena Mahkamah Konstitusi adalah penafsir Konstitusi (UUD 1945), maka putusannya (putusan dalam perkara pengujian undang- undang terhadap UUD 1945) pada hakikatnya bermuatan penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi terhadap norma undangundang yang dimohonkan pengujian.

Oleh karena itu, mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dikategorikan sebagai kesengajaan membangkang terhadap Konstitusi (UUD 1945).

Hak untuk menganut agama atau kepercayaan – yang substansinya mencakup ruang lingkup sebagaimana tertuang dalam tiga instrumen internasional hak asasi manusia di atas – telah dimasukkan ke dalam UUD 1945, sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 28E ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sebagai Konstitusi, UUD 1945 adalah hukum fundamental, the supreme law, di Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dengan memasukkan hak-hak asasi manusia, termasuk dalam hal ini hak untuk menganut agama atau kepercayaan, ke dalam UUD 1945 berarti telah memberikan status hak konstitusional kepada hak-hak tersebut. Dengan status demikian, hak-hak itu kini menjadi bagian dari hukum fundamental. Oleh sebab itu, pelanggaran terhadapnya adalah pelanggaran terhadap hukum fundamental dan karenanya harus dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan.

Inilah yang menjadi landasan penalaran dijadikannya adanya dugaan pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagai syarat untuk dapat dilakukannya pengujian terhadap undang-undang.

Bertolak dari seluruh uraian pada sub-bab ini dan dalam konteks perlindungan terhadap hak konstitusional penghayat kepercayaan pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, hal penting yang harus digarisbawahi ialah adanya dua kewajiban hukum yang kepada negara dituntut pemenuhannya. Pertama, kewajiban hukum internasional yang diturunkan dari keikutsertaan Indonesia sebagai negara pihak (state party) pada International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kedua, kewajiban hukum yang diturunkan dari ketentuan Konstitusi (UUD NRI 1945), sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi lewat putusannya yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap.

Dengan adanya dua kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh negara tersebut dan berhubung di Indonesia belum diadopsi mekanisme pengaduan konstitusional maka bagi warga negara Indonesia penghayat kepercayaan yang tetap diperlakukan diskriminatif meskipun telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016 tersedia beberapa mekanisme hukum yang dapat ditempuh:

91

1. Pertama, warga negara Indonesia penghayat kepercayaan dapat mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit atau citizen suit) dengan tuntutan agar pengadilan memerintahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana mestinya; misalnya, tuntutan untuk tidak lagi mengosongkan kolom agama pada KTP warga negara Indonesia penghayat kepercayaan melainkan mencantumkan “penghayat kepercayaan” pada kolom dimaksud. Meskipun mula-mula gugatan warga negara ini diintroduksi dalam hukum lingkungan, jika merujuk pada praktik atau kenyataan empirik di Indonesia, hingga saat ini sudah banyak gugatan warga negara yang diterima pengajuannya oleh pengadilan-pengadilan di Indonesia, terlepas dari apa pun amar putusannya.

Misalnya, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. (gugatan perkara buruh migran yang dideportasi di Nunukan); Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 228/Pdt.G/

2006/PN.Jkt/Pst (perkara Ujian Nasional); Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 278/Pdt.G/2010/PN. Jkt.Pst (perkara penyelenggaraan jaminan sosial).

Gugatan warga negara (citizen lawsuit atau citizen suit) gugatan yang memungkinkan warga negara menuntut atau menggugat pemerintah karena pelanggaran dalam pengertian pemenuhan hak-hak warga negara. Tujuannya adalah guna melindungi warga negara dari kerugian yang disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian pejabat negara atau pemerintah. Dengan bertolak dari pengertian demikian maka menggunakan mekanisme gugatan warga negara dalam konteks pemenuhan hak konstitusional warga negara Indonesia penghayat kepercayaan sangat memenuhi syarat karena:

a) Yang menjadi tergugat adalah penyelenggara negara;

b) fundamentum petendi atau posita gugatannya adalah kelalaian negara (penyelenggaran pemerintahan) dalam memenuhi hak konstitusional warga negaranya;

c) Dari sudut pandang penggugatnya, dalam hal ini penggugat bukan hanya warga negara Indonesia namun sekaligus warga negara Indonesia yang secara faktual mengalami kerugian sebagai akibat tidak terpenuhinya hak konstitusional dirinya;

d) hal yang diminta untuk diputus atau petitum gugatan bukanlah ganti kerugian materiil melainkan dilakukannya tindakan tertentu atau dihentikannya tindakan

92

tertentu, dalam hal ini dihentikannya tindakan diskriminatif terhadap kelompok warga negara Indonesia penghayat kepercayaan

2. Membuat pengaduan resmi kepada presiden dengan tuntutan agar presiden menegur kepala daerah yang tetap membangkang terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. Presiden, yang secara konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, merupakan penanggung jawab tertinggi pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu, Presiden bukan hanya berwenang menegur tetapi juga menjatuhkan sanksi administratif tertentu kepada pemerintah daerah, baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud. Lagi pula, Negara, khususnya pemerintah, secara tegas diamanatkan untuk bertanggung jawab atas pelestarian, pemajuan, penegakan, dan perwujudan hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28I ayat 4 UUD1945.8

Dalam dokumen SANIRI - fh unpatti (Halaman 42-46)

Dokumen terkait