BAB IV BAB IV PENUTUP, dalam ini dibahas mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah ditetapkan
B. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Dalam Memutus Perkara Cerai Gugat Dari Tahun 2018-2022
2. Analisis Terhadap Dasar Hukum Hakim Ditinjau Dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
a. Perkara Nomor 0876/Pdt.G/2018/PA.Kab.Mn
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dalam perkara ini terlihat jelas bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering mengalami perselisihan dan pertengkaran didasarkan oleh fakta-fakta dalam dalil gugatan Penggugat. Rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah retak dan sulit untuk dirukunkan kembali yang terbukti dengan Penggugat dan Tergugat sudah pisah tempat tinggal selama 7 tahun 6 bulan. Hal ini menyebabkan Majelis Hakim memandang bahwa tujuan perkawinan keduanya tidak dapat diwujudkan sebagaimana Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yakni membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Sehingga antara Penggugat dan Tergugat lebih baik untuk diceraikan daripada dipertahakan dan menambah kemudharatan.
Disetiap persidangan, sesuai Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang sudah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Nomor 9
Tahun 1975 Majelis Hakim tidak berhasil menasehati Penggugat sehingga sikap Penggugat ini menunjukkan kebulatan tekadnya untuk bercerai dengan Tergugat. Dalil-dalil yang diajukan dalam gugatan Penggugat sudah memenuhi alasan-alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam serta pendapat ahli hukum yang terdapat dalam Kitab Ghayatul Maram halam 79 yang diambil alih oleh Majelis Hakim sebagai dasar hukum perkara ini. Berdasarkan pertimbangan dan dasar hukum yang dipakai, maka gugatan Penggugat patut untuk dikabulkan dan dijatuhkan talak satu ba’in terhadap Penggugat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara sudah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni telah mendasarkan fakta-fakta hukum yang dimunculkan ke dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
b. Perkara Nomor 1708/Pdt.G/2019/PA.Kab.Mn
Dalam perkara ini terlihat jelas bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering mengalami perselisihan dan pertengkaran.
Tergugat tidak memberi nafkah kepada Penggugat dan berakibat pada pisah rumah selama 2 tahun 6 bulan. Sehingga rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah hancur berantakan karena perselisihan yang terus menerus disertai tidak adanya komunikasi
diantara keduanya yang mengidentifikasi pecahnya hati kedua belah pihak dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun. Dalam kasus ini terlihat nahwa tujuan perkawinan sesuai Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak dapat diwujudkan. Dalam kasus ini Penggugat sangat menunjukkan kebenciannya kepada Tergugat, sehingga halnini menjadi fakta tersendiri untuk nmempertajam adanya permasalahan dalam rumah tangga keduanya.
Dalam kasus ini dinilai bahwa kemudharatan yang diperoleh lebih besar daripada kemaslahatan. Untuk dapat mewujudkan kemaslahatan maka menceraikan keduanya adalah jalan alternatif yang tepat untuk membawa kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan yang terus menerus. Dengan menceraikan keduanya, maka penderitaan yang berkepanjangan yang dialami oleh Penggugat bisa dihentikan. Dalam kaidah ushuliyyah menolak kerusakan lebih didahulukan daripada nmendatangkan kemaslahatan. Dalam kasus ini Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih hujjah syar’iyyah dalam Kitab Ghayatul Maram Lis Syaikhil Majdi sebagai pendapat Majelis Hakim diman jika sudah memuncak kebencian seoarang istri kepada suaminya maka hakim berwenang untuk menceraikan istri tersebut dari suaminya. Upaya merukunkan Penggugat dan Tergugat juga tidak berhasil sehingga maksud dalam Pasal 22 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah terpenuhi.
Gugatan perceraian yang diajukan Penggugat juga telah memenuhi Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam sehingga gugatn tergugat terbukti menurut hukum. Dari uraian diatas dapast disimpulkan bahwa dasar hukum hakim yang digunakan sudah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 1 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ditambahkan hujjah syar’iiyah dalam Kitab Ghayatul Maram.
c. Perkara Nomor 363/Pdt.G/2020/PA.Kab.Mn
Dalam perkara ini terlihat jelas bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering mengalami perselisihan dan pertengakaran dalam rumah tangganya. Fakta-fakta yang ada menujukkan bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah retak dan sulit untuk disatukan kembali. Penggugat dan Tergugat sudah pisah tempat tinggal selama 13 tahun dan selama itu pula upaya rukun yang dilakukan tidak tercapai. Dalam perkara ini Majelis Hakim memandang bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat telah bertentangan dengan tujuan perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan dan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun tujuan perkawinan ini tidak terwujud dalam kasus ini. Sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa antara Penggugat dan Tergugat lebih maslahah untuk diceraikan. Mempertahankan rumah tangga yang demikian akan menambah kemudharatan baik bagi Penggugat maupun Tergugat.
Alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh Penggugat juga sudah memenuhi pasal 19 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam serta mengambil alih pendapat ahli hukum dalam Kitab Ghayatul Maram halaman 79 yang mana jika istri sudah sangat tidak senang kepada suaminya, maka hakim dapat menjatuhkan talak satu ba’in. sebagai. Pendapat ahli hukum dalam Kitab Ghayatul Mara mini juga dijadikan sebagai dasar hukum dalam perkara ini. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan hakim adalah Peturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam sehingga dasar hukum yang digunakan hakim ini sudah sesuai dengan perspektif yang digunakan.
d. Perkara Nomor 1064/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mn
Dalam perkara ini terlihat jelas bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengakaran sebab
masalah ekonomi yang menyebabkan Tergugat juga melakukan tindak kekerasan terhadap Penggugat. Hal ini menjadikan Penggugat mengalami broken marriage. Upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim juga tidak tercapai untuk menyelamatkan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat. Jika upaya damai tidak berhasil, maka sudah dapat dipastikan bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah berantakan dan jika dipertahankan akan menimbulkan kesengsaraan dan kesusahan lahir batin bagi Penggugat. Kondisi rumah tangga yang demikian akan menimbulkan mudharat.sehingga untuk mewujudkan tujuan perkawinan, maka memutuskan ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dianggap sebagai jalan alternatif pemecah masalah karena mudharat yang ditanggung lebih besar daripada maslahah yang diperoleh.
Kekerasan yang dialami oleh Penggugat juga harus dihentikan berdarakan Pasal 5 huruf (d) jo. Pasal 9 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dalil-dalil perceraian yang diajukan Penggugat, fakta-fakta dan bukti yang telah dimunculkan telah memenuhi alasan-alasan dapat diajukannya perecraian sebagaimana dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam ditambahkan dengan pendapat pakar hukum Islam Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhu as Sunnah Juz II halaman 249 bahwa jika istri menggugat cerai karena suaminya memudharatkan sehingga menggoyahkan keutuhan rumah tangga maka diperbolehkan bagi istri untuk meminta cerai kepada hakim dan apabila mudharat tersebut terbukti dan perdamaian tidak tercapai maka hakim menjatuhkan talak satu ba’in. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa jika suami memberi mudharat maka sitri dapat mengajukan gugatan perceraian. Dari uraian tersebuat, dasar hukum yang dipakai dalam kasus ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
e. Perkara Nomor 238/Pdt.G/2022/PA.Kab.Mn
Dalam perkara ini terlihat jelas bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dirukunkan kembali karena perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Upaya perdamaian yang dilakukan juga tidak berhasul mendamaikan keduanya. Jika terus dipertahankan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat akan menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan lahir maupun batin Penggugat. Kondisi kehidupan rumah tangga yang demikian akan menjadi mudharat bagi keduanya dan untuk kedepannya. Sehingga perceraian adalah jalan pemecah masalah untuk menghilangkan kerusakan sebab
mudharat yang ditanggung lebih besar daripada maslahah yang didapat.. Hukum Islam juga mempunyai tujuan yakni mencapai maslahah dan menolak mafsadat untuk kebahagiaan dan keselamatan manusia. Dalam perkawinan, suami tidak boleh memberi mudharat istri dan istri tidak boleh member mudharat suami. Dalam kasus ini juga ditemukan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Tergugat, bentuk tindakan ini masuk dalam Pasal 5 huruf (d) jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang harus segera diakhiri.
Dalil-dalil perceraian yang diajukan oleh Penggugat juga telah terbukti dan memenuhi alasan-alasan dapat diajukannya perceraian sebagaimana Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang ditambahkan dengan pendapat hukum Islam Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhu as Sunnah Juz II halaman 249 bahwa jika istri menggugat cerai karena suaminya memudharatkan sehingga menggoyahkan keutuhan rumah tangga maka diperbolehkan bagi istri untuk meminta cerai kepada hakim dan apabila mudharat tersebut terbukti dan perdamaian tidak tercapai maka hakim menjatuhkan talak satu ba’in. Dari uraian diatas dasar hukum hakim dalam memutus perkara sudah merujuk
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan kelima putusan tersebut apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam pertimbangan dan dasar hukum hakim yang digunakan dalam memutus perkara telah sesuai dengan ketentuan. Walaupun ada beberapa putusan yang dasar hukumnya memiliki perbedaan.
Dalam perkara Nomor 0876/Pdt.G/2018/PA.Kab.Mn, Nomor
1718/Pdt.G/2019/PA.Kab.Mn, dan Nomor
363/Pdt.G/2018/PA.Kab.Mn menggunakan dasar hukum yang diambil dari Kitab Ghoyatul Maram sedangkan dalam putusan Nomor 1064/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mn dan Nomor 238/Pdt.G/2022/PA.Kab.Mn menggunakan dasar hukum yang diambil dari Hukum Islam Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhu as Sunnah, Juz 11 halaman 149. Meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa perkara, dasar hukum yang digunakan baik dalam Kitab Ghayatul Maram maupun Kitab Fiqhu as Sunnah sudah sesuai dalam memutus perkara. Dalam Kitab Ghayatul Maram dijelaskan bahwa jika istri sudah sangat tidak senang kepada suami, maka hakim dapat menjatuhkan talak (suami) kepada istrinya dengan talak ba’in satu kali. Sedangkan dalam Kitab Fiqhu as Sunnah dijelaskan bahwa jika istri menggugat cerai karena suaminya memudharatkan terhadap istri misalnuya memukul, mencaci maki,
berkata kasar, melakukan perbuatan yang munkar, seperti berjudi ataupun yang lainnyasehingga menggoyahkan keutuhan rumah tangga, maka dibolehkan bagi istri untuk meminta cerai kepada hakim dan apabila mudharatnya telah terbukti dan perdamaian tidak tercapai mka hakim menetapkan talak satu ba’in. Sehingga menurut penulis, putusan-putusan tersebut diputus oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan-pertimbangan dan dasar hukum sudah sesuai.
Pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan gugatan Penggugat, fakta-fakta yang ditemukan dan bukti-bukti yang dimunculkan sudah sesuai dengan perspektif Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi dasar hukum dalam memutus perkara. Dimana perkara- perkara perceraian tersebut sudah memenuhi alasan-alasan perceraian meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa putusan.
Gugatan yang diajukan oleh Penggugat telah memenuhi Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Dasar hukum yang digunakan juga sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bahwasanya perceraian hanya dapat dilakukan muka persidangan dan hakim dapat menjatuhkan talak satu ba’in sebab dalam hal ini istri sudah tidak
senang kepada suami dan menggugat cerai suami karena suaminya memudharatkan.
75 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan yakni
1. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara-perkara cerai gugat dari tahun 2018-2022 sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan di dalam proses persidangan. Tetapi meskipun sudah sesuai dengan fakta-fakta dalam persidangan terdapat perbedaan dalam pengambilan pasal yang digunakan hakim sebagai bahan pertimbangan yakni pada putusan Nomor 1064/Pdt.G/2021/PA.Kab.Mn dan 238/Pdt.G/2022/PA.Kab.Mn menggunakan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak menggunakan UU Perkawian dan KHI. Padahal dalam UU Perkawinan dan KHI Pasal 19 terdapat poin-poin yang dapat dijadikan alasan perceraian salah satunya jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang terdapat pada poin (d). Dalam hal menasehati Penggugat dan Tergugat hakim menggunakan PP Nomor 9 Tahun 1975 kecuali pada perkara tahun 2018 yang menggunakan pasal 82 UU Nomor 50 Tahun 2009 sehingga penggunakan pasal dalam pertimbangan hakim pada sidang perdamaian tidak merujuk pada Undang-Undang Perkawinan
dan KHI. Pertimbangan hakim jika dilihat dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI sudah sesuai yang dapat dilihat dari fakta-fakta dalam persidangan yang dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara merujuk pada Pasal 19 PP Nomor 1975 dan Pasal 116 KHI yang memuat alasan-alasan dapat diajukannya perceraian meskipun ada penambahan-penambahan pasal dalam Undang- Undang lainnya.
2. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dalam memutus kelima perkara tahun 2018-2020 adalah dengan menggunakan Kitab Ghoyatul Maram, sedangkan pada perkara tahun 2021-2022 dasar hukum yang digunaan oleh hakim dalam mengambil keputusan dengan menggunakan alih Kitab Fiqhu as-Sunnah. Dasar hukum yang digunakan sebagai rujukan pengambilan keputusan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun apabila dilihat dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI sudah sesuai dengan aturan yang berlaku, keesesuaian tersebut dilihat dari cara hakim dalam memutuskan sebuah perkara pada dasarnya adalah bebas yaitu sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni hakim memiliki kebebasan dalam memeriksa dan meemutus perkara.