• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BINTANG ROWOT, WARIGE DAN

A. Bintang Rowot

memperkirakan yang dimaksud era awal ini adalah pada rentan tahun 0-1300 M atau abad 1-abad 13 M.

Indikatomya adalah penampakan dari bintang Rowot tersebut sudah mengalami pergeseran yang dimungkinkan oleh berkembangnya alam semesta atau yang dikenal dengan teori Expanding Universe (Edwin Hubble).

Gugus bintang Pleiades atau yang dikenal oleh masyarakat Sasak dengan nama Rawat ini digunakan masyarakat Sasak sebagai penanda awal musim. Hasil pengamatan ini kemudian dicatat dalam sebuah “papan warige”.124 Papan warige juga dapat dikatakan sebagai kalender tradisional suku Sasak yang dikembangkan dan dipedomani oleh masyarakat Sasak.

Gambar 2.1 Papan Warige

Masyarakat Sasak mempedomani papan warige tersebut sebagai acuan penyelenggaraan gawe, betaletan (bercocok tanam), pembagian musim, arah naga (edar nage), wuku (pengaruh posisi rasi bintang terhadap peristiwa-peristiwa

124 Papan Warige adalah sebuah alat yang digunakan oleh para kiyai dalam menentukan tanggal, bulan, dan hari baik untuk masyarakat melakukan kegiatan sehari-hari ataupun hari-hari besar adat dan keagamaan.

Bentuk warige ini adalah berupa papan yang diukir dengan simbol-simbol tertentu.

Masyarakat tradisional Sasak secara turun-temurun mengajarkan kepada generasi berikutnya cara mengamati rasi bintang Rowot dan Tenggale. Rowot adalah sebuah rasi bintang yang muncul selama 11 bulan (330 hari).

Kemunculannya dari arah Timur Laut yang merupakan gugusan 7 bintang. Selain digunakan sebagai acuan dalam penetuan awal musim, Rowot juga dijadikan sebagai penanda awal tahun masyarakat Sasak. Namun, untuk menemukan pola perhitungan atau sistem kalendernya, maka satu-satunya petunjuk yang tegas, dalam hal penyebutan tanggal adalah ungkapan yang terlontar dalam cerita rakyat “Putri Mandalika” yang juga dikenal dengan wujudnya yang disebut sebagai Nyalé. Sang putri berjanji akan tetap kembali kepada masyarakatnya setiap tanggal 20

125 Irawan dkk. (2014). Mengenal Kalender Rowot Sasak. 2.

bulan 10\.126 Masyarakat sasak kemudian mengartikan pesan Putri Mandalika ini dengan pemahaman, tanggal 20 adalah waktu pada bulan tertentu di penanggalan Hijriah.

Sementara bulan 10 adalah bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak; awal bulannya ditandai dengan kemunculan bintang Rowot.

Sebagai suatu khasanah kebudayaan masyarakat Sasak yang terus berkutat dengan perkembangan jaman, dan jaman cenderung melemahkan tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat, dilakukanlah sebuah penelitian besar- besaran oleh beberapa tokoh diantaranya Lalu Ari Irawan dan Mawardi kepada beberapa tokoh yang salah satunya adalah Mamiq Tuan Agus Faturrahman. Penelitian ini bertujuan untuk mengakomodasi kekayaan intelektual masyarakat Sasak di antara era modernisasi abad Millenia saat ini (abad 20- 21 M). Salah satu bentuk real dari usaha tersebut adalah transformasi sistem kalender tradisional ke dalam format kalender konvensional oleh lembaga RONTAL (Rowot Nusantara Lombok).127

126 Lalu Ari Irawan. (2014). Warige: Pertautan Sasak dan Nusantara”.

Mataram: Makalah Sarasehan Revitalisasi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya. 12.

127 Irawan dkk. (2014). Mengenal Kalender Rowot Sasak. xii.

Pada tahun 2015 akhimya terbitlah Kalender Rowot Sasak pertama tahun 2015 dengan nama tahun Ehe. Inilah momentum besar bagi perkembangan Ilmu Astronomi tradisi Masyarakat Sasak dalam menjaga eksistensi dan keberlakuannya bagi hidup masyarakat. Penulis menyimpulkan bahwa periode ini dapat dikatakan sebagai periode baru atau periode terkini dari perkembangan keilmuan astronomi tradisi masyarakat Sasak. Periode ini merupakan yang sangat fundamental karena khazanah keilmuan astronomi tradisi ini akan lebih mudah diterima oleh masyarakat secara umum.

bintang lagi, yaitu Atlas dan Pleione (orang tua Pleiades dalam mitologi Yunani). Meskipun seringkali disebut sebagai rasi bintang, Pleiades sebenamya bukanlah salah satu dari 88 rasi bintang yang diakui oleh International Astronomical Union (IAU).

Pleiades sendiri datang dari kisah mitos (mitologi) bangsa Yunani. Mitologi bangsa Yunani menyebutkan bahwa Pleiades adalah tujuh bidadari. Mereka adalah Maia, Electra, Alcyone, Taygete, Asterope, Celaeno dan Merope. Ketujuh bidadari tersebut merupakan putri dari dewa Atlas sang penyangga langit. Setelah Pleiades bertemu dengan Orion, ketujuh bidadari dan ibunya menjadi objek buruan bagi sang pemburu. Terpesona dengan kecantikan wanita-wanita muda itu, Orion mengejar ketujuh bidadari beserta ibunya hingga ke muka Bumi. Melihat hal itu terjadi, Zeus mengubah mereka menjadi sekawanan burung merpati yang diletakkan di luar surga. Penduduk Olimpus (Olympian) menambahkan hukuman kepada mereka sebagai akibat meninggalkan surga tanpa ijin, para-Olympian menghukumnya untuk tetap menunaikan kewajiban mereka, yaitu menjaga surga namun tidak di dalam surga melainkan dari Bumi tempat manusia tinggal. Kini mereka tampak sebagai gugusan bintang di rasi Taurus.

Legenda yang sama juga terdapat pada suku Indian Kiowa di Amerika Utara. Ke tujuh gadis tersebut dibawa ke langit oleh Roh Agung untuk menyelamatkan mereka dari kejaran beruang besar. Indiana Mono Barat menganggap Pleiades sebagai kelompok para isteri yang sangat suka dengan bawang dan kemudian diusir oleh suami mereka yang marah.

Menyesali perbuatannya, ia kemudian berusaha mencari istri- istrinya, tetapi tidak berhasil karena para isteri sudah berada di langit dan berubah menjadi Pleiades.

Di Nusantara, beberapa daerah memiliki kisah mereka sendiri tentang Pleiades. Namun, kali ini kita akan fokus pada budaya Jawa. Dalam budaya Jawa, Pleiades sering kali dikaitkan dengan kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari. Suatu hari Jaka Tarub pergi berburu ke hutan. Dalam perjalanan itu, dia tiba di sebuah danau dan tak sengaja menemukan bahwa di danau tersebut terdapat tujuh orang bidadari dari langit yang sedang mandi. Karena terpikat oleh kecantikan bidadari- bidadari tersebut, Jaka Tarub mencuri selendang salah satu dari tujuh bidadari tersebut dan kembali ke tempat persembunyiannya, menunggu. Ketika tiba waktunya para bidadari itu untuk kembali ke Kahyangan, salah satu dari mereka tidak dapat menemukan selendangnya. Nawangwulan, demikian nama bidadari itu, tidak dapat terbang kembali ke

Kahyangan tanpa selendangnya. Akhirnya, saudara-saudaranya terpaksa meninggalkan Nawangwulan di bumi. Nawangwulan hanya bisa menangis. Melihat kesempatan emas ini, Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan menyatakan niatnya untuk membantu. Singkat cerita, Jaka Tarub dan Nawangwulan akhimya menikah.

Sebelum menikah, Nawangwulan mengajukan syarat:

Jaka Tarub tidak boleh mengintipnya ketika dia melakukan pekerjaan rumah tangga, dan tidak boleh bertanya sedikitpun mengenai hal tersebut. Karena cintanya pada Nawangwulan, Jaka Tarub menyanggupi. Namun, sayang semng perjalanan Jaka Tarub lupa akan janjinya dahulu, lalu akhimya dia penasaran dan mengintip keadaan Nawangwulan ketika di dapur. Mengetahui hal tersebut Nawangwulan murka dan langsung kembali ke kayangan. Namun sayang, ketika kembali ke kayangan dia tertahan di langit dan menjadi bintang hingga saat ini.

Sementara itu, legenda yang berkembang di masyarakat suku Sasak tentang Pleiades dan Orion berbanding terbalik dengan legenda yang ada di masyarakat dunia. Dalam mitologi orang Sasak, bintang Rowot atau Pleaides digambarkan terbalik dari kebanyakan mitologi yang ada. Bintang Pleiades digambarkan sebagai seorang lelaki yang perkasa dan memiliki

tenaga super, bahkan ada yang menggambarkan bahwa bintang Peliades itu seorang lelaki perkasa yang memiliki banyak tangan sehingga bisa mengerjakan pekerjaan yang banyak secara sekaligus. Di antara kegagahannya sebagai lelaki perkasa ternyata ada satu sifat yang unik yang dimiliki oleh Peliades yaitu ia adalah seorang yang pemalu. Sementara tenggle atau bintang Orion digambarkan juga terbalik dari mitologi kebanyakan. Orion digambarkan sebagai sesosok perempuan cantik nan jelita yang tertarik dengan Pleiades/Rowot karena melihat kegagahan dan ketangkasannya. Namun, karena Pleiades/Rowot ini merupakan sosok yang pemalu, ia selalu menghindar jika dilihat oleh tenggale. Sehingga bagi mitologi masyarakat suku Sasak, bintang Pleiades/Rowot dengan bintang Orion/Tenggale dilangit selalu terlihat berkejar-kejaran.

Sementara itu, mitos yang paling banyak beredar dan berkembang dikalangan masyarakat Sasak adalah bintang Rowot merupakan penjelmaan dari putri Mandalika yang hilang ketika terjadi badai petir di tepi pantai selatan Lombok.

Sebagian masyarakat percaya, selain menjadi nyalé, putri mandalika juga menjelmakan dirinya menjadi bintang Rowot.

Gambar. 3.1 Pleiades

Pada masyarakat Sasak tradisi, pengetahuan tentang perbintangan dan fungsinya telah cukup lama digunakan secara turun temurun sebagai acuan dalam perjalanan, bertani atau berladang maupun aktivitas hidup lainnya oleh masyarakat.

Selain sebagai penanda waktu, bagi masyarakat Sasak tradisi kemunculan bintang Rowot ini juga merupakan penanda utama untuk mengenali perpindahan mangsé (musim) dari ketaun (penghujan) ke kebalit (kemarau).129

129 Irawan, dkk. (2014). Mengenal Kalender Rowot Sasak. 19.

Masyarakat tradisional Sasak secara turun-temurun mengajarkan kepada generasi berikutnya cara mengamati rasi bintang Rowot. Kemunculannya dari arah Timur Laut yang merupakan gugusan 7 bintang. Tidak hanya mengenal dan menerapkan sistem yang bersandarkan pada pola edar rasi bintang tertentu, masyarakat Sasak juga menyandingkannya dengan pola edar matahari (solar system) untuk kalender Masehi dan bulan (lunar system) untuk kalender Hijriah sehingga menjadi sistem yang begitu kompleks.

Jika disandingkan dengan pergerakan bulan dalam kalender Hijriyah, ditemukan pola 5-15-25. Maksud dari pola ini adalah bila rasi bintang Rowot dinyatakan muncul tanggal 5 dalam bulan hijriyah tertentu, dapat dipastikan pada tahun berikutnya kemunculannya akan mundur 10 hari ke tanggal 15, tetapi masih dalam bulan yang sama. Pola ini terus berlanjut hingga tahun ke-3 yang akan muncul di tanggal 25. Setelah tahun ke-3, tahun selanjutnya Rowot akan kembali muncul pada tanggal 5 pada bulan berikutnya. Dapat dipastikan bahwa bulan pertama (sekeq) kemunculan Rowot tidak selalu konsisten dengan nama bulan tertentu dalam kalender hijriyah.

Sebaliknya, jika disinkronkan dengan kalender masehi, kemunculan Rowot diketahui lebih konsisten karena

kemunculannya tidak akan pemah di luar bulan ke-5 sistem Masehi (Mei).130

Tahun Ngandang Rowot

2016 5 Sha’ban 1437

13 Mei 2016

2017 15 Sha’ban 1438

12 Mei 2017

2018 25 Sha’ban 1439

11 Mei 2018

2019 5 Ramadhan 1440

10 Mei 2019

2020 15 Ramadhan 1441

8 Mei 2020

2021 25 Ramadhan 1442

7 Mei 2021

2022 5 Syawal 1443

6 Mei 2021

2023 15 Syawal 1444

6 Mei 2023

2024 25 Syawal 1445

4 Mei 2024 Tabel 3.1

Pola Tradisi Kalender Rowot Sasak

130 Irawan. (2014). “Warige: Pertautan Sasak. 13.

Pola 5-15-25 ini adalah pola tradisi berdasarkan pengamatan lama yang telah dilakukan oleh para leluhur orang sasak dalam mengamati bintang rowot sebagai penanda awal musim. Awal musim atau awal penanggalan sasak sendiri dikenal dengan istilah ngandang rowot.