• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Biografi dan Intelektual Tokoh

A. Biografi Quraish Shihab

1. Pendidikan Muhammad Quraish Shihab

Muhammad Quraish Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidrap (Sidenreng, Rappang), Sulawesi Selatan. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan suami istri bernama Asma Aburisyi dan Abdurrahman Sihab.36 M. Quraish Shihab berasal dari keluarga Arab yang terpelajar. Prof KH Abdurrahman Sihab adalah ayahnya. dianggap oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai pendidik dengan reputasi positif. Kemasyhurannya sebagai ulama dan juru bahasa yang memimpin Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada 1959 hingga 1965 dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar pada 1972 hingga 1977 menjadi buktinya.

Muhammad Quraish Shihab sudah terbiasa mengikuti kajian tafsir di bawah pengawasan ayahnya sejak kecil.

Mengenai hal ini beliau memberitahu saya bahwa saya harus menemani ayah saya mengaji sejak dia masih kecil, sekitar usia 6 dan 7 tahun. Sejak saat itu, kecintaan terhadap al-Qur‘an dan studinya tumbuh. Ketertarikan Muhammad Qurasih Shihab pada studi Islam, khususnya al-Qur‘an sebagai topik perhatian, menemukan lahan subur untuk tumbuh dengan latar belakang tersebut. Keputusannya untuk melanjutkan pendidikan tambahan menunjukkan hal ini.37

Dari sekolah dasar di Ujung Pandang hingga sekolah menengah pertama di kelas 2, ia mengenyam pendidikan.

Setelah itu, pada tahun 1956, ia melanjutkan pendidikannya dengan mendaftar sebagai santri di Pesantren Darul Hadis al- Faqihiyah di Malang, di mana ia diajar oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alwi dan putranya, Prof. Dr.

Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, seorang ulama ahli

36 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi ulama nusantara, (Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA, 2010), hlm. 668.

37 Dr. H. Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Menurut Quraish Shihab, (Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008), hlm. 32.

17

hadits.38 Bersama empat orang muridnya dari Sulawesi Selatan, M. Quraish Shihab melanjutkan pendidikannya di al- Azhar Kairo, Mesir, pada tahun 1959, dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. M. Quraish Shihab diperintahkan oleh ayahnya agar imannya tumbuh. Empat temannya dari Sulawesi Selatan menemaninya saat mereka pergi. Alwi Shihab, adiknya dari Makassar merantau ke Malang untuk mengaji di Pesantren Ustadz Ba'abud (Ma'had), Lawang, yang terletak 18 kilometer arah utara kota Malang. Santri Al-Fiqihiyah saat itu hanya beranggotakan sekitar 70 orang dan bertempat di dua bangunan kecil dengan beberapa ruang santri dan aula. Ada sepuluh tempat tidur susun dan 20 siswa di setiap kamar. Di luar gedung, terdapat lapangan voli dan bulu tangkis selain masjid.

Fakultas Ushuluddin, tempat Quraish Shihab mengambil jurusan Tafsir Hadits, adalah tempat Quraish Shihab melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar. Al-I'jaz at-Tasyri' li al-Qur'an al-Karim (Keajaiban al-Qur‘an al- Karim dari Perspektif Hukum)39 menjadi judul tesisnya pada tahun 1967, ketika ia lulus dengan Lc dalam SI. Dua tahun kemudian, ia lulus dengan gelar MA di jurusan yang sama.

Ketika Quraish Shihab kembali ke Indonesia, ayahnya memintanya membantu menjalankan pendidikan di Universitas Alauddin Makassar agar bisa menjadi dosen.

Quraish Shihab juga pergi bersama ayahnya sebagai wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan dari tahun 1972 hingga 1980. Selain itu, ia sering mewakili ayahnya yang sudah lanjut usia, yang berhalangan hadir.

2. Karya-Karya Muhammad Quraish Shihab

Salah seorang mufassir al-Qur‘an, Muhammad Quraish Shihab, adalah seorang penulis yang produktif. Karya- karyanya telah dimuat dalam buku dan artikel di berbagai surat kabar dan majalah, antara lain Republika, Pelita, al-Amanah, Ulumul Qur‘an, Mimbar Ulama, dan lain-lain. Ia juga sibuk mengamalkan dakwah di masyarakat, baik sebagai individu maupun organisasi, maupun di berbagai media elektronik, termasuk Metro TV swasta dan RCTI. Bahan dakwah dan

38 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān; Tentang Penulis, (Bandung:

Mizan, 1994), hlm. 6.

39 Badiatul Razikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e- Nusantara, 2009), hlm. 269.

18

tulisan lepas yang telah dimuat di berbagai media cetak kemudian diedit ulang dan diterbitkan menjadi buku.40

Karena tulisannya yang produktif, M. Quraish Shihab telah menerbitkan banyak karya. Berikut ini adalah contoh dari karya-karya tersebut:

a. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur‘an (Jakarta: Lentera Hati, 1998).

b. Pengantin al-Qur‘an (Lentera Hati, 2007).

c. Membumikan al-Qur‘an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan masyarakat (Mizan, 1992)

d. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Lentera Hati, 2005).

e. Wawasan al-Qur‘an; Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996).

f. Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000).

g. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlili.

h. Tafsir al-Misbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al- Qur‘an yang terdiri dari 15 volume (Jakarta: Lentera Hati, 2000).

i. Perempuan; dari cinta sampai seks, dari nikah mut‘ah sampai nikah sunnah, dari bias lama sampai bias baru (Lentera Hati, 2010)41

j. Kaidah Tafsir (Lentera Hati, 2013).

k. Rasionalitas al-Qur‘an; Studi Kritis atas Tafsir al- Manar (Lentera Hati, 2006)

l. Wawasan al-Qur‘an tentang Dzikir dan Do‘a (Lentera Hati, 2006)

m. Al-Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al- Fatihah dan Juz „Amma terdiri dari 4 jilid (2012).

n. Al-Qur‘an dan Maknanya (Lentera Hati, 2010)

o. M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman (Lentera Hati, 2008).

B. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab

Muhammad Quraish Shihab bukan hanya seorang ulama tetapi juga seorang penafsir modern di dunia saat ini. Ia juga aktif menulis dan

40 Mauluddin Anwar, Cahaya, Cinta dan Canda M. Quraish Shihab, (Tangerang:

Lentera Hati, 2015), hlm. 250.

41 Muchlis M. Hanafi, Berguru Kepada Sang Mahaguru: Catatan Kecil Seorang Murid Terhadap Pemikiran dan Karya M. Quraish Shihab, (Tangerang: Lentera Hati, 2014), hlm. 10

19

mengajar tentang media elektronik, seperti televisi.42 Karena banyaknya nasihat yang diberikan ayahnya dalam bentuk ayat-ayat al-Qur‘an, dia selalu memiliki kecintaan pada bidang tafsir al-Qur‘an. Kemudian, ketika dia berumur 6 sampai 7 tahun, dia harus mendengarkan ayahnya mengajar mengaji. Pada saat dia berusia 9 tahun, dia sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika dia mengajar.43 Ia ingin menjadi mufasir karena hal tersebut.

Dia lebih unggul dari mufassir lain karena kemampuannya menyembunyikan ayat-ayat al-Qur‘an dalam konteks kekinian. Ia lebih menekankan pada bagaimana ia menafsirkan metode maudhu'i metode yang cenderung mengangkat isu-isu dalam al-Qur‘an. Ia menyatakan bahwa keberadaan al-Qur‘an dalam pengungkapannya tidak tergantung pada teks yang ada. Namun, lebih baik untuk memeriksa konteks di mana ayat itu ditulis dengan memeriksa keadaan yang menyebabkan keberadaannya.44 Sebaliknya, jika anda memeriksa ayat tersebut secara tekstual, ayat tersebut biasanya akan berulang-ulang, dan makna yang tersembunyi di dalamnya akan hilang.

C. Tentang Tafsir Al-Misbāh

Karena pada dasarnya tidak ada yang lepas dari sejarah segala sesuatu memiliki latar belakang segala sesuatu yang muncul di dunia ini dan memulai keberadaannya pasti memiliki kronologi dan sejarahnya masing-masing. Tulisan Tafsir al-Misbāh serupa.

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misāh

Salah satu karya M. Quraish Shihab dalam bidang tafsir, Tafsir al-Misbāh, termasuk dalam tafsir kontemporer. Sewaktu menjadi Duta Besar RI di Kairo, beliau mulai menulis pada hari Jumat, 14 Rabi'ul Awwal 1420 H/ 18 Juni 1999 M, dan selesai menulis pada hari Jumat, 8 Rajab 1423 H/ 5 September 2003.45 Antusiasme masyarakat terhadap al-Qur‘an, baik dari segi membaca maupun memahami makna ayat-ayat al-Qur‘an, memberikan inspirasi bagi penulisan Tafsir al-Misbāh.

Penulisan Tafsir al-Misbāh diawali dengan karyanya, Tafsir

42 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi ulama nusantara, (Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA, 2010), hlm. 670.

43 Ibid.

44 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 88.

45 Muchlis M. Hanafi, Berguru Kepada Sang Mahaguru: Catatan Kecil Seorang Murid Terhadap Pemikiran dan Karya M. Quraish Shihab, (Tangerang: Lentera Hati, 2014), hlm. 20.

20

al-Qur‟ān al-Karim (Pustaka Hidayah, 1997), yang dianggap terlalu panjang untuk menjelaskan makna kosa kata dan kurang populer di kalangan masyarakat umum.46

Tujuan utama penulisan Tafsir al-Misbāh adalah untuk menunjukkan kewajiban moral seorang cendekiawan atau intelektual Muslim untuk membantu orang lain dalam memahami kitab sucinya, al-Qur‘an. ―Menjadi kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur‘an dan menyampaikan pesan-pesannya sesuai kebutuhan,‖ 47ujarnya dalam tafsir muqaddimahnya, menegaskan hal tersebut. Apa yang dikatakannya dalam bukunya yang lain, Grounding the Qur‟ān, memperkuat hal ini.

Tafsir Quraish Shihab tidak ditulis sesuai keinginannya;

sebaliknya, mereka ditulis dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan tema pokok surat dan keserasian antara ayat dan ayat lain atau huruf dan surat diutamakan. Dalam konteks pengenalan ayat-ayat al- Qur‘an, Tafsir al-Misbāh mencoba membahas setiap surat dari segi tujuan atau tema utamanya.48

Ketika M. Quraish Shihab menulis Tafsir al-Misbāh, salah satu tujuannya adalah:

a. Pertama, menjelaskan secara rinci pesan-pesan yang disampaikan al-Qur‘andan menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia secara sederhana sehingga umat Islam dapat memahami isi dan ayat-ayatnya.

b. Kedua, Umat Islam melakukan kesalahan dalam menafsirkan maksud al-Qur‘an, seperti membaca surat Yasin berkali-kali tanpa memahami apa yang dibacanya.

c. Ketiga, Kesalahan ini dilakukan oleh orang awam maupun orang terpelajar yang tidak menyadari bahwa sistematika penulisan al-Qur‘an memiliki aspek pendidikan yang mendalam.

d. Keempat, Tekad M. Quraish Shihab untuk menulis tafsir didukung oleh dukungan umat Islam Indonesia yang menggugah hati orang-orang di sekitarnya.

46 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ān Vol 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm, 8.

47 Ibid.

48 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Heurmeneutika hingga Ideologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 98.

21 2. Pemilihan Nama “Al-Misbāh”

Al-Misbāh, yang berarti "pemantik" atau "lampu" dalam bahasa Jawa disebut ―lentera‖, berasal dari kata Arab al- Misbāh. Hamdani Anwar, misalnya, mengaitkan nama karya M. Qurasih Shihab, al-Misbāh, dengan rubrik yang ia kembangkan selama beberapa tahun di harian Pelita dengan nama "Pelita Hati". Ada pula yang mengaitkannya dengan nama penerbit bukunya, Lentera Hati, yang juga merupakan penerbit tafsir al-Misbāh.49

Menurut temuan peneliti lain, pembacaan dan perenungan M. Quraish Shihab terhadap nama tafsir tersebut dalam ayat-ayat al-Qur‘an, khususnya surat An-Nur 35 yang berbunyi:

ِۗ حاٰبْصِم اٰهْيِف ٍةىٰك ْشِمٰك ٖهِزْىُه ُلٰثٰم ِِۗضْزٰ ْالْٰو ِثٰىٰم َّظلا ُزْىُه ُ ه ٰاَللّ ۞ ْن ِم ُد ٰ

ق ْىًُّ ٌّيِّزُد ب ٰكْىٰك اٰهَّنٰاٰك ُتٰجاٰجُّصلٰا ٍِۗتٰجاٰجُش ْيِف ُحاٰبْصِْلْٰا ْسٰغ ٰ

لََّّو ٍتَّيِقْس ٰش َّلَّ ٍتٰهْىُتٍْٰش ٍتٰكٰرٰبُّم ٍةٰسٰج ٰش ْى ٰ

ل ٰو ُء ْْۤي ِ ضًُ اٰهُتٍْٰش ُدا ٰكًَّ ٍ تَّيِب

ُبِس ْضٍٰٰو ُِۗءْۤا ٰشٌَّ ْنٰم ٖهِزْىُىِل ُ هاَللّ يِدْهٰي ٍِۗزْىُه ىٰلٰع زْىُه ِۗ زاٰه ُه ْظ ٰظْمٰج ْمٰل مْي ِلٰع ٍءْي ٰ ش ِّلُكِب ُ هاَللّٰو ِِۗضاَّىلِل ٰلاٰثْمٰ ْالْ ُ هاَللّ

٥٣

Artinya: Allah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi.

Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang (pada dinding) yang tidak tembus) yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang (yang berkilauan seperti) mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat,) yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).

Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.50

Hanya dua kali dalam surat An-Nur ayat 35 kata "al-

49 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah, Mimbar Agama dan Budaya (t.k: Pebruari, 2002), hlm. 176-177.

50 Kementrian Agama RI, al-Qur‟ān dan Terjemahannya………., hlm. 354.

22

Misbāh" disebutkan dalam al-Qur‘ān. Pemilihan ―al-Misbāh‖

dari surat An-Nur oleh Muhammad Quraish Shihab sebagai judul karya tafsirnya sangat beralasan. Alasan lain yang dikemukakan peneliti adalah sejalan dengan tujuan utama penulis ―Tafsir al-Misbāh‖, Muhammad Quraish Shihab, yang berharap tafsirnya dapat menjadi cahaya dan petunjuk bagi masyarakat luas dalam memahami agamanya, dalam setiap aspek kehidupan.51

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa M. Quraish Shihab memaksudkan nama ―Tafsir al- Misbāh‖ sebagai tumpuan harapan umat manusia di masa- masa sulit dengan memberikan arah perjalanan hidup.52

3. Bentuk, Metode, dan Karakteristik Tafsir Al-Misbāh Jika dilihat dari segi penafsiran, Tafsir al-Misbāh lebih menekankan pada bentuk bi al-ra'yi dari pada bi al-Ma'tsur.

Cara dia menulis, di mana dia menggambarkan dan menjelaskan setiap ayat yang dia tafsirkan dan berpendapat untuk penerapan rasio dan logika, menunjukkan hal ini dengan jelas. Seperti yang diungkapkan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya ketika menafsirkan masalah ―Arsy‖.53

Sejak zaman dahulu, penguasa, hakim, atau siapapun yang menjadi rujukan orang lain selalu memiliki tempat duduk yang berbeda dengan tempat duduk orang lain.

Tempat duduk ini bisa berupa permadani, tempat bersandar, atau bahkan semacam balai. Yang paling terhormat adalah tempat duduk raja yang dinamai „Arsy‟

singgasana. Peringkat bahwanya adalah kursi, yang digunakan untuk menunjuk tempat duduk raja atau siapa yang di bawah peringkat raja, lalu makna tersebut berkembang sehingga kekuasaan raja pun dinamai „Arsy.

Pemilik „Arsy, memegang kendali pemeritahan dan kekuasaan dan semua merujuk kepadanya. Sebagai contoh, setiap masyarakat terlibat dalam berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Karena banyak dan bercabangnya aspek-aspek tersebut, maka

51 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah, (t.k: Pebruari, 2002), hlm. 178.

52 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ān

…………hlm. 5.

53 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān……….hlm.

19- 24.

23

setiap aspek ditangani oleh kelompok , dan kelompok ini mempunyai hirarki dan kursi sesuai dengan kemampuan atau bobot masing-masing. Yang di bawah harus mengikuti ketetapan yang di atasnya, demikian seterusnya. Hirarki ini harus terpelihara karena perbedaan yang ada bila tidak disatukan dalam satu tujuan dan diserasikan atau dikoordinasikan oleh satu kendali, pastilah akan kacau.

Dari sini masyarakat maju mengatur kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam dengan ragam masing- masing ada kursinya dan berbeda-beda pula tingkat dan nilainya. Ia dimulai dari yang kecil, kemudian yang (kecil) ini tunduk di bawah kursi yang lebih besar, dan ini pun demikian sampai akhirnya pemilik kursi/ kekuasaan besar tunduk pada pemilik „Arsy.54

4. Metode Penafsiran Al-Misbāh

Metode tahlīli (analitik), yaitu suatu jenis tafsir yang bertujuan untuk mengungkap kandungan al-Qur‘an dari berbagai aspeknya, digunakan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbāh ini. Dalam bentuk ini disusun berdasarkan urutan ayat dalam al-Qur‘an kemudian memberikan penjelasan tentang kosa kata, makna global ayat, korelasi, asbabun nuzul, dan lain-lain.55

Keputusan untuk menggunakan metode tahlīli dalam Tafsir al-Misbāh bermula dari kesadaran Quraish Shihab bahwa metode maudu'i yang sering ia gunakan dalam karya- karyanya Grounding the Qur‟an dan Insight of the Qur‟an, meskipun memiliki kelebihan dalam memperkenalkan konsep al-Qur‘an pada berbagai topik secara keseluruhan, juga memiliki beberapa kekurangan. Quraish Shihab mengklaim bahwa al-Qur‘an itu seperti permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya, dan Darraz mengklaim bahwa al-Qur‘an mengandung tema yang tak terhitung jumlahnya. Akibatnya, fakta bahwa judul diskusi hanya mengacu pada satu aspek dari masalah menunjukkan bahwa tantangan untuk memahami al- Qur‘an secara utuh tetap ada.

Dalam tafsir al-Misbāh tidak lepas dengan enam prinsip,

54 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al- Qur‟ān……….hlm. 116-117.

55 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 57.

24 yaitu:56

a. Keserasian kata demi kata dalam setiap surat.

b. Keserasian antara kandungan ayat dengan penutup ayat.

c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat sebelum nya atau sesudahnya.

d. Keserasian uraian muqaddimah dengan penutupnya.

e. Keserasian dalam penutup surat dengan muqaddimah surat sesudahnya.

f. Keserasian tema surat dengan nama surat.

5. Karakteristik Penafsiran Al-Misbāh

Kemudian, untuk kepentingan interpretasi, terdapat beberapa tahapan dalam Tafsir al-Misbāh yang disebut sebagai ciri-ciri dalam penyelidikan ini. M. Quraish Shihab mengambil beberapa langkah dan menekankan beberapa aspek dalam penafsirannya yang dianggap mendesak.

Penulisan kitab Tafsir al-Misbah adalah sebagai berikut:

a. Menjelaskan Nama Surah

M. Quraish Shihab mengawali tulisannya dengan menjelaskan nama-nama surah dan mengklasifikasikan ayat-ayatnya menjadi Makkiyah dan Madaniyah sebelum lebih detail.

b. Menjelaskan Isi Kandungan Ayat

Ketika mengetahui tentang surat yang dimaksud, dapat membagi surat global yang dimaksud dengan menggunakan sejarah dan pendapat mufassir untuk ayat yang dimaksud.

c. Mengemukakan Ayat Ayat Di Awal Pembahasan

M. Quraish Shihab memulai pembahasan dengan satu, dua, atau lebih ayat al-Qur‘an yang semuanya mengacu pada tujuan yang sama.

d. Menjelaskan Pengertian Ayat Secara Global

Kemudian, beliau berbicara tentang ayat-ayat secara umum, sehingga pembaca mengetahui apa arti ayat-ayat tersebut secara umum sebelum masuk ke dalam tafsir yang menjadi topik utamanya.

e. Menjelaskan Kosa Kata

Selanjutnya, M. Quraish Shihab menjelaskan pengertian kata secara bahasa pada kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca.

56 Ibid.

25

f. Menjelaskan Sebab Sebab Turunnya Ayat

Terhadap ayat yang mempunyai asbab al-nuzul dari riwayat shahih yang menjadi pegangan para ahli tafsir, maka M. Quraish Shihab menjelaskan lebih dahulu.

g. Memandang Satu Surah Sebagai Satu Kesatuan Ayat Yang Serasi.

Ayat-ayat yang menyusun al-Qur‘an pada hakekatnya adalah tanda-tanda atau simbol-simbol yang tampak.

Namun, simbol tidak dapat dipisahkan dari hal lain yang tersirat daripada yang tersurat. Keduanya terhubung sedemikian rupa sehingga makna yang tersirat juga akan dapat dipahami oleh seseorang jika tanda dan simbol tersebut dipahami oleh akal.

h. Gaya Bahasa

M. Quraish Shihab menyadari bahwa lokasi dan waktu mufassir selalu berdampak pada bagaimana al- Qur‘an ditulis. Sikap dan kerangka konseptual selalu merupakan karakteristik khusus dari periode perkembangan interpretasi. Oleh karna itu, ia merasa terdorong untuk merenungkan munculnya karya tafsir yang mencerminkan kondisi mentalnya saat ini.

6. Corak Penafsiran Al-Misbāh

Tafsir al-Misbāh, sebaliknya, lebih cenderung ditulis dengan gaya sastra budaya dan sosial (al-adabi al-ijtima'i), yaitu gaya penafsiran yang mencoba memahami teks-teks al- Qur‘an. dengan terlebih dahulu mengungkapkan ungkapan penjelasan al-Qur‘an secara cermat, kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur‘an dengan bahasa yang indah dan menarik, dan terakhir seorang mufassir mencoba menghubungkan teks-teks al-Qur‘an tersebut.57

Sebuah karya interpretasi yang ditulis dalam aliran sastra budaya dan sosial harus memiliki setidaknya tiga karakter yang berbeda. Pertama, mendeskripsikan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur‘an yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menunjukkan bahwa al-Qur‘an telah menjadi kitab suci sepanjang masa.

Kedua, penjelasan lebih menekankan pada mengatasi masalah dan penyakit sosial saat ini. Ketiga, disajikan dengan bahasa yang enak didengar dan mudah dipahami.

57 Samsur rohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 193-194.

26

Tafsir al-Misbāh karya M. Quraish Shihab tampaknya memenuhi ketiga persyaratan ini. Misalnya, mengenai tokoh pertama, tafsir ini selalu memberikan petunjuk dengan mengaitkan kehidupan manusia dan menjelaskan bahwa al- Qur‘an adalah kitab suci yang abadi sepanjang masa.

Ditafsirkan sebagai berikut dalam surah al-Mu'minun 5-7:

“Budak-budak wanita yang tersebut di atas, kini tidak ada lagi pembantu- pembantu-pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita yang bekerja atau dipekerjakan di dalam, atau diluar negeri, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan budak-budak pada masa itu, ini karena Islam hanya merestui ada perbudakan melalui perang, itupun jika peperangan itu perang agama dan musuh menjadi tawanan kaum muslimin menjadi budak- budak. Sedangkan pada pekerjaan wanita itu adalah manusia manusia merdeka, kendati mereka miskin dan butuh pekerjaan. Disisi lain, walau perbudakan secara resmi tidak dikenal lagi oleh umat manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti ayat di atas dan semacamnya, tidak relevan lagi ini karena al-Qur‟ān diturunkan tidak hanya untuk putra putri abad lalu, tetapinia diturunkan untuk umat manusia sejak abad ke IV sampai akhir zaman.

Semua diberi petunjuk dan semuanya dapat menimba petunjuk sesuai dengan kebutuhan dan kebutuhan zamannya. Masyarakat abad ke VI menemukan budak budak wanita, dan bagi mereka lantunan ini diberikan. Al- Qur‟ān akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini tidak mereka temukan. Di lain segi kita tidak tahu perkembangan yang belum dapat kita jaga dewasa ini, ayat- ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadi rujukan dan kehidupan mereka”.58

Jelas dari kutipan panjang lebar di atas bahwa M.

Quraish Shihab tidak mau dianggap bahwa al-Qur‘an hanya sebagai pedoman pada suatu waktu. Pada bagian ini, M.

Quraish Shihab membedakan antara pembantu rumah tangga yang dipekerjakan di dalam atau di luar negeri dan budak. M.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa meski budak sudah tidak ada lagi, ayat ini tetap berlaku. Bisa dikatakan Tafsir al-

58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ān

………..hlm. 157.

Dokumen terkait