• Tidak ada hasil yang ditemukan

BONE DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Kabupaten Bone dahulu disebut Tanah Bone. Berdasar- kan lontarak bahwa nama asli Bone adalah pasir, dalam ba- hasa bugis dinamakan “Bone” adalah Lise (isi), kessi (pasir).

Dari sinilah asal usul sehingga dinamakan Bone. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi bangunan Mesjid Raya sekarang ini letaknya persis di jantung Kota Watampone Ibu kota kabupaten Bone tepatnya di kelu- rahan Bukaka. Kabupaten bone adalah suatu kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu sejak adanya Manurunge Ri Mata- jang pada awal abad XIV atau pada tahun 1330. Manurunge Ri Matajang bergelar “Mata silompo’e” sebagai Raja Bone. Per- tama memerintah pada tahun 1330-1365. Selanjutnya diganti- kan Turunannya secara turun temurun hingga berakhir kepada Andi Pabbenteng sebagai Raja Bone ke-33 di antara ke-33 orang Raja yang telah memerintah sebagai Raja Bone dengan gelar “Mangkau”, terdapat 7 (tujuh) orang wanita. Struktur Pe- merintah Kerajaan Bone dahulu terdiri dari : Arung Pone (Raja Bone) bergelar Mangkau Makkedangnge Tanah (bertugas da- lam Bidang hubungan/urusan dengan kerajaan lain {Menteri Luar Negeri}, Tomarilaleng (bertugas Bidang urusan dalam daerah Kerajaan lain {Menteri dalam Negeri}Ade Pitu Hadat

Tujuh, terdiri dari tujuh orang, merupakan Pembantu utama/

pemimpin Pemerintah di Kerajaan Bone, masing-masing:

Arung Ujung,bertugas mengepalai urusan penerangan Kerajaan Bone. Arung Ponceng,bertugas mengepalai kepoli- sian/kejaksaan dan pemerintahan. Arung ta’,bertugas menge- palai urusan pendidikan, dan mengetuai urusan perkara Sipil.

Arung Tibojong,bertugas mengeplai urusan perkara/penga- dilan landschap/badat besar dan mengawasi urusan perkara Pengadilan Distrik. Arung Tanete Riattang, bertugas mengepa- lai memegang kas Kerajaan, mengatur Pajak dan Pengawasan Keuangan. Arung Tanete Riawang, bertugas mengepalai (Landschap Werken-LW) pajak jalan dan pengawas Opzich- ter. Arung Macege, bertugas mengepalai urusan pemerintahan umum dan perekonomian. Ponggawa (Panglima Perang), ber- tugas dibidang Pertanahan Kerajaan Bone dengan membawahi 3 (tiga) perangkat masing- masing :

Anreguru Anakarung, bertugas mengkoordinir para anak bangsawan berjumlah 40 (Empat puluh) orang bertugas sebagai pasukan elit Kerajaan. Pangulu Joa, bertugas meng- koordinir pasukan dari rakyat Tana Bone yang disebut Pas- siuno artinya : pasuka siap tempur dimedan perang setiap saat rela mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya Kera- jaan Bone dari gangguan Kerajaan lain. Dulung (Panglima Daerah),bertugas mengkoordinir daerah Kerajaan bawahan, di Kerajaan Bone terdapat 2 (dua) Dulung (panglima Daerah) yakni Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara dan Du- lungan Awang Tangka dari Bone Selatan.

Budaya masyarakat Bone, demikian tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan lima unsur pokok mas- ing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara yang terjalin

satu sama lain, sebagai sutu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Semuanya itu terkandung dalam suatu konsep yang di sebut “SIRI” merupakan integrasi dari lima unsur pokok di atas yakni pangderen (norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat/budaya: Sipakatau yang artinya saling memanusiakan sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Tanpa membeda-bedakan siapa orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku. Sipakalebbi artinya: saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berperilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang ber- laku dalam masyarakat. Sipakainge artinya saling mengingat- kan satu sama lain, menghargai, nasehat, pendapat orang lain, menerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari ke- khilafan dengan berpegang pada nilai budaya tersebut di atas, maka sistem kerajaan Bone adalah muasyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh. Ketua kaum (Matoa Anang) dalam satu majelis dinamai Manurungge sebagai ketuanya ketujuh itu diikat dalam satu ikatan perseku- tuan yang disebut KAWERANG, artinya ikatan persekutuan ta- nah Bone sistem Kawerang ini sejak manurungge sebagai raja Bone pertama hingga raja Bone Ke IX yaitu Lappatawe mat- inroe ri Butung pada akhir abad ke 16.

Kabupaten Bone berbatas dengan daerah-daerah seba- gai berikut : sebelah utara Kabupaten Wajo, sebelah selatan Kabupaten Sinjai, sebelah barat Kabupaten Soppeng, Maros, Pangkep, Barru. Sebelah timur adalah Teluk Bone yang men-

ghubungkan Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri dari 27 Kecamatan yang ada di kabupaten Bone, sembilan diantara- nya masuk daerah pantai seperti; Cenrana, Tellu SiantingE, Awangpone,Taneteriatang Timur, SibuluE. Mare, Tonra, Sa- lomekko dan Kajuara, yang terhimpung dalam suatu kominitas masyarakat yang sumber mata pencaharianya adalah sebagian besar adalah Petani dan Nelayan. Keadaan jumlah penduduk Kelurahan Lonrae, Kecamatan Taneteriattang Timur Kabupat- en Bone. Jumlah penduduknya terdiri dari delapan ribu empat ratus lima sedang wajib Kartu tanda penduduk adalah tujuh ribu dua ratus enam orang, luas wilayah adalah dua koma tiga kilo meter bujur sangkar potensi wilayah adalah perikanan.

Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupa- ten di Propinsi Sulawesi Selatan, terletak pada koordinat antara404•43‚ sampai 508•45‚ Lintang Selatan dan 119049•3‚

sampai 112025•9‚ Bujur Timur. . Kondisi pertumbuhan pem- bangunan daerah Kabupaten Bone saat ini telah tumbuh den- gan peningkatan yang positif pada semua sektor, hal ini ditan- dai dengan laju pertumbuhan pembangunan yang dibarengi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Kabupaten Bone dengan pertumbuhan yang dicapai telah berada pada fase berkembang.Lokasi penelitian berada di salah satu wilayah Kabupaten Bone letaknya di Kelurahan Lonrae, Kecamatan Taneteriattang Timur Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Se- latan. Pelabuhan Bajoe sebagai penghubung propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara melalui Teluk Bone. Dengan jarak lintasan delapan puluh enam mil laut menuju pelabuhan penyeberangan Kolaka. Masyarakat Bajo adalah salah satu et- nik group dari masyarakat Indonesia di Sulawesi Selatan yang berdiam di Desa Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur

Kabupaten Bone. Pada umumnya menggantungkan sumber hidupnya di laut (nelayan). Begitu eratnya hubungannya de- ngan laut sehingga kadangkala mereka disebut juga orang laut.

Pada umumnya mereka menganut agama Islam dan dalam ke- hidupan sehari-hari mereka berbaur dengan masyarakat Bugis yang umumnya juga beragama Islam. Dengan demikian secara sepintas lalu kehidupan sosial ekonomi dan pola pemukiman mereka tidak dapat diidentifikasi sebagai simbol etnisitas mer- eka disekitarnya.

Menurut sejarah wilayah Bajoe di Kecamatan Tanete- riattang Timur dahulu merupakan satu Desa kecamatan Tane- teriattang kemudian dimekarkan menjadi Taneteriattang Timur yakni Desa Bajoe wilayah tersebut pada mulanya Suku Bajo di di Bajoe memiliki andil di pelabuhan Bajoe dalam artian aktifitasnya yang nampak dominan tetapi sebagi peneliti dan pemerhati terhadap perempuan rumah tangga yang mencari nafkah bahwa sesungguhnya Suku Bajo di Bajoe memberi motivasi kepada Suku bugis yang berdomisilih di pesisir pan- tai Bajoe, ditandai dengan banyaknya Suku Bajo yang melaku- kan aktivitas tersebut.

Dalam kehidupan sosial Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, Suku Bugis, atau Suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, Suku Bajo pernah disebut-sebut pernah men- jadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan perkampun- gan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka ada-

lah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan. Julukan bagi mereka sudah barang tentu sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung diatas rumah perahu.

BAB IV

Dokumen terkait