A. Pengendalian Internal
2. Dasar Hukum Sistem Pengendalian Internal
Ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksudkan dengan cara-cara islami di sini adalah cara-cara yang didasarkan atas ajaran agama Islam, yaitu Alquran dan Sunnah Nabi.16 AL-Quran memberi petunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridho, tidak ada unsur, eksploitasi,dan terbebas dari kecurigaan atau penipuan, serta keharusan membuat administrasi transaksi kredit.17
Dengan demikian, pengertian pengendalian dalam ekonomi Islam adalah pengendalian dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah, dan membenarkan yang hak sesuai dengan cara-cara yang didasarkan pada syariah Islam. Berikut adalah dasar hukum pengendalian internal yaitu:
a. Dasar hukum menurut Al-Quran
Salah satu dasar hukum sistem pengendalian internal terdapat dalam Q.S Al-Mujaadilah ayat 7, yang berbunyi:
16 P3EI, Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). H. 17.
17 Madnasir, Khoiruddin, Etika Bisnis dalam Islam (Lampung: Seksi Penerbitan Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung, 2012), h. 95.
Artinya: "Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS al-Mujaadilah:7)
Tafsir Q.S Al-Mujaadilah ayat 7 menurut Ibnu Katsir adalah sebagai berikut:
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh potongan ayat tersebut yakni, Tiga orang yang berbisik- bisik membicarakan suatu rahasia.
b. Dasar Hukum Sistem Pengendalian Internal menurut undang-undang
Penerapan sistem pengendalian internal pada satuan kerja berawal dari lahirnya undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Pada ketentuan umumnya di jelaskan bahwa kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal. Pada undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perlunya sistem pengendalian internal untuk menjaga tidak adanya kerugian negara oleh pada pengelola keuangannya.
Setahun setelahnya terlahirlah Undang-Undang 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pada undang-undang tersebut di pasal 12 dijelaskan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka pemeriksaan keuangan atau kinerja, BPK melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah.
Pengujian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK merupakan salah satu kriteria pemberian opini oleh BPK.
Pasal 16 dijelaskan bahwa kriteria dalam menentukan opini diantaranya:
1) Kesesuaian dengan Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP)
2) Kecukupan pengungkapan
3) Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan 4) Efektivitas Sistem Pengendalian Intern. Sehingga
sistem pengendalian internal yang diterapkan oleh satuan kerja penting diterapkan dan dilakukan penilaiannya untuk memberikan kontribusi dalam pemberian opini Kementerian.
Pada tahun yang sama lahir undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. Pada pasal 58 undang-undang tersebut dijelaskan dalam rangka meningkatkan kenerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, presiden selaku kepala pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Undang-undang tersebut mengamanatkan Presiden selaku kepala negara harus menyelenggarakan sistem pengendalian internal untuk meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas yang nantinya akan dilakukan penilaiannya oleh pemeriksa keuangan negara yaitu BPK.
c. Dasar Hukum Sistem Pengendalian Internal Menurut MUI
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ada bentuk alternatif lain disamping bank konvensional yang sudah dikenal masyarakat, yaitu bank yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sama sekali belum menggunakan secara tegas istilah bank syariah. Penyebutannya masih menggunakan istilah ”prinsip bagi hasil”. Belum ada ketentuan yang lebih rinci mengenai bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Keberadaan perbankan syariah baru mendapatkan landasan yang kuat sejak tanggal 16 Juli 2008 dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah selanjutnya disebut dengan Undang Undang Perbankan Syariah.
Seperti halnya bank konvensional, bank syariah berfungsi juga sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan.
Pembiayaan adalah merupakan sebagian besar aset dari bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-undang Perbankan Syariah bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati- hatian. Pada penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan prinsip kehati- hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundangundangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten. Dasar filosofis eksistensi prinsip kehati-hatian pada kegiatan usaha perbankan pada hakikatnya adalah sebagai jaminan kepercayaan masyarakat kepada perbankan, pada perbankan syariah tidak sebatas jaminan kepercayaan tetapi dimaknai sebagai jaminan atas amanah yang sudah diberikan oleh masyarakat. Perbankan syariah tidak semata-mata berfungsi sebagai lembaga intermediasi, tetapi juga berfungsi sosial dan merupakan mitra nasabah.
Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan dana masyarakat maka perbankan syariah wajib memegang teguh prinsip kehatihatian agar perbankan syariah selaku pemegang amanah dalam keadaan sehat, likuid, solvent dan profitable.
Hubungan hukum bank syariah dengan nasabah adalah didasarkan pada prinsip amanah. Tidak terbatas pada kepercayaan yang didasarkan pada itikad baik saja tetapi juga kepercayaan yang dilandasi dengan nilai ketauhidan bahwa apa yang dilakukan senantiasa diawasi oleh Allah swt, sehingga setiap tindakan yang dilakukan merupakan ibadah, sehingga tujuan dari perbankan syariah tidak sematamata mencari keuntungan (profit oriented) tetapi juga mencari kemakmuran di dunia dan kebahagian di akhirat (falah oriented). Sutan Remy Sjahdeini merumuskan bahwa tujuan dari diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank-bank selalu dalam keadaan sehat, sehingga antara lain selalu dalam keadaan likuid, solvent dan menguntungkan (profitable). Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian itu diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbakan selalu tinggi
sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.18
3. SOP Sistem Pengendalian Internal di Bank Syariah