• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi Dalam Tafsir al-Misbah

Secara etimologis kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan Kratos berarti kedaulatan. Jadi, demos-kratos atau demokrasi adalah keadaan suatu pemerintah dimana kedaulatannya berada ditangan rakyat. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat dan selalu mengikut sertakan rakyat dalam pemerintahan negara.86

Dengan melihat pengertian tersebut di atas Quraish Shihab memberikan definisi demokrasi sebagai shu>ra> atau musyawarah dengan segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain untuk memperoleh

86 Inu Kencana Syafi‟i, Ilmu Pemerintahan dan Al-Quran (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 108.

kebaikan. Menurutnya hal tersebut semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang beguna bagi manusia.87

Istilah musyawarah berasal dari kata ةرواشم. Ia adalah masdar dari kata kerja shawara-yushawiru, yang berakar kata shin, waw, dan ra dengan pola fa‟ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok menampakkan dan menawarkan sesuatu. Dari makna terakhir ini muncul ungkapan shawartu>

fula>nan fi> amr (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku).88 Quraish Shihab menulis di dalam Tafsir Al-Misbah :

Kata ( ر ش) shura terambil dari kata (ر ش). Kata sh}ura bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat (ترش لسعلا) yang bermakna: Saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun dia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya.89

Kata musyawarah terambil dari akar kata (ر ش) yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.

Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaliggus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari

87 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), 469

88 Abu> Husa>yn Ah}mad bin Fa>>ris bin Zaka>riyya, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa Al-Bab al-Halabi, 1972), 226

89Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 512

dimanapun dan oleh siapapun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah, makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagungkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu.

Di manapun hinggap lebah tidak pernah merusak. Ia tak pernah mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawaratan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tidak heran jika Nabi Saw menyamakan seseorang Mukmin dengan lebah.90

Hal ini diperkuat pernyataan Quraish Shihab dalam wawancara yang dimuat di dalam media Republika tanggal 14 Januari 2009, beliau mengatakan:

"Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan. Kalau mendukung ini seakan-akan datang dari luar yang didukung. Sebenarnya demokrasi yang diajarkan islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari barat (Yunani Kuno). Ada saya (Quraish Shihab) di dalam buku detik-detik yang menentukan islam bukan hanya mendukung tapi bisa menjadikan prinsip ajaran dalam kehidupan masyarakat. Apa yang kita kenal pilar dalam islam dengan syura atau yang dipadankan dengan demokrasi."91

Namun demikian, menurut Quraish Shihab tetap saja terdapat sisi lain perbedaan antara shu>ra> dan demokrasi yaitu dalam hal pengambilan keputusan. Sedikitnya manusia mengenal tiga cara dalam mengambil keputusan, yaitu keputusan yang ditetapkan oleh penguasa keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas, dan keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas. Dari ketiga model keputusan ini maka

90 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Cet 5, Vol 2, 323

91 http://m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara/09/01/14/25960-prof-dr- hm-quraish-shihab-Islam-mensyaratkan-demokrasi, diakses tanggal 20 Januari 2018, 00.28

Quraish Shihab mengatakan bahwa konsep shura dalam islam tidak tepat jika mengambil pendapat yang pertama maupun kedua. Beliau berkata :

“Jika suara minoritas menjadi pilihan, apa keistimewaan pendapat minoritas sehingga menjadi pilihan ?”

Quraish Shihab lebih cocok dengan model ketiga meskipun tidak mutlak dengan mengutip ungkapan Dr. Ahmad Ka>mil Abu> al-Ma>jid yang mengatakan bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapau kata sepakat.92

Ada tiga perbedaan shu>ra> dan demokrasi menurut Quraish Shihab yaitu :

1. shu>ra> tidak memutlakkan pengambilan keputusan hanya berdasarkan suara mayoritas.

2. Perjanjian atau kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat dalam shu>ra>

mengacu pada perjanjian ilahi sehingga terhindar dari praktik-praktik eksploitasi manusia atau manusia lainnya. Sedangkan demokrasi tidak mempunyai landasan ilahi.

3. Karena tidak ilahi, demokrasi modern dapat memutuskan persoalan apa saja, sedangkan shu>ra> sudah tegas memberi batasan-batasan apa saja yang di musyawarahkan dan apa saja yang tidak.93

Ada Juga perbedaan antara shu>ra> dan demokrasi yaitu antara lain sebagai berikut:

92 Ibid, 482-483

93 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: siyasah konstektualisasi doktrin Islam (Jakara: Inu Kencana Syafii, 2014), 229

No. Segi Perbedaan shu>ra> Demokrasi

1 Sumber dan

sandaran

Wahyu ilahi Rakyat 2 Kedaulatan dan

kekuasaan

Kedaulatan milik hukum syariat dan kekuasaan diserahkan pada rakyat

Ditangan rakyat

3 Aturan dan

undang-undang

Syariat yaitu Al- Quran, As-Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas

Tergantung pikiran manusia (rakyat) yang rentang salah dan berubah-ubah

4 Kebebasan dan pengertian

Tidak boleh keluar dari batas-batas norma kemuliaan serta akhlak islami

Tidak terbatas melainkan jika mengganggu kebebasan orang lain

5 Hukum Benar atau salah tegak

atas pijakan

Dalam Q.S. Ali Imran /2 :159 dijelaskan ada tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan tiga hal itu, dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud. Namun, dari segi pelaksanaan dari esensi musyawarah, Allah perlu menghiasi diri Nabi Saw., dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekat.

Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala karena, jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran

pergi. Petunjuk ini dikandung oleh penggalan awal ayat di atas sampai firman-Nya: بلقلا ظيلغ اًظف تنك لو

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat di atas ( نا ااف). Maaf secara harfiah berarti menghapus. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.

Di sisi lain, yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf karena, boleh jadi, ketika melakukan musyawarah, terjadi perbedaan pendapat atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat yang menyinggung, dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.

Kemudian yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan pikiran atau ketajaman analisis saja belum cukup. Oleh karena itu, kita masih membutuhkan sesuatu bersama akal. Terserah kita namai apa sesuatu itu, bisa indra keenam, sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau bisikan/gerak hati kata orang kebanyakan, atau Ilham, hidayah, dan firasat menurut agamawan.

Kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan ampun.94

94 Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, 313-314

B. Prinsip Demokrasi Dalam Tafsir al-Misbah

Penafsiran terhadap istilah demokrasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang kata yang padat makna ini mengalami evolusi. Evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang, dan waktu. Ini bersangkut paut dengan masalah hubungan antara yang memerintah dan diperintah, antara elite dan massa, antara rakyat dan pemerintah, atau antara orang awam dan ahli. Di dalam Al-Quran, pengertian mengenai demokrasi juga berkaitan dengan hubungan horizontal di antara orang yang sederajat.95

Demokrasi merupakan suatu asas yang menjadi pokok kedaulatan dalam sistem pemerintahan dalam suatu negara. Oleh karena itu, demokrasi mempunyai beberapa prinsip yang menjadi titik pokok dalam demokrasi.

1. Di mulai dari lingkup yang paling kecil

Di dalam surat Al-Baqarah /1 :253 diuraikan bagaimana antara suami dan istri diharuskan untuk bermusyawarah ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak termasuk di dalamnya menyapih anaknya sebelum berumur dua tahun.

Disebutkan di dalam Al-Quran :











  

































95 Dawam rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran Tafsir Sosial Berdasarakan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 440







































  























   







96

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.97

Pada ayat ini Quraish Shihab menjelaskan :

Apabila keduanya, yakni ayah dan ibu anak itu, ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya, bukan akibat paksaan dari siapapun, dan dengan permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu.98

Dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an beliau juga menjelaskan, bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa, Al-Qur‟an memberi petunjuk

96Q.S. Al-Baqarah /1 :253

97 Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya (Semarang: PT.

Grafindo: 1994), 37

98 Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, 611

agar persoalan itu dan juga persoalan-persoalan rumah tangga yang lainnya dimusyawarahkan antara suami istri dengan baik.99

Dari penjelasan tersebut terdapat kata musyawarah yang merupakan poin penting dalam demokrasi sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip-prinsip demokrasi harus dimulai dari hal yang paling kecil dan dalam lingkup yang kecil yaitu keluarga antara suami dan istri sehingga terciptalah suatu kondisi dari keluarga oleh keluarga dan manfaatnya adalah untuk keluarga itu sendiri.

2. Cara menyikapi demokrasi

Quraish Shihab ketika mengomentari surat Ali Imran ayat 159 mengatakan bahwa sebenarnya ayat tersebut telah memberikan arahan kepada manusia perihal sikap yang harus diperhatikan dalam menyikapi demokrasi. Disebutkan dalam Al-Quran :





























 











    

  



100

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.101

99 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2013), 618

100Ali Imran /2 :159

101 Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya , 71

Allah membimbing kepada kepada Nabi Muhammad Saw. sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah.

Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemah lembutan Nabi Saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas mereka walau beliau sendiri kurang berkenan, Nabi tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus dan lain-lain.

Dalam hal tersebut Quraish Shihab memberikan penjelasan berikut : Disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaimana dipahami dari huruf (ام) ma yang digunakan di sini dalam konteks penetapan rahmat-Nya disebabkan rahmat Allah itu engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi berhati kasar, tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu. Karena perangaimu tidak seperti itu, maka maafkanlah kesalahan-kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampun kepada Allah bagi mereka, atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan dan urusan dunia, bukan urusan syariat atau agama. Kemudian, apabila kamu telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan tekat, untuk melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakan sambil bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orrang yang bertawakkal kepada-Nya dan, dengan demikian, Dia akan

membantu dan membimbing mereka ke arah apa yang mereka harapkan.102

Kemudian dalam ayat: ( ل تنل ِ م ٍ ر ا ف) Quraish Shihab menjelaskan lebih lanjut bahwa ayat ini sebagai salah satu bukti bahwa Allah Swt. sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad Saw. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu Al-Qur‟an, tetapi juga kalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.103

Pada ayat: بلقلا ظيلغ اًظف تنك لو Quraish Shihab menjelaskan ayat di atas mengandung makna bawa engkau wahai Muhammad, bukanlah seorang yang berhati keras. Ini bisa dipahami dari kata ( ل) yang diterjemahkan sekiranya. Kata ini digunakan untuk kata menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat terwujud. Seperti jika seseorang yang ayahnya telah meninggal kemudian berkata

“sekiranya ayah saya masih hidup, saya akan menamatkan kuliah”.

Karena ayahnya telah wafat, kehidupan yang diandaikannya pada hakikatnya tidak ada dan, dengan demikian tamat yang diharapkannya pun tidak mungkin wujud.

Jika demikian, ketika ayat ini menyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tetntulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, itu berarti sikap keras lagi berhati kasar tidak ada wujudnya,

102 Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, 309-310

103 Ibid, 310

dan karena itu tidak ada wujudnya, maka tentu saja, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, tidak pernah akan terjadi.104

( بلقلا ظيلغ) berlaku keras lagi berhati kasar, ayat ini menggambarkan sisi dalam dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan sisi luar manusia dan berhati kasar, menunjukkan sisi dalamnya. Kedua hal itu dinafikan dari Rasul Saw. Memang, perlu dinafikan secara bersamaan, karena boleh jadi, ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut atau hatinya lembut tapi tidak mengetahui sopan santun. Karena, yang terbaik adalah menggabungkan keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, kata-kata yang indah, sekaligus jati yang luhur, penuh kasih sayang.105 Alhasil, penggalan ayat di atas serupa dengan ayat Al-Quran yang berbunyi :















  









106

Artinya : Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.107

Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah melakukan musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah serta disetujui oleh mayoritas. Kendati

104 Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, 311

105 Ibid, 311-312

106Q.S. At-Taubah /9 :128

107 Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya , 207

demikian, hasilnya sebagaimana telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul Saw. Oleh karena itu, ayat ini dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah.

Kesalahan yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama.

Dalam Q.S. Ali Imran /2 :159 dijelaskan ada tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan tiga hal itu, dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud. Namun, dari segi pelaksanaan dari esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri Nabi Saw., dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekat.

Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala karena, jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh penggalan awal ayat di atas sampai firman-Nya: بلقلا ظيلغ اًظف تنك لو

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat di atas ( نا ااف). Maaf, secara harfiah berarti menghapus.

Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.

Di sisi lain, yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf karena, boleh jadi, ketika melakukan musyawarah, terjdi perbedaan pendapat atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat yang menyinggung, dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.

Kemudian yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan pikiran atau ketajaman analisis saja belum cukup. Oleh karena itu, kita masih membutuhkan sesuatu bersama akal. Terserah kita namai apa sesuatu itu, bisa indra keenam, sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau bisikan/gerak hati kata orang kebanyakan, atau Ilham, hidayah, dan firasat menurut agamawan.

Kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan . ل ر ااو108

Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah setelah musyawarah usai, yaitu ( لا لِك ف تم ا ا ااف) apabila telah

108 Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, 313-314

bulat tekat, laksanakanlah, dan berserah dirilah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada- Nya.109

Ayat di atas juga mengisyaratkan tentang lapangan musyawarah, yaitu ( رماا ف رواشو) yang diterjemahkan di atas dengan dalam urusan itu. Dari segi konteks ayat ini, dipahami bahwa urusan yang dimaksud adalah urusan peperangan. Karena itu, ada ulama yang membatasi musyawarah yang diperintahkan kepada Rasulullah terbatas dalam urusan tersebut. Pandangan ini tidak didukung oleh praktik Nabi Saw., bahkan tidak sejalan dengan sekian ayat Al-Qur‟an.

Dalam soal amr atau urusan, dari Al-Qur‟an ditemukan adanya urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata-mata, bukan wewenang manusia betapapun agungnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab:

Al-Qur‟an tidak menjelaskan bagaimana bentuk shu>ra> yang dianjurkannya. Ini untuk memberi kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk shu>ra> yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini turun pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul saw. Turunnya ayat ini menguraikan syura pada periode Makkah menunjukkan bahwa bermusyawarah adalah anjuran Al-Qur‟an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.110

109 Ibid, 314 q 110 Ibid, 179

Dokumen terkait