• Tidak ada hasil yang ditemukan

X X X

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kontribusi mitologi pada mitos “surup” di Jombang memiliki beberapa fungsi dan revitalisasi. Menurut Van Peursen dan Bascom, fungsi dari mitos meliputi (Alifah, dkk., 2018).

a. Sebagai Ilmu Pengetahuan

Kontribusi mitologi dalam mitos “surup” di Jombang memiliki pesan moral yang bervariasi. Hal ini bergantung dengan konteks dan kepercayaan dari masing-masing masyarakatnya.

b. Sebagai Sistem Proyeksi (Cerminan diri)

Maksud dari cerminan diri adalah salah satu penggambaran bahwa mitologi dari mitos “surup” juga memiliki sisi baik dan buruk akan hal yang akan dilakukan. Baik hal yang berdampak baik maupun buruk saat dilakukan. Termasuk hal yang harus ditinggalkan dan hal yang dianjurkan untuk dilaksanakan yang berkaitan dengan “surup”.

147 c. Sebagai Legitimasi dan Pranata Kebudayaan

Secara tidak langsung, kontribusi mitologi pada mitos “surup” di Jombang merupakan media untuk menata kebudayaan masyarakat yang memercayai akan hal yang berkaitan dengan “surup”. Hal ini disadari oleh peneliti ketika waktu menjelang maghrib (surup), wilayah Jombang (khususnya bagi yang memercayai) anak-anak hingga dewasa memilih untuk berdiam diri di rumah. Waktu tersebut digunakan untuk persiapan beribadah (bagi kaum muslim) dan persiapan kumpul keluarga (bagi kaum pada umumnya).

d. Sebagai Alat Pendidikan

Mitos dalam karya sastra menjadi media untuk penyampai pesan moral sekaligus unsur pendidikan yang dapat dipercayai akan hal yang akan dilakukan. Sebagai alat pendidikan, mitos diharapkan dapat memberikan gambaran akan pesan moral yang nantinya juga diharapkan mampu mengubah perilaku masyarakat untuk menjadi pribadi yang baik.

Sikap Masyarakat Desa Mayangan dan Jarak Kulon Terhadap Mitos “Surup” di Jombang a. Memercayai Secara Keseluruhan

Beberapa masyarakat memercayai adanya mitos “surup” dengan kontribusi dalam melaksanakan suatu kegiatannya. Hal ini dipercaya bahwa kontribusi mitos tersebut digunakan masyarakat untuk pembelajaran dan pendidikan bahwa semua hal yang akan dilakukan pasti memiliki sisi baik dan buruknya, yang kedua sisi tersebut dipercaya akan memberikan kontribusi yang layak dan tidak untuk dilaksanakan. Memercayai ini memiliki dua cerminan, yaitu memercayai dengan tindakan dan memercayai dengan syarat. Memercayai dengan tindakan, yaitu memercayai dengan melaksanakan hal yang pantas atau tidak dilakukan yang berkaitan dengan mitos ”surup”. Misalnya, masyarakat mengenal pepatah “ojo dalu-dalu, mundak ilang” (jangan malam-malam, nanti hilang). Pepatah tersebut diujarkan oleh orang tua pada anaknya (laki-laki dan perempuan) ketika akan keluar rumah menjelang sore hari. Hal ini merupakan bentuk kekhawatiran orang tua karena larangan yang dipercayainya.

b. Memercayai dengan Pertimbangan atau Syarat

Memercayai dengan pertimbangan atau syarat ini merupakan kewajaran yang sering ditemui, karena seiring berjalannya waktu, leluhur pasti akan kehilangan generasinya, jika tidak memiliki generasi yang dapat dipatah (diutus). Tidak jarang, masyarakat sekitar jika mengetahui mitos “surup”, mereka memerlukan bukti terlebih dahulu terkait hal-hal yang dilarang dan dianjurkan tersebut.

148

Tabel 4 Informasi Informan Nomor Desa Nama Usia Profesi Jenis

Kelamin

Makna dan Konteks “Surup

(Menurut Informan) 1. Mayangan,

Jogoroto, Jombang

Karyoto 43 tahun

Penjual Sayur

Laki-laki Mengistirahatkan badan, meluangkan waktu untuk keluarga, bersih diri, mendekatkan diri pada Allah, serta menghindari hal mistis (karena waktu maghrib adalah waktu dimana makhluk ghaib mulai berbaur dengan manusia).

Yesi 40

tahun

Ibu Rumah Tangga

Perempuan Orang tua yang belum surup (meninggal), rumahnya tidak diperbolehkan untuk ditutup bangunan apapun oleh

bangunan milik anaknya (toko, garasi, dan bangunan yang terlalu banyak memakan lahan atau dalam istilah Jawa adalah ngestekno wong tua

(menghormati orang tua dengan cara tidak menutup wajahnya). Wajah di sini adalah rumah kepemilikan dari orang tua. Jika ditutup oleh bangunan, rezeki akan sulit untuk masuk. Kalaupun ingin tetap membangun, harus mempertimbangkan ukuran.

Misalnya, rai atau depan rumah milik orang tua panjangnya sekitar 5 meter, jika sang anak ingin

membangun toko, maksimal bangunan yang dibuat adalah 3 meter.

Ninik 40

tahun

Guru TPQ

Perempuan Bagi anak-anak dan remaja putri, waktu maghrib adalah

149 waktu yang berbahaya untuk meninggalkan rumah (main).

Hal ini dipercaya karena hal mistis makhluk ghaib yang disebut Nyai Thowok atau Nenen akan menculik anak- anak dan remaja putri yang sedang berada di luar rumah dengan cara menyamar menjadi orang yang mereka kenal (kerabat, teman, dan lain-lain). Kalaupun ingin keluar, tunggu hingga waktu maghrib selesai (setelah maghrib), karena pada waktu itu keberadaan ghaib sudah sedikit menghilang atau azan sudah berkumandang atau waktu salat sudah lewat.

2. Jarak Kulon, Jogoroto, Jombang

Neni 45

tahun

Ibu Rumah Tangga

Perempuan Saat pulang dari bermain. a ada salah seorang anggota keluarga (anak-anak) yag masih di luar rumah (jarak dekat), maka orang tua selalu reflek memanggil anaknya dengan teriakan. Hal ini perlu dihindari, karena suara yang keras di waktu “surup

dipercaya akan mengundang setan. Alangkah baiknya, jika sudah mendekati maghrib (20- 30 menit sebelum maghrib tiba), anak sudah diharuskan berada di rumah.

Yogi 47

tahun

Cleaning Service

Laki-laki Saat mandi, posisi anggota tubuh sedang

terbuka,sedangkan kamar mandi menjadi salah satu tempat yang dihuni makhluk ghaib. Jika ada seseorang yang

150

SIMPULAN

Berdasarkan data dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi pemahaman, pendidikan, dan pembelajaran mengenai kontribusi mitologi pada mitos “surup” di Jombang memiliki banyak konsep dan makna yang berbeda meski berada di wilayah yang sama (satu kecamatan). Kontribusi mitologi pada mitos ”surup” di Jombang bisa diklasifikasikan berdasarkan variasi dari pemahaman dan kepercayaan masyarakatnya. Kontribusi dan keberadaan mitologi pada mitos “surup” di Jombang menjadikan masyarakat sekitar memiliki dua pilihan, yaitu melaksanakan atau menghindari hal-hal yang berkaitan dengan “surup”karena keberadaan yang mampu menembus nalar manusia, kontribusi mitologi tersebut digunakan masyarakat sebagai alat pendidikan, cerminan diri, kepercayaan, dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjadikan pribadi yang mampu berpikir, mana yang pantas untuk dilaksanakan dan mana yang pantas untuk dihindari. Hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan bahwa setiap hal yang akan dilakukan pasti memiliki sisi baik dan buruk.

Esensi lain yang ditemukan oleh peneliti adalah mengenai sikap masyarakatnya. Mitologi yang ada di masyarakat mendatangkan dua sikap, yaitu sikap untuk memercayai seutuhnya dan sikap memercayai dengan syarat. Hal ini juga berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan masing-masing dari masyarakatnya. Bahwa setiap hal yang akan dilakukan pasti memiliki sisi baik dan buruknya yang tidak lain adalah mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus dihindari.

Artikel penelitian mengenai kontribusi mitologi pada mitos “surup” masih ada kekurangan, baik dari aspek teori, hasil, dan analisisnya. Oleh sebab itu, penelitian ini masih membutuhkan pengembangan dan pembaharuan dari peneliti selanjutnya (khususnya pada kajian sastra multikultural). Mengingat pembacanya dari berbagai kalangan (akademisi dan pihak lainnya), akan sangat bermanfaat apabila referensi mengenai sastra multikultural lebih bervariasi sumber, objek, dan kebaruan datanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jumal. (2018). Metode Analisis Isi (Content Analysis). Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah: Researchgate, 1−20.

Alifah, Dita Relawati., dkk. (2018). Sikap Masyarakat Dusun Blorong Terhadap Mitos dalam Cerita Rakyat Asal Mula Dusun Blorong Desa Kaligading Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Jurnal Sastra Indonesia, 7(1), 55−61.

mandi mendekati “surup”, ada mitos yang muncul, yaitu anggota tubuh yang akan dipermainkan oleh makhluk yang menghuni kamar mandi tersebut.

151 Binawati, Ni Wayan Sariani. (2019). Peran Mitos dalam Perkembangan Dunia Pendidikan.

Prosiding Konferensi Nasional Sastra, Bahasa, dan Budaya Japangus Press, 176−180.

Ismawati, Esti., dkk. (2019). Multikulturalisme dalam Sastra Indonesia Sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra. Jurnal Pendidikan Bahasa, 8(1), 19−33.

Kasanova, Ria & Widjayanti, Sri. (2018). Mitos dan Kontramitos dalam Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo. Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 5(2), 103−113.

Nensiliati. (2019). Kategorisasi dan Karakteristik Mitos Masyarakat Bugis dan Makassar.

Retorika: Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, 12(1), 53−70.

Rahmawati, Syukrina. (2009). Resistensi Perempuan Multikultural dalam Karya Sastra Indonesia:

Kajian Berperspektif Feminis. Mabasan, 3(2), 108−122.

Suparlan, Parsudi. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Antropologi Indonesia, 69, 98−115.

152

1L.M Ady Marlan Wardoyo Hasim, 2Bayu Effendy,

3Adly Muhammad

[email protected],[email protected], [email protected]

1,2,3Department Linguistic, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

Abstrak: Nama makanan khas suku Muna tidak hanya populer dalam kehidupan sosial praktis tetapi juga di media sosial. Nama makanan khas suku Muna biasanya banyak ditemukan brosur kuliner, website kuliner dan media sosial salah satunya adalah Facebook. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pembentukan kata dalam penamaan kuliner khas suku Muna. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyelidiki jenis pembentukan kata yang paling dominan dalam penamaan kuliner khas suku Muna. Semua nama makanan khas suku Muna yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan makanan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berhubungan dengan kata-kata, bukan angka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa blending tidak digunakan oleh masyarakat suku Muna untuk menamai suatu makanan tetapi kategori kata majemuk dan reduplikasi memiliki proporsi terbesar berdasarkan hasil penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa kata majemuk dan reduplikasi banyak digunakan oleh masyarakat suku Muna yang tidak asing lagi di telinga pecinta kuliner.

Kata kunci: pembentukan kata, kuliner khas suku Muna, proses morfologi.

Abstract: The typical culinary name of the Munanese is not only popular in practical social life but also on social media. Typical Munanese food names are usually found in many culinary brochures, culinary websites and social media, one of which is Facebook. This research aims to identify word formation in the culinary naming typical of the Munanese. The study also aimed to investigate the most dominant types of word formation in the typical culinary naming of the Munanese. All of the typical Munanese culinary names used in the study were related to food. The study used qualitative methods related to words, not numbers. The results show that blending was not used by Munanese people to name any food but compounding and reduplication word categories had the largest proportion based on the results of the study. This shows that the word compounding and redublication is widely used by Munanese people who are familiar to the ears of foodies.

Keywords: word formation, munanese culinary, morphological process

153

PENDAHULUAN

Sejak mulai tahun 2012, Indonesia memiliki tiga puluh empat provinsi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan juga dihuni lebih dari seribu suku bangsa atau lebih tepatnya berdasarkan hasil survei dari BPS atau Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2010 bahwa ada 1340 suku bangsa di tanah air. Hal inilah yang membuat Indonesia kaya akan tradisi dan budaya serta memiliki wisata yang indah, dilengkapi dengan beragam aneka kuliner yang menggugah selera.

Berbicara tentang suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia, salah satunya ada di daratan Sulawesi Tenggara yang hidup saling berdampingan satu sama lain, ada tiga suku terbesar di Sulawesi Tenggara yaitu suku Tolaki, suku Muna dan suku Buton, sementara sisanya adalah suku- suku kecil yang tersebar pada beberapa pulau di provinsi yang akrab dengan julukan Bumi Anoa.

Meski kedua suku ini berada di timur Indonesia, mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung kedua penutur asli suku tersebut ketika bertemu karena bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional, hal itu sejalan dengan Chaer, 1994:33; Alwasilah, 1983:76;

Pateda, 1990:20 dalam (Suandi 2008) bahwa salah satu hakikat bahasa yaitu bahasa sebagai sebuah sistem.

Gambar 1 Peta Kabupaten Muna

(Sumber:https://kanzunqalam.com/2017/03/07/misteri-kaghati-layangan-purba-9000-sm-dari- pulau-muna-sulawesi-tenggara)

Seiring perkembangan zaman, suku-suku yang ada di Sulawesi Tenggara khususnya suku Muna mulai banyak dikenal oleh masyarakat luas, salah satunya dari sisi kuliner khasnya yang kini mudah ditemukan di berbagai sosial media seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.

Pengguna sosial media yang sebagian besar adalah generasi milenial membantu mempromosikan atau membagi informasi tentang kuliner dan mereka juga tidak semua berasal dari suku Muna, tetapi mereka mengetahui dan menggunakan terminologi yang akrab dengan nama kuliner suku Muna. Fenomena tersebut tercermin dari postingan (tagar) yang diikuti oleh banyak pengguna

154

media sosial yang tentu menyampaikan terminologi yang mengacu pada berbagai jenis-jenis pembentukan kata.

Dewasa ini, ada begitu banyak peneliti di bidang morfologi khususnya proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah tertentu, dan bahasa asing. Namun, saat ini masih sedikit peneliti yang melakukan penelitian khususnya pada nama-nama makanan suku Muna dari perspektif morfologi. Padahal, secara umum ada begitu banyak pola yang dapat membangun pembentukan kata dari aktivitas sehari-hari, pola-pola tersebut secara tidak langsung dapat mencerminkan dinamika bahasa dan penggunaan bahasa.

Sementara itu, penelitian ini fokus membahas salah satu topik dalam morfologi, yaitu pembentukan kata terhadap fenomena penamaan kuliner khususnya kuliner suku Muna. Semua nama-nama kuliner suku Muna yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan makanan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pembentukan kata dalam penamaan kuliner khas suku Muna dan juga untuk mengetahui jenis pembentukan kata yang paling dominan dalam penamaan kuliner khas suku Muna.

Morfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk atau struktur kata atau kadang- kadang disebut sebagai ilmu yang mempelajari tentang morfem. (Sujatna, dkk, 2016), juga menurut Zaim (2015) mengatakan bahwa pembentukan kata merupakan kajian morfologi bahasa, yaitu kajian unsur terkecil yang mempunyai makna. Secara teoritis penggabungan dua atau lebih unsur yang sudah signifikan akan membentuk konstruksi baru dengan makna gabungan dari dua atau lebih unsur yang sudah ada atau makna baru yang terlepas dari makna unsur-unsur yang menyusunnya.

Secara umum dalam pembentukan kata ada terdapat beberapa jenis antara lain, yaitu blending, kata majemuk, dan reduplikasi.

Tabel.1

Jenis-Jenis dari Pembentukan Kata dibahas dalam Penelitian ini

Blending seperti Polantas atau polisi lalu lintas, dan dalam bahasa asing seperti brunch yang berasal dari kata breakfast dan lunch dan lain sebagainya sudah tidak asing lagi ditemukan dalam penggunaan bahasa. Lieber (2004) menyatakan bahwa blending adalah proses pembentukan kata yang bagian-bagian leksem bukan morfem itu sendiri digabungkan untuk membentuk leksem baru.

Kata-kata dalam blending tidak memiliki hubungan satu sama lain seperti kata aci dan digoreng menjadi cireng.

Pembentukan Kata

Blending Kata

Majemuk Reduplikasi

155 Kata majemuk atau compounding umumnya akan mengacu pada proses kombinasi dua atau tiga kata bahkan lebih yang terdiri dari morfem bebas yang sebagian besar mencerminkan makna baru. Berbeda dengan frasa yang mengandung dua makna leksikal. Kata seperti White House dan white house mengacu pada referensi yang berbeda. White House atau gedung putih sebagai kata majemuk yang dikaitkan dengan pejabat pemerintah di Amerika Serikat, sementara pada white house sebagai ungkapan yang umumnya akan mengacu pada rumah yang pada dasarnya berwarna putih. Dalam pemajemukan, dua atau lebih leksem digabungkan menjadi kata baru (Booij, 2005).

Secara teoritis, reduplikasi merupakan sebuah proses pembentukan kata melalui pengulangan bentuk kata dasarnya. Spencer (2001) menyatakan bahwa reduplikasi adalah operasi morfologis yang diikuti dengan penyalinan batang dan asosiasi ke template. Senada dengan pernyataan tersebut, Lieber (2004) menyatakan bahwa reduplikasi adalah proses morfologis ketika seluruh atau sebagian kata diulang. Kata seperti zig-zag adalah contoh dari pembentukan kata ini.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berhubungan dengan kata-kata, bukan angka. Metode kualitatif terdiri dari tiga jenis pengumpulan data: (1) wawancara mendalam dan terbuka; (2) pengamatan langsung; dan (3) dokumen tertulis (Patton, 1990), juga menurut Sutopo (2002), penelitian deskriptif mengacu pada gambaran secara rinci dan mendalam tentang suatu fenomena yang terjadi di lapangan penelitian. Sutopo (2002) juga menyatakan bahwa data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki makna lebih kuat dari pada angka dan frekuensi.

Berdasarkan definisi dan kriteria seperti pengumpulan data, pengklasifikasian data, analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan tentang data, jenis penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai metode deskriptif.

Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu mencari data di brosur kuliner, website kuliner, dan beberapa informan yang dapat berbagi ilmu tentang kuliner suku Muna. Kedua, data yang diperoleh dikategorikan ke dalam berbagai jenis pembentukan kata. Ketiga, jenis yang paling dominan disediakan dalam grafik. Data dikumpulkan secara acak pada bulan Agustus 2021 untuk mendapatkan penggunaan kata-kata yang sebenarnya.

PEMBAHASAN

Bagian ini memberikan jenis-jenis formasi pembentukan kata dalam penamaan kuliner khas suku Muna. Kata-kata yang umumnya sudah tidak asing lagi dalam kuliner Indonesia khususnya suku Muna, Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini dan setiap data akan dideskripsikan.

156

Tabel 2.

Temuan Pembentukan Kata pada penamaan kuliner suku Muna Blending Kata Majemuk Reduplikasi

X katoofino palola bika-bika

X katoofino kapaea lapa-lapa

X katumbu gola hogo-hogo

X katumbu kapute roko-roko

X kagilino kambuse onde-onde

X kadada katembe epu-epu

X ayam parende mbalo-mbalo

X kenta parende ngkea-ngkea

X kenta katunu gola-gola

X parende cumi

X sanggara bandang

X ayam kaowei

A. Blending

Salah satu proses morfologi adalah blending. Dari data yang diperoleh dalam penelitian ini diketahui bahwa blending tidak memiliki data sama sekali, yang artinya bahwa tidak ada satu pun kata yang mengandung dua kategori sintaksis yang berbeda dalam penamaan kuliner suku Muna.

Dokumen terkait