• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Multikulturalisme

Merunut tentang latar belakang historis kemunculan konsep multikulturalisme maka akan ditemukan keterkaitanya dengan gerakan perjuangan golongan-golongan minoritas di Amerika dan Eropa Barat untuk memperoleh pengakuan atas eksistensi dan hak- hak yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam masyarakat di dua wilayah benua ituhanya dikenal adanya dominasi satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen; suatu kondisi sosial yang berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia II. Golongan- golongan lainnya selain golongan yang dominan yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut secara sosial diposisikan sebagai minoritas dengan segala pembatasan dan pengebirian atas hak-hak mereka. Bermula pada akhir tahun 1950-an, berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di Amerika Serikat. Gejolak itu mencapai puncaknya pada tahun 1960-an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum dan perjuangan hak-hak sipil.

Perjuangan hak-hak sipil itu dilanjutkannya secara lebih efektif

melalui berbagai kegiatan affirmative action1 yang membantu mereka yang terpuruk dan tergolong sebagai minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha.2

Upaya yang paling getol untuk mempromosikan konsep multikulturalisme terjadi di Amerika, Canada, dan Australia, karena mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya.

Kemunculan multikulturalisme di Amerika, tidak terjadi serta merta, tetapi merupakan kelanjutan sejarah dari beberapa teori dan konsep yang diimplementasikan sebelumnya ke dalam masyarakat untuk menangani pluralitas sosial budaya. Teori yang pertama adalah melting pot yang dilontarkan oleh Hector St. John de

1 Istilah affirmative action berarti memberikan seseorang suatu preferensi atau keuntungan berdasarkan atas warna kulit atau gender dan kerapkali untuk motivasi politis. Bentuk ekstrim dari affirmative action adalah menyediakan kuota, quota. Konsep awal dari affirmative action adalah bahwa ia tidak sekedar bertindak non-diskriminatif secara pasif—misalnya dengan hanya berkata “pekerjaan ini terbuka untuk semua pelamar”—tetapi juga secara afirmatif, yaitu melakukan tindakan nyata menemukan pelamar dari kalangan minoritas. Di samping sisi positifnya, konsep ini juga mengandung sisi negatif, yaitu dikesampingkannya aspek kualitas pelamar (pekerjaan atau sekolah) demi memenuhi keterwakilan minoritas. Pada tanggal 28 Agustus 2007 Komisi Hak-hak Sipil Amerika (United States Commission on Civil Rights) mengeluarkan laporan bahwa program affirmative action dapat membahayakan siswa sekolah hukum dari kalangan minoritas, karena mereka yang diterima melalui program itu cenderung tidak siap dan akhirnya terjerembab kegagalan. “Affirmative Action” dalam http://www.conservapedia.com:80/Affirmative_action diakses tanggal 13 November 2008 pukul 11.15 WIB.

2 Lihat Parsudi Suparlan, “Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme”, Jurnal Studi Amerika, Vol. 5 (Agustus, 1999), 35-42.

Crèvecoeur,3 imigran asal Normandia di Amerika. Teori itu menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru, budaya Amerika, meski yang disebut budaya baru itu pada kenyataannya adalah kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP).

Dia menggambarkan bagaimana melting pot itu tercipta melalui ilustrasinya tentang percampuran darah seorang imigran miskin asal Eropa yang kemudian menjadi kaya raya dan menjadi orang Amerika.

“What then is the American, this new man? He is either a European, or the descendant of a European, hence that strange mixture of blood, which you will find in no other country. I could point out to you a family whose grandfather was an Englishman, whose wife was Dutch, whose son married a Frenchwoman, and whose present four sons have now four wives of different nations. He is an American, who leaving behind him all his ancient prejudices and manners, receives new ones from the new mode of life he has embraced, the new government he obeys, and the new rank he holds. He becomes an American by being received in the broad lap of our great alma mater. Here individuals of all nations are melted into a new race of men, whose labors and posterity will one day cause great changes in the world. Americans are the Western pilgrims, who are carrying along with them that great mass of arts, sciences, vigor, and industry which began long since in the East;

they will finish the great circle. The Americans were once scattered all over Europe; here they are incorporated into one of the finest systems

3 Hector St. John de Crèvecoeur dilahirkan di Normandia pada tahun 1735. Crèvecoeur bertugas dalam perang Prancis dan India dan melakukan perjalanan ke negara-negara jajahan sebelum ia menjadi petani di New York, menikahi seorang wanita kelahiran Amerika pada tahun 1769. Setelah dimulainya Revolusi Amerika, dia kembali ke Eropa dan menerbitkan karyanya, Letters from an American Farmer, yang mendapat pujian yang luas pada tahun 1782, membuatnya menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan dan penunjukan sebagai Konsulat Prancis untuk tiga negara bagian yang baru dideklarasikan di Amerika. Ketika dia kembali ke tanah miliknya di New York, dia menemukan

rumahnya terbakar dan istrinya tewas.

https://www.laphamsquarterly.org/foreigners/melting-pot diakses tanggal 1 Desember 2020 pukul 00.15 WITA. Lihat juga “Hector St. John de Crevecoeur”, http://www.let.rug.nl/usa/outlines/literature-1991/authors/hector-st-john-de-

crevecoeur.php

of population which has ever appeared, and which will hereafter become distinct by the power of the different climates they inhabit. The American ought therefore to love this country much better than that wherein either he or his forefathers were born. Here the rewards of his industry follow with equal steps the progress of his labor; his labor is founded on the basis of nature, self-interest; can it want a stronger allurement? Wives and children, who before in vain demanded of him a morsel of bread, now, fat and frolicsome, gladly help their father to clear those fields whence exuberant crops are to arise to feed and to clothe them all; without any part being claimed, either by a despotic prince, a rich abbot, or a mighty lord. Here religion demands but little of him; a small voluntary salary to the minister, and gratitude to God;

can he refuse these? The American is a new man, who acts upon new principles; he must therefore entertain new ideas and form new opinions. From involuntary idleness, servile dependence, penury, and useless labor he has passed to toils of a very different nature, rewarded by ample subsistence—this is an American.”4

Teori melting pot kemudian dikritik dan dipandang tidak adekuat lagi ketika komposisi etnik Amerika kian ragam dan budaya mereka semakin majemuk. Horace Kellen5 lalu mempopulerkan teori baru yang disebut dengan teori salad bowl atau teori gado-gado. Bila teori melting pot bertendensi menghilangkan budaya asal, maka teori salad bowl sebaliknya tetap menjaga dan mengindahkannya. Dalam pandangan teori ini, kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing diberi peluang berkontribusi untuk membangun budaya Amerika sebagai sebuah budaya nasional.

Berkembang lebih jauh dari teori salad bowl, dimunculkan pula teori cultural pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yaitu ruang publik dan ruang privat. Dalam ruang

4 J. Hector St. John de Crèvecoeur, “Melting Pot: What makes an American?” https://www.laphamsquarterly.org/foreigners/melting-pot diakses 1 Desember 2020 pukul 00.25 WITA.

5 Horace Meyer Kallen lahir pada 11 Agustus 1882, di kota Bernstadt, Prusia Silesia (sekarang Bierutów, Provinsi Silesia Bawah, Polandia). Dia meninggal, pada usia 91, pada 16 Februari 1974, di Palm Beach, Florida.

https://en.wikipedia.org/wiki/Horace_Kallen diakses tanggal 1 Desember 2020 pukul 1.07 WITA.

publik seluruh etnik berkesempatan mengekspresikan partisipasi sosial-politik mereka; sedangkan dalam ruang privat setiap etnis mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa. Kenyataannya, hingga dekade 1960-an masih ada kelompok etnik minoritas dalam masyarakat Amerika yang merasa hak-hak sipilnya tidak terpenuhi.

Oleh karena itu mereka mengembangkan konsep dan nilai-nilai multiculturalism yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas baik dilihat dari segi etnik, agama, ras ataupun warna kulit.6 Pada tahun 1970-an, penyebarluasan konsep itu semakin giat dilakukan oleh para cendekiawan melalui tulisan- tulisan mereka, dan bentuk pengajaran dan pendidikan yang dilandasi oleh konsep itu juga mulai diterapkan di sekolah-sekolah.

Dekade 1970-an merupakan titik anjak perkembangan fenomenal konsep itu hingga menjadi sebagaimana yang dapat disaksikan di Amerika pada masa sekarang ini.7

Pada masa sekarang, konsep multikulturalisme telah berkembang melintasi batas-batas negara dan menjadi tema penting dalam berbagai diskursus tentang kemajemukan budaya. Di Indonesia, konsep multikulturalisme sejauh ini masih asing bagi sebagian besar warganya, meskipun para pendiri (founding fathers) bangsa ini telah menggunakannya untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidak dapat sekedar disamakan dengan konsep keanekaragaman sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan

6 Dede Rosyada, “Materi, Kurikulum, Pendekatan, dan Metode Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikulturalisme”, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 4 No. 1 (Januari-Maret 2006), 26-7.

7 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, dalam http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm diakses tanggal 1 November 2008. Makalah ini pernah disampaikan dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.

dalam kesederajatan. Untuk mengulas konsep itu dengan memadai haruslah disertai dengan ulasan tentang berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.8

Menurut Parsudi Suparlan, multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan- ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.9

Uraian di atas menggambarkan bahwa, secara filosofis multikulturalisme, merupakan pandangan yang meyakini bahwa dalam realitas kehidupan terdapat keragaman (diversity) atau kemajemukan (plurality) kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi,

8 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat…”.

9 Lihat Parsudi Suparlan, “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia, No. 6 (2002), 1-12.

agama, kepentingan dan sebagainya yang harus diakui, dihormati, dan difungsikan. Paham ini merupakan suatu kebutuhan dalam konteks bangsa Indonesia yang multiras, multietnik, multibudaya, dan multiagama dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Oleh karena itu, pengembangannya dalam berbagai aspeknya baik secara sosio-politik maupun sosio-kultural, termasuk dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam, merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia yang nota bene mayoritas penduduknya adalah muslim.10

Multikulturalisme dalam Pespektif Islam: Tinjauan Doktrinal

Sudut terpenting dari pandangan multikulturalisme adalah keyakinan bahwa keragaman (diversity) atau kemajemukan (plurality) dalam berbagai aspek (ras, etnik, budaya, bahasa, agama, dan lain-lain) adalah realitas kehidupan manusia yang tak terbantahkan, dan oleh karena itu ia harus diakui, dihormati, dan difungsikan. Bagi sebagian kalangan masyarakat Islam konsep multikulturalisme disambut dan diterima dengan baik, tetapi sebagian lagi tidak serta merta bisa menerimanya bahkan bersikap resistan yang disebabkan oleh ketidaksiapan, kekurangtahuan, atau bahkan kecurigaan terhadapnya. Sikap kecurigaan itu muncul, antara lain, dihubungkan dengan sumber asal konsep itu yang lahir dari kultur masyarakat Barat yang dipersepsikan oleh sebagian orang Islam bertentangan atau memusuhi Islam. Resistansi terhadap konsep itu juga muncul dari inkompabilitas mindset pemikiran keislaman yang terkait dengan problematika pluralitas sosial, budaya, dan agama; secara teologis, sebagian besar umat Islam masih bertengger pada mindset eksklusifisme.

10 Choirul Fuad Yusuf, “Multikulturalisme: Tantangan Transformasi Pendidikan Nasional”, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 4 No. 1 (Januari-Maret 2006), 20-1.

Sehubungan dengan inkompabilitas mindset itu, uraian penulis di bawah ini hendak mengklarifikasi kedudukan konseptual multikulturalisme itu dari perspektif doktrin Islam, al-Qur’an dan Hadits. Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi kebenaran doktrinal dalam konsep multikulturalisme berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, tetapi lebih pada penyadaran bahwa sejatinya umat Islam memiliki bekal dan perangkat doktrinal untuk bergulat dengan konsep “baru” itu.

Fenomena pluralitas yang menampak dalam bentuk multi ras, multi etnik, multi budaya, dan multi bahasa tidak menimbulkan problem apa pun dalam sejarah panjang umat Islam. Dalam hal ini, umat Islam dapat dipandang sebagai pluralis dan penganut multikulturalisme yang baik. Umat Islam meyakini bahwa tidak ada ras, etnik, budaya, dan bahasa yang berkedudukan lebih istimewa di atas yang lain sehingga menjadi alasan untuk bertindak diskriminatif yang lain yang berbeda. Kenyataan bahwa banyak nabi termasuk Nabi Muhammad berasal dari ras Semit dan etnis Arab tidak menjadikan ras dan etnis itu lebih istimewa. Al-Qur’an bertuliskan huruf dan berbahasa Arab tidak menyebabkan bahasa Arab lebih mulia dibanding bahasa lain. Tampaknya dalam hal ini umat Islam menginternalisasi dengan baik pesan-pesan yang terkandung dalam Qs. Al-Hujurāt/49:13.

اَهُّيَأ اَي

ُ ساَّنلا

Dokumen terkait