نمإ۞ َّ
B. Katabolisme
5. Analisa Organoleptik
4.2 Pengaruh Konsentrasi Pati Singkong dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih pada Edible Coating terhadap Kualitas Bakso Daging Sapi pada Bawang Putih pada Edible Coating terhadap Kualitas Bakso Daging Sapi pada
4.2.1 Enumerasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
sintesis lipid sehingga asam amino dan protein tidak mampu diproduksi, sehingga lapisan fosfolipid pada dinding sel tidak terbentuk. Hal tersebut menjadi penyebab terganggunya pertumbuhan dan perkembangan bakteri (Saravanan et al., 2010).
Hal ini sesuai dengan Pajan et al. (2016) yang menyatakan bahwa senyawa allisin menyebabkan penghancuran gugus SH (sulfihidril dan disulfida) amino sistin dan sistein. Gugus SH yang telah hancur, akan menghambat sintesis enzim protease dan mengganggu metabolisme protein dan asam nukleat pada bakteri.
4.2 Pengaruh Konsentrasi Pati Singkong dengan Penambahan Ekstrak
Tabel 4.2 Hasil Enumerasi Escherichia coli Bakso Daging Sapi (CFU/g) Perlakuan
E. coli (CFU/g) Penyimpanan
H0 H1 H2 H3
K- 0 0 4,5 x 102 a TBUD
P1B1 0 0 4,2 x 102 b TBUD
P1B2 0 0 1,8 x 101 c 2,8 x 103 e
P1B3 0 0 1,1 x 101 d 1,4 x 103 f
P1B4 0 0 0 e 7,8 x 101 a
P2B1 0 0 2,2 x 101 c 5,5 x 103 c
P2B2 0 0 0 e 7,3 x 101 b
P2B3 0 0 0 e 0 g
P2B4 0 0 0 e 0 g
P3B1 0 0 2 x 101 c 4,8 x 103 d
P3B2 0 0 0 e 0 g
P3B3 0 0 0 e 0 g
P3B4 0 0 0 e 0 g
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut Uji Duncan α 5%
TBUD : Terlalu Banyak Untuk Dihitung
Tabel 4.3 Hasil Staphylococcus aureus Bakso Daging Sapi (CFU/g) Perlakuan
S. aureus (CFU/g) Penyimpanan
H0 H1 H2 H3
K- 0 0 16 x 101 a 9 x 102 a
P1B1 0 0 11,3 x 101 b 6,9 x 102 b
P1B2 0 0 8,7 x 101b 5,7 x 102 c
P1B3 0 0 4,7 x 101 c 2,8 x 102 e
P1B4 0 0 0 d 0 g
P2B1 0 0 9,8 x 101 b 3,1 x 102 de
P2B2 0 0 5,5 x 101 c 2 x 102 f
P2B3 0 0 0 d 0 g
P2B4 0 0 0 d 0 g
P3B1 0 0 9,2 x 101 b 3,3 x 102 d
P3B2 0 0 0 d 0 g
P3B3 0 0 0 d 0 g
P3B4 0 0 0 d 0 g
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut Uji Duncan α 5%
Hasil enumerasi atau perhitungan bakteri (Tabel 4.2 dan Tabel 4.3) menunjukkan bahwa kontaminasi bakso daging sapi kontrol negatif atau tanpa pemberian edible coating terkontaminasi bakteri yang lebih tinggi dari pada bakso daging sapi yang diberi perlakuan edible coating. Setiap perlakuan terkontaminasi bakteri dalam jumlah yang berbeda. Pada penyimpanan hari ke-2 bakso daging sapi tanpa edible coating (K-) menunjukkan nilai 4,5 x 102 (CFU/g) sedangkan bakso daging sapi dengan edible coating nilai tertinggi adalah perlakuan P1B1 dengan 4,2 x 102 (CFU/g) dan nilai terendah dengan 0 (CFU/g) pada perlakuan P1B4, P2B2, P2B3, P2B4, P3B2, P3B3, P3B4 untuk bakteri E.coli. Pada penyimpanan hari ke- 3, pada perlakuan P1B4 dan P2B2 ditumbuhi bakteri E.coli yakni 7,8 x 101 (CFU/g) dan 7,3 x 101 (CFU/g). Batas maksimum cemaran mikroba pada pangan yang telah ditentukan yakni 1 x 102 (CFU/g) untuk bakteri E.coli (BPOM, 2019).
(1) (2)
Gambar 4.2. Hasil enumerasi dengan koloni spesifik (1) enumerasi bakteri E.coli dan (2) enumerasi bakteri S. aureus (a) koloni bakteri S.aureus (b) media MSA (c) koloni bakteri S. aureus (d) media EMBA
Berbeda dengan perhitungan bakteri E.coli, untuk bakteri S. aureus, hasil menunjukkan pada penyimpanan hari ke-2 16 x 101 (CFU/g) untuk kontrol, 11,3 x 101 (CFU/g) untuk perlakuan P1B1, 8,7 x 101 (CFU/g) untuk perlakuan P1B2, kemudian 4,7 x 101 (CFU/g) untuk perlakuan P1B3, 9,8 x 101 (CFU/g) untuk P2B1, 5,5 x 101 (CFU/g) untuk P2B2 dan 9,2 x 101 (CFU/g) untuk perlakuan P3B1. Pada
d
b c a
penyimpanan hari ke-3 meningkat menjadi 9 x 102 (CFU/g) untuk perlakuan kontrol, 6,9 x 102 (CFU/g) untuk perlakuan P1B1, 5,7 x 102 (CFU/g) untuk perlakuan P1B2, 3,1 x 102 (CFU/g) untuk P2B1, dan 3,3 x 102 (CFU/g) untuk P3B1.
Seluruh bakso pada hari kedua masih dalam batas aman dan berada di bawah batas maksimum cemaran mikroba yang telah ditentukan berdasarkan aturan BPOM (2019) yakni 1 x 102 (CFU/g) untuk bakteri S. aureus. Namun, hasil pada hari-3 menunjukkan pada hampir seluruh bakso berada di atas batas cemaran yang ditentukan, hanya P1B4, P2B3, P2B4, P3B2, P3B3, dan P3B4 yang berada di bawah batas maksimum cemaran mikroba dengan 0 (CFU/g).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi penggunaan pati singkong dan meningkatnya konsentrasi penambahan ekstrak bawang putih menunjukkan jumlah bakteri E.coli dan S. aureus semakin kecil. Hal ini menjadikan indikasi bahwa kemampuan pati singkong dan ekstrak bawang putih untuk mempertahankan dan melindungi produk terhadap bakteri E.coli dan S.
aureus semakin besar, sehingga pertumbuhan mikroba terhambat dan akhirnya populasi semakin kecil. Sejalan dengan peningkatan konsentrasi pati, terjadi juga peningkatan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S. aureus.
Ketebalan edible coating yang terbentuk berkaitan dengan konsentrasi pati maupun penambahan ekstrak bawang putihnya. Semakin meningkat konsentrasi pati dan ekstrak bawang putih, maka juga semakin tebal coating yang terbentuk.
Hal ini karena matriks penyusun edible coating terdapat kenaikan total zat yang terlarut dan kekentalan larutan edible coating (Poeloengasih dan Marseno, 2003).
Menurut Ginting (2017), komponen aktif bawang putih berupa sulfida mampu membentuk ikatan disulfida dan sulfur di dalamnya. Ikatan antar komponen
yang terbentuk sebanding dengan jumlah zat yang terlarut sebanding pada edible coating. Hal inilah yang mempengaruhi ketebalan dan komposisi edible coating.
Skurtys et al. (2011) menyatakan bahwa ketebalan lapisan yang dibentuk oleh edible coating berhubungan dalam sifat permeabilitas lapisannya. Apabila semakin tebal suatu lapisan edible coating, maka kemampuan proteksinya juga semakin tinggi. Hal ini diharapkan mampu memperpanjang umur simpan suatu produk yang diberi lapisan edible coating. Namun juga perlu dipertimbangkan ketika menentukan ketebalannya, karena akan berdampak dan berpengaruh pada organoleptik produk pangan yang dilapisi.
γ- glutamyl-S-allyl-L-cysteines merupakan salah satu senyawa sulfur utama pada bawang putih. Alliin akan dihasilkan ketika terjadi pemecahan γ-glutamil-S- alk(en)il- Lsistein dibantu enzim enzim γ- glutamil – transpeptidase dan γ-glutamil- peptidase oksidase. Pada proses penghancuran dalam membuat ekstrak bawang putih, enzim alliinase akan aktif dan alliin akan terhidrolisis menghasilkan senyawa intermediet berupa asam allil sulfenat. Kondensasi asam allil sulfenat kemudian akan menghasilkan allisin, ion NH4+ , dan asam piruvat (Utami dan Pantaya, 2016).
Proses penghambatan bakteri oleh allisin adalah melalui penghambatan produksi RNA dan sintesis lipid sehingga asam amino dan protein tidak dapat diproduksi serta bilayer fosfolipid dari dinding sel tidak mampu dibuat oleh bakteri (Saravanan et al., 2010). Meskipun pada hari ke-0 dan ke-1 tidak terkontaminasi bakteri E.coli dan S. aureus, namun pada hari ke-2 dan ke-3 bakso daging sapi terkontaminasi bakteri E.coli dan S. aureus. Bakteri E.coli dan S. aureus setelah berada pada kondisi cekaman senyawa antibakteri, dapat pulih dan tumbuh kembali karena senyawa antibakteri tidak lagi efektif, hal ini menyebabkan efektivitas senyawa
antibakteri pada bawang putih akan berkurang seiring dengan lamanya penyimpanan.
Menurut Sjafaraenan et al. (2021), penyebab berkurangnya kemampuan antibakteri tersebut karena kerusakan sel bakteri oleh senyawa antibakteri tersebut bersifat mikrostatik, yakni kerusakan sementara yang terjadi pada sel mikroba.
Sejalan dengan hal tersebut, Julio Cesar LopezRomero et al. (2015) menambahkan bahwa suatu komponen akan bersifat mikrostatik atau tidak, dipengaruhi oleh faktor konsentrasi komponen antimikroba dan kultur mikroba uji yang digunakan atau ditargetkan. Davidson dan Branen (1993), menyatakan bahwa dalam pangan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penghambatan zat antibakteri terhadap pertumbuhan mikroba, diantaranya yakni konsentrasi zat antibakteri, waktu atau durasi lamanya kontak dengan zat antibakteri, suhu lingkungan, sifat- sifat yang dimiliki bakteri itu sendiri, serta bergantung pada sifat fisik dan kimia produk pangan yang meliputi kadar air, pH, dan jenis senyawa lain di dalamnya.
Makanan yang sudah dimasak atau mengalami pengolahan seperti bakso daging sapi masih dapat terjadi kontaminasi bakteri, misalnya melalui tangan atau lingkungan selama penyimpanan selama proses pengolahan dan sebelum dikonsumsi. Pada penelitian ini, kontaminasi dimungkinkan disebabkan karena sanitasi, kehigienisan, dan kebersihan alat-alat dan tempat yang digunakan selama pembuatan bakso daging sapi di dapur kurang diperhatikan, ataupun dapat terjadi ketika proses coating yang dilakukan di laboratorium, kesterilan alat gelas dan tempat kurang diperhatikan, sehingga terjadi kontaminasi mikroba. Menurut Kuswiyanto (2015), kontaminasi bakteri S. aureus biasanya berasal dari makanan yang sudah diolah atau dimasak. Ekawati (2016), menambahkan bakteri S. aureus
mampu tumbuh pada pangan yang kandungan protein dan garamnya tinggi.
Makanan dapat terkontaminasi bakteri E.coli dan S. aureus dari udara, air, debu, peralatan makan, lingkungan, serta manusia.
Lama penyimpanan bakso daging sapi mempengaruhi bakteri yang tumbuh.
Maka dari itu, untuk penyimpanan bakso kurang lebih 1- 2 hari pada suhu ruang dapat diawetkan menggunakan edible coating berbasis pati singkong dengan penambahan ekstrak bawang putih. Namun, apabila disimpan lebih lama lagi, sebaiknya dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah sehingga bakso daging sapi akan memiliki masa penyimpanan yang lebih panjang lagi.