BAB 4 PROSES NEGOSIASI
B. Etika dan hubungan dalam negosiasi
d. Daya kompetisi (power of competition)
Para negosiator ahli memakai kompetisi untuk membentuk lawan bicaranya berasumsi kalau mereka tidak diperlukan. Pertahanan sangat efisien kepada siasat ini merupakan melindungi netralitas kamu. Janganlah sangat kilat mengikuti permohonan yang tidak masuk ide sebab khawatir hendak respon kelompok lain.
e. Menawarkan jalur tengah (splitting the difference)
Ini bisa jadi metode yang amat bermanfaat kala 2 kelompok mengalami jalur tersumbat. Walaupun begitu, para pemimpin perusahaan wajib berjaga- jaga kala kelompok lain sangat kilat menawarkan sesuatu jalur tengah. Bisa jadi saja kelompok itu sudah menyambut lebih dari yang sepatutnya.
B. ETIKA DAN HUBUNGAN DALAM NEGOSIASI
Empat standar penilaian strategi serta siasat dalam bisnis dan perundingan atau negosiasi:
a. Seleksi serangkaian kegiatan yang bersumber pada hasil yang akan digapainya (misalnya, profit pemodalan yang lebih besar).
b. Seleksi serangkaian kegiatan yang bersumber pada kewajiban untuk menjaga ketentuan serta prinsip yang betul (misalnya, hukum).
c. Seleksi serangkaian kegiatan yang bersumber pada norma, angka, strategi industri ataupun kelompok (misalnya, perihal yang lazim dilakukan banyak orang di industri kita).
d. Seleksi serangkaian kegiatan yang bersumber pada kepercayaan diri kita (misalnya, apa yang batin kecil kita katakan).
Pendekatan awal dikatakan etika hasil akhir, dalam etika ini bukti sesuatu kegiatan yang ditetapkan oleh evaluasi mendukung serta arti dari akhirnya.
Pendekatan kedua ialah ilustrasi dari apa yang dikatakan etika tugas, dimana bukti dari sesuatu kegiatan ditetapkan oleh peranan seorang untuk mematuhi kestabilan prinsip, hukum, serta standar sosial yang mendefinisikan apa yang betul serta apa yang salah dan batas di antara keduanya. Pendekatan ketiga menggantikan wujud social etika kontrak, dimana bukti sesuatu kegiatan yang didasarkan pada kerutinan serta norma warga khusus. Pendekatan terakhir, diucap etika pribadi istik, dimana bukti sesuatu kegiatan yang didasarkan pada suara batin serta standar akhlak seorang. (Yulia Susanti & Prihati Widianingsih, 2017)
2. Penerapan Etika dalam Negosiasi
Tiap pendekatan bisa dipakai untuk menganalisa lima suasana imajinatif atau beri ajinasi di awal. Misalnya, dalam suasana awal yang mengaitkan penjualan stereo serta statement untuk konsumen menjanjikan hal kehadiran konsumen potensial yang lain:
a. Bila seorang yakin pada pendekatan etika hasil akhir, hingga orang itu melaksanakan apa yang beliau perlukan untuk memperoleh hasil terbaik.
(tercantum berdalih hal konsumen pengganti)
b. Bila seseorang yakin pada pendekatan etika tugas, hingga orang itu bisa jadi mempunyai peranan untuk tidak berkaitan dengan akal busuk, serta menyangkal memakai siasat yang kotor.
c. Bila seseorang yakin pada pendekatan social etika kontrak, hingga orang itu hendak melandasi opsi sikap pada pemikiran hal norma yang sesuai di kelompok: bila yang lain hendak berdalih, hingga beliau pula hendak melaksanakannya.
d. Bila seseorang yakin pada pendekatan etika pribadi istik, hingga orang itu hendak mengikut tutur hatinya serta menyudahi apakah beliau hendak penuhi keinginan duit kas untuk perjalanannya dalam membetulkan tindakan yang memakai siasat tidak jujur.
Empat pendekatan ini ialah dasar untuk melaksanakan aplikasi etika dalam berunding. (Yulia Susanti & Prihati Widianingsih, 2017)
3. Pertanyaan Perilaku Etika apa yang muncul dalam Negosiasi
Kenapa sebagian orang yang mengajak berunding memilih memakai siasat yang tidak benar? Ini diakibatkan sebab seseorang negosiator menyangka pasangannya yang memakai siasat tidak berpendirian yang tidak benar, mengarah pada keuntungan, ataupun hendak memakai siasat untuk memperoleh apa yang mereka mau. Kebalikannya, kala berupaya untuk menerangkan kenapa kamu selaku seseorang yang mengajak berunding memakai siasat serupa. (Yulia Susanti & Prihati Widianingsih, 2017)
a. Siasat Etika abstrak: Seluruh (mayoritas) mengenai kebenaran
Mayoritas wacana etika dalam berunding berkaitan dengan standar dalam memberitahukan bukti seberapa jujur, tersembunyi, ataupun terbuka seseorang negosiator sepatutnya. Para orang wajib memastikan kala mereka wajib memberitahukan bukti (tidak terdapat sedikit juga kebohongan) semacam bertentangan dengan sikap yang melaporkan wajib berdalih. Fokus perhatian di bagian ini lebih pada apa yang negosiator ikuti ataupun apa yang mereka lakukan serta bukan pada apa yang sesungguhnya hendak mereka jalani (meski seseorang negosiator bisa jadi hendak berperan tidak benar).
Sebagian negosiator bisa jadi legal tidak jujur semacam melanggar peraturan resmi ataupun informal, tetapi atensi yang sangat berarti dalam etika perundingan senantiasa terdapat pada sikap negosiator. Hal peranan sah untuk bergaya jujur. Pembohongan ataupun ketidakjujuran dalam berunding bisa jadi pembohongan ataupun ketidakjujuran serta berunding bisa jadi pembohongan yang masuk ke dalam ranah hukum. Hukum hal keadaan itu amat kompleks serta kerap kali susah untuk diidentifikasi.
Mengenali pemakaian siasat serta sikap yang tidak jelas dengan cara etika Siasat yang Samar atau tidak jelas dengan cara etika merupakan pengecoh energi serta alibi yang terjalin di dalam perundingan yang bisa jadi timbul dalam sebagian wujud. Para periset sudah lama melaksanakan pengenalan atas taktik- taktik sejenis ini, serta hasil dari pengenalan itu, enam jenis yang jelas mengenai taktik muncul dan telah ditegaskan oleh kumpulan analisis data (Robinson, Lewicki, serta Donahue, 2000; Barry, Fulmer, serta Long, 2000).
Selanjutnya taktik-taktik itu serta ilustrasinya.
1) Penawaran Bersaing konvensional tidak memberitahukan keringanan, membentuk penawaran awal yang berlebihan.
2) Manipulasi marah Pura-pura marah, khawatir, kecewa, senang, puas 3) Pengertian yang salah Mendistorsikan informasi atau informasi ataupun
peristiwa dalam perundingan kala menjelaskannya pada orang lain
4) Pengertian kepada jaringan competitor mengganggu nama baik competitor dengan rekannya
5) Pengumpulan informasi yang galat penyuapan, infiltrasi, mengawasi, serta lain- lain
6) Menindaklanjuti perjanjian yang tidak tulus ataupun bahaya
Siasat atau strategi pertama kerap diucap siasat yang sangat efisien meski sedikit tidak benar tetapi sedang senantiasa dikira selaku siasat yang lazim dipakai serta sesuai ketentuan. Sebaliknya beberapa siasat terakhir merupakan siasat yang tidak benar serta tidak bisa digunakan dalam berunding.
Beberapa ahli yang di antaranya Volkema, 2001 memilah lima siasat khusus dari kelompok besar siasat tidak benar yang sudah dipaparkan di atas. Siasat itu merupakan, Pura-pura tidak memerlukannya, merahasiakan bottom line, menyajikan informasi yang tidak sesuai serta membentuk akad yang hanya karangan belaka. Volkema mengukur tiap sikap orang dalam pemakaian taktik- taktik ini dengan cara biasa serta pemakaian siasat spesial, serta pemakaian siasat sesungguhnya dalam permainan itu. Penemuannya merupakan:
1) Ada ikatan positif antara sikap pemakaian tiap siasat atau strategi dengan tujuan penggunaannya
2) Ada ikatan positif antara sikap pemakaian siasat spesial serta pemakaian, empat siasat dari lima siasat yang sudah diawasi tadi
3) Merahasiakan bottom line merupakan yang sangat kerap dipakai, sangat banyak kedua merupakan dengan membesar-besarkan ijab baru, diiringi oleh mengulur waktu serta menyajikan informasi yang salah. Membentuk akad yang gagal hanya dipakai sekitar 10%.
4) Merahasiakan bottom line menolong negosiator meningkatkan permainan dalam kemampuan berunding
Mengenai keabsahan pemakaian siasat yang samar dengan cara etika, kesimpulan riset itu mengindikasi kalau ada persetujuan tidak tercatat hal peraturan dalam perundingan. Periset menciptakan kalau ini merupakan pemikiran orang barat, dimana orang memastikan apa yang diperoleh dengan cara etika, dalam sebagian kultur yang lain (misalnya Asia), satu kelompok ataupun industri hendak memastikan apa yang diartikan dengan etika,
sedangkan di sebagian kultur yang lain, batas etika dalam bisnis perundingan bisa jadi minimum ataupun susah untuk ditetapkan dengan cara nyata, serta“ membiarkan konsumen bertingkah cemas” beberapa saat.
b. Tipu Daya dengan Kelalaian versus Tipu Daya oleh komisi
Riset yang dilakukan oleh O’ Corner serta Carnevale (1997) yang mempelajari kecenderungan para negosiator untuk melaksanakan salah penjelasan kepada ketertarikan mereka pada permasalahan nilai dimana kedua belah pihak mencari hasil yang serupa. Dengan cara totalitas, 28% dari poin riset itu disimpulkan kalau 28% poin riset melaksanakan salah pengertian kepada ketertarikan pada angka yang serupa selaku upaya untuk memperoleh konsensi dari pihak yang lain. Periset menciptakan kalau para negosiator memakai dua bentuk pembohongan kala berdalih hal atensi mereka pada nilai yang serupa:
kekeliruan pengertian dengan kelengahan serta kekeliruan pengertian dengan pemberian.
Schweitzer (1997; Schweitzer dan Croson,1998) pula mempelajari faktor- faktor yang pengaruhi kecenderungan para negosiator untuk alibi atau alasan mengenai kenyataan material. Hasilnya merupakan lebih banyak mahasiswa berdalih atau alasan dengan alasan lupa (tidak membagikan semua bukti) dibanding tidak jujur dengan metode berdalih kala diberi persoalan. Temuannya membuktikan pemikiran berarti pada watak kemanusiaan: banyak orang berkenan membiarkan orang lain untuk selanjutnya bertugas di dasari asumsi yang salah, tetapi hendak mengakhiri mereka membentuk statement yang tidak sesuai. Perihal ini nyata mendesak norma caveat emptor (pelanggan wajib berjaga-jaga), melaporkan kalau pihak-pihak terkait mempunyai wewenang untuk bertanya persoalan yang sesuai serta berlagak skeptic kala menyambut persoalan dari pihak yang lain.
c. Motif dan Akibat 1. Motif kekuatan
Tujuan pemakaian siasat perundingan atau negosiasi yang samar dengan cara etika merupakan untuk tingkatkan daya negosiator dalam posisi bernegosiasi. Informasi mempunyai daya karena perundingan dikira selaku aktivitas logis yang mengaitkan alterasi informasi serta pemakaian metode persuasive dari informasi itu. Kerap kali, siapa juga yang mempunyai informasi yang lebih baik, ataupun memakainya dengan cara lebih persuasive, akan“ memenangkan” perundingan.
Pemikiran semacam itu memperhitungkan kalau informasinya cermat serta betul. Dengan memperhitungkan kebalikannya, kalau informasi itu tidak betul merupakan dengan bertanya anggapan pada komunikasi tiap hari yang
didasarkan pada kejujuran serta integritas penyaji. Pasti saja dengan persoalan itu dengan cara tidak langsung akan memuntuk orang lain merasa terhina serta kurangi keyakinannya pada kita.
2. Corak lain untuk berlagak tidak etis
Dorongan negosiator dengan nyata bisa mempengaruhi kecondongan mereka untuk melaksanakan metode membodohi. Negosiator bersaing merupakan mereka yang mencari profit maksimum, terbebas dari dampak yang diserahkan pada pihak yang lain, mengarah memakai penyajian yang galat selaku strategi. Perbandingan adat pula bisa jadi melukiskan akibat dorongan:
Sims (2002) Melukiskan kalau pada Negeri yang masyarakatnya amat individualis hendak mempunyai kecondongan memakai siasat membodohi untuk menemukan keuntungan individu.
3. Dampak dari sikap tidak Etis
Seseorang Negosiator yang memakai siasat tidak benar hendak memperoleh sebagian dampak yang bisa jadi positif ataupun negative, bersumber pada tiga pandangan ini hendak diulas hal apakah siasat itu efisien, bagaimana subjek-subjek lain menilai siasat itu, serta bagaimana negosiator menilai siasat yang digunakan (Yulia Susanti & Prihati Widianingsih, 2017).