usia namun kehidupan sosial mempengaruhi ketahanan psikologi.51 Solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi adalah meningkatkan dan melatih tingkat resiliensi dengan mengubah kebiasaan dan pola pikir.45 Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah persepsi tentang kegagalan,bangun kepercayaan diri, belajar untuk rileks, kontrol respons diri, bersikap fleksibel.45
burnout syndrome yang tinggi.9 Lebih lanjut, peningkatan pasien stagnan di IGD merupakan stressor paling tinggi bagi tenaga kesehatan di IGD.53
Regulasi emosi diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk tetap bersikap tenang dalam menghadapi berbagai situasi termasuk di dalamnya merupakan situasi yang sulit dan menekan.18 Teori-teori sebelumnya oleh Reivich dan Shatte18 juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah regulasi emosi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Magfiroh,45 yang melaporkan terdapat hubungan positif antara regulasi emosi dengan resiliensi. Reivich dan Shatte18 mengatakan bahwa orang yang resilien mampu untuk mengendalikan emosi mereka terutama dalam menghadapi tantangan atau kesulitan untuk tetap fokus pada tujuan. Beberapa cara agar dapat meregulasi emosi seperti hal nya penelitian yang dilakukan oleh Mulyana56 yaitu, individu dilatih untuk memotivasi diri supaya dapat mengubah emosi negatif seperti marah, kecewa, dan putus asa, menjadi emosi yang lebih positif dengan cara melakukan teknik relaksasi.56
5.2.2 Pengendalian impuls
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pengendalian impuls mempunyai nilai rata-rata resiliensi terendah dibandingkan aspek lainnya.
Berdasarkan sebaran kuesioner pada aspek ini, Perawat IGD masih sering melakukan kesalahan yang disengaja, meski mengetahui hal tersebut salah atau dengan kata lain kemampuan ataupun kemauan untuk berubah kearah yang lebih baik masih kurang. Hasil ini didukung oleh de Wit et.al59 yang menyatakan bahwa terdapat hambatan dalam melaksanakan dan mencapai perubahan yang
berkelanjutan di IGD. Hal ini bermakna bahwa perawat di IGD sudah mampu mengendalikan dorongan dari dalam diri namun belum optimal.47 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tochkov58 dimana individu yang memiliki pengendalian impuls rendah akan mudah berperilaku impulsif dan disfungsional. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang berperilaku impulsif dan disfungsional memiliki resiliensi yang rendah.58
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengontrol dorongan-dorongan, kesukaan, keinginan, dan tekanan yang ada dalam diri.18 Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Hidayati,47 yang menyatakan bahwapengendalian impuls dalam resiliensi adalah salah satu hal yang dibutuhkan supaya individu mampu melihat permasalahan secara objektif.47 Beberapa hal dapat dilakukan untuk meningkatkan pengendalian impuls guna menghindari perilaku disfungsional, yaitu menggunakan indikator kinerja dan pengelolaan implementasi pengukuran kinerja yang tepat sebagai dasar pemberian reward, adanya reward berupa insentif dapat meningkatkan motivasi dan semangat.60 5.2.3 Optimisme
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek optimisme mempunyai nilai rata-rata resiliensi tertinggi dibandingkan aspek lainnya. Berdasarkan sebaran kuesioner pada aspek ini, terlihat bahwa perawat IGD berfokus pada tujuan, tidak mudah hilang arah dan yakin bahwa situasi yang sulit ini akan segera berakhir.
Hasil ini didukung oleh Tanjung, et.al61 dalam studi deskripsi korelatif, yang menyatakan bahwa perawat berharap hal-hal yang baik akan sering terjadi kepada dirinya dan yakin hal yang buruk akan segera berakhir. Nilai optimisme yang
tinggi bermakna bahwa perawat di IGD memiliki keyakinan apapun masalah yang ada di masa mendatang akan mampu untuk dilalui.47
Optimisme merupakan gambaran individu dalam memandang masa depan yang cerah.18 Penelitian yang dilakukan Roellyana & Listiyandini,22 dengan hasil uji regresi sederhana menunjukkan bahwa optimisme berperan secara signifikan terhadap resiliensi sebesar 12.3%.47 Hal ini mengindikasikan bahwa apabila individu memiliki keyakinan untuk mendapatkan hasil yang baik dan selalu berpikiran positif, maka akan membantu mereka untuk lebih mampu menghadapi masalah yang terjadi.22 Hal ini juga dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Oktasari57 bahwa ada hubungan antara berpikir positif dengan perilaku dalam mengatasi masalah (coping behavior). Semakin baik cara berpikir seseorang akan meningkatkan perilaku mereka dalam mengatasi masalah (coping behavior).
5.2.4 Kemampuan menganalisis masalah
Hasil penelitian mengenai deskripsi aspek kemampuan menganalisis masalah didapatkan hasil bahwa kemampuan dalam menganalisis masalah pada perawat IGD berada pada urutan keempat tertinggi. Berdasarkan sebaran kuesioner pada aspek ini, perawat IGD mampu bekerja sama dalam memecahkan dan mencari solusi ketika di hadapkan pada permasalahan yang terjadi dan tidak saling menyalahkan. Hasil ini didukung oleh Marpaung62 yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kerjasama antar perawat akan membantu memecahkan masalah ketika dihadapkan dalam satu kondisi untuk mencapai tujuan, yaitu kualitas pelayanan yang baik.
Kemampuan menganalisis masalah diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya secara akurat.18 Hasil ini membuktikan bahwa perawat IGD mampu berpikir kritis dan menganalisis penyebab masalah yang dihadapi.47 Berpikir kritis sangat dibutuhkan oleh perawat di IGD, ini dikarenakan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan perawat melakukan tindakan yang cepat dan tepat dengan kondisi pasien yang cepat berubah. Hal ini sejalan dengan penelitian Tari63 dimana adanya hubungan antara jumlah kunjungan pasien di IGD dengan pengaplikasian berpikir kritis. Yang artinya semakin banyak pasien yang melakukan kunjungan di IGD maka seorang perawat harus bekerja dengan cepat dan tepat, maka dari itu pengambilan tindakan dan menyelesaikan masalah dengan cara berpikir kritis akan membuat pengambilan keputusan dan cara menyelesaikan masalah menjadi lebih cepat dan tepat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Maharani & Bernard,46 bahwa terdapat hubungan antara resiliensi dengan kemampuan menganalisis masalah sebesar 0,649.
5.2.5 Empati
Hasil penelitian mengenai deskripsi aspek empati pada perawat IGD mendapatkan hasil skor tertinggi kedua. Faktor yang mempengaruhi aspek empati adalah situasi, kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi seseorang.
Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain.43 Berdasarkan sebaran kuesioner pada aspek ini, didapatkan hasil bahwa perawat IGD mengerti apa yang dirasakan dan peduli terhadap keadaan
yang dialami oleh pasien, merawat pasien dengan penuh kepedulian dan dapat berkomunikasi verbal dengan baik, serta merawat pasien dengan penuh keikhlasan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rochana dan Djogotuga64 di IGD Kupang, bahwa sebanyak 89% pasien yang stagnan di IGD merasa puas dengan pelayanan.
Empati diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk membaca tanda-tanda dari kondisi psikologis maupun kondisi emosional orang lain.18 Hal ini berarti bahwa perawat IGD mampu memahami kondisi dan perasaan yang sedang dialami oleh pasien. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasudewi,48 dimana empati dengan kategori baik bermakna responden mampu memahami kondisi dan perasaan yang sedang dialami individu lainnya.48
5.2.6 Efikasi diri
Hasil penelitian mengenai deskripsi aspek efikasi diri pada perawat IGD berada pada urutan ketiga tertinggi. Berdasarkan sebaran kuesioner pada aspek ini, didapatkan hasil bahwa perawat IGD percaya kesulitan yang ada dalam merawat pasien adalah tantangan yang harus dihadapi dan yakin untuk melaluinya dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Hania et.al66 dimana permasalahan yang ada di IGD seperti kondisi gawat darurat, ketersediaan alat dan obat, sarana prasarana, fasilitas dan beban kerja tidak mempengaruhi respons tanggap perawat terhadap penanganan pasien.
Efikasi diri ini bermakna bahwa perawat IGD memiliki kepercayaan diri untuk menyelesaikan masalah yang ada di hadapannya.47 Efikasi
diri adalah suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terkait kemampuan dirinya sendiri.18 Hal ini sesuai dengan teori Reivich dan Shatte, dimana individu yang resilien akan mampu keluar dari masalah dengan cepat dan melewati secara efektif. Orang dengan resiliensi tinggi mampu mengelola emosi mereka secara sehat.43 Hal ini juga dikuatkan dengan hasil penelitian Saptariaji64 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan atau positif antara efikasi diri dengan resiliensi.
5.2.7 Pencapaian
Hasil penelitian mengenai deskripsi aspek pencapaian pada perawat IGD berada pada urutan kelima tertinggi. Berdasarkan sebaran kuesioner pada aspek ini, didapatkan hasil bahwa perawat IGD menganggap selalu ada hikmah dalam hal buruk dan kesulitan yang sedang dialaminya. Hasil ini menggambarkan bahwa perawat IGD memiliki aspek positif dalam kemampuan untuk mencapai keberhasilan.18 Hal ini didukung penelitian Hidayati67 bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara positive thinking dan kemampuan problem solving.
Dalam hal ini terkait dengan keberanian untuk mencoba mengatasi masalah selama pandemi Covid-19.
Pencapaian adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam meraih aspek positif dari kehidupannya setelah individu tersebut mengalami keadaan yang malang dalam kehidupannya.18 Ini sesuai dengan teori Reivich dan Shatte18 bahwa aspek positif dalam diri akan mempengaruhi pada hasil pencapain, hal ini dikarenakan masalah dianggap sebagai suatu tantangan dan bukan suatu ancaman.18