• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filosofi Merdeka Belajar

MERDEKA BELAJAR

C. Filosofi Merdeka Belajar

masalah yang harus dihadapi setiap harinya pun membuat guru sulit untuk berpikir mencari waktu untuk menciptakan perubahan.

Hal ini juga membuat guru terisolasi karena mereka tidak punya waktu untuk menjalin koneksi dengan dunia luar. Selain itu, kurangnya fleksibilitas sekolah, birokrasi yang rumit, serta administrator yang mempersulit guru melakukan inovasi pun menjadi tantangan tersendiri.

Ditambah lagi, konsep diri guru tentang entrepreneur dalam pendidikan masih sulit dimengerti dan diterima baik oleh guru, administrator, bahkan lingkungan sekitar yang menghambat lahirnya teacherpreneur di sekolah.

Keadaan di lapangan masih jauh dari yang diharapkan, hal ini dikarenakan banyak faktor yang salah satunya disebabkan dari keadaan guru di sekolah kejuruan belum secara penuh membentuk dan mengarahkan peserta didik secara totalitas dan integrasi antara teori dan praktik masih dirasa belum memiliki keterkaitan yang baik.

Menimbang permasalahan tersebut diperlukan upaya peningkatan kompetensi guru khususnya guru kejuruan melalui kegiatan pelatihan dengan konsep teacherpreneur. Sejatinya seorang guru juga merupakan seorang pengusaha yang dapat mengembangkan dalam bidang keilmuan yang dimiliki seperti guru membuat modul, membuat buku pelajaran, atau guru merancang produk yang memiliki nilai ekonomis dan kebermanfaatan berdasarkan pengembangan keilmuan yang dimiliki.

Menyadari kondisi, peran, dan fungsi dari program pengembangan guru pada sekolah menengah kejuruan yang selama ini belum mampu secara efektif memperbaiki kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh peserta, maka perlu dikembangkan model pengembangan profesionalisme guru yang berangkat dari berbagai kelemahan dan keunggulan program kegiatan pengembangan guru yang telah berjalan selama ini. Program yang dikembangkan harus dapat mengubah mindset guru dengan meningkatkan kreativitas dan efektivitas guru dalam melaksanakan tugas sebagai seorang guru dalam hal kegiatan pembelajaran.

humanisasi dan dehumanisasi, masalah yang sebetulnya selalu melekat pada diri seseorang. Freire mengatakan bahwa sesungguhnya humanisasi adalah fitrah bagi manusia. Namun dalam realitasnya, adanya pemolaan yang dibuat oleh kaum penindas, membuat humanisasi makin diingkari.

Pemolaan yang menjadikan kaum tertindas sebagai “objek” yang dipaksa tunduk pada struktur yang telah dibuat. Entah dengan perampasan hak, penindasan, ataupun bentuk kekejaman lainnya.

Pengingkaran inilah yang disebut dengan dehumanisasi. Menurut Freire, dehumanisasi makin dilanggengkan dengan adanya konsep pendidikan yang dikenal dengan “pendidikan gaya bank”. Konsep pendidikan gaya bank secara terstruktur mengupayakan matinya daya kritis dari murid-murid. Hal ini tidak lain untuk kepentingan si penindas. Semakin terkuburnya daya kritis murid, maka akan semakin mudah penindas mewujudkan tatanan kehidupan yang mereka inginkan. Sebisa mungkin konsep ini menggiring muridnya menuju pembungkaman realita dan anti dialog. Freire menjelaskan, pendidikan gaya bank menjadikan guru sebagai subjek yang bercerita kepada objek (murid) yang patuh mendengarkan. Guru hanya sekadar menyampaikan tanpa memberikan pemahaman tentang realitas yang terjadi. Dalam hal ini, Freire menyebut murid-murid sebagai bejana kosong yang siap diisi.

Kecenderungan menerima tanpa pemahaman membuat murid- murid dipaksa mengiyakan segala yang disampaikan. Karena yang terpenting adalah bejana terisi penuh oleh cerita-cerita yang disampaikan. Penindas membuat batasan dengan menjauhkan kaum tertindas dari realita dunia. Para penindas inilah yang akan memanipulasi keadaan agar kaum tertindas merasa nyaman di dunia yang sebetulnya tipuan. Dengan cara memberikan pandangan terbatas terhadap realitas, pemahaman statis terhadap dunia, serta pembebanan suatu pandangan dunia terhadap yang lain.

Sebagai upaya merdeka dari dehumanisasi, Freire menawarkan gaya pendidikan hadap-masalah. Dalam pendidikan hadap-masalah, tidak ada lagi istilah guru-nya murid dan murid-nya-guru. Karena langkah awal yang dilakukan adalah memecah kontradiksi antara guru dan murid.

Mereka sama-sama belajar dan berdialog untuk menemukan jalan keluar dari suatu masalah. Guru bisa menjadi guru sekaligus murid dalam satu

Pendidikan hadap-masalah menegaskan jika manusia adalah makhluk yang selalu berproses untuk menjadi. Pendidikan hadap- masalah menekankan bahwa manusia harus bisa melampaui diri mereka sendiri. Mereka dituntut untuk mewujudkan suatu pembebasan dengan membaca realitas yang ada. Kemerdekaan yang hanya bisa dilakukan melalui praksis (refleksi dan tindakan).

Dialog menjadi salah satu syarat menyelenggarakan pendidikan hadap-masalah. Melalui dialog, guru dan murid (tanpa dikotomi antar keduanya) akan bersama meneliti realitas dan menciptakan “dunia baru” yang memungkinkan adanya perubahan tatanan kehidupan yang mengukuhkan kebebasan. Dialog menuntut adanya keikutsertaan kaum tertindas dan kerja sama dengan pemimpin revolusioner. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan kaum tertindas dari realitasnya sebagai objek penindasan. Karena bagaimana pun juga, kemerdekaan hanya bisa dicapai jika kesadaran akan ketidakadilan telah tertanam dalam jiwa kaum tertindas. Selanjutnya, sintesis kebudayaan akan terjadi sebagai bentuk perlawanan kepada pola kebudayaan si penindas.

Hakikatnya, kemerdekaan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tertindas. Apabila proses pembebasan dilakukan oleh kaum penindas, maka hal tersebut, menurut Freire, hanyalah kemurahan hati palsu untuk melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi dalam perjalanannya, Freire mengungkapkan bahwa rintangan terbesar dari kemerdekaan adalah ketidakberdayaan kaum tertindas untuk menyuarakan hak- haknya. Mereka sudah jauh tenggelam dalam tatanan yang dibuat oleh para penindas. Sehingga pola pikir yang tertanam adalah ketakutan akan adanya penindasan yang lebih kejam jika mereka bangkit untuk upaya merdeka.

Pendidikan itu mencerdaskan, karena pendidikan bisa menjadikan insan cerdas seutuhnya (intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan kinestetik). Pendidikan itu memanusiakan manusia, karena pendidikan bisa menjadikan manusia terangkat derajat dan martabatnya. Kita menyaksikan praktik pendidikan di Indonesia dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi masih cenderung memandang peserta didik sebagai objek pendidikan, penerima ilmu dari pendidik. Walaupun kebijakan pendidikan sebenarnya terus mendorong peserta didik sebagai subjek. Dalam posisi seperti ini, Paulo Freire mengklaimnya sebagai praktik Banking Education.

Pendidikan menjadikan peserta didik sebagai penerima dan penyimpan informasi atau ilmu, bukan kreator informasi atau ilmu. Para peserta didik belajar materi yang dikembangkan pendidik yang dirujuk dari dokumen kurikulum, tanpa memberikan kemungkinan sumber lain yang boleh jadi bisa lebih kaya. Paradigma baru yang seharusnya dikembangkan adalah Problem­solving Education yang menekankan pentingnya peserta didik sebagai subjek pendidikan. Para peserta didik memiliki potensi unik dan personal curiosity yang perlu difasilitasi untuk bisa berkembang. Kondisi ini memperkuat asumsi munculnya pendidikan yang membebaskan, Education for Liberation atau Liberating Education.

Pendidikan yang membebaskan sangat memungkinkan potensi kreativitas dan inovasi muncul dan dikembangkan. Matching dengan misi Revolusi Industri 4.0 atau Society 5.0 yang sangat menuntut hadirnya berbagai inovasi. Pendidikan yang membebaskan memiliki berbagai atribut yang sangat menakjubkan. Kondisi ini memungkinkan peserta didik mendapatkan kepercayaan diri yang diperlukan untuk ambil inisiatif, memecahkan masalah, dan merumuskan ide-ide solusi.

Berkenaan dengan itu peserta didik perlu sekali mengembangkan keterampilan bahasa, keterampilan belajar, dan keterampilan kepemimpinan. Demikian juga mereka perlu melengkapi belajar budaya dan sejarah nasional dan dunia, matematika dan saintek sebagai kemampuan dasar untuk menghadapi persoalan yang muncul. Menurut Bell Hooks, bahwa mendidik sebagai praktik pembebasan merupakan suatu bentuk aktivitas pembelajaran yang membuat hubungan pendidik dan peserta didik saling melekat dan menyenangkan. Dalam praktiknya kedua pihak bisa saling berbagi dan berkontribusi dalam membangun pengalaman belajar. Terutama bagi peserta didik, tidak hanya diajar informasi yang diharapkan, namun yang jauh lebih penting adalah mereka belajar berpikir kritis, berpikir divergen, dan tidak berpikir konformis. Sedangkan pendidik/guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran, melainkan juga sharing pertumbuhan intelektual dan spiritual.

Dalam usaha untuk mengimplementasikan pendidikan yang mem bebaskan tidak hanya aspek akademik, tetapi juga aspek manajerial pada berbagai tingkatan dan institusi pendidikan (sekolah/

madrasah). Selanjutnya, untuk menjamin keabsahan pendidikan yang

pembelajaran yang membebaskan. Pembelajaran yang memungkinkan berpikir evaluatif, kritis, kreatif, dan inovatif mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dengan bertumpu pada nilai-nilai karakter positif.