• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Makan

Dalam dokumen Kesehatan Mental (Halaman 159-164)

BAB 11 GANGGUAN MAKAN, OBESITAS,

11.1 Gangguan Makan

obesitas. Bulimia ditandai dengan episode berulang makan berlebihan dengan kehilangan kendali, akan tetapi takut terjadi penambahan berat badan. Ketakutan tersebut membuat individu menginduksi untuk bisa muntah, penggunaan obat-obatan untuk tidak mutah, puasa, olahraga ekstrim. Perilaku ini didorang karna evaluasi diri yang negative terkait dengan berat badan, bentuk tubuh, atau penampilan

Binge eating yang ditandai dengan makan berlebihan yang berulang tanpa bisa dikendalikan dengan perilaku kompensasi yang lebih sedikit dari pada bulimia. Permasalahan tersebut menyebabkan obesitas 30-45% dan gangguan metabolism memiliki risiko tinggi diabetes, komplikasi diabetes, kematian dini karna penurunan sensitivitas insulin (Hilbert, 2019).

11.1.2 Epidemiologi gangguan makan

Gangguan makan telah meningkat selama 50 tahun terakhir. Secara global gangguan makan telah meningkat sebesar 25% (Mitchison et al., 2020). Gangguan makan umum terjadi pada anak muda dengan prevalensi 5 – 10% dengan 50% dari prevalensi tersebut memiliki gangguan makan menetap >5 tahun (Treasure et al., 2020). (Treasure, Duarte and Schmidt, 2020). Gangguan makan umumnya berkembang antara akhir masa kanak-kanak dan masa dewasa. Gangguan makan paling banyak terjadi pada perempuan sekitar 0,9% mengalami anorexia, Bulimia (1,5%), binge eating (3,5%) (Treasure, 2020).

Pada individu yang mengalami gangguan makan 20% dari

11.1.3 Patofisiologi

Faktor genetik merupakan salah satu kontributor gangguan makan dimulai sejak konsepsi. Individu dengan anorexia lahir secara prematur dan ibu mereka lebih cenderung mengalami tingkat kecemasan yang tinggi selama kehamilan. Selama masa kanak-kanak, peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti penganiayaan, kehilangan orang yang dicintai, stress, atau pengalaman seksual yang tidak menyenangkan menjadi faktor risiko penyebab utama dari banyak gangguan makan.

Mekanisme biologis endogen yang mengatur respon tubuh terhadap stresor lingkungan yang mengancam keseimbagan proses fisiologis tubuh dari respons rangsangan yang diterima, kemudian dipersepsikan oleh panca indra, dan direspons oleh saraf pusat. Amigdala memainkan peran kunci atau utama dalam jalur untuk gangguan makan. Informasi sensorik dari sesuatu yang bersifat mengancam diproyeksikan ke talamus, kemudian infromasi tersebut diarahkan ke daerah otak lain untuk diproses.

Stimulasi emosional melalui jalur primer menuju amigdala.

Informasi sensorik tersebut terkoneksi langsung antara talamus dan amigdala yang dihubungkan ke hipotalamus, adanya respon perilaku (fight or flight) yang kemudian diaktifkan dan dikoordinasikan melalui proyeksi dari hipotalamus, kelenjar endokrin, dan sistem saraf sistem endokrin berkaitan erat dengan etiologi gangguan suasana perasaan adalah hypotalamic-pituitary adrenal (HPA). HPA ini bekerja dengan melibatkan corticotropin- releasing factor (CRF) yaitu suatu neuropeptida terdapat hipotalamus memilik untuk fungsi memacu pelepasan adrenocroticotropic hormone (ACTH) dari pituitari anterior.

Peningkatan sekresi ACTH akan menyebabkan korteks adrenal mesekresi kortisol, sehingga terjadinya peningkatan hormon kortisol. Hormon kortisol bekerja di hippocampus yang pada gilirannya memberikan umpan balik negatif dengan memberikan tekanan pada hipotalamus dan anterior pituary (Putra, 2018;

Chami et al., 2019) (Gambar 12. 1).

Gambar 11.1 : Mekanisme biologis respon stress tubuh (Putra, 2018)

Neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap regulasi emosi seperti kecemasan adalah serotonin, norepinefrin, gamma aminobutyric acid (GABA) dan dopamin, mengurangi kadar serotonin dan GABA dapat memprovokasi peningkatan gangguan kecemasan dan ketakutan pada individu (Putra, 2018).

Penurunan kadar serotonin pada individu dengan gangguan kesehatan mental akan mengaktiviasi HPA untuk meningkatkan produksi hormon kortisol di adrenal korteks sehingga memacu

reaktif. Sampai taraf tertentu, reaktivitas kortisol dapat diprediksi oleh varian gen tertentu (khususnya, 5-HTTLPR dan CRHR1), sedemikian rupa sehingga pembawa genotipe ini menunjukkan stabilitas kadar kortisol yang lebih besar dari waktu ke waktu (Hankin et al., 2015).

Pada Hipotesis neuroplastisitas dari stres kronis menggambarkan kemungkinan mekanisme perubahan di otak sebagai respons terhadap stres kronis, bahwa pensinyalan glutamatergik ke amigdala basolateral meningkat selama stres, menghasilkan peningkatan ekspresi brain-deprived neurotropic factor (BDNF) penghasil pertumbuhan dendritik dan hipertrofi.

Sebaliknya, peningkatan pensinyalan glutamatergik di hippocampus bersamaan dengan penurunan pensinyalan BDNF, menghambat pertumbuhan dendritik dan menyebabkan atrofi (yaitu kerusakan). Perubahan ini mungkin membuatnya lebih menantang untuk mengatur respons stres, karena menghasilkan pensinyalan sumbu HPA yang abnormal (Boyle, 2013; Morena et al., 2019).

Gangguan makan juga memengaruhi regulasi keseimbangan metabolisme energi dan ancaman terhadap keseimbangan tubuh melalui hipotalamus yang mengatur respon stress tubuh dan memodulasi perilaku makan yang didistribusikan ke seluruh otak, usus, dan jaringan adiposa. singkatnya, untuk keseimbangan energi, informasi dari batang otak dan daerah limbi otak depan berkumpul di nukleus arkuata hipotalamus mengatur asupan makanan dan pengeluaran energi melalui hubungannya dengan, hypothalamic paraventricular nucleus (PVN) area hipotalamus lateral, dan batang otak. Terjadinya proses yang tumpang tindih ini, respons stres yang diprakarsai untuk menghadapi ancaman lingkungan, juga memiliki efek metabolik.

Ketika dinilai sebaliknya, informasi mengenai status energi yang disampaikan oleh modulator di sistem saraf pusat dan periferal dapat memengaruhi sistem pengaturan stres, yang mengatur intensitas dan/atau durasi respons stres.

11.1.4 Treament Gangguan Makan

Tatalaksana perawatan gangguan makan harus melibatkan dokter, psikiater, dan ahli gizi dengan tujuan untuk membantu pasien dalam menjalani pola makan yang sehat. Beberapa treatment harus dilakukan seperti 1) terapi perilaku kognitif yang bertujuan mengenali, memahami, dan mengubuhab perilaku makan; 2) terapi berbasis keluarga biasa dilakuka anak – anak atau remaja dengan keluarga sebagai role model agar pasien mengikuti pola makan yang sehat dan menjaga berat badan ideal; 3) pemberian obat antidepresan dan antiemas agar mampu mengatasi kekhawatiran yang berlebihan terhadap makanan yang dikonsumsi; 4) konsultasi dengan ahli gizi untuk membantu memperbaiki pola makan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien memalui pemberian makanan dengan jenis dan cara pengolahan yang tepat.

Dalam dokumen Kesehatan Mental (Halaman 159-164)