• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Dalam Kebebasan Pers

Dalam dokumen PERS - repository.uir.ac.id (Halaman 176-200)

3. Tanggung jawab Sosial Dalam Negara Demokrasi . 149

4.2. Hambatan Dalam Kebebasan Pers

DEMOKRASIDANKEBEBASAN PERS

akan tetapi juga Undang Undang Nomor 21 tahun 1982 tentang Perubahan Kedua Undang Undang Ketentuan Pokok-pokok Pers dimana secara khusus mengatur masalah ketentuan hak jawab. Pada Pasal 15a (2) dikatakan, bahwa dalam batas-batas yang pantas, penerbitan pers wajib memenuhi permintaan masyarakat pembacanya yang akan menggunakan hak jawab. Dalam ketentuan ini, adakalanya hak jawab digandengkan dengan perkataan masyarakat sehingga menjadi hak jawab masyarakat. Penggandengan untuk membedakan hak tolak yang dimiliki oleh wartawan, dan pembedaan ini sejalan pula dengan pasal 15a (1) yang menyebutkan, bahwa hak jawab itu merupakan hak seseorang, organisasi atau badan hukum, yang merasa dirugikan oleh tulisan dalam sebuah atau beberapa penerbitan pers, untuk meminta kepada penerbit pers yang bersangkutan agar penjelasan dan tanggapannya terhadap tulisan yang disiarkan atau diterbitkan dimuat di penerbitan pers tersebut.

0

Dewan Pers independen yang memiliki fungsi, antara lain, untuk : (1) melindungi kemerdekaan pers, (2) memfasilitasi penyusunan regulasi pers, (3) memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Undang Undang Pers juga mengamanahkan kepada pers untuk melaksanakan lima fungsi, yakni fungsi informasi, fungsi edukasi, fungsi hiburan, fungsi kontrol sosial dan fungsi sebagai lembaga ekonomi.292 Selain melaksanakan kelima fungsi sebagaimana terdapat dalam Undang Undang Pers, wartawan juga harus taat kepada Kode Etik Jurnalistik yang materinya terdiri dari :

1. Independen, akurat, berimbang, dan tidak beretikad buruk;

2. Menempuh cara professional;

3. Menguji informasi, berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah;

4. Tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul;

5. Tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas kanak-kanak yang menjadi pelaku kejahatan;

6. Tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap;

7. Memiki hak tolak;

8. Tidak menyiarkan berita prasangka atau diskriminasi;

292 Fungsi informasi adalah media menyampaikan informasi berdasarkan faktandan kebenaran. Fungsi edukasi, yaitu menyampaikan informasi yang mencerdaskan. Fungsi hiburan bertujuan untuk memberi hiburan yang menambah kualitas kehidupan, tidak memberitakan atau menyiarkan penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata membangkitkan nafsu birahi. Fungsi kontrol sosial dimaksudkan untuk mencegah tidak sewenang-wenang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan rakyat. Fungsi lembaga ekonomi bertujuan agar perusahaan pers sebagai lembaga ekonomi dapat hidup sehat, hidup berdasarkan kekuatan sendiri berkat dukungan pembaca dan pengiklan, (lihat : Pasal Undang Undang Nomor 40 tahun 999).

DEMOKRASIDANKEBEBASAN PERS

9. Menghormati hak narasumber tentang kehidupan

pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik;

10. Segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf.

11. Melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Di Era Demokrasi, pers belum luput dari tekanan dan hambatan dalam menjalankan kelima fungsi tersebut.

Tekanan terhadap kebebasan pers tidak semata-mata datang dari berbagai elemen, terutama mereka yang terkena sasaran bidik berita, akan tetapi juga dari berbagai peraturan perundang-undang. Sabam Leo Batubara mencatat, ancaman kriminalisasi terhadap pers ditunjukkan dengan, pertama, politik hukum kriminalisasi pers yang semakin meningkat. Undang Undang Pers yang memberi amanat kepada pers untuk melakukan fungsi kontrol, kritik, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, namun dalam pelaksanaannya sejumlah pers dan wartawan justru diancam dengan pidana penjara.293 Fakta lain adalah hadirnya beberapa regulasi yang dapat mengancam wartawan dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Diantara regulasi tersebut adalah :

1) Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,294 dimana Pasal 27 ayat (3) dan

293 Sabam Leo Batubara, Pengaduan Publik Terhadap Pers, dalam Atmakusumah, Maskun Iskandar (ed), Merancang dan Menyunting di Jantung Media Pers, Dewan Pers bekerjasama dengan Lembaga Pers Dr. Sutomo, Jakarta, November 2009, hlm. 04.

294 Prita Mulyasari, 2 tahun, adalah korban pertama pemberlakuan UU ITE. Mantan pasien RS Omni Tangerang itu mengungkap di e-mail fakta dan kebenaran yang dia alami ketika dirawat di rumah sakit itu. RS Omni mengadukan Prita ke jalur hukum baik dalam perakara perdata maupun perkara pidana karena keluhan dan kritik Prita dinilai menghina dan mencemarkan nama baik RES Omni. Mempedomani Pasal 27 ayat () dan Pasal 4 ayat () Undang Undang Nomor tahun 2008, Kajari Tangerang menuntut Prita dipidana penjara enam tahun dan didenda satu miliar rupiah. Sejalan dengan tuntutan itu Prita langsung ditahan di penjara wanita Tangerang pada Mei 2009. Pasal 27 ayat () UU ITE sebagaimana dimaksud berbunyi : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Pasal 45 ayat (1), dapat memenjarakan wartawan paling lama enam tahun dan atau mendenda paling banyak Rp 1 miliar apabila informasi elektroniknya memuat penghinaan dan pencemaran nama baik. Selengkapnya pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 27 ayat (3) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/

atau pencemaran nama baik.

Pasal 45 ayat (1) : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Undang Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 5 ayat (1) dan pasal 51 juga dapat memenjarakan wartawan sebagai pengguna informasi publik paling lama satu tahun dan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/

atau pencemaran nama baik. Sementara Pasal 4 ayat () mengatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (), ayat (2), ayat (), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Merespon kasus Prita Mulyasari, masyarakat menyampaikan sebagai berikut : ) Sikap keprihatinan yang mendalam atas kriminalisasi pasien, bahwa keluhan Prita berdasarkan pengalaman pribadi, karena merasa tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, akhirnya mengirimkan email kepada sehabatnya kemudian menyebar luas, yang berakibat tindakan Prita dianggap melakukan tindak pencemaran nama baik; 2) Menanggapi keluhan Prita, seharusnya pihak RS Omni Internasional, harus memberikan hak jawab atau memanggil Prita Mulyasari, bukannya melaporkan ke pihak kepolisian; ) Banyak pula pelayanan rumah sakit buruk sekali, meskipun rumah sakit itu berlebel agama, yang biaya besar setelah dikomplain harga obat- obatan bisa direvisi; 4) Banyak rumah sakit yang mengejar target/omzet dengan membuat alasan untuk memperpanjang pengobatan; ) Sikap rumah sakit yang mengedepankan jalur hukum orang akan prihatin dan membuat orang takut berobat ke rumah sakit itu; 60 Pasien berhak untuk mengetahui penyakit yang dideritanya serta tindakan medis yang diakan dijalani. Pasien juga berhak mendapatkan penjelasan tentang tindakan medis, dan dokumen rekam medis milik sarana kesehatan, dan salinannya milik pasien (Pasal 47 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran), selanjutnya (lihat : Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Studi Kasus Prita Mulysari, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 2-26).

DEMOKRASIDANKEBEBASAN PERS

atau denda paling banyak Rp 500 juta. Kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 5 ayat (1) : Pengguna informasi publik wajib menggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 51 : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

3. Undang Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi juga berpotensi memenjarakan wartawan dan media antara enam dan 12 tahun dan atau mendendanya antara Rp 250 juta dan Rp 6 miliar.

4. Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-undang ini telah memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dalam penyelenggaraan penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga yang mewakili publik dan bersifat independen, ditempatkan sebagai rekomendator dan pengusul saja.

Beberapa pasalnya yang dinilai bertentangan dengan kebebasan pers adalah sebagai berikut :

Pasal 62

(1) Ketentuan-ketentuan yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (8), Pasal 55 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.295

295 Pasal 4 ayat (0) : Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal 8 ayat () : Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Ayat (4) : Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal 29 ayat (2) : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata

(3) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah selesai disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Pasal 33

(4) Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:

a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;

b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;

cara dan persyaratan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal 0 ayat () : Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal 2 ayat (2) : Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun lebih lanjut oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal ayat (8) : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal ayat () : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Pasal 60 ayat () : Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah. Ashadi Siregar menilai bahwa, Undang Undang Penyiaran menghidupkan kembali otoritarianisme, yang di dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 terlihat dari orientasi pengendalian terhadap institusi penyiaran. Pengendalian ini menggunakan bumper bernama Komisi Penyiaran Indonesia yang diangkat Presiden dan Gubernur untuk KPI Daerah. Keberadaan badan ini mengandung paradoks, di satu sisi disebut sebagai lembaga negara bersifat independen (Pasal 7 ayat 4) yang dalam penjelasan disebutkan : “Yang dimaksud diawasi adalah pelaksanaan tugas KPI dipantau dan dikontrol agar sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”. Dalam prinsip kebebasan pers (freedom of the press) dan ekspresi (freedom of the expression), tindakan terhadap media tidak dilakukan oleh badan tersendiri, melainkan melalui institusi negara (baca:

Ashadi Siregar, Etika Komunikasi, Cetakan Pertama, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta,.

2006, hlm. 2-26)

DEMOKRASIDANKEBEBASAN PERS

c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama

yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan

d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.

(5) Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.

Pasal lain dalam Undang Undang Penyiaran yang berpotensi mengkriminalisasi pers296 adalah:

Pasal 36 (5) Isi siaran dilarang :

a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/

atau bohong;

b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan nasrkotika dan obat terlarang;

atau

c. Mempertentangkan suku, agama, rasa dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

296 Bagir Manan berpendapat, pengertian kriminalisasi pers adalah ancaman pidana yang makin keras. Pers berpendapat, cara-cara mengendalikan pers dengan ancaman pidana yang lebih berat, dipandang sebagai suatu usaha sistematik membelenggu kembali kemerdekaan pers. Hal ini sangat nyata bertentangan dengan upaya menumbuhkan dan mendewasakan demokrasi (demokratic maturity) dan UUD yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan berkomunikasi, (lihat : Bagir Manan, Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum, Dewan Pers, Jakarta, Cet. Pertama, Novemeber 200, hlm.

0)

Pasal 47

Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.

Pasal 57

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/

atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);

b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);

c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);

d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);

e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).297

297 Pasal 7 ayat () menyatakan : Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan. Pasal 8 ayat (2) : Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. Pasal 0 ayat () : Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia. Pasal 6 ayat () : Isi siaran dilarang : a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b.

menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Pasal 6 ayat (6) : Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

DEMOKRASIDANKEBEBASAN PERS

Pasal 58

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);

b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);

c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);

d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).298

5. Kitab Undang Undang Hukum Pidana juga berpotensi menghilangkan kebebasan pers sebagai sendi-sendi demokrasi. Antara lain, perbuatan pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan tidak menyenangkan, menyebarkan berita bohong dan

298 Pasal 8 ayat () menyatakan : Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Pasal ayat () : Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.

Pasal 4 ayat (4) : Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. Pasal 46 ayat () : Siaran iklan niaga dilarang melakukan: a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun. Dalam penilaian Sabam Leo Batubara, pasal-pasal permusuhan, kebencian dan fitnah, serta banyaknya pasal-pasal ancaman pidana penjara kepada jurnalis dan pelaku penyiaran memiliki potensi memperlemah fungsi kontrol pers dan berdampak menggentarkan (deterring) para jurnalis untuk melakukan kritik dan koreksi terhadap pejabat yang tidak becus, tidak perform, gemar korupsi, tidak taat pada konstitusi dan tidak peduli pada kepentingan rakyat.

ketentuan tersebut memang tidak secara specifik mengatur pemidanaan terhadap pers (pers delict, press crime) melainkan sebagai bagian dari pemidanaan yang pada umumnya.299 Di samping pasal-pasal tersebut terdapat pasal pasal yang mengatur tentang pembocoran rahasia Negara, penghasutan, permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah, pelanggaran kesusilaan dan lain-lain.

Pembatasan terhadap ruang gerak pers juga datang dari internal pers, dan salah satunya melalui Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ yang merupakan aturan disiplin (desciplinary rules), tuntunan moral (moral code) dan aturan kehormatan (code of honor) yang dibuat oleh Konstituen Dewan Pers bersama Dewan Pers harus dipatuhi oleh setiap wartawan agar profesi tidak terciderai. Problem kemudian muncul beberapa pasal etik di dalam KEJ diadopsi ke dalam Undang Undang Pers sehingga menimbulkan konsekuensi pelanggaran atas KEJ menjadi pelanggaran hukum.

Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Pers menegaskan bahwa, wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik. Demikian pula halnya menyangkut kedudukan Hak Tolak,300 Hak Jawab301 dan Hak Koreksi302 di dalam KEJ yang secara tegas diadopsi menjadi norma hukum, dan tercantum di dalam Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 ayat (2) dan (3). Di dalam kedua pasal tersebut, Undang Undang Pers menyatakan sebagai berikut:

299 Bagir Manan, ibid.

300 Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

301 Hak Jawab adalah hak seseor ang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

302 Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

DEMOKRASIDANKEBEBASAN PERS

Pasal 4

(4) Dalam memepertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5 (2) Pers wajib melayani Hak Jawab (3) Pers wajib melayani Hak Koreksi

Menurut Bagir Manan, tata cara pembatasan kebebasan pers harus memenuhi syarat-syarat, pertama, dilaksanakan berdasarkan tata cara penegakan hukum (procedural due process of law) menurut asas-asas negara hukum (the rule of law). Kedua, pembatasan-pembatasan tidak dibenarkan apabila mengakibatkan pembelengguan terhadap kemerdekaan pers, dan ketiga, tidak boleh ada penindakan yang bersifat preventif (prior restraint) dan harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dasar-dasar yang diatur dalam kode etik pers dan Undang Undang Pers.303 Bambang Harymurti menilai, kebebasan pers di Indonesia masih berada dalam ancaman kriminalisasi, akibat hukum yang disalahgunakan, bahkan berdasarkan UU Pers, KUHP, dan UUD 1945, memidana wartawan yang melaksanakan amanah Undang Undang No. 40 tahun 1999 sesungguhnya adalah perbuatan melawan hukum.304

303 Bagir Manan, ibid.

304 Bambang Harymurti, Menolak Kriminalisasi Pers, dalam Lukas Luwarso, Samsuri, Menolak Kriminalisasi Pers, Cetakan Pertama, Dewan Pers, Jakarta, 2009, hlm.

0. Bambang mendasarkan pendangannya dengan merujuk beberapa ketentuan, yakni Pasal 4 ayat () UU Pers yang menyetakan, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”, juga Pasal ayat () berbunyi : “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”, serta Pasal 8 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Terkait dengan ketentuan itu, Pasal 0 KUHP menegaskan : “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana. Pasal 6 ayat (2) KUHP juga menyatakan : Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Sedangkan Pasal 6 ayat () KUHP yaitu : mengenai kejahatan yang

0

4.3. Indeks Kemerdekaan Pers

Bagaimana pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia? Sebelum mengurai jawaban atas pertanyaan itu, ada baiknya dirumus kembali apa yang dimakud dengan pers. Pasal 1 angka (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 mendefenisikan, bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Perkembangan pers di era demokrasi dan degitalisasi dewasa ini, terjadi di luar alam fikir praktisi pers, bahkan juga masyarakat. Di era Orde Baru (1966-1998), masyarakat hanya mengenal media cetak (koran, tabloid, dan majalah) elektronik (televisi dan radio), akan tetapi di era Reformasi media berkembang cepat setelah munculnya internet. Di samping media-media yang telah ada, masyarakat menjadi melek informasi dengan kehadiran media online dan media sosial (facebook, instalgram, tiktok, youtube dan lain-lain).

Dalam konsideran menimbang Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 ditegaskan, bahwa a) kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin; b) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan

dilakukan dengan pencetakan, penerbitnya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya terkenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh penerbit. Diluar ketentuan tersebut terdapat pula Pasal 28 F UUD 94.

Dalam dokumen PERS - repository.uir.ac.id (Halaman 176-200)