BAB IV
3.7.3. Profil Peserta Didik
SD Negeri 091405 Sipintuangin memiliki peserta didik berjumlah 138 (seratus tiga puluh delapan) orang dengan rincian 74 (tujuh puluh empat) orang laki-laki dan 64 (enam puluh empat) orang perempuan. Siswa beragama Islam berjumlah 1 (satu) orang, siswa beragama Katholik berjumlah 2 (dua) orang, dan siswa beragama Kristen Protestan berjumlah 135 (seratus tiga puluh lima) orang.
Siswa laki-laki kelas 6 berjumlah 10 (sepuluh) orang sedangkan siswa perempuan berjumlah 12 (du belas) orang. Total seluruh siswa kelas 6 (enam) di SD Negeri 091405 pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024 yaitu 22 (dua puluh dua) orang.
Gambar 1. Data Peserta didik SD Negeri 091405 Sipintuangin 3.8. Pembahasan
3.8.1. Strategi Pemanfaatan Kearifan Lokal Simalungun yang Ditempuh oleh Guru pada Pembelajaran Sejarah di SD Negeri 091405 Sipintuangin.
Penerapan pembelajaran Sejarah masih belum terlaksana dengan baik, seperti metode pembelajaran yang monoton, metode ceramah guru yang membuat peserta didik sulit memahami dan mencerna apa yang diajarkan guru. Begitu juga dengan mata pelajaran Pembelajaran Sejarah. Pembelajaran Sejarah merupakan suatu hal mendasar yang memperkenalkan peserta didik pada nilai-nilai, peran,
sistem, aturan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat dan negara.
Dalam Pembelajaran Sejarah digunakan metode kearifan lokal dalam pembelajaran karena diyakini mampu memberikan nilai-nilai positif kepada setiap peserta didik, misalnya; Peserta didik lebih mengenal kearifan lokal tempat tinggalnya. Peserta didik dapat mempertahankan kearifan lokaldan menggunakan nilai-nilai yang ada dalam kearifan lokal dalam konteks pendidikan.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri, artinya kearifan lokal adalah pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat setempat itu sendiri melalui pengalaman ketika mencoba membandingkannya dengan pemahaman tentang budaya dan kondisi alam masyarakat.
Penerapan Pembelajaran Sejarah berbasis kearifan lokal pada pembelajaran di sekolah berperan dalam pembentukan karakter peserta didik agar peserta didik dapat mengembangkan karakter di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah merupakan tempat peserta didik belajar dan juga tempat berkembangnya peserta didik. Dengan kearifan lokal pembelajaran sejarah diharapkan peserta didik memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dala, sejarah Indonesia.
Karakter peserta didik dapat dikembangkan dengan baik apabila dapat memperbaharui pembelajaran di kelas pada mata pelajaran Sejarah, salah satunya dengan metode kearifan lokal yaitu menyampaikan karakter peserta didik di
sekolah melalui budaya yang berlaku di lingkungan tempat tinggal peserta didik.
sehingga keluaran yang dihasilkan sesuai dengan harapan. .
Mata Pelajaran Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang mewujudkan dan membangun karakter peserta didik, sehingga penerapan mapel Sejarah berbasis kearifan lokal untuk pembentukan karakter peserta didik sesuai dengan cita-cita bangsa dan Negara sangat diharapkan. Lingkungan peserta didik dapat memungkinkan terjadinya pembelajaran yang dapat membentuk karakter peserta didik yang sesuai dengan nilai- nilai pancasila dan juga nilai-nilai kebudayaaan dimasyarakat.
Pembelajaran Sejarah mempengaruhi peserta didik melalui kearifan lokal yang terkandung di sekolah untuk membentuk karakter generasi muda bangsa.
Imam Suyitno (2012) menyatakan bahwa karakter dapat diartikan sebagai pembawaan, hati, jiwa, kepribadian, sifat, perilaku, kepribadian, karakter, karakter, sifat dan karakter. Karakter dalam pengertian ini berarti dan menitikberatkan pada penerapan nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Orang yang tidak mengikuti nilai-nilai yang baik, seperti tidak jujur, kejam, serakah dan perilaku buruk lainnya disebut inferior, tetapi orang yang perilakunya mengikuti aturan moral disebut akhlak mulia.
Lingkungan sekolah juga menjadi salah satu faktor pendukung agar peserta didik memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Semua itu terlihat jelas, misalnya sifat santri yang sekolahnya berafiliasi dengan lembaga keagamaan (pesantren) sama sekali berbeda dengan sifat santri yang sekolahnya
tidak berafiliasi dengan lembaga keagamaan manapun. Syahri (2009) menyatakan bahwa pembelajaran melalui Pembelajaran Sejarah pada tingkat sekolah, dimana isi kajian dan bahan ajar mendukung pembangunan masyarakat demokratis yang beradab dan relevan, dimaksudkan untuk menarik generasi muda bangsa, khususnya pelajar pada semua kalangan. tingkat. pendidikan, menjadi warga negara Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Mata Pelajaran Sejarah mampu membangun karakter peserta didik salah satunya mampu mencetak karakter peserta didik yang lebih baik yang memiliki visi dan kesadaran akan kondisi, sikap atau perilaku cinta tanah air dan yang menjadi budaya peserta didik memahami dan memahami keadaan alam tertentu.
Peserta didik dapat dengan mudah memahami mata pelajaran Pembelajaran Sejarah dengan menggunakan kearifan lokal. Dengan Pembelajaran Sejarah yang mengenalkan peserta didik pada peran dan nilai dalam hubungannya dengan masyarakat dan pemerintah. Dan kearifan lokal dengan banyak nilai positif dari budaya yang sangat melekat. Lingkungan peserta didik dapat memungkinkan terjadinya pembelajaran yang dapat membentuk karakter peserta didik yang sesuai dengan nilai- nilai pancasila dan juga nilai-nilai kebudayaaan dimasyarakat.
Kegiatan pembelajaran sejarah bertujuan untuk membangun karakter peserta didik. Dengan menanamkan nilai-nilai karakter seperti nilai religius, kejujuran, kedisiplinan, mandiri dan cinta tanah air siswa diharapkan menjadi warga Negara yang baik dan mencerminkan karakter bangsa yang luhur. Dalam satu minggu siswa diberikan satu kali pertemuan mata pelajaran sejarah dengan waktu 2 jam pelajaran atau sekitar 45 menit. Alokasi waktu tersebut sangat
terbatas, namun dalam pembelajaran sejarah berusaha melaksanakan pembelajaran dan penanaman nilai moral dan etika dengan baik. Guru berusaha memberikan pembelajaran yang menarik, berkualitas dan mengandung nilai moral dan etika. Sebelum guru membuka pembelajaran siswa terlebih dahulu berdoa kemudian memeriksa kerapian dan kebersihan kelas guru memeriksa kehadiran kemudian mengajukan pertanyaan pembuka, setelah dilakukan tanya jawab kemudian dilanjutkan dengan diskusi.
Kegiatan pebelajaran sejarah hampir sama dengan pembelajaran yang dilakukan oleh mata pelajaran lain, namun pada mata pelajaran sejarah lebih menekankan pada pembentukan nilai moral dan etika melalui fenomena-fenomena dan kejadian dimasa lampau. Penanaman nilai moral dan etika dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang nilai moral dan etika seperti belajar mengemukakan pendapat secara bebas, mematuhi peraturan yang dibuat oleh sekolah, saling membantu sesama teman, sopan dan lain sebagainya.
Strategi pemanfaatan kearifan lokal dalam pneguatan karakter peserta didik dapat dilakaukan denga model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) atau model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontektual (Contekstual Theaching and Learning) merupakan proses pembelajaran yang holistik, bertujuan membantu peserta didik untuk memahami materi ajar dan mengakaitkannya dengan konteks kehidupan peserta didik sehari hari (konteks pribadi, sosial dan kultural) sehingga mereka berpengetahuan, berketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkontruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Peserta didik bisa belajar dengan baik bila materi ajar
terkait dengan pengetahuan dan kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi di sekelilingnya.
Kata model mempunyai pengertian yang beragam sesuai dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dihasilkan. Model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran.
Instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar peserta didik (Agus Muchtar: 2017).
Pembelajaran kontekstual (Contextual theaching learning) dalam (Siti Chodijah, dkk: 2012) yaitu pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dengan kehidupan mereka sehari- hari. Hal ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu ; konstruktivisme (constructivism), bertanya ( questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (Reflection) dan penelitian sebenarnya (authentic assessment) .
Proses pembelajaran bukan sekedar mentransfer pengetahuan dari guru ke peserta didik, tetapi berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalaminya, lebih mementingkan strategi daripada hasil
pembelajaran, peserta didik didorong untuk mengerti apa arti belajar, apa manfaatnya belajar, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian mereka memposisikan diri sebagai pihak yang membutuhkan bekal hidup di masa depan (M. Hasibuan: 2015).
Pembelajaran kontekstual(Contextual theaching learning) adalah sebuah sistem pembelajaran yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, suatu pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari.
“Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student aploy their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others.”
Pembelajaran kontektual (contextual theaching and learning) merupakan model pembelajaran yang memungkinkan dimana peserta didik dapat menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam banyak konteks di dalam dan di luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif maupun nyata, baik secara individu maupun bersama-sama. Pembelajaran ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do), peserta didik tidak sekedar pendengar pasif. Pembelajaran inimengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman nyata (real word learning), berfikir tingkat tinggi, berpusat pada peserta didik, peserta didik aktif, kritis, kreatif, memecahkan masalah, peserta
didik belajar menyenangkan, mengasikkan, tidak membosankan, (joyfull and quantum learning) dan menggunakan berbagai sumber belajar.
Beberapa item yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut (M. Hasibuan: 2015) :
1. Melaksanakan komunikasi yang komunikatif (making meaningfull conection) Peserta didik memposisikan diri sebagai orang belajar aktif dalam mengembangkan minat secara individual, orang yang dapat bekerja mandiri atau kerja kelompok dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (Learning by doing).
2. Melakukan aktivitas-aktivitas yang signifikan (doing significan work).
Peserta didik mengkait-kaitkan antara sekolah dan berbagai konteks dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar dengan pengaturan sendiri (self-regulated learning). Peserta didik melakukan kegiatan yang signifikan; ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasil yang sifatnya nyata.
4. Berkerjasama (colaborating). Guru dan peserta didik berkolaborasi secara efektif dalam kelompok, guru membantu peserta didik memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Peserta didik dapat berpikir ke tingkat yang lebih tinggi, kritis dan kreatif dengan
menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi peserta didik (nurturing the individual). Peserta didik memelihara pribadinya dengan mengetahui, memberi perhatian, memberi harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri walaupun peserta didik memerlukan dukungan orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching highsstandard). Peserta didik mengenal dan mencapai standar yang tinggi, maka guru harus mengidentifikasi tujuan dan memotivasi peserta didik untuk mencapainya.
Guru menunjukan kepada peserta didik untuk mencapai standar yang tinggi (excellece).
8. Penilaian autentik (autentic assessment). Untuk tujuan yang baik (bermakna) peserta didik mempergunakan pengetahuan akademik dalan dunia nyata. Contohnya, peserta didik dapat menggambarkan informasi akademik yang telah dipelajarinya untuk dipublikasikan dalam kehidupan nyata.
Komponen utama model pembelajaran kontekstual(Contextual Theaching Learning) adalah sebagai berikut (M. Hasibuan: 2015):
1. Konstruktivisme (constructivism)
Kanstruktivisme yaitu mengembangkan pikiran peserta didik untuk belajar lebih baik dengan cara bekerja sendiri, mengkonstruksi sendiri,
pengetahuan dan ketrampilan barunya. Hal ini adalah landasan berpikir pembelajaran bagi pendekatan (Contextual Theaching Learning).
Pengetahuan riil baginya adalah suatu yang dibangun atau ditemukan oleh peserta didik sendiri. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang harus diingat peserta didik, tetapi peserta didik harus merekonstruksi pengetahuan itu kemudian mengartikan melalui pengalaman nyata.
2. Menemukan (Inquiry)
Inquiry merupakan proses pembelajaran yang berdasarkan pada proses pencarian penemuan melalui proses berfikir secara sistimatis, proses pemindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, peserta didik belajar dengan ketrampilan berfikir kritis. Dalam hal ini guru harus merencanakan situasi kondusif supaya peserta didik belajar dengan prosedur mengenali masalah, menjawab pertanyaan, menggunakan prosedur penelitian (investigasi), menyiapkan kerangka berfikir, hipotesis dan penjelasan yang relevan dengan pengalaman pada dunia nyata.
3. Bertanya (question)
Question adalah mengembangkan sifat ingin tahupeserta didik dengan dialog interaktif oleh kesluruhan unsur yang terlibat dalam komonitas belajar. Dengan demikian pembelajaran lebih hidup, mendorong proses dan hasil pembelajaran lebih luas dan mendalam.
Dengan question mendorong peserta didik selalu bersikap menolak suatu pendapat, ide atau teori secara mentah. Hal ini mendorong sikap selalu ingin mengetahui dan mendalami (coriousity) berbagai teori dan dapat mendorong untuk belajar lebih jauh.
4. Masyarakat belajar (learning community)
Learning community adalah pembelajaran yang didapat dari berkolaborasi dengan orang lain. Dalan pembelajaran ini selalu dilaksanakan dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen.
Peserta didik yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah tahu memberu tahu yang belum tahu dan seterusnya. Dalam prakteknya terbentuklah kepompok-kelompok kecil, kelompok besar, mendatangkan ahli ke kelas,bekolaborasi dengan kelas paralel, bekerja kelompok dengan kakak kelas dan bekolaborasi dengan masyarakat.
5. Pemodelan (modelling)
Dalam pembelajaran perlu ada model yang dapat dicontoh oleh peserta didik. Terkait hal ini model bisa berupa cara mengoperasikan, cara melempar atau menendang bola dalam olah raga, cara melafalkan dalam bahasa asing, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Ketika
guru sanggup melakukan sesuatu maka peserta didik akan berfikir sama bahwa dia juga bisa melakukannya.
6. Refleksi (reflection )
Reflection merupakan suatu upaya untuk melihat, mengorganisir, menganalisis, mengklarifikasi dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari. Untuk merealisasikan, di kelas dirancang pada setiap akhir pelajaran, guru menyisahkan waktu untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik melakukan refleksi dengan cara : pernyataan langsung dari peserta didik tentang apa saja yang diperoleh setelah melakukan pembelajaran, catatan atau jurnal di buku peserta didik, kesan dan saran peserta didik tentang pembelajaran hari itu, diskusi dan ragam hasil karya.
7. Penilaian Otentik (authentic assessment)
Untuk mengukur hasil pembelajaran selain dengan tes, harus diukur juga dengan authentic assessment yang dapat memberikan informasi yang benar dan akurat tentang apa yang benar-benar diketahui dan bisa dilakukan peserta didik atau tentang kualitas program pendidikan.
Penilaian otentik adalah proses pengumpulan data beragam data untuk melukiskan perkembangan belajar peserta didik. Data tersebut berupa hasil tes tertulis, proyek (laporan kegiatan), karya peserta didik, performance (penampilan presentasi) yang dirangkum dalam portofolio peserta didik.
Menurut ditjen dikdasmen depdiknas 2002 menjelaskan bahwa Kurikulum dan pembelajaran kontektual harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Ketergantungan (keterkaitan), relevansi (relation). Pebelajaran hendaknya ada keterkaitan dengan bekal pengetahuan (Prerequisite knowledge) yang teah dimiliki
2. Pengalaman langsung (experiencing). Hal ini bisa didapatkan dengan kegiatan eksplorasi, penemuan (discorvery, inventory, investigasi, penelitian dan lain-lain. Experiencing dinilai sebagai jantuk pembelajaran kontekstual. Proses pembelajaran ini berlangsug cepat bila peserta didik mendapat kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian secara aktif.
3. Aplikasi (apllying). Mengaplikasikan fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang dipelajari dalam kelas bersama guru yakni memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama adalah strategi pembelajaran pokok pembelajaran kontekstual.
4. Transferring adalah menekankan pada kemampuan peserta didik untuk mentranswer situasi dan konteks yang lain adalah pembelajaran tingkat tinggi, lebih dari sekedar hafal.
5. Koopertatif (cooperating), yakni kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran, tanya jawab, komonikasi interaktif antar sesama peserta didik.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip di atas adalah acuan untuk menerapkan model pembelajaran kontekstual lebih mengutamakan strategi pembelajaran daripada hasil belajar, proses belajar secara alami, dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Dengan pembelajaran Contextual Theaching Learning, pendidik telah melaksanakan tiga prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta yakni :
1. Prinsip saling ketergantungan
Segala sesuatu yang ada di alam raya ini saling ketergantugandan saling berhubungan satu dengan lainnya. Dalam pembelajaran Contextual Theaching Learning mengajak pada guru untuk mengenali keterkaitan mereka dengan guru lainnya, dengan peserta didik-peserta didik, dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip ini mengajak peserta didik untuk saling bekerjasama, saling mengetengahkan pendapat, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana dan mencari solusi dari persoalan yang ada.
2. Prinsip deferensiasi
Prinsip ini merujuk pada motivasi terus-menerus dari smesta alam untuk menghasikan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam Contextual
Theaching Learning prinsipdeferensiasi membebaskan para peserta didik melakukan penjelajahan bakat pribadi, memunculkan cara belajar masing- masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri.
3. Prinsip Pengaturan diri
Segala sesuatu diatur, dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri. Prinsip ini mengajak para peserta didik menunjukan segala potensinya. Mereka menerima tanggungjawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti.
Kegiatan dan strategi pembeajaran kontekstual (Contextual theaching learning) berupa kombinasi dari kegiatan kegiatan berikut ini :
1. Pembelajaran otentik (authentic instruction) merupakan pembelajaran yang memungkinkan belajar peserta didik dalam konteks yang bermakna, dengan demikian dapat menguatkan ikatan pikiran dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah penting dalam kehidupan.
2. Pembelajaran berbasis inquiri (inquiry based learning) adalah memaksakan strategi pembelajaran dengan metode-metode sains, dengan demikian mendapat pelajaran yang bermakna.
3. Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), adalah pendekatan pembelajaran dengan menggunakam masalah-masalah di dunia nyata atau di sekelilingnya sebagai konteks bagi peserta didik untuk
belajar kritis dan trampil memecahkan masalah dam mendapat konsep utama dari suatu mata pelajaran.
4. Pembelajaran layanan (serve learning), adalah metode pembelajaran yang menggabungkan layanan masyarakat dengan struktur sekolah untuk merefleksikan layanan, menekan hubungan antara layanan yang dalami dan pembelajaran akademik di sekolah.
Pembelajaran berbasis kerja (work based learning), merupakan pembelajaran dengan konteks tempat kerja dan membahas penerapan konsep mata pelajaran di lapangan. Prinsip pembelajaran ini adalah penekanan pada penerapan konsep mata pelajaran lapangan, masalah-masalah lapangan untuk dibahas di sekolah.
Langkah-langkah pembelajaran Contextual Theaching Learning adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan pikiran bahwa peserta didik bisa belajar lebih berkualitas dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri, pengetahuan dan ketramilan barunya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya.
4. Menciptakan masyarakat belajar.
5. Menghadirkan model sebagai contoh belajar.
6. Melakukan refleksi diakhir pertemuan.
7. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Elemen-elmen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran Contextual Theaching Learning adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran kontekstual (Contextual Theaching Learning) harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik.
Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
2. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara menyusun konsep sementara, melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain, dan merevisi dan mengembangkan konsep.
Pembelajaran ini ditekankan pada upaya mempraktikkan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
3. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari. Oleh karena itu, program pembelajaran kontekstual hendaknya meyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan peserta didik yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
4. Pembelajaran kontekstual (Contextual Theaching Learning) merumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajarannya. Menguraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan. Merumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan peserta didik dalam melakukan proses pembelajarannya. Merumuskan dan melakukan
sistem penilaian dengan memfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh peserta didik baik pada saat berlangsungnya proses maupun setelah peserta didik tersebut selesai belajar.
Menurut Shoimin (2017), contoh implementasi langkah pembelajaran CTL adalah sebagai berikut:
No
. Kegiatan Perilaku Guru
1.
Kegiatan Awal/Pendahulua
n
1. Guru menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.
2. Apersepsi sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan.
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari.
4. Penjelasan tentang pembagian kelompok dan cara belajar
2. Kegiatan Inti 1. Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk memandu proses penyelesaian permasalahan.
2. Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas jawaban permasalahan yang diajukan guru.
3. Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja yang diajukan guru.
4. Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi, dan memfasilitasi kerjasama.
5. Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok dan kelompok yang lain menanggapi hasil kerja kelompok yang mendapat tugas.
6. Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab guru dan siswa membahas cara penyelesaian masalah yang tepat.