• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Hubungan Antar Variabel

2.3.1 Hubungan antara Kebijakan Financing to Value (FTV) dan Pembiayaan pemilikan rumah

Kebijakan Financing to Value (FTV) merupakan suatu kebijakan yang digunakan untuk mengontrol pembiayaan properti perbankan syariah termasuk di dalamnya pembiayaan pemilikan rumah. Kebijakan FTV memberikan batasan persentase maksimal kepada bank dalam menyalurkan pembiayaan kepada nasabah. Kebijakan FTV dapat diperketat dan dilonggarkan. Kebijakan FTV akan diperketat jika pembiayaan properti melambung tinggi, tak terkecuali pembiayaan pemilikan rumah. Begitu sebaliknya, kebijakan FTV akan dilonggarkan jika terjadi lesunya pembiayaan properti. Sehingga kebijakan FTV dinilai dapat menentukan banyaknya pembiayaan properti yang disalurkan oleh bank (Bank Indonesia, 2013). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Morgan dkk. (2015); Kima & Oh (2020); Wenten & Nadi (2021); Ayuningtyas (2022) yang menyatakan bahwa kebijakan FTV memiliki pengaruh signifikan terhadap pembiayaan pemilikan rumah. Kebijakan FTV yang dilonggarkan dapat mempermudah dan meringankan nasabah untuk memenuhi kebutuhan akan rumahnya baik bagi nasabah yang berpenghasilan tinggi maupun rendah. Selain itu, penelitian dari Wong dkk. (2011); Dwianingrum, (2014) menyatakan di saat kebijakan FTV diperketat mampu memperlambat permintaan pembiayaan pemilikan rumah bahkan dapat menyebabkan penurunan pada aktivitas pasar properti. Pasalnya dengan diketatkannya kebijakan FTV, maka bank akan lebih menahan penyaluran pembiayaan properti termasuk pembiayaan pemilikan rumah.

Namun berbeda dengan penelitian dari Muthia (2019) yang menyatakan bahwa kebijakan FTV gagal dalam mencapai tujuannya. Hal ini terjadi disebabkan adanya penyimpangan dari penerapan kebijakan FTV diantaranya terdapat bank yang masih belum siap untuk menerapkan kebijakan FTV, sasaran bank yang kurang tepat. Pasalnya pemerintah juga telah menyiapkan kredit rumah bersubsidi namun untuk kredit tersebut dalam kebijakan FTV dikecualikan.

37 Sementara kegiatan pembiayaan non-bank mengalami ekspansi yang cukup tinggi sehingga timbul persaingan antar lembaga bank dan non-bank.

2.3.2 Hubungan antara Financing to Deposit Ratio (FDR) dan Pembiayaan pemilikan rumah

Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan suatu rasio yang mengukur seberapa banyak bank menyalurkan dananya dari sumber penghimpunan dananya, FDR dihitung dari banyaknya pembiayaan dibagi dengan banyaknya dana yang dihimpun. Dengan kata lain, sejauh mana bank menggunakan himpunan dananya untuk memberikan pembiayaan. FDR merupakan salah satu yang mempengaruhi penawaran pembiayaan, dimana FDR menjadi acuan bank dalam memberikan keputusan apakah akan memperpanjang pembiayaan yang disalurkan atau tidak.

Semakin tinggi nilai FDR, maka penyaluran dana bank semakin baik. Namun nilai FDR yang terlalu tinggi akan menyebabkan nilai likuiditas bank terganggu sehingga akan memicu pemangkasan dana yang disalurkan oleh bank. Sebaliknya, jika nilai FDR rendah, maka bank akan semakin likuid yang mencerminkan terdapat dana bank yang menganggur sehingga bank akan melakukan ekspansi pembiayaan. (Candera, 2018; Hidayat & Herianingrum, 2019).

Qoyum & Fauziyyah (2018); Hidayat & Herianingrum (2019) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa FDR berpengaruh positif terhadap pembiayaan properti. Peningkatan dana yang dihimpun memberikan sinyal baik bagi likuiditas bank sehingga bank dapat melakukan penyaluran pembiayaan dan juga bank dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Namun penelitian lain mengungkapkan bahwa FDR tidak berpengaruh terhadap penyaluran dana perbankan, dengan kata lain dana yang dihimpun oleh bank bukan penyebab tinggi rendahnya dana yang disalurkan sehingga rendahnya minat masyarakat terhadap permintaan pembiayaan bukan dipengaruhi oleh banyaknya dana yang dihimpun (Handoko dkk., 2021)

38 2.3.3 Hubungan antara Net Performing Financing (NPF) dan Pembiayaan

pemilikan rumah

Perbankan syariah dalam menyalurkan dananya memiliki suatu risiko yang disebut dengan risiko pembiayaan. Risiko pembiayaan tercermin dari rasio Net Performing Financing (NPF). NPF merupakan hasil perhitungan dari banyaknya pembiayaan yang sedang bermasalah dibagi dengan seluruh jumlah pembiayaan yang ada. Pembiayaan diberikan oleh bank kepada nasabah yang tidak dibayarkan sesuai dengan kesepatan dalam rentang jatuh tempo atau tidak dibayarkan sama sekali disebut dengan pembiayaan macet. Jika hal tersebut terjadi secara berulang, akibatnya bank akan mengalami kerugian yang akan berdampak terkikisnya modal bank sehingga bank akan membatasi dalam menyalurkan dananya (Wahab, 2014; Farianti dkk., 2020).

NPF dengan pembiayaan memiliki hubungan yang saling berkaitan dan berpengaruh. Nilai pembiayaan yang disalurkan semakin tinggi akan diikuti oleh banyaknya risiko, sehingga dengan tingginya penyaluran pembiayaan akan berdampak pada tingginya risiko pembiayaan. Begitu pula jika nilai pembiayaan rendah maka risiko pembiayaan ikut rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syaputra & Tohirin (2019) yang menghasilkan bahwa NPF berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pemilikan rumah. Tingginya pembiayaan yang diikuti dengan tingginya risiko akan membuat modal bank semakin terkikis. Alternatif untuk menghadapi hal tersebut, bank melakukan pembiayaan kembali dengan produk berbeda dan menyasar nasabah yang lebih berkualitas. Beda halnya dengan hasil penelitian dari Fahlevi (2016); Africa (2020); Nafiah dkk. (2020) yang menyatakan bahwa tingginya nilai NPF akan berpengaruh negatif terhadap penyaluran pembiayaan. Pasalnya nilai NPF yang tinggi akan berakibat pada tingkat pengembalian pembiayaan yang rendah sehingga pendapatan bank akan berkurang yang kemudian bank akan mengurangi pembiayaan dengan lebih berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaannya.

Berbeda dengan hasil penelitian yang ditemukan oeh Astuty & Nurjunah (2018) dan Zulaecha & Yulistiana (2020) yang menunjukkan bahwa NPF tidak mempengaruhi pembiayaan pemilikan rumah. Pasalnya, nilai pembiayaan yang

39 tinggi tidak berpotensi menyebabkan nilai NPF tinggi. Hal ini dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi mikro dan makro dengan menyesuaikan kualitas pembiayaan suatu bank dengan skenario peningkatan NPF.

2.3.4 Hubungan antara Produk Domestik Bruto dan Pembiayaan pemilikan rumah

Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan total output yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu. PDB dapat dikatakan sebagai konsep perhitungan pendapatan nasional. Artinya PDB dapat menghitung nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dengan periode tertentu. Dengan begitu istilah pendapatan nasional disebut dengan PDB (Rombe, 2021). Pendapatan nasional juga menggambarkan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita merupakan jumlah pendapatan rata-rata yang ada untuk seluruh penduduk negara pada kurun waktu tertentu (Wibowo, 2003). Dengan demikian jika pendapatan nasional meningkat maka mencerminkan pendapatan per kapita meningkat. Hal ini tentunya berkaitan dengan pembiayaan.

Nilai Pendapatan nasional yang tinggi mencerminkan adanya peningkatan nilai barang dan jasa yang disebabkan adanya peningkatan daya beli masyarakat yang kemudian berdampak pada meningkatnya volume transaksi konsumsi baik berkaitan dengan produk properti atau produk lainnya. Dari hal tersebut perbankan ikut andil dalam peningkatan pendapatan nasional melalui kegiatan konsumtif masyarakat, yang berarti bank akan menawarkan pembiayaan dengan jumlah besar untuk kegiatan konsumtif termasuk pembiayaan pemilikan rumah.

Selain itu, pendapatan masyarakat yang tinggi maka permintaan akan suatu barang semakin tinggi pula dan kemampuan daya beli masyarakat akan semakin tinggi tak terkecuali dalam membeli rumah (Anastasia & Hidayat, 2019). Dengan demikian pendapatan nasional memiliki pengaruh terhadap pembiayaan pemilikan rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Siagian (2017) Nurpita & Oktavia (2021); Shkvarchuk & Slav’yuk (2021); Arianti & Abdullah (2021)yang menghasilkan bahwa pendapatan nasional memiliki pengaruh terhadap pembiayaan pemilikan rumah yang disebabkan adanya peningkatan kemampuan

40 daya beli masyarakat, pasalnya semakin tinggi pendapatan maka semakin beragam keinginan yang dicapai termasuk dalam memiliki rumah.

2.3.5 Hubungan antara inflasi dan Pembiayaan pemilikan rumah

Inflasi merupakan harga-harga mengalami kenaikan secara umum yang berlaku pada suatu perekonomian di periode tertentu. Dapat disebut inflasi apabila kenaikan harga mempengaruhi seluruh tingkat harga (Case & Fair, 2006). Inflasi terjadi karena adanya peningkatan jumlah uang yang beredar di masyarakat, yang mengakibatkan depresiasi nilai uang sebenarnya. Dengan demikian akan menurunkan tingkat daya beli masyarakat dan akan mempengaruhi permintaan pembiayaan. Pasalnya, ketika suatu negara mengalami inflasi maka pemerintah akan mengambil tindakan moneter kontraktif dengan mengurangi uang yang beredar. Adanya inflasi akan berdampak pada menurunnya perekonomian, pendapatan dan lain-lain sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat tak terkecuali pembelian rumah. peristiwa tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa inflasi memiliki pengaruh terhadap pembiayaan pemilikan rumah. Jika inflasi semakin tinggi maka pembiayaan akan semakin berkurang. Sebaliknya, jika inflasi rendah maka pembiayaan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Kadarwati & Setiarso (2011); Siravati (2018);

Widuri & Fajariah (2019) yang menghasilkan bahwa inflasi mempengaruhi pembiayaan. Inflasi menjadi perhatian bagi masyarakat terkait dengan kebijakan moneter yang diperketat sehingga menyebabkan masyarakat tidak mengajukan pembiayaan pemilikan rumah dan memilih untuk menyimpan uang.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Arianti & Abdullah (2021) berbeda, yang menemukan bahwa inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap pembiayaan pemilikan rumah. Hal ini dikarenakan masyarakat tetap akan melakukan tindakan konsumtif pada saat inflasi tinggi, yang berarti harga barang dan jasa tidak mengalami guncangan sehingga masyarakat memiliki daya beli yang tetap.

41

Dokumen terkait