menjadi jalur penghubung antara prinsipal dengan calon pemegang polis. Dalam sistem tersebut agen asuransi jiwa merupakan basis pemasaran produknya. Agen atau underwriting menghubungi calon pemegang polis dan melaporkan langsung kepada pihak prinsipal segala informasi yang telah diperoleh dari calon pemegang polis (Chai, 1992:307).
Agen memiliki peran yang sangat vital dalam perusahaan asuransi jiwa. Artinya tidak ada agen, maka tidak ada polis asuransi (no solicitor no insurance policy). Agen asuransi merupakan ujung tombak pemasaran asuransi. Dalam memutuskan penjualan asuransi kepada calon peme- gang polis mereka mewakili prinsipal. Agen yang mengenal, melayani dan menguasai portofolio calon pemegang polis. Demikian dominasinya posisi agen asuransi jiwa, maka agen juga yang dapat menyebabkan pelanggaran dalam bisnis asuransi (Sendra, 2004: 117).
Bentuk pelanggaran agen yang dapat merugikan pemegang polis seperti memberikan informasi yang tidak benar, palsu dan/atau menyesatkan calon pemegang polis serta tidak menyetorkan premi yang telah di bayar tersebut pada prinsipal.
Adapun masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah karakteristik perjanjian keagenan asuransi jiwa yang berkaitan dengan tanggung jawab prinsipal dan agen.
B. Hubungan antara Prinsipal dengan Agen Asuransi Jiwa
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
Sedangkan dalam ketentuan The Civil Code Netherlands dalam Pasal 7:428 mengatur (Harkamp and Tillema, 1995: 154).:
“an agent must be an independent intermediary. There is no employee-employer relationship between him and his principal. The agent does not act in his own name, but in the name, to the expense and at the risk of his principal.
There must be a steady relationship between principal and agent;...”
(“Agen haruslah perantara yang independen. Tidak ada hubungan karyawan-majikan antara dia dan principal. Agen tidak bertindak atas namanya sendiri, tetapi atas nama, dengan biaya dan dengan risiko prinsipalnya. Harus ada hubungan yang timbal balik antara prinsipal dengan agen;...”).
Menurut Tan Cheng Han (2014:4) sebegai berikut:
Agency is refereed to as the fiduciary relationship that arises when one person (a principal) manifests assent to another person (an agent) that the agent shall act on the principal’s behalf and subject to the principle’s control, and the agent manifests assent or otherwise consent so to act.
(Agen sebagai wujud hubungan kepercayaan yang lahir ketika pihak yang satu (prinsipal) menyatakan persetujuan kepada pihak yang orang lain (agen) bahwa agen akan bertindak atas nama prinsipal dan tunduk pada kententuan prinsipal, dan agen melaksanakan persetujuan atau persetujuan lai untuk bertindak) Sedangkan menurut The Insurance Association of Pakistan (2008) memberikan definisi:
“an insurance agent is representative of an insurane company in soliciting an d servicing policyholders.” An agent’s knowledge concerning an insurance transaction is said to be the knowledge of the insurance company as well.
Wrongful acts of the agent are the responsibility of the company; these bind the company to the custumer. Notice given by an insured to the agent is the same as notice to the company.
(Agen asuransi adalah perwakilan dari perusahaan asuransi dalam meminta dan melayani pemegang polis. Pengetahuan agen tentang transaksi asuransi juga disebut sebagai pengetahuan perusahaan asuransi. Tindakan agen yang salah adalah tanggung jawab perusahaan; ini mengikat perusahaan kepada pelanggan. Pemberi- tahuan yang diberikan oleh tertanggung kepada agen sama dengan pemberitahuan kepada perusahaan.)
Sedangkan Rasmussen menyatakan bahwa (2011:4):
The essentials of agency are few… first, the relation is a consensual one; an agent agrees; or at least consent to act under direction or control of the principle.
Second, the relation is a fiduciary one; an agent agrees to act for and on behalf on the principle. He is in no senese a proprietor entitled to the gains enterprise nor is he expected to carry the risks.
(Esensi dari agen antara lain ... pertama, hubungannya adalah konsensual; seorang agen setuju; atau setidaknya menyetujui untuk bertindak dibawah kontrol atau kendali prinsip. Kedua, hubungannya bersifat kepercayaan; seorang agen setuju untuk bertindak untuk dan atas nama prinsipal tersebut. Dia bukan pemilik yang berhak atas keuntungan perusahaan dia juga tidak diharapkan untuk menanggung risiko).
Hubungan hukum antara prinsipal dengan agen didasarkan pada agency agreement yang dibuat para pihak, yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Agen dalam asuransi jiwa merupakan individu yang bekerja pada prinsipal berdasarkan kuasa pada satu perusahaan dengan sistem komisi (Khairandy, 2013: 247).
Para pihak dalam erjanjian keagenan terdiri dari: 1. Prinsipal, adalah pihak yang memberikan perintah/kuasa kepada agen untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungannnya dengan pemegang polis/pihak ketiga. Penunjukkan agen oleh prinsipal dilakukan secara tertulis dalam bentuk kontraktual, termasuk hak dan kewajiban masing-masing; 2. Agen, adalah pihak penerima perintah/
kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungannya dengan pemegang polis/pihak ketiga yang tercantum dalam perjanjian,
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
termasuk hak dan kewajiban masing-masing; dan 3. Pemegang polis/
pihak ketiga, adalah yang melakukan perbuatan hukum atau transaksi dengan agen (Putra, 2014:29).
Agen melakukan perjanjian dengan prinsipal melahirkan hubungan hukum kemitraan, bukan ketenagakerjaan. Hubungan ini memiliki kedudukan yang sama tinggi, bukan hubungan atas dan bawah (subordinasi) seperti yang terjadi antara majikan dengan buruh. Namun dalam kenyataan hubungan agen dengan prinsipal ini sama dengan hubungan subordinasi.
Karakteristik hubungan prinsipal dan agen adalah pemberian kuasa. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1792 Burgerlijke wet Boek yang menyatakan bahwa: “pemberian kuasa adalah suatu per- setujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Pemberian kuasa ini didasarkan atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian keagenan. Dalam Pasal 1795 Burgerlijke wet Boek mengatur pemberian kuasa yang bersifat khusus yang hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih dan bersifat umum yang meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Menurut ketentuan Pasal 1338 BW ayat (1) Burgerlijke wet Boek: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Perjanjian keagenan dapat tercipta antara prinsipal dengan agen atas kesepakatan bersama. Perjanjian keagenan lahir karena jasanya dibutuhkan untuk menyalurkan produk prinsipal secara efisien.
Perjanjian keagenan merupakan cara yang efisien untuk menjual polis asuransi jiwa. Perjanjian keagenan merupakan pilihan yang tepat bagi prinsipal karena: pertama, kapasitas finansial prinsipal terbatas untuk menangani seluruh aktivitas yang ditawarkan kepadanya dalam satu wilayah tertentu, karena kekhawatiran terkonsentrasinya risiko; kedua, prinsipal memasuki wilayah baru, harus menyediakan sejumlah servis minimal kepada calon pemegang polis, klaim, pengumpulan premi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan calon pemegang polis, sehingga
prinsipal tidak bisa melakukan secara langsung, dengan demikian diperlukan agen (Rastuti, 2011:67).
Menurut Moniung prinsipal membutuhkan agen karena beberapa sebab yaitu: pertama, prinsipal tidak menguasai area pemasaran barang/atau jasanya; kedua, prinsipal terlalu sibuk dengan pekerjaan pokoknya sehingga harus melakukan pendelegasian pekerjaannya, atau ketiga, prinsipal membutuhkan pihak lain yang memiliki koneksi atau hubungan bisnis serta jaringan pemasaran yang luas sehingga sasaran dan target pemasaran barang dan/atau jasanya segera terealisasi (Moniung, 2015: 125).
Industri asuransi jiwa memberikan perhatian khusus masalah kode etik, sebab berkembangnya perusahaan asuransi sangat ditentukan oleh para agen asuransi. Untuk itu ditetapkan suatu kode etik keagenan asuransi agar para agen asuransi memiliki profesionalisme. Tujuannya agar mereka tidak menimbulkan salah pengertian, kontroversi persepsi dan menempatkan agen asuransi sebagai profesi yang mulia (Sendra, 2014: 118) Untuk menjalankan kewajiban sebagai agen asuransi jiwa maka kode etik menentukan perilaku antara lain sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal dengan bersikap ramah, sopan, tertip dan jujur dalam melaksanakan tugas/pekerjaan, serta berusaha dengan kemampuan/ pengetahuan yang ada meningkatkan kesadaran berasuransi bagi masyarakat dan memajukan perusahaan yang diwakili;
2. Mengutamakan kepentingan para pemegang polis dan prinsipal dengan selalu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pemegang polis maupun kepada mereka yang ditunjuk untuk menerima faedah asuransi;
3. Menggunakan cara yang layak dan tidak melanggar kode etik untuk mendapatkan/menutup calon pemegang polis dan dengan tegas akan menolak segala cara yang dapat menurukan derajat profesi aparat pemasaran asuransi jiwa, serta tidak akan mem- berikan peryataan-peryataan dan janji-janji yang menyimpang dari ketentuan polis;
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
4. Memberikan keterangan yang benar dan lengkap serta tepat agar pemegang polis dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan (Keputusan RAT No. 02/AAJI).
Agen asuransi jiwa memiliki larangan untuk dilakukan dalam pekerjaan sehari-hari antara lain (Sendra, 2015: 126):
1. Melakukan propraganda yang dapat mendiskriditkan dan merusak nama baik atau citra perusahaan asuransi;
2. Melakukan pekerjaan menjual produk asuransi tanpa memiliki lisensi;
3. Mencari keuntungan pribadi dari jabatan atau profesionalismenya sebagai agen, dengan pindah ke perusahan satu ke perusahaan lainnya;
4. Melakukan pemindahan atau pembelian pemilik polis dari perusahaan asuransi lain (twisting), untuk mendapatkan kinerja atau prestasi yang baik dari perusahaannya, sehingga dapat merugikan pemilik polis;
5. Menjual produk asuransi dengan memberikan keterangan atau penjelasan yang kurang transparan dan kurang jujur (misrepresen- tation) sehingga dapat menyebabkan kesalahan pemilik polis untuk memilih produk yang tepat dan atau jumlah pertanggungannya terlalu besar.
6. Melakukan penjualan produk asuransi dengan janji-janji potongan atau diskon dan hadiah lainnya;
7. Menyalahgunakan premi, santunan, asuransi pemilik polis atau tertanggung; dan
8. Menyembunyikan, memalsukan data-data dan informasi calon pemilik polis atau tertanggung dan penerima manfaat, dengan tujuan untuk mendapatkan provisi atau komisi besar sehingga menguntukan diri sendiri, hal ini dapat menyebabkan dikesam- pingkanya prinsip iktikad baik (utmost good faith) dan kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest).
Perjanjian keagenan yang telah disepakati prinsipal dengan agen melahirkan wewenang pada seorang agen. Agen asuransi memiliki tiga wewenang yang meliputi: pertama, wewenang tersurat yang tercantum dalam kontraknya dengan prinsipal yang dalam hal ini adalah perusahaan asuransi jiwa; kedua, wewenang yang tersirat. Menurut hukum memperoleh wewenang yang layak dianggap publik dimilikinya.
Hukum menyatakan bahwa publik tidak dapat diharapkan mengetahui atau menyelidiki syarat-syarat sesungguhnya dari setiap perjanjian keagenan. Publik mempercayai bahwa seorang agen mempunyai wewe- nang untuk sesuatu tindakan tertentu sejauh menyangkut hukum; Ketiga, agen mempunyai wewenang lahiriah yaitu wewenang yang telah dilaksanakan agen itu yang didiamkan saja oleh principal (Hasymi, 2002: 92).
Pada umumnya hak-hak agen sehubungan dengan jasa keagenan berupa: a.Hak atas komisi. Hak agen untuk menerima komisi dari prinsipal atas jasa-jasa yang diberikan agen adalah hak yang melekat pada praktek bisnis agen asuransi. Oleh karen itu hubungan keagenan didasarkan pada perjanjian, maka pada umumnya komisi yang menjadi hak agen ditentukan secara eksplisit dalam perjanjian keagenan b. Hak untuk meminta pembayaran kembali (reimbursement) dari prinsipal atas semua biaya dan pengeluaran-pengeluaran yang agen lakukan sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan keagenan untuk kepen- tingan prinsipal dan c. Hak untuk dibebaskan dari segala tanggung jawab hukum. Sedangkan hak prinsipal lahir sebagai konsekuensi pelaksanaan fiduciary duties dari agen yang mengakibatkan fiduciary rights (Maniung, 2015:130).
Menurut Ivamy (11975:547) bahwa:
The chief duties which an agent owes to the principal are the following: a. To carry out the transaction which he is employed to carry out; b. To obey his instructions and to act strictly in accordance with the terms of his authority; c.
To act with reasonable and proper skill; d. To account to the principal for money received; and e. To deal honestly with the principal.
BAGIAN 3 KARAKTERISTIK PERJANJIAN KEAGENAN ASURANSI JIWA
(Kewajiban utama seorang agen kepada prinsipal adalah sebagai berikut: a. Untuk melakukan transaksi yang ia lakukan; b.
Mematuhi perintah dan bertindak secara ketat sesuai dengan ketentuan kewenangannya; c. Untuk bertindak dengan keteram- pilan yang wajar dan tepat; d. Untuk menjelaskan kepada prinsipal untuk uang yang diterima; dan e. Kesepakata yang jujur dengan prisipal).
Asuransi jiwa dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para pihak terhitung sejak premi diterima oleh agen asuransi (Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang tentang Perasuransian). Demikian pula ketentuan Pasal 255 Wet van Koophandel mengatur bahwa “hak dan kewajiban penanggung dan pemegang polis timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan.”
Penutupan asuransi dalam praktiknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatangani perjanjian sementara (cover note) dan dibayarnya premi.Selanjutnya apabila suatu asuransi ditutup langsung antara si calon pemegang polis atau seorang yang telah diperintahkan untuk itu atau mempunyai kekuasaan untuk itu dan prinsipal, maka haruslah polisnya dalam waktu 24 jam setelah ditangantangani oleh prinsipal sudah diserahkan pada calon pemegang