ﻥﺎﻗﺮﻔﻟﺍ ﺓﺭﻮﺳ(
A. Identitas Informan
istri dsb.
B. Pengetahuan dan Pemahaman Hukum Informan tentang Hak dan Kewajiban Istri 1. Bagaimana relasi suami istri dalam keluarga? Apakah suami istri setara? (Kebetulan
pendidikan saya lebih tinggi dari pada suami saya, saya sampai S3 suami saya S2 dan ketika saya menikah suami saya sedang menyelesaikan S2, waktu itu tinggal ujian katika saya menikah sudah terdapaftar sebagai mahasiswa S3, jadi dari awal sudah ada komitmen dari awal sudah saling tahu. Apakah suami harus tetap sebagai orang yang lebih berkuasa dan lebih tinggi, sedangkan istri adalah selalu sebagai orang yang lebih rendah dan yang dikuasai? (Mungkin bahasanya tidak lebih berkuasa kalau lebih berkuasa itu konotasinya tidak baik, jadi bahwa suami adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap sebuah keluarga, sebuah rumah tangga, tapi kalau suami lebih berkuasa tidak setuju dengan bahasa itu, Karena bertanggung jawab bukan berarti berkuasa saya tidak menggunakan bahasa yang lebih berkuasa, tapi bahasa suami itu adalah bapak yang punya tanggung jawab kepada rumah tangga, saya masih menggunakan pemahaman seperti itu walaupun ada hubungan relasi antara suami istri tapi bahasanya lebih berkuasa saya tidak setuju dengan bahasa itu.) Ataukah suami atau istri yang berpotensi lebih bagus, maka dialah yang lebi berkuasa? Ya, karena bahasa itu tadi saya tidak setuju, bukan masalah kekuasaan tapi bagaimana kita berbagi. Suami punya kelebihan punya kekurangan dan istri punya kelebihan punya kekurangan, ketika dulu suami saya yang sering keluar, tetapi sekarang saya yang sering keluar tapi coba untuk memahami dan untuk membangun pemahaman memang tidak mudah butuh proses, butuh diskusi panjang bahkan kadang-kadang dihadapan anak saya. Walaupun kayanya
mensuport penuh dalam kegiatan-kegiatan saya, ya saya sebagai istrinya sebagai perempuan asalkan itu masih pada jalur yang benar, asalkan itu tidak keluar dari syari’at, asalkan masih bisa menjaga diri, menjaga nama, menjaga semua itu. Suami saya memberi kepercayaan penuh itu dan itu kenikmatan yang luar biasa bagi saya, karena banyak yang kemudian tidak mendapatkan itu dari suaminya dan untuk bisa seperti itu ya memang dari awal sudah ada kesepakatan.
2. Setau ibu apa saja hak istri menurut Hukum Islam? Lalu apa saja keawajiban istri menurut Hukum Islam?
3. Lalu apa saja kewajiban istri menurut Peraturan Perkawinan di Indonesia? Dan apa saja kewajiban istri menurut Peraturan di Indonesia? Saya tidak hafal kalau menurut peraturan, nanti istilahkan saudara beri saya itu kemudia pertanyaanya, ibu apakah ibu sudah mengimplementasikan sesuai dengan UUD 1974 atau belum? Tapi saya kalau disuruh ngafalin saya ga hafal gitu ya, ni menjadi kritik bagi kita semua pemerintah sudah membuat UUD peraturan untuk masyarakat, peraturan untuk Rakyat Indonesia tetapi rakyat sendiri juga tidak tau peraturan disini apa, saya pernah membaca itu tapi hanya sekilas.
4. Bagaimana pandangan ibu tentang hak dan kewajiban istri yang diatur dalam Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia itu? Apakah ibu setuju?
Alasannya? Dalam sebuah rumah tangga itu ada hak dan kewajiban, kalo ada hak yang kemudian mengikat, kewajiban yang sangat mengikat dan kewajiban yang sangat longgar seperti tadi kewajiban istri untuk menjaga rumah tangga untuk memenuhi rumah tangga
terus menjalankan fardhu gitu, kewajiban dari sebuah kesepakatan dan itu akhirnya bisa berkembang bagi kami, menurut pendapat saya pribadi bahwa sebuah rumah tangga yang dibagun dalam sebuah keluarga itu ya tanggung jawab bersama untuk bisa seperti itu memang yang pertama kita harus melakukan perubahan melalui perundang-undangan tapi untuk perundang-undangan tidak didasari atau tidak di dampingi dengan aturan-aturan berikutnya implementasinya sama aja, dan yang paling spesifik dalam keluarga itu sendiri merubah maindset ini kan dalam mengubah maindset ga mudah bahwa laki-laki ga tabu didapur, laki-laki ga tabu untuk nyapu, laki-laki itu ndak tabu untuk mengurusi anak-anak untuk nyetrika. Butuh maindset kalau tidak waduh! Repot sekali dan untuk merubah seperti itu gak mudah dalam sebuah keluarga. Suami saya misalnya sekarang sudah biasa masakin nasi goreng, mandiin anak, bareng-bareng nyapu, bareng-bareng nyetrika itu biasa. Awalnya agak berat karena memang konsep, pola asuh, doktrin didalam keluarga ini adalah seperti itu. Dan ini dipahami adalah seperti itu, mengapa? karena bapaknya dulu seperti itu. Ataukah ada yang perlu dibenahi/dikritisi, Jika ada mohon berikan saran/masukan ibu serta alasannya? Kita kan dalam dunia pendidikan dunia pendidikan itu sangat strategis karena apa? Dalam dunia pendidikan itu kita melakukan perubahan karena tersistem, beda dengan di lingkungan keluarga atau yang lain. Kenapa di dunia pendidikan, pertama kali dunia pendidikan? Karena kita pertama kali hidup didunia pendidikan dan pendidikan itu tersistem kalau sistem itu yang pertama adalah tujuan pendidikannya apa? Apakah tujuan pendidikan sudah setara? materinya apakah sudah taraf setara? itu bisa metode apakah begitu materinya tapi kita memperlakukannya dengan cara yang tidak setara sama saja. Jadi kita bisa merubahnya dengan pendidikan dan
berharap banyak untuk dunia pendidikan untuk merubah maindset merubah pemahaman, merubah pandangan yang kemudian sangat bias gender, bahkan ada yang sampai mengeritik tidak usahlah bahwa perempuan itu sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai kepala keluarga toh banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga. kalau saya masih dalam cara traditional bahwa laki-laki, bapak atau suami adalah kepala kerluarga karena memang dalam realitasnya banyak yang kemudian bapak tidak berperan dalam kepala keluarga apalagi jika sudah ngomong masalah PEKA (Persatuan Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga) karena apa? Karena mereka janda-janda kemudian disebutkan disini suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan kemudian janda gak punya suami bagaimana? Wah ini nomenklatur Undang-Undang nomenklatur itu hitam putih tidak bisa ditafsirkan dengan cara penafsiran macam-macam, karena yang namanya Undang- Undang (Peraturan) itu adalah hitam putih apa yang tertulis disitu. Lah kalo laki-laki sudah meninggal atau suami sudah meninggal dia sebagai kepala keluarga nah disini, gak ada perempuan sebagai kepala keluarga, lagi-lagi kaki saya diikat dikampus, gerakan- gerakan perempuan sudah tidak banyak mengikuti, tidak ikut bareng-bareng, kata suami saya sekarang masanya sudah berbeda. Apakah ibu ketua PEKA? Saya bukan menjadi ketua di PEKA tetapi tau PEKA gerakan itu, saya tau ada aktivis yang bergerak di bidang itu, saya tau ada advokasi, ada upaya-upaya perempuan yang memperjuangkan, perempuan yang memang kepala keluarga, itu banyak ribuan ratusan ribu anggota keluarga tersebar ke berbagai provinsi karena cerai, meninggal dan lain-lain. Karena itu awalnya banyak perempan-peremuan (inong inong bale) itu tidak punya suami sementara
masalah kekuasaan tetapi bagaimana kita bisa sama-sama membangun keluarga saling membangi, saling melengkapi.
5. Seperti diketahui, saat ini banyak istri yang juga berperan sebagai wanita karir, tentu istri yang demikian akan terkuras waktu, pikiran dan tenaganya untuk kelancaran karir tersebut, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: istri tersebut akan melakukan peran ganda (Aktif dalam karir dan berusaha keras lancar dalam rumah tangga) atau istri tersebut akan memilih fokus pada karir dan menomorduakan kewajiban dalam rumah tangga, bagaimana pendapat ibu tentang hak dan kewajiban istri yang berkarir tersebut, apakah hak dan kewajibannya dalam keluarga sama saja dengan istri yang berkarir? Saya coba untuk melakukan dua-duanya pagi hari saya menjalankan diri saya sebagai ibu rumah tangga, mau gimana lagi, tapi kadang-kadang suami saya memahammi ketika malam misalnya semalam saya mengerjakan tugas sampai jam 11 sampai jam 12 malam, sebelumnya sampai jam 2 suami saya bisa memahami gak ada maslaah, ketika hari minggu libur suami saya tahu ketika saya mengerjakan sampai jam 2 malam, shalat subuh kemudian saya tidur lagi gpp, gak ada masalah yang penting sarapan sudah ada, ketika saya lagi tugas diluar kota tugas sebagai ibu rumah tangga mengurusi anak-anak dan sebagainya di handle oleh suami kalau mbaknya tidak ada, awalnya itu dengan suami saya gak nuntut karena doktrin, pola asuh bagi saya sangat mempengaruhi pola asuh itu kehidupan-kehidupan pada masa remaja itu sangat mempengaruhi maindset kepribadian-kepribadian, pemikiran berkembang pada masa anak jadi dari awal itulah kita harus saling memahami Kalau beda apa bedanya? Kan sama ya, tergantung kita menafsirkannya, tafsiran kepada
sudah mengatur secara saklek dalam sebuah keluarga prinsip-prinsipnya saja yang tidak saklek dan jika kemudian Undang-undang itu juga salah karna dalam sebuah keluarga prinsip-prinsipnya saja yang disampingkan jadi kita flexible prinsipnya adalah disitu sharing saling memahami, pengertian, kewajiban-kewajiban prinsip dan syari’nya itu dijalankan jadi bisa saling memahami Dan apa argumentasi ibu? Kalau sama, apa argumentasinya? Tidakkah itu menjadi beban ganda bagi istri dan merugikan istri?
Kalau kita tidak memahami bahwa yang kita lakukan yang terbaik untuk keluarga kita, mungkin akan merasa menderita dan menjadi beban ganda, tetapi kalau saya merasakan seperti itu kalau saya tidak menyadari, tapi saya menyadari apa yang saya bisa lakukan yang terbaik untuk keluarga saya, repotkan kalau tidak bisa memahami apalagi anak saya sudah di pesantren ketika saya dirumah belum bisa mendampingi anak saya dalam belajar apalagi sekarang anak saya di pesantern saya belum bisa mendapingi mereka belajar dengan baik malah sekarang sudah harus dilepas dari ibunya, jadi ketika saya melakukan pekerjaan rumah dan sebagai wanita karir saya tidak merasa itu double burden itu yang semakin saya memahami posisi kita malah semakin bersyukur Ya Allah Alhamdulillah saya bisa berbagi untuk anak saya karena amanah terbesar dalam hidup saya adalah anak-anak saya kalaupun saya diamanahkan menjadi ketua LPM yaitu amanah dan besar menurut saya, dan amanah sangat besar bagaimana mutu universitas ini, tapi amanah yang paling besar yang saya dapatkan adalah anak, jadi ketika melakukan sesuatu dirumah ini untuk kebaikan anak saya ini untuk kebaikan keluarga saya jadi saya tidak merasa double burden, saat ini karena apa? Karena saya juga tidak
begitu pula saya tahu kelemahan suami saya