• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Ekonomi Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata

Bab 2 Pengembangan Desa Wisata

M. Implementasi Ekonomi Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata

Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Agung, 2015). Menurut Yoeti (1990) konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada:

1. Something to see, artinya di tempat tersebut harus ada obyek wisata dan atraksi wisata, yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh daerah lain. Sehingga daerah tersebut harus

memiliki daya tarik yang khusus dan harus mempunyai atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai “entertainments” ketika orang datang ke tempat tersebut.

2. Something to do, artinya di tempat tersebut selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi atau amusements yang dapat membuat mereka betah tinggal lebih lama di tempat tersebut.

3. Something to buy, artinya di tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja, terutama barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ketempat asal masing-masing.

Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah.

Kepariwisataan dan ekonomi kreatif merupakan daya tarik yang saling terkait dan menguatkan, seperti contoh banyaknya produk hasil dari kreativitas manusia yang dapat dinikmati oleh wisatawan, karena memiliki keunikan dan keindahan. Kepariwisataan dan ekonomi kreatif memiliki keterkaitan yang sangat intens, karena keduanya saling mendukung dan menguatkan.

Terdapat tiga model keterkaitan industri pariwisata dengan ekonomi kreatif, di antaranya (I Gusti Bagus Arjana, 2015):

1. Ekonomi kreatif memberi penguatan pada kualitas daya tarik pariwisata, seperti misalnya dalam menampilkan berbagai kegiatan seni yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Kualitas pariwisata diukur dari dua komponen yakni lama tinggal atau length of stay wisatawan pada suatu destinasi wisata dan besar pengeluaran atau spent of money wisatawan. Seperti diketahui bahwa dampak atau keuntungan ekonomi pariwisata adalah berapa besar mendapatkan kucuran devisa dari para wisatawan, karena semakin lama wisatawan di suatu daerah maka semakin

Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 37

besar pula pengeluarannya, untuk kepentingan akomodasi, transportasi, konsumsi, dan sebagainya.

2. Penciptaan daya tarik wisata, produk dan jasa ekonomi kreatif dapat menjadi daya tarik utama di suatu destinasi, di mana wisatawan dapat menikmati berbagai produk seni, seperti seni panggung, seni tari, seni lukis, seni patung, seni ukir, tempat produk seni tersebut yang merupakan produk ekonomi kreatif menjadi andalan suatu destinasi karena produk-produk ekonomi kreatif tersebut menjadi andalan suatu destinasi dikarenakan memiliki keunikan bahkan menjadi daya tarik utama yang tidak dapat dinikmati di destinasi lainnya.

3. Promosi, hubungan produk dan jasa ekonomi kreatif bersifat timbal balik karena saling mendukung, di mana produk dan jasa ekonomi kreatif itu dapat dijadikan media promosi wisata yang efektif demikian pula sebaliknya.

Menurut I Gusti Bagus Arjana (2015) dalam bukunya Geografi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, keterlibatan atau peranan ekonomi kreatif menjadi elemen penting dari industri pariwisata. Modal utama dalam pengembangan pariwisata yaitu sumberdaya alam seperti pemandangan yang indah dan eksotik atau budaya asli yang unik dan antik yang kemudian didukung keberjalanan ekonomi kreatif yang disini sebagai fungsi strategis pengembangan ekonomi kreatif.

I Gusti Bagus Arjana (2015) menjelaskan bahwa daerah-daerah di Indonesia di mana industri pariwisata sudah berjalan mapan yang melibatkan pemerintah, kalangan bisnis, masyarakat dan seniman, tampak secara transparan ekonomi kreatif berjalan secara dinamis seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Denpasar, Medan, Makassar dan kota-kota lainnya. Lapangan kerja sangat terbuka, untuk menghasilkan produk barang dan jasa sesuai jenis ekonomi kreatif yang berkembang di Indonesia.

Bab 3

Studi Kasus I:

Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional Terhadap

Pengembangan Desa Wisata Tlingsing, Cawas, Klaten

Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil mengembangkan Industri Kecil Menengah (IKM) sebagai hasil produk unggulan wilayahnya adalah Kabupaten Klaten. Berdasarkan PDRB Kabupaten Klaten tahun 2014, terdapat 3 sektor yang tingkat pertumbuhannya paling tinggi yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 30,70%, industri pengolahan sebesar 20,34%, serta sektor jasa-jasa sebesar 15,76%.

Menurut Data Industri Kecil dan Potensi Sentra Tahun 2008 Kabupaten Klaten (2008), Kabupaten Klaten adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki IKM cukup banyak yaitu berkisar 33.221 IKM.

IKM ini yang menjadikan industri jenis lurik menjadi salah satu produk unggulan dan ciri khas di Kabupaten Klaten dikarenakan masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin atau yang biasa disebut dengan ATBM. Keberadaan pengrajin tenun ATBM semakin meningkat dan

tersebar di beberapa kecamatan seperti Bayat, Cawas dan juga Pedan.

Dari beberapa wilayah tersebut Kecamatan Cawas merupakan yang paling berkembang dan terdapat aglomerasi industri tenun ATBM yang berada di Desa Tlingsing. Kemudian pada tahun 2011, melalui Keputusan Bupati Klaten bahwa ditetapkannya Desa Tlingsing sebagai Desa Wisata Tenun ATBM Lurik di Kabupaten Klaten. Sehingga Desa Tlingsing ini berkembang menjadi desa wisata minat khusus dengan ciri khas industri tenun lurik ATBM.

Rantai aktivitas industri lurik tradisional mulai dari pengadaan bahan baku hingga pemasaran yang sesuai dengan teori rantai aktivitas industri kreatif yang ada akan membentuk sebuah pola aktivitas, kemudian untuk mengetahui pola jejaring industri lurik dihasilkan dari proses pendistribusian bahan baku dan produk serta didukung dengan transportasi yang ada untuk kelancaran aktivitas industri. Dari aktivitas tersebut dapat membentuk sebuah pola jejaring secara spasial, sehingga sesuai dengan pengertian pola jejaring menurut Santoso, et al. (2012) di mana pola jejaring adalah penghubung (link) antar simpul dalam suatu sistem transportasi.

Setiap proses pembuatan tenun ATBM dari pengadaan bahan baku hingga pemasaran serta seluruh komponen aktivitas industri kreatif pembuatan tenun lurik ATBM tersebut mendukung keberlanjutan industri lurik tradisional Desa Tlingsing yang dapat mendukung pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Proses produksi kreatif pembuatan tenun lurik tradisional tersebut didukung oleh individu terampil dan kreatif yang berdomisili di Desa Tlingsing sebagai pengrajin sehingga proses produksi dan produk yang dihasilkan juga kreatif. Pada proses produksi kreatif dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata Desa Tlingsing yang berupa wisata edukasi sehingga wisatawan dapat menikmati dan mencoba proses pembuatan tenun lurik tradisional secara langsung serta pada proses produksi juga memanfaatkan teknologi dalam pencarian informasi dan komunikasi untuk mendukung keberjalanan proses produksi, dam produk kreatif yang dihasilkan dapat menjadi souvenir untuk wisatawan. Berdasarkan setiap proses pembuatan tenun ATBM serta seluruh komponen aktivitasnya memiliki potensi untuk mendukung pengembangan Desa

Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 41

Wisata Tlingsing. Sehingga memunculkan pertanyaan: Bagaimana pengaruh pola jejaring industri lurik tradisional terhadap pengembangan Desa Wisata Tlingsing ?

A. Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional

Tabel 3.1: Rekapitulasi Hasil Skoring Variabel Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional (Peneliti, 2018)

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa karakter industri lurik tradisional di Desa Tlingsing yaitu terdapat dua indikator yang berkategori rendah yaitu pada indikator jumlah tenaga kerja dan promosi penjualan. Sedangkan tiga indikator menyatakan berkategori sedang yaitu pada indikator adanya pemanfaatan proses produksi

sebagai atraksi wisata edukasi, teknologi dan jangkauan pemasaran produk. Kemudian 10 indikator lainnya termasuk kategori tinggi.

Pola jejaring industri lurik tradisional Desa Tlingsing yang terbentuk berdasarkan rantai aktivitas industrinya yaitu mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, hingga pemasaran yang bersifat mengalir dan saling bersinergi antar komponennya. Sehingga rantai aktivitas industri kreatif yang terbentuk di Desa Tlingsing sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh UNIDO (2007) tentang komponen pokok pembentuk rantai aktivitas industri kreatif yaitu inputs, manufacturing, dan marketing.

B. Pengembangan Desa Wisata

Tabel 3.2: Rekapitulasi Hasil Skoring Variabel Pengembangan Desa Wisata Tlingsing (Peneliti, 2018)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa karakter pengembangan Desa Wisata Tlingsing hanya satu indikator yang termasuk kategori tinggi yaitu pada indikator masyarakat atau organisasi pengelola desa wisata. Serta lima indikator termasuk kategori sedang yaitu indikator atraksi unik, dekat dengan jalan raya dan fasilitas transportasi, toko cinderamata, pusat informasi, dan rumah makan serta empat indikator

Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 43

lainnya termasuk kategori rendah yaitu indikator moda transportasi, rambu-rambu jalan, akomodasi, dan Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Berpedoman pada teori komponen pengembangan desa wisata yang dikemukakan oleh Cooper, et al. (1993) dalam Antara & Arida (2015) yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary service.

Atraksi wisata di Desa Wisata Tlingsing berupa proses produksi lurik tradisional mulai dari pemilihan bahan baku hingga pemotongan kain tenun lurik. Selain itu, atraksi pada Desa Wisata Tlingsing juga telah menerapkan teori atraksi wisata menurut Yoeti (1990) di mana proses produksi sebagai atraksi khusus berupa kebudayaan sebagai wisata edukasi yang melibatkan pengrajin sebagai pelaku usaha dan pengunjung.

Tingkat pengembangan Desa Wisata Tlingsing dari aspek aksesibilitas dapat dinilai dari sisi dekat dengan jalan raya dan fasilitas transportasi, moda transportasi serta tersedianya rambu jalan menuju Desa Wisata Tlingsing. Akses menuju Desa Wisata Tlingsing dari jalan arteri terdekat dan stasiun Klaten yaitu berjarak 18 km namun berjarak 39 km dengan bandara terdekat. Berdasarkan hasil penelitian, upaya yang dilakukan dalam pengembangan Desa Wisata Tlingsing dari segi dekat dengan jalan raya dan fasilitas transportasi masih tergolong sedang. Namun, masih belum sesuai dalam segi tersedianya moda transportasi dan rambu-rambu jalan menuju Desa Wisata Tlingsing, hal tersebut dikarenakan belum adanya moda transportasi yang melewati kawasan serta belum tersedianya rambu-rambu penunjuk jalan menuju desa wisata Tlingsing.

Dari aspek amenitas, belum semua upaya yang dilakukan untuk pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Hal ini dikarenakan hanya beberapa fasilitas amenitas seperti rumah makan, toko cinderamata serta pusat informasi yang tersedia untuk wisatawan dan dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari lokasi pusat sentra Desa Wisata Tlingsing namun untuk fasilitas akomodasi dan ATM belum tersedia di lokasi wisata.

Kemudian komponen terakhir pengembangan desa wisata yang dikemukakan oleh Cooper, et al. (1993) dalam Antara & Arida (2015)

adalah aspek ancillary service. Dalam pengembangan desa wisata Tlingsing, upaya dari aspek ancillary service telah dilakukan. Hal ini ditandai dengan adanya kelompok sadar wisata Desa Tlingsing dan pengawasan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Klaten serta adanya masyarakat yang turut mengelola desa wisata.

Tidak semua komponen telah dilakukan upaya untuk pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Hanya pada aspek atraksi wisata dan ancillary service yang telah dilakukan upaya penuh dalam pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Untuk aspek aksesibilitas dan amenitas masih terdapat beberapa upaya dalam pengembangan Desa Wisata Tlingsing.

Hal tersebut yang mendasari bahwa pengembangan Desa Wisata Tlingsing belum sepenuhnya sesuai dengan teori pengembangan desa wisata yang dikemukakan oleh Cooper, et al. (1993) dalam Antara &

Arida (2015).

Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 45

C. Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing

Tabel 3.3: Rekapitulasi Besaran Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing (Peneliti,

2018)

Pola jejaring industri lurik tradisional yang terbentuk berdasarkan simpul aktivitas kegiatan industri akan memengaruhi keberlanjutan

kegiatan industri lurik tradisional di mana industri lurik tradisional Desa Tlingsing ini juga sebagai daerah wisata, sehingga keberlanjutan industri lurik tradisional juga akan memengaruhi keberlanjutan wisata tenun tradisional di Desa Tlingsing.

Berdasarkan pada teori menurut Yoeti (1990) yang dilihat dari 3 faktor, yaitu something to see, something to do dan something to buy. Desa Tlingsing yang merupakan sebuah desa dengan fungsi industri dan fungsi sebagai desa wisata. Pada desa tersebut faktor something to see dan something to do telah diterapkan, di mana industri lurik tradisional harus tetap berlangsung karena industri tersebut memengaruhi atraksi wisata di Desa Tlingsing. Desa Tlingsing juga menerapkan faktor something to buy. Di mana industri lurik tradisional berlaku sebagai penyedia produk berupa tenun lurik yang telah dihasilkan dari hasil proses produksi yang telah dilakukan sebagai souvenir atau kerajinan yang dapat dijadikan oleh-oleh wisatawan. Dengan adanya hal tersebut, mengakibatkan munculnya fasilitas berbelanja berupa toko cinderamata atau showroom tenun lurik tradisional yang juga sebagai tempat bagi pengrajin industri lurik tradisional Desa Tlingsing. Teori tersebut juga didukung oleh Evans dalam Suparwoko (2017) yang menyatakan bahwa dari segi industri kreatif, produk kerajinan yang dihasilkan dalam bentuk souvenir dapat dijual melalui sektor pariwisata di toko cinderamata, di mana wisatawan memperoleh buah tangan sebagai memorabilia terhadap daerah wisata tersebut.

Kemudian, merujuk pada teori menurut Diana, et al. (2017) tentang peran masyarakat terhadap industri kreatif yaitu masyarakat sebagai pengelola industri dan masyarakat sebagai sumberdaya manusia yang kreatif dan inovatif dalam menghasilkan suatu produk kerajinan sehingga bernilai seni tinggi yang dapat menarik wisatawan untuk datang dan membeli. Di mana pengrajin yang berada di industri lurik tradisional Desa Tlingsing juga sebagai pelaku pengelola Desa Wisata Tlingsing. Sehingga dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa Desa Tlingsing yang sebagai industri lurik tradisional memengaruhi munculnya ancillary service pada Desa Wisata Tlingsing. Ancillary service yang dimaksudkan yaitu adanya masyarakat atau organisasi pengelola desa wisata.

Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 47

Berdasarkan hasil di atas, dapat dilihat bahwa industri lurik tradisional berpengaruh kuat terhadap keberlanjutan atraksi, munculnya toko cinderamata dan munculnya ancillary service pada Desa Wisata Tlingsing. Atraksi, toko cinderamata yang termasuk bagian dari aspek amenitas, serta ancillary service merupakan bagian dari pengembangan Desa Wisata Tlingsing, sehingga untuk lebih mengembangkan Desa Wisata Tlingsing tidak bisa mengabaikan aspek amenitas yang terdiri dari fasilitas rumah makan, akomodasi, pusat informasi dan ATM serta aspek aksesibilitas yang terdiri dari indikator dekat dengan jalan raya, tersedianya moda transportasi dan tersedianya rambu-rambu jalan menuju kawasan Desa Wisata Tlingsing. Di mana aspek amenitas dan aspek aksesibilitas merupakan salah satu bentuk fasilitas fisik yang harus disediakan untuk menunjang pengembangan Desa Wisata Tlingsing guna memenuhi kebutuhan wisatawan selama berada di lokasi wisata.

Hal tersebut didukung dengan teori menurut Spillane (2000) dalam Abdulhaji & Yusuf (2016) mengungkapkan bahwa fasilitas fisik (physical facility) adalah sarana yang disediakan oleh pengelola objek wisata untuk memberikan pelayanan atau kesempatan kepada wisatawan menikmatinya.

Hasil yang didapatkan dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa industri lurik tradisional berpengaruh kuat terhadap keberlanjutan atraksi, munculnya toko cinderamata dan munculnya ancillary service pada Desa Wisata Tlingsing. Atraksi, toko cinderamata yang termasuk bagian dari amenitas, serta ancillary service merupakan bagian dari pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Beberapa fasilitas pada aspek amenitas seperti tersedianya pusat informasi dan rumah makan untuk penyediaan kebutuhan wisatawan merupakan komponen pengembangan Desa Wisata Tlingsing yang muncul tidak secara langsung dipengaruhi oleh industri lurik tradisional Desa Tlingsing namun muncul akibat kebutuhan guna pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Serta aspek amenitas lainnya seperti ATM, dan akomodasi serta aspek aksesibilitas tidak dipengaruhi secara kuat oleh keberadaan industri lurik tradisional, dikarenakan posisinya sebagai aspek pendukung dalam pengembangan desa wisata, seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar 3.1: Bagan Pengaruh Industri Lurik Tradisional Desa Tlingsing Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing Berdasarkan Teori

(Peneliti, 2018)

Namun berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis regresi linier sebelumnya, pengaruh pola jejaring industri lurik tradisional terhadap pengembangan Desa Wisata Tlingsing yang terbentuk adalah sbagai berikut:

Gambar 4.2: Bagan Hasil Pengaruh Industri Lurik Tradisional Desa Tlingsing Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing (Peneliti,

2018)

Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 49

Ketika merujuk pada teori di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh yang ditimbulkan oleh pola jejaring industri lurik tradisional terhadap pengembangan Desa Wisata Tlingsing masih belum sepenuhnya sesuai dengan teori-teori tersebut. Namun, semua indikator-indikator pengembangan Desa Wisata Tlingsing di atas telah terdapat pengaruh yang ditimbulkan dari pola jejaring industri lurik tradisional Desa Tlingsing mulai dari pengaruh kuat hingga pengaruh lemah.

Bab 4

Studi Kasus II:

Analisis Ketersediaan

Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ATBM Desa Tlingsing, Klaten

Kabupaten Klaten merupakan kabupaten yang terkenal dengan produk lurik. Lurik yang paling diminati yakni lurik dari Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hal tersebut karena kualitas lurik ATBM lebih baik dibandingkan dengan lurik hasil pekerjaan mesin. Salah satu kawasan industri lurik ATBM terbesar di Kabupaten Klaten yakni di Desa Tlingsing, Kecamatan Cawas. Setiap bulan permintaan lurik ATBM yang diproduksi Desa Tlingsing dapat mencapai 3000 meter. Selain itu, hasil produksi lurik ATBM Desa Tlingsing sangat terkenal bahkan hingga ke luar negeri. Proses produksi lurik ATBM yang rumit juga menjadi daya tarik tersendiri untuk kunjungan wisata. Setiap bulan terdapat kunjungan wisata oleh pelajar maupun mahasiswa yang ingin mempelajari proses produksi lurik Pembelajaran proses produksi lurik dijadikan sebagai media untuk mempromosikan lurik ATBM Desa

Tlingsing sehingga pemasaran lurik ATBM semakin meluas. Supaya seluruh kegiatan yang berlangsung di Desa Tlingsing dapat berjalan dengan baik harus didukung dengan infrastruktur yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan industri lurik di Desa Tlingsing.

Ketersediaan infrastruktur merupakan faktor penting kawasan industri lurik. Infrastruktur berperan dalam keberlangsungan sistem ekonomi dan sistem sosial. Infrastruktur juga berperan dalam memenuhi kebutuhan kegiatan di dalam kawasan industri (Dirdjojuwono, 2004).

Infrastruktur sangat dibutuhkan baik untuk kawasan industri skala besar maupun industri skala kecil. Namun, Desa Tlingsing dalam pengembangan kawasan industri lurik ATBM memiliki kendala dalam ketersediaan infrastruktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan infrastruktur di Desa Tlingsing dalam memenuhi kebutuhan kawasan industri lurik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis skoring dan hasil dari penelitian ini adalah pelayanan infrastruktur dalam memenuhi kebutuhan kawasan industri lurik ATBM.

A. Karakteristik Infrastruktur Kawasan Desa Wisata Lurik

Desa Tlingsing merupakan salah satu desa di Kabupaten Klaten yang memiliki kelompok industri lurik. Desa Tlingsing merupakan desa dengan pemusatan kegiatan industri lurik ATBM terbesar di Kabupaten Klaten. Kegiatan industri lurik ATBM di Desa Tlingsing berlangsung setiap hari dan tidak bersifat musiman. Selain itu, di Desa Tlingsing tersedia infrastruktur yang meliputi jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan pembuangan air dan jaringan telekomunikasi.

Menurut UU No. 3 Tahun 2014 kawasan industri merupakan pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa kriteria kawasan industri yakni adanya pemusatan kelompok industri, adanya

Bab 4 Studi Kasus II: Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ATBM 53

kegiatan industri serta ketersediaan sarana dan prasarana (infrastruktur). Berdasarkan teori tersebut dan kondisi Desa Tlingsing dapat diketahui bahwa Desa Tlingsing merupakan kawasan industri karena memenuhi atau sesuai dengan kriteria-kriteria kawasan industri.

Kawasan industri lurik ATBM di Desa Tlingsing memiliki 250 unit usaha.

Unit usaha tersebut merupakan unit usaha rumah tangga karena hanya memiliki sedikit tenaga kerja pada setiap unit usaha dan pekerja tersebut merupakan anggota keluarga sendiri. Selain itu, teknologi yang digunakan sangat sederhana yakni menggunakan alat tenun bukan mesin. Industri kecil merupakan industri dengan skala kecil baik produksi, modal dan tenaga kerja serta teknologi yang sederhana (Abdurachmat, 1997). Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui bahwa Desa Tlingsing merupakan kawasan industri kecil dengan unit usaha skala rumah tangga. Dari uraian tersebut diketahui bahwa Desa Tlingsing merupakan desa wisata berbasis industri kecil skala rumah tangga

Menurut Smith (1981), kawasan industri merupakan suatu tempat yang telah ditentukan dan berisi kelompok-kelompok kegiatan yang mementingkan kegiatan produksi dan kegiatan pemasaran atau hubungan timbal balik. Menurut Triyanto (2012) kegiatan produksi kain lurik tradisional (ATBM) melalui beberapa proses yang cukup rumit menggunakan pekerjaan tangan. Proses awal dari pemilihan bahan baku kemudian pencucian, pewarnaan, pengkanjian, penguapan, penjemuran, pemintalan, penggulungan pertama (nyekir), penggulungan kedua (nge-bum), dan menenun. Kegiatan produksi di Desa Tlingsing dilakukan di setiap rumah pengrajin lurik ATBM di Desa Tlingsing. Para pengrajin melakukan kegiatan pencucian, pewarnaan, pengkanjian, penguapan, penjemuran, pemintalan, penggulungan pertama (nyekir), penggulungan kedua (nge-bum), dan menenun di rumah masing-masing dan pemilihan bahan baku di Pasar Pedan dan Pasar Cawas. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa Desa Tlingsing merupakan pusat kegiatan produksi lurik karena memenuhi kriteria atau sesuai dengan teori mengenai kegiatan produksi lurik ATBM.

Selain kegiatan produksi, kegiatan di kawasan industri lurik yakni kegiatan pemasaran. Para pengrajin lurik di Desa Tlingsing menjual hasil produksi mereka ke showroom yang ada di Desa Tlingsing. Pengelola showroom melakukan upaya promosi produk lurik ATBM melalui website dan media sosial. Dari kegiatan promosi tersebut mengundang konsumen dari luar kawasan untuk mengunjungi Desa Tlingsing untuk membeli produk lurik ATBM. Selain itu, dari kegiatan promosi konsumen melakukan pemesanan secara online kemudian distribusi barang dilakukan oleh pengelola showroom dari Desa Tlingsing menuju lokasi pembeli dengan menggunakan jasa pengiriman barang. Selain itu, kegiatan promosi juga dilakukan dalam bentuk pengenalan produk melalui pembelajaran proses produksi lurik yang diadakan di salah satu rumah pengrajin lurik di Desa Tlingsing. Menurut Kotler dan Armstrong (2008) kegiatan pemasaran merupakan proses sosial untuk memenuhi kebutuhan dengan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain (jual beli). Kegiatan pemasaran meliputi kegiatan promosi, distribusi dan penjualan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Desa Tlingsing merupakan pusat kegiatan pemasaran lurik karena sesuai dengan teori tersebut di mana terdapat kegiatan promosi, distribusi dan penjualan lurik.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa karakteristik infrastruktur di Desa Tlingsing memiliki karakteristik infrastruktur kawasan industri kecil skala rumah tangga. Hal tersebut karena infrastruktur yang ada berfokus pada pemenuhan kebutuhan untuk kegiatan produksi dan pemasaran di kawasan industri lurik.

B. Peran Infrastruktur dalam

Pengembangan Kawasan Industri Lurik sebagai Desa Wisata

Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa di kawasan industri lurik ATBM di Desa Tlingsing tersedia jaringan jalan, jaringan air bersih,

Dokumen terkait