• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Zikir Terhadap Kesehatan

Dalam dokumen KONSEP DZIKIR DALAM AL-QURAN .pdf (Halaman 85-95)

BAB 4 KONSEP DAN IMPLIKASI DZIKIR

B. Implikasi Zikir Terhadap Kesehatan

keutamaan berdzkir kepada Allah di waktu pagi, sore itu lebih utama dari paada menghunuskan pedang di jalan Allah.

Selain itu berzikir mengandung hikmah yang besar seperti, kehidupan menjadi lebih mesra, menambah keimanan, pengabdian, kejujuran, dan ketabahan, serta dapt mengendalikan diri dari nafsu yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan. Dalam menunjang pelaksanaan zikir maka diperlukan kesungguhan atau yang sering disebut mujahadah, mujahadah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan zikir yang ada dalam dakwah Islamiyah. Sedangkan dakwah itu sendiri memiliki arti mendorong manusia untuk berbuat baik dan menurut petunjuk dan perintahkan untuk berbuat baik dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.38

Orang yang bertipe agresif cenderung terkena serangan jantung dan stroke. Hal ini disebabkan hormon- hormon yang berfungsi tidak seimbang, kelebihan maupun kekurangan hormon akan berpengaruh buruk bagi kesehatan. Apabila jiwa telah dikuasai oleh kemarahan dan kepanikan, maka akan berpengaruh pada biologi tubuh dan sistem saraf.

Pentingnya agama dalam kesehatan dapat dilihat dari batasan Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO, 1984) yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehatan seutuhnya. Bila sebelumnya pada tahun 1947 WHO memberikan batasan sehat hanya dari 3 aspek saja, yaitu sehat. dalam. arti. fisik. (organobiologik),. sehat. dalam.

arti mental (psikologik/psikiatrik) dan sehat dalam arti social; maka sejak 1984 batasan tersebut sudah ditambah dengan aspek agama (spiritual), yang oleh American Psychiatric Association dikenal dengan rumusan “bio- psycho-socio-spiritual”

Bila dikaji secara mendalam, maka sesungguhnya dalam Islam banyak ayat maupun hadis yang memberikan tuntunan agar manusia sehat seutuhnya, baik dari segi fisik,. kejiwaan,. sosial. maupun. kerohanian.. Sebagai.

contoh misalnya :

ِينِف ْشَىي َىوُهَىف ُت ْضِرَىم اَىذِإ َىو

“Dan bila aku sakit Dia-lah yang menyembuhkan”

(Qur’an Surat Asy Syu’araa’ ayat 80).

Dalam Islam bagi mereka yang sakit dianjurkan untuk berobat kepada ahlinya (memperoleh terapi medis) disertai dengan berdoa dan berdzikir. Bagi pemeluk agama Islam doa dan dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen keagamaan/ keimanan seseorang.

Doa adalah permohonan yang dimunajatkan ke hadlirat Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Dzikir adalah mengingat Allah swt dengan segala sifat-sifat-Nya.

Dengan demikian yang dimaksudkan dengan “Doa dan Dzikir” adalah suatu amalan dalam bentuk kata-kata yang diucapkan secara lisan ataupun dalam hati yang berisikan permohonan kepada Allah SWT dengan selalu mengingat nama-Nya dan sifat-Nya.

Pengertian “Dzikir” tidak terbatas pada bacaan dzikirnya itu sendiri dalam arti sempit, melainkan meliputi segala bacaan, sholat ataupun perilaku kebaikan lainnya sebagaimana yang diperintahkan dalam agama.

Dipandang dari sudut kesehatan jiwa, doa dan dzikir mengandung unsur psikoterapeutik yang mendalam. Terapi psikoreligius tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan psikoterapi psikiatrik, karena ia mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme.

Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri (self confident) dan optimisme merupakan dua hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit disamping obat-obatan dan tindakan medis lainnya.

Dua studi epidemiologik yang dilakukan oleh ilmuwan Lindenthal (1970) dan Star (1971), menunjukkan bahwa mereka (penduduk) yang religius (beribadah, berdoa dan berdzikir) resiko untuk mengalami stres jauh lebih kecil daripada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Comstock, et. al.

(1972) sebagaimana termuat dalam Journal of Chronic Diseases (1972), menyatakan bahwa mereka yang melakukan kegiatan keagamaan secara teratur disertai dengan doa dan dzikir, ternyata resiko kematian akibat penyakit jantung koroner lebih rendah 50%, sementara kematian akibat emphysema (penggelembungan paru) lebih rendah 56%, kematian akibat cirrhosis hepatis (penyakit pengerasan hati) lebih rendah 74% dan kematian akibat bunuh diri lebih rendah 53%.

Clinebell (1980) dalam penelitiannya yang berjudul

“The Role of Religion in the Prevention and Treatment of Addiction” menyatakan antara lain bahwa setiap orang apakah ia seorang yang beragama atau sekuler sekalipun mempunyai kebutuhan dasar yang sifatnya kerohanian (basic spiritual needs). Setiap orang membutuhkan rasa aman, tenteram, terlindung, bebas dari stres, cemas, depresi dan sejenisnya. Bagi mereka yang beragama (yang menghayati dan mengamalkan), kebutuhan rohani ini dapat diperoleh lewat penghayatan dan pengamalan keimanannya. Namun, bagi mereka yang sekuler jalan yang ditempuh adalah lewat penyalahgunaan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya), yang pada

gilirannya dapat menimbulkan dampak negatif pada diri, keluarga dan masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Cancerellaro, Larson dan Wilson (1982) terhadap pasien-pasien NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif ) dan gangguan jiwa Skizofrenia, menyatakan bahwa komitmen agamanya tidak ada atau kurang.

Dalam penelitian tersebut diperoleh data bahwa terapi medik-psikiatrik yang diberikan tidak memperoleh hasil yang optimal bila tanpa disertai dengan terapi keagamaan (terapi psikoreligius), yaitu dengan doa dan dzikir. Dengan diikutsertakan mereka dalam kegiatan keagamaan seperti berdoa dan berdzikir (selain diberikan terapi medik-psikiatrik), maka hasilnya jauh lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Stack, Stark, Doyle dan Rushing (1983) mengenai hubungan agama dan bunuh diri mendukung hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh ilmuwan Comstock dan Partridge (1972).

Penelitian oleh Comstock dan Partridge itu terhadap kasus-kasus bunuh diri menyatakan bahwa mereka yang tidak religius (tidak beribadah, berdoa dan berdzikir) resiko untuk bunuh diri 4 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang religius. Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Stack, Stark, Doyle dan Rushing dikemukakan bahwa semakin menurun minat terhadap agama (religiusitas) penduduk secara nasional, dapat merupakan petunjuk akan meningkatnya angka bunuh diri secara nasional.

Hasil penelitian di atas didukung oleh peneliti lain yaitu Breault dan Barkley (1983), dalam studinya itu menunjukkan bahwa religiusitas penduduk lebih merupakan indikator dan faktor yang lebih efektif dalam hubungannya dengan angka bunuh diri daripada hubungan bunuh diri dengan faktor pengangguran.

Bahkan secara nasional disebutkan bahwa kemitmen agama atau religiusitas penduduk dapat dijadikan barometer angka bunuh diri.

House, Robbins dan Metzner (1984) melakukan suatu studi selama 8-10 tahun terhadap 2.700 orang.

Hasil studinya itu menunjukkan bahwa mereka yang rajin menjalankan ibadah, berdoa dan berdzikir, angka kematian (mortality rate) jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalankan ibadah, berdoa dan berdzikir.

Hal serupa dilakukan oleh terhadap orang-orang lanjut usia (lansia) oleh peneliti Zuckerman, Kals dan Ostfield. (1984).. Dari. hasil. penelitiannya. itu. diperoleh.

data bahwa para lansia yang religius banyak berdoa dan berdzikir ternyata usianya lebih panjang. Para lansia yang tidak menjalankan ibadah, berdoa dan berdzikir angka kematiannya 2 kali lebih besar dibandingkan dengan dengan mereka (lansia) yang rajin beribadah, bedoa dan berdzikir.

Larson, et. al. (1989) melakukan penelitian terhadap para pasien yang menderita hipertensi (tekanan darah tinggi), dibandingkan dengan kelompok kontrol (bukan pasien hipertensi); diperoleh kenyataan bahwa komitmen

agama kelompok kontrol lebih kuat. Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan seperti berdoa dan berdzikir dapat mencegah seseorang menderita penyakit hipertensi. Hal serupa dilakukan oleh dua orang peneliti yaitu Levin dan vanderpool (1989) terhadap para pasien yang menderita penyakit jantung dan pembuluh darah (cardiovasculer diseases). Dari hasil penelitiannya itu diperoleh kesimpulan bahwa kegiatan keagamaan (peribadatan) yaitu berupa berdoa dan berdzikir akan memperkecil resiko seseorang untuk menderita penyakit jantung dan pembuluh darah

Sejauh mana agama baik bagi kesehatan, hal ini diungkapkan oleh Moore, et. al. (1990) dalam penelitiannya yang berjudul “Youthful Precursors of Alcohol Abuse in Physicians”. Dari hasil penelitiannya itu diperoleh kesimpulan bahwa mahasiswa kedokteran yang tidak mempunyai komitmen agama akan beresiko 4 kali lebih besar terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan minuman keras (alcohol abuse and dependence).

Suatu penelitian terhadap pasien-pasien yang akan menjalani operasi dilakukan oleh Larson et. al. (1992) hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pasien-pasien lanjut usia dan religius (banyak berdoa dan berdzikir) kurang mengalami rasa ketakutan atau kecemasan terhadap operasi yang akan dijalaninya. Mereka tidak merasa takut mati serta tidak menunda-nunda jadwal operasi. Temuan ini berbeda dengan pasien-pasien yang muda usia dan tidak religius dalam menghadapi operasi;

mereka mengalami ketakutan, kecemasan dan takut mati serta seringkali menunda-nunda jadwal operasi.

Penelitian lain yang telah dilakukannya berjudul

“Religious Commitment and Health” (APA, 1992) menyimpulkan bahwa komitmen agama amat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak jatuh sakit, meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit, serta mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan.

Oxman, et. al. (1995) dalam penelitiannya terhadap pasien-pasien yang akan menjalani operasi jantung, mengungkapkan pentingnya faktor komitmen keagamaan pasien bagi keberhasilan operasi. Dalam penelitiannya itu dikemukakan bahwa salah satu faktor prediksi yang kuat bagi keberhasilan operasi jantung (artinya pasien tetap hidup) adalah sejauh mana tingkat keimanan pasien. Dari studi ini terbukti bahwa semakin kuat keimanan seseorang semakin kuat proteksinya terhadap kematian akibat operasi yang dijalaninya.

Matthews (1996) dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat, menyatakan dalam pertemuan tahunan the American Association for the Advancement of Science (1996) antara lain bahwa mungkin suatu saat kita para dokter selain menuliskan resep obat, juga akan menuliskan doa dan dzikir pada kertas resep sebagai pelengkap. Selanjutnya dikemukakan bahwa dari 212 studi yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya, ternyata 75% menyatakan bahwa komitmen agama (berdoa dan berdzikir) menunjukkan pengaruh positif pada pasein; hanya 7% yang berkesimpulan bahwa agama tidak baik bagi kesehatan. Selanjutnya dikemukakan manfaat terapi keagamaan ini terutama sangat baik pada

penderita NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif ), depresi, kanker, hipertensi (tekanan darah tinggi) dan penyakit jantung.

Levin (1996) dari Eastern virginia Medical School melakukan studi terhadap 393 pasien jantung di San Fransisco, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas doa dan dzikir. Kelompok pasien jantung dibagi dalam 2 kelompok secara acak (random), yaitu kelompok mereka yang memperoleh terapi doa dan dzikir dan kelompok mereka yang tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok mereka yang memperoleh terapi doa dan dzikir, ternyata sedikit sekali mengalami komplikasi sementara kelompok mereka yang tidak memperoleh terapi doa dan dzikir banyak timbul berbagai komplikasi dari penyakit jantungnya itu. Dari hasil temuan tersebut di atas meskipun belum dapat diterangkan dari sudut ilmu pengetahuan kedokteran, disimpulkan bahwa bila Tuhan menyembuhkan hal tersebut semata-mata karena keimanan seseorang terhadap kekuasaan-Nya.

Suatu survey yang dilakukan oleh majalah TIME dan CNN serta USA Weekend (1996), menyatakan bahwa lebih dari 70 pasien percaya bahwa keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, doa dan dzikir dapat membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit. Sementara itu lebih dari 64% pasien menyatakan bahwa para dokter hendaknya juga memberikan terapi keagamaan (terapi psikoreligius) antara lain dalam bentuk berdoa dan berdzikir. Dari penelitian ini terungkap bahwa sebenarnya para pasien membutuhkan terapi keagamaan, selain terapi dengan obat-obatan dan tindakan medis lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Snyderman (1996) terhadap hubungan antara komitmen agama dan ilmu pengetahuan (terapi medis) mendukung temuan-temuan sebelumnya; sehingga kesimpulannya adalah bahwa terapi medis saja tanpa disertai dengan doa dan dzikir, tidaklah lengkap; sebaliknya doa dan dzikir saja tanpa disertai terapi medis, tidaklah efektif.

Sebagaimana halnya dengan Levin (1996) maka Harris (1999) melakukan penelitian terhadap pasien- pasien penderita penyakit jantung. Penelitian dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Mid American Heart Institute terhadap pasien jantung yang dirawat di ruang rawat intensif. Para pasien jantung tersebut dibagai dalam 2 kelompok secara acak (random), terkontrol dan samar ganda. Kelompok pertama sebanyak 466 orang yang mendapatkan doa dan dzikir secara intensif setiap hari selama 28 hari; dan kelompok kedua sebanyak 524 orang lainnya sebagai kelompok kontrol. Sekelompok rohaniawan melakukan doa dan dzikir bersama untuk masing-masing pasien dari kelompok pertama; mereka tidak tahu secara rinci pasien-pasien itu dan hanya mengetahui nama-nama depannya saja. Sementara pasien-pasien itu sendiri dan juga dokter yang merawatnya tidak mengetahui percobaan yang dilakukan oleh para rohaniawan tersebut.

Hasil dari penelitian tersebut ternyata bahwa komplikasi yang membutuhkan pengobatan lebih lanjut atau tindakan bedah 11% lebih rendah pada kelompok pertama dibandingkan dengan kelompok kedua, dan perbedaan ini secara statistik sangat bermakna. Meskipun

temuan ini tidak dapat diterangkan secara ilmiah kedokteran, tetapi bisa saja doa dan dzikir itu bagaikan generator yang mampu membangkitkan kekuatan penyembuhan bagi pasien.

Kendler et. al. (1997) dalam penelitiannya yang berjudul “Religion, Psychopathology, Substance Use and Abuse”, mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pendahulunya (Clinebell, 1980). Disebutkan bahwa pada para penyalahguna NAZA telah kehilangan “basic spiritual needs”, dan untuk mengisi kebutuhan yang

“hilang” itu digantikan dengan mengkonsumsi NAZA.

Christy (1998) dalam penelitiannya yang berjudul

“Prayer as Medicine” mendukung kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh pendahulunya (Snyderman, 1996);

yang menyatakan bahwa doa dan dzikir juga merupakan

“obat” bagi penderita selain obat dalam pengertian medis.

Sehingga, kesimpulan yang dikemukakannya adalah bahwa “medicine” yang diberikan kepada penderita mengandung dua arti yaitu “prayer” dan “drugs”.

Drugs yang dimaksud disini adalah medicine dan bukan NAZA.

Ironson (2000) melakukan penelitian pada penderita HIv/AIDS untuk mengetahui sejauhmana pengaruh terapi keagamaan (terapi psikoreligius) terhadap kekebalan tubuh penderita. Kelompok penderita dibagi 2, yaitu kelompok pertama terdiri dari 71 orang dan kelompok kedua terdiri dari 121 orang. Pada kedua kelompok tersebut mempunyai jumlah T-sel yang sama (yaitu jumlah sel darah putih yang berperan bagi

kekebalan tubuh). Kelompok pertama dalam riwayat kehidupannya banyak menjalankan kegiatan keagamaan, sementara pada kelompok kedua tidak. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa usia kelompok pertama lebih panjang dari kelompok kedua. Kesimpulan yang diambil oleh Ironson (2000) adalah bahwa agama mempunyai peran yang penting dalam memperpanjang usia (umur) seseorang yang menderita HIv/AIDS.

Abernethy (2000) dalam penelitiannya yang berjudul “Psychoneuroimmunology, Spirituality and Medicine” menyatakan adanya hubungan yang positif antara kekebalan tubuh dengan spiritualitas (agama).

Dengan cabang ilmu psikoneuroimunologi yang ditekuninya itu terbukti bahwa tingkat spiritualitas atau keimanan seseorang dapat meningkatkan kekebalan yang bersangkutan terhadap penyakit dan mempercepat penyembuhan bersamaan dengan terapi medis yang diberikan.39

Dalam ilmu kedokteran, sistem saraf dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat terdiri atas otak dalam tengkorak dan medulla spinalis yang menjalar di dalam kolumna vertebra dan memanjang ke otak. Pusat komunikasi di dalam sistem saraf pusat dan berbagai saluran saraf memungkinkan respons sadar atau tidak sadar terhadap stimulus sensoris. Sistem saraf perifer dibentuk dari jaringan saraf dan organ-organ pengindra

39 Dadang Hawari, www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/

read/2015/02/24/39414/4-golongan-manusia-menurut-imam-al-ghazali.

html, di kutip tanggal 20 Juni 2015

yang mendapat informasi dari seluruh tubuh dan meneruskannya ke otak.40

Otak sebagai sistem saraf pusat mengendalikan seluruh sistem tubuh. Jadi tujuan persarafan untuk memberikan respons terhadap perubahan eksternal maupun internal, manakala kondisi di dalam dan di luar tubuh secara terus-menerus berubah, dengan demikian persarafan ini akan mampu mengadaptasi sendiri terhadap reaksi-reaksi tubuh. Sistem saraf ini. berfluktuasi. dengan. pikiran,. perilaku. dan. aktivitas.

motorik tubuh. Sedangkan spinal cord yang bekerja secara fungsional menyeimbangkan sistem tubuh secara fisik.maupun.mental.dan.menciptakan.kesehatan.secara.

neurofisiologis dan eurobiologis.

Sebuah penelitian di cabang Psikoneuroimunologi (PNI), mencatat dengan cermat bahwa ketiga daerah meliputi pikiran, sistem saraf dan sistem kekebalan saling mempengaruhi satu sama lain, khususnya dalam memulihkan rasa sakit dan cedera. Apa yang kita pikirkan dan kita rasakan mempengaruhi sistem-sistem lainnya, khususnya sistem kekebalan melalui kelenjar endokrin. Apabila seseorang merasa cemas mengenai sesuatu, maka hal ini akan merangsang sistem saraf simpatik, yaitu bagian dari sistem saraf yang menjadi aktif apabila dalam keadaan darurat atau stress. Pada gilirannya, sistem saraf simpatik ini akan semakin meningkatkan dan memperburuk dampak dari stress,

40 Paul D. Anderson, Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia, Terj. Ni Luh Gede YasminAsih, Kedokteran EGC, Jakarta, 1996, hlm.101

termasuk. gejala-gejala. emosional. dan. fisik. akan. suatu.

penyakit. Kecemasan yang ada akan menimbulkan rangsangan pada sistem saraf simpatik melalui hubungan pikiran dan tubuh, ini karena efek sistem saraf simpatik terjadi akibat adanya hormon adrenalin yang jumlahnya berlebihan. Hormon adenalin ini memicu berkembangnya sejumlah penyakit seperti kecemasan, ketakutan, marah sehingga mempercepat denyut jantung, menegangkan otot, pernafasan menjadi kencang, dan meningkatkan tekanan darah.

Untuk mengobati masalah kesehatan yang disebabkan oleh zat-zat tubuh penghasil stress, dokter akan meresepkan obat yang disebut dengan obat

“pemblokir beta” yang sebagian akan menghambat dampak dari hormon- hormon tersebut. Namun dalam hal ini, ada jalan lain untuk mencapai hasil serupa yaitu dengan “respon relaksasi”. Tehnik dengan cara mengistirahatkan pikiran dan otot-otot tubuh ini, dapat dicapai dengan terapi zikir. Apabila respon relaksasi ini dilakukan dengan benar, maka akan mempertebal keyakinan akan kemampuan untuk sembuh. Karena zikir mampu mengendalikan stress sehingga tidak sampai rasa marah atau ketakutan itu muncul karena hormon penyebab stress dapat dikendalikan. Dengan berzikir ini, produksi hormon menjadi seimbang dan meminimalisasi terjadinya gangguan penyakit. Dengan melakukan zikir secara khusuk dan teratur akan memberikan ketenangan batin sehingga akan meningkatkan kesehatan. Jadi dengan mengkombinasikan zikir dan keyakinan pada kekuatan Sang Pencipta-Allah SWT seseorang dapat

memanfaatkannya bersama dengan kepercayaan diri akan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri.

Zikir ini sangat cocok dilakukan untuk relaksasi seseorang yang sedang dilanda stress, depresi dan kecemasan karena pikiran dan tubuh dapat berinteraksi dengan cara yang sangat beragam untuk menimbulkan kesehatan. Efek zikir bagi otak akan mengkondisikan gelombang alfa (7-14 Hertz yaitu keadaan yang tenang dan.meditatif).yang.berfluktuasi.pada.kondisi.kesehatan.

secara jasmani dan rohani. Menjadi sasaran zikir dapat merangsang tanggapan dari kelenjar endokrin atau sistem kekebalan tubuh yang mempercepat proses penyembuhan. Kelenjar endokrin ini memproduksi hormon. Produk ini langsung dimasukkan ke dalam saluran pembuluh darah, karena kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran.

Sedangkan secara garis besar hormon-hormon yang diproduksi oleh kelenjar endokrin mempunyai fungsi :

Memelihara

1. milieu interior yang termasuk didalamnya adalah pengaturan cairan, kofaktor dan enzim agar menjamin suasana yang optimal dalam proses biokimiawi seluler.

Mengatur mekanisme tubuh dalam menghadapi 2. berbagai perubahan seperti keadaan darurat, kelaparan, infeksi, trauma, stress mental, dan lain- lain.

Berperan pada proses pembentukan sel-sel dan 3. pertumbuhan.

Beberapa hormon tertentu berperan dalam proses 4. reproduksi termasuk gemetogenesis, koitus, fertilisasi

dan mempertahankan gizi janin.41

Dengan zikir disertai tawakal serta ikhtiar merupakan gambaran jiwa yang tenang, sehingga menekankan kemungkinan timbulnya berbagai penyakit yang secara umum dipicu oleh endapan racun tubuh dan membantu menjaga keseimbangan sirkulasi darah yang akan mendukung kinerja seluruh organ tubuh, sehingga akan memberikan efek kekebalan tubuh meningkat sehingga seseorang tidak mudah jatuh sakit atau mempercepat proses penyembuhan. Faktor Penunjang dan Penghambat Terapi Zikir

1. Faktor Penghambat a. Dosa yang Diperbuat

Zikir akan bermanfaat bagi dzakir, apabila zikir yang diamalkan diterima oleh Allah SWT. Seorang yang berzikir akan didengar oleh Hafadzah (para malaikat yang mengawal kita). Apabila zikir pergi meninggalkan hati karena dzakir meninggalkan sama sekali dalam zikir (yakni Allah), maka akan hilanglah zikir kita dari perasaan Hafadzah dan sia-sialah amalan zikir tersebut.

Orang yang sering melakukan maksiat karena dosa yang dilakukan menyebabkan lemahnya hati, terlihat seseorang itu malas melakukan ibadah dan amal shalih. Mengenai lemahnya tubuh, jelaslah bahwa kekuatan jasmani akibat

41 Rahman Sani, Hikmah Dzikir dan Doa: Tinjauan Ilmu Kesehatan, Al- Mawardi Prima, Jakarta, 2002, hlm.38

dari kekuatan hati. Fakta ini terjadi dalam sebuah kasus yang dialami salah seorang wanita yang terserang kanker, mengakui bahwa dia pernah berselingkuh dengan lelaki lain. Karena secara psikologis dia merasa bersalah telah menggugurkan kandungan hasil dari perselingkuhan tersebut. Maka perasaan berdosa terus menghantui hati dan pikirannya, sehingga dia menjalani kehidupan rumah-tangganya dengan perasaan tidak tenang. Karena dihinggapi perasaan ketakutan dan pikiran yang tertekan maka muncullah penyakit kista.

Ketika dalam proses zikir, seseorang harus benar-benar menghilangkan segala bentuk maksiat, apabila maksiat masih dilakukan akan sulit dalam proses penyembuhan, karena Allah masih memberikan cobaan.

Dilihat dari segi medis, psikologis, dan moral agama, maksiat yang dilakukan memberikan pengaruh negatif dalam diri manusia sebagai balasan azab dari Allah. Al- Quran menegaskan dalam Firman Allah SWT Surat Asy- Syuura ayat 30 :

ْم ُكيِدْيَىأ ْتَىب َىسَىك َىمِبَىف ٍةَىبي ِصُم ْنِم ْم ُكَىبا َىصَىأ اَىم َىو

ٍيرِثَىك ْنَىع وُفْعَىي َىو

Artinya : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahanmu Apabila manusia terus-menerus melakukan dosa dan tidak mau bertobat maka kefasikan yang akan terjadi, sehingga orang yang bermaksiat menjadi hina dihadapan

Dalam dokumen KONSEP DZIKIR DALAM AL-QURAN .pdf (Halaman 85-95)

Dokumen terkait