pendapatan perkapita. Jadi, dalam Indeks Pembangunan Manusia, kalau kita melihat pada pendapatan perkapita saja, itu hanya melihat kemajuan atau status ekonomi negara berdasarkan pendapatan per tahun. Kalau seperti berdasarkan besaran empat faktor tersebut, dimensinya jauh lebih beragam. Karena yang dipentingkan di sini ialah kualitas hidup (Suhartono, 2006).
KOMPONEN PENGHITUNGAN IPM
Komponen IPM terdiri dari usia harapan hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living).
Komponen usia hidup diukur dengan Angka Harapan Hidup (e0), komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata- rata lama bersekolah, sedangkan komponen standar hidup layak diukur dengan rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan.
Angka Harapan Hidup dihitung menggunakan metode tidak langsung menggunakan metode Brass Varian Trussel, dengan life tabel Coale-Demeney West Model. Data dasar yang digunakan adalah RALH dan RAMH menurut kelompok umur ibu (15-19, 20-24,….,45-49).
Angka Melek Huruf penduduk usia 15 tahun keatas diolah dari hasil Susenas Kor pada variabel umur dan kemampuan baca tulis penduduk. Seseorang dikatagorikan mampu baca tulis jika ia mampu membaca dan menulis sesuatu huruf.
ANGKA HARAPAN HIDUP
Komponen angka harapan hidup diharapkan mampu menggambarkan keadaan lama hidup sekaligus hidup sehat dari masyarakat. Angka harapan hidup yang tinggi dianggap mencerminkan kesejahteraan penduduk yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena harapan hidup merupakan resultan dari berbagai faktor lain dari derajat sosial ekonomi penduduk.
Secara empiris terlihat bahwa pada masyarakat yang tingkat ekonominya baik terdapat kecenderungan harapan hidupnya tinggi.
Karena pada masyarakat yang demikian, akses dari pelayanan terhadap kesehatan lebih memadai dibandingkan bila kondisi ekonominya tidak baik.
Hubungan positif juga ditunjukkan oleh tingkat pendidikan dimana semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, berarti semakin tinggi pula kesadaran mereka akan pentingnya hidup sehat, dan pada akhirnya akan memperpanjang usia harapan hidup mereka. Upaya mendidik kaum perempuan terbukti sebagai kunci untuk menghancurkan lingkaran setan kesehatan anak yang buruk, kinerja
pendidikan yang rendah, pendapatan yang minim, serta tingkat fertilitas yang tinggi (Todaro, 2000).
Gambar 9.1
Peringkat Angka Harapan Hidup se Provinsi Aceh Tahun 2011 - 2012
Sumber: IPM Provinsi Aceh, 2012
Selama periode 2011-2012 angka harapan hidup penduduk Kabupaten Aceh Tamiang mengalami kenaikan dari 68,47 tahun menjadi 68,57 tahun. Angka 68,57 menunjukkan bahwa seseorang yang lahir pada 2012 mempunyai peluang rata-rata kelangsungan hidupnya selama 68,57 tahun ke depan. Berarti kualitas hidupnya meningkat, seperti pemenuhan makanan lebih baik, kesehatan terjaga, dan sebagainya sehingga membuat lama hidupnya bertambah.
Dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainnya, Aceh Tamiang berada di pertengahan karena angka harapan hidup terendah pada tahun 2012 adalah 63,12 tahun untuk Kabupaten Simeulue.
Sebaliknya, angka harapan hidup tertinggi adalah penduduk Kabupaten Bireuen yang mencapai 72,43 tahun disusul Kota Sabang (71,59 tahun).
Namun demikian, jika dibandingkan dengan angka harapan hidup Provinsi Aceh ternyata harapan hidup penduduk Kabupaten Aceh Tamiang masih lebih rendah. Angka harapan hidup Provinsi Aceh tercatat 68,94 tahun pada 2012. Sementara itu angka harapan hidup
58.00 60.00 62.00 64.00 66.00 68.00 70.00 72.00 74.00
ACEH Aceh Singkil Aceh Tenggara Aceh Tengah Aceh Besar Bireuen Aceh Barat Daya Aceh Tamiang Aceh Jaya Pidie Jaya Kota Sabang Kota Lhokseumawe
2011 2012
penduduk Indonesia secara umum juga masih lebih tinggi yaitu 69,87 tahun.
Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa kondisi kesehatan penduduk Kabupaten Aceh Tamiang tidak lebih baik dari kondisi penduduk di Provinsi Aceh dan bahkan penduduk Indonesia secara keseluruhan. Karena gizi, kesehatan, pendidikan, keterampilan dan pengetahuan merupakan faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia maka pembangunan faktor-faktor tersebut harus dilakukan. Hal ini disebut sebagai pembentukan modal insani, yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seluruh penduduk negara (Jhingan, 1983).
ANGKA MELEK HURUF DAN RATA- RATA LAMA SEKOLAH
Kedua indikator ini diharapkan mampu mencerminkan tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk. Angka melek huruf untuk keperluan ini adalah angka melek huruf penduduk 15 tahun keatas sehingga diharapkan tidak terjadi bias oleh penduduk usia anak-anak.
Kemampuan baca tulis dan menyerap informasi sangat penting, karena literasi merupakan komponen dasar pengembangan manusia (Todaro, 1997).
Rata-rata lama bersekolah mencerminkan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan atau sedang dijalani oleh penduduk usia 25 tahun keatas. Pada usia ini dianggap penduduk sudah menyelesaikan seluruh pendidikannya sehingga tidak ada bias akibat penduduk muda.
Kemampuan baca tulis penduduk di Provinsi Aceh secara umum sudah baik, yaitu mencapai 96,99 persen. Angka itu lebih tinggi dari literasi Indonesia secara keseluruhan yang baru mencapai 93,25 persen pada tahun 2012. Sedangkan 3,01 persen penduduk provinsi di ujung Sumatera ini masih buta huruf dan kemungkinan besar adalah penduduk usia lanjut atau penduduk yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali.
Sementara itu angka literasi penduduk Kabupaten Aceh Tamiang sebesar 98,33 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan angka provinsi dan angka nasional. Ini menunjukkan bahwa komponen kualitas sumberdaya manusia khususnya dilihat dari angka melek huruf sudah mengalami peningkatan.
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan rata-rata lama bersekolah, salah satu komponen pembangunan manusia bidang pendidikan ini lebih baik daripada angka Provinsi Aceh maupun
Indonesia. Pada tahun 2011-2012 penduduk Kabupaten Aceh Tamiang menghabiskan waktunya untuk bersekolah sekitar 8, 86 tahun, sementara rata-rata lama sekolah Provinsi Aceh mencapai 8,90 tahun pada 2010-2011 dan 8,93 tahun pada 2011-2012. Sedangkan rata- rata lama sekolah nasional berturut-turut 7,94 tahun 2010-2011 dan 8,08 tahun 2011-2012. Waktu lama sekolah selama 8,86 tahun di Kabupaten Aceh Tamiang berarti rata-rata penduduk di Kabupaten Aceh Tamiang belum menamatkan pendidikan 9 tahun atau tamat SLTP, jadi mereka hanya sempat menduduki kelas 2 SLTP.
DAYA BELI
MASYARAKAT Kemampuan daya beli masyarakat diharapkan dapat terwakili oleh variabel konsumsi riil per kapita, yaitu rata-rata pengeluaran per kapita setahun yang sudah distandarkan dengan mendeflasikan dengan IHK. Selanjutnya variabel ini disesuaikan dengan menggunakan Formula Atkinson.
Gambar 9.2
Peningkatan Daya Beli Masyarakat se-Provinsi Aceh Tahun 2011 - 2012 (dalam ribuan rupiah)
Sumber: IPM Provinsi Aceh, 2012
Secara umum kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang maupun di seluruh kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh mengalami peningkatan. Dapat dilihat pada Gambar 9.2 bahwa kecenderungan peningkatan daya beli penduduk di Kabupaten Aceh Tamiang lebih tinggi daripada kecenderungan daya beli rata-rata
560.00 570.00 580.00 590.00 600.00 610.00 620.00 630.00 640.00 650.00
ACEH Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Piddie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Subulussalam 2011 2012
penduduk di Provinsi Aceh. Pada tahun 2012 variasi yang terjadi mencapai 4.330 rupiah dibandingkan dengan propinsi yang hanya 3.190 rupiah. Hal ini merupakan salah satu akibat dari diterapkannya formula Atkinson.
Namun bila dibandingkan dengan rata-rata daya beli penduduk, Kabupaten Aceh Tamiang masih rendah dibandingkan rata- rata daya beli di Provinsi Aceh. Pada tahun 2012, daya beli terendah di Provinsi Aceh adalah Rp. 594.860 di Kabupaten Aceh Timur dan yang tertinggi Rp 640.070 di Kota Lhokseumawe. Sedangkan daya beli penduduk Kabupaten Aceh Tamiang sekitar Rp. 607.120.
PERBANDINGAN PERINGKAT IPM
Dibandingkan dengan kabupaten/kota di Provinsi Aceh, posisi IPM Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2012 berada pada urutan ke-14 dari 23 kabupaten/kota. Dua daerah yang memiliki nilai IPM terendah adalah Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Gayo Lues dengan nilai IPM masing- masing sebesar 69,37 dan 68,54. Sedangkan Provinsi Aceh sendiri berada di peringkat 19 dari seluruh provinsi di Indonesia
Nilai IPM tertinggi diperoleh Kota Banda Aceh untuk tahun yang sama, yaitu 78,50. Kemudian disusul Kota Lhokseumawe yaitu 77,23, Kota Sabang 76,88, Kota Langsa 74,75, dan Kabupaten Aceh Tengah 74,42. Kelima daerah ini me mpunyai IPM di atas IPM provinsi 72,51 maupun nasional yang tercatat 73,29. Daerah lain dengan pencapaian IPM yang lebih tinggi dari angka provinsi dan nasional adalah Kabupaten Aceh Besar (74,13) dan Kabupaten Bireun (73,70).
Secara garis besar, daerah ka bupaten/kota tersebut dapat dikelompokkan menjadi kategori IPM tinggi dan rendah, dimana katagori tinggi jika IPM kabupaten/kota sama dengan atau lebih tinggi dari IPM provinsi. Dengan mengambil IPM Provinsi sebagai patokan, pengelompokan tersebut menjadi seperti terlihat pada Tabel dibawah.
Kabupaten/Kota yang termasuk dalam kelompok tinggi adalah Kota Lhokseumawe, Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kota Langsa, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireun, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie. Sementara daerah lain mempunyai IPM dalam kelompok rendah. Demikian pula Provinsi Aceh juga dalam katagori rendah jika dibandingkan dengan angka IPM nasional. Nilai IPM (2011- 2012) dikatakan tinggi bila besarnya sama dengan atau lebih tinggi
dari provinsi.
Bila pengamatan juga melibatkan variabel besarnya perubahan IPM, maka akan dapat dibuat suatu pengelompokan berdasarkan nilai IPM dan perubahannya. Perubahan disini adalah selisih IPM 2012 dikurangi IPM 2011 (dalam poin). Sedangkan nilai yang dijadikan acuan adalah nilai IPM provinsi. Dengan membagi daerah plot menjadi empat kuadran, maka tiap-tiap kuadran dikatagorikan sebagai:
Kuadran I : Nilai IPM tinggi, perubahan tinggi Kuadran II : Nilai IPM tinggi, perubahan rendah Kuadran III : Nilai IPM rendah, perubahan rendah Kuadran IV : Nilai IPM rendah, perubahan tinggi
(Aceh Tengah, Aceh Besar, Bireun, Pidie Jaya, dan Aceh
Utara)