Pihak perusahaan tidak mengakui hasil penelitian dan fakta hukum mengenai keberadaan tiga dusun di dalam lokasi HGU perusahaan.
Sejumlah upaya dilakukan masyarakat SAD dengan pendampingan oleh berbagai pihak baik para elit lokal setempat maupun para pendamping berskala lokal, nasional dan internasional. Perlawanan masyarakat SAD Batin Sembilan untuk mendapatkan kembali haknya dimulai setidaknya sejak tahun 1999 dengan mendirikan organisasi perjuangan bernama Formasku (Forum Masyarakat Desa Bungku). Formasku dimotori sendiri oleh kepala desa setempat. Seiring dengan menguatnya gerakan
masyarakat adat, upaya perebutan kembali lahan adat tersebut
dilakukan melalui demonstrasi besar-besaran untuk aksi pendudukan
68 Laporan Serikat Tani Nasional 2013.
lahan. Masyarakat pun berhasil melakukan pendudukan lahan seluas 7.150 selama 1999—2001, yaitu lokasi yang menjadi izin HGU PT MPS dan PT Jamertulen. Akhirnya sekitar tahun 2001, PT AP menawarkan lahan 1.000 ha dengan pola Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Namun selang beberapa tahun janji akan lahan kemitraan tersebut tidak jua pernah diberikan perusahaan kepada masyarakat. Hal tersebut tentu menimbulkan reaksi masyarakat semakin keras.
Gambar 2. Klaim Masyarakat Desa Bungku atas Lahan Perkebunan Sawit Swasta
Perlawanan yang dimotori oleh kapala desa mengambil jalur hukum.
Apalagi setelah terjadi kebocoran beberapa dokumen perusahaan yang memiliki cacat hukum. Di antaranya izin HGU yang tidak sah atas 7.150 Ha lahan sawit yang digarap perusahaan di luar 20.000 ha. Perjuangan masyarakat Desa Bungku yang dipimpin oleh kepala desa tersebut menempuh jalur hukum untuk menuntut dikembalikannya lahan HGU mati dan dikembalikan sepenuhnya kepada masyarakat.
Sementara itu, sekitar tahun 2008 perjuangan masyarakat SAD 113 yang menuntut dikembalikannya lahan adat seluas 3.550 ha yang berada di dalam HGU PT Asiatic Persada seluas 20.000 ha mulai didampingi oleh LSM lokal Jambi, yaitu SETARA. Melalui pendekatan mediasi dan
negosiasi, SETARA melakukan pendampingan terhadap masyarakat SAD 113. Berdasarkan hasil kesepakatan, perusahaan dan masyarakat melakukan pengukuran partisipatif dengan difasilitasi oleh Diameter.
Masyarakat tidak pernah merasa diberi tahu hasil pengukuran tersebut.
Sementara itu, pendamping menganggap bahwa baik perusahaan maupun masyarakat SAD 113 tidak bersedia menandatangani hasil pemetaan tersebut. Akhirnya masyarakat kembali diberi tawaran untuk kemitraan dan masyarakatpun kembali menolaknya.
Menjelang tahun 2010, masyarakat SAD 113 mulai didampingi oleh Serikat Tani Nasional. Berbagai aksi protes baik kepada pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat di Jakarta dilakukan. Dari mulai aksi jalan kaki hingga aksi jahit mulut. Aksi tersebut dilakukan sebagai simbol perjuangan dan kesungguhan terhadap penuntutan
dikembalikannya lahan adat mereka.
Pada bulan Maret 2012, ditemukanlah peta mikro yang menjelaskan keberadaan wilayah tiga dusun tersebut, sebagaimana tertuang dalam Izin Prinsip Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No. 393/
VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987. Tertera pada keterangan lokasi yang dilepaskan seluas 27.150 Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha, belukar 1.400 Ha, perladangan 2.100 Ha, dan pemukiman penduduk 50 Ha. Semestinya, dengan adanya peta mikro yang di-overlay dengan (apa?) oleh pihak BPN Porvinsi yang bekerjasama dengan Dinas
Kehutanan Provinsi sehingga pihak perusahaan dan Pemerintah Daerah mengakui keberadaan wilayah tersebut.
“Mulai Tahun 2000 penduduk sudah campur aduk. Dari dulu lahan tersebut sudah masalah. Kata Anak Dalam69 ini lahanku, kata perusahaan ini HGU. Walaupun banyak komplain, imas tumbang dan penanaman tetap jalan. Tahun 2004 borong lahan kemitraan 1.000 Ha, wilayahnya di Johor, Kilangan Pagar, sampai ke Bungin. Ketika pembukaan lahan sawit dikerjakan dan ada yang komplain, pihak pemborong mengatakan bahwa ini untuk lahan kemitraan, ini untuk si A, ini untuk si B. Perusahaan memerintahkan seperti itu. Tapi sudah ditanam gak dikasih- kasih sampai sekarang. Hampir semua seperti itu. Katanya untuk lahan kemitraan, tapi sampai sekarang gak diberikan.”(Suyut, mantan kontraktor PT Asiatic Persada).
Seharusnya, ditemukannya peta mikro tersebut semakin menguatkan klaim masyarakat terhadap lahan adat mereka. Namun, pengembalian lahan adat tidak serius dilakukan oleh perusahaan. Pada September 2012, Komnas-HAM memediasi pertemuan warga, Pemda Jambi, SAD 113, dan Perusahaan. Dalam pertemuan tersebut disepekati akan
69 Anak Dalam adalah sebutan masyarakat lokal terhadap Suku Anak Dalam.
lahan. Masyarakat pun berhasil melakukan pendudukan lahan seluas 7.150 selama 1999—2001, yaitu lokasi yang menjadi izin HGU PT MPS dan PT Jamertulen. Akhirnya sekitar tahun 2001, PT AP menawarkan lahan 1.000 ha dengan pola Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Namun selang beberapa tahun janji akan lahan kemitraan tersebut tidak jua pernah diberikan perusahaan kepada masyarakat. Hal tersebut tentu menimbulkan reaksi masyarakat semakin keras.
Gambar 2. Klaim Masyarakat Desa Bungku atas Lahan Perkebunan Sawit Swasta
Perlawanan yang dimotori oleh kapala desa mengambil jalur hukum.
Apalagi setelah terjadi kebocoran beberapa dokumen perusahaan yang memiliki cacat hukum. Di antaranya izin HGU yang tidak sah atas 7.150 Ha lahan sawit yang digarap perusahaan di luar 20.000 ha. Perjuangan masyarakat Desa Bungku yang dipimpin oleh kepala desa tersebut menempuh jalur hukum untuk menuntut dikembalikannya lahan HGU mati dan dikembalikan sepenuhnya kepada masyarakat.
Sementara itu, sekitar tahun 2008 perjuangan masyarakat SAD 113 yang menuntut dikembalikannya lahan adat seluas 3.550 ha yang berada di dalam HGU PT Asiatic Persada seluas 20.000 ha mulai didampingi oleh LSM lokal Jambi, yaitu SETARA. Melalui pendekatan mediasi dan
negosiasi, SETARA melakukan pendampingan terhadap masyarakat SAD 113. Berdasarkan hasil kesepakatan, perusahaan dan masyarakat melakukan pengukuran partisipatif dengan difasilitasi oleh Diameter.
Masyarakat tidak pernah merasa diberi tahu hasil pengukuran tersebut.
diadakan proses pengukuran wilayah enclave, dan pembuatan batas berupa parit gajah, yang ditanggung oleh pihak perusahaan. Akan tetapi, hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum dilaksanakan oleh pihak PT Asiatic Persada.
Gambar 3 Keberadaan tiga dusun: Tanah Menang, Padang Salak, Pinang Tinggi di dalam Wilayah HGU PT Asiatic Persada
Akhirnya pada akhir tahun 2012 dengan pendampingan sejumlah LSM, sebanyak 900 KK keturunan SAD Batin Sembilan melakukan
pendudukan atas lahan sawit di dalam HGU perusahaan seluas 3.350 ha.
Pendudukan kebun sawit perusahaan merupakan upaya merebut kembali secara paksa hak-hak milik mereka atas sumberdaya agraria yang sudah berwujud perkebunan sawit. Masyarakat SAD 113 menuntut dikembalikannya kepemilikan komunal mereka atas sumberdaya di dalam areal HGU PT Asiatic Persada tersebut secara sah. Upaya mendapatkan pengakuan legal terus dilakukan melalui advokasi LSM kepada sejumlah pemegang otoritas baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sayangnya, kekerasan harus kembali dialami masyarakat. Sekitar akhir Desember 2013 saat masyarakat SAD 113 menuntut dilaksanakannya gelar perkara pencabutan HGU PT Asiatic Persada di Jakarta, PT Asiatic Persada mengusir seluruh SAD 113 yang ada di tiga dusun tersebut.
Kejadian tersebut bahkan sampai menewaskan warga Desa Bungku yang berupaya menyelamatkan masyarakat yang ditangkap oleh perusahaan. Pascapengusiran, seluruh wilayah perkebunan PT Asiatic Persada bersih dari camp-camp pendudukan oleh masyarakat adat.
Kini, seluruh wilayah HGU dibatasi oleh parit seluas 4 meter. Dengan demikian, akses untuk masuk ke wilayah perkebunan pun tertutup untuk masyarakat.