• Tidak ada hasil yang ditemukan

subsidi, keputusan-keputusan dengan dasar-dasar lemah, investasi-investasi yang merugi, dan pembengkakan subsidi.50 Keputusan-keputusan dengan dasar-dasar lemah melemahkan kekuatan yang mendasari industri dan perdagangan negara. Pemerintah secara berangsur-angsur mulai mengetahui bahwa memiliki dan memimpin industri berarti harus menjadi wasit bagi persengketaan-persengketaan yang tidak dapat mencapai kesepakatan antara industri, perusahaan, dan perorangan. Pemerintah harus menjadi penegak hukum dan wasit dalam persengketaan perjanjian. Adalah tugas pemerintah untuk menetapkan kerangka kerja yang dapat menumbuhsuburkan perdagangan bebas dalam masyarakatnya. Pemerintah harus menurunkan undang-undang perjanjian, melindungi rakyat dari pencurian atau kekerasan.51

56 dalam Islam itu memberikan kepada seseorang, semua hak asasinya dan hak pribadinya, dengan cara yang tidak mengganggu keseimbangan dalam distribusi kekayaan. Dari satu sisi, ia telah memberikan kepada individuhak milik pribadi dan hak untuk mengatur hartanya, dan di sisi lain iamengikat semua hak itu dengan ikatan moralitas dari dalam, dan ikatan yuridis dari luar. Di balik itu dimaksudkan agar sumber-sumber kekayaan tidak tertumpuk pada satu tempat, akan tetapi tinggallah ia berganti-ganti dan beredar antara berbagai individu, sehingga setiap individu menerima bagian yang sah dan sesuai. Maka untuk tujuan ini Islam mengatur ekonomi dengan cara yang diciptakan yang lain dengan cara kapitalisme dan komunisme dari segi jiwa, prinsip, dan metode kerja.52

Teori ekonomi Islam adalah bahwa antara kepentingan individu dan sosial itu dari segi fitrahnya ada hubungan yang rapat, maka di antara keduanya harus ada keharmonisan dan kejasama, bukannya persaingan dan pertentangan. Islam adalah agama yang menghendaki tawazun (keseimbangan) dalam segala bidang, yakni:

52 Abul A’la Al-Maududi, “Asas Ekonomi Islam Al-Maududi, Terj.

Imam Munawwir, h. 38

keseimbangan antara kepentingan individu dan orang lain, keeimbangan antara cita-cita dengan realita, keseimbangan antara ilmu dengan amal, keseimbangan antara kemakmuran material dengan kemakmuran spiritual. Karena itu, ajaran agama ini memiliki sifat tengah (tawasuth) yakni tidak ekstrim kiri yang terjebak dan berpihak kepada komunis atau ekstrim kanan yang terjebak dan berpihak kepada kapitalis.53

Maka, apabila individu menarik kekaaan masyarakat untuk dirinya tanpa memperhatikan apa- apa yang menyalahi kepentingan umum, serta dalam menyimpang dan membelanjakan hanya mempertimbangkan kepentingan pribadi, bahayanya tidak hanya meimpa masyarakat saja, akan tetapi juga mengenai dirinya.54

Demikian juga peraturan masyarakat itu melalaikan kepentingan individu-individu demi kepentingan umum, maka bahayanya akhirnya juga akan menimpa masyarakat. Dengan demikian, dalam

53Abul A’la Al-Maududi, “Asas Ekonomi Islam Al-Maududi, Terj.

Imam Munawwir, h. 38

54 Abul A’la Al-Maududi, “Asas Ekonomi Islam Al-Maududi, Terj.

Imam Munawwir, h. 38-39

58 kesejahteraan individu-individu demi kepentingan umum, maka bahayanya akhirnya juga akan menimpa masyarakat. Dengan demikian dalam kesejahteraan individu-individu. Kesejahteraan individu dan masyarakatakan terwujud bersama-sama jika terjadi keseimbangan yang sehat antara kepentingan individu- individu dan masyarakat. Satu individu berusaha untuk memenuhi kepentingan pribadi yang individu lainnya tidak dirugikan oleh usahanya ini, ia berusaha semampunya dengan syarat dalam apa yang telah diusahakannya itu tidak ada hak bagi orang lain, dia memberikan keuntungan pada orang lain dan mengambil keuntungan dari mereka. Penjagaan terhadap pembagian keuntungan dan distribusi kekayaan itu bukan sekedar menumbuhkan sifat-sifat moralitas dalam tabi’at individu-individu, kan tetapi dalam waktu yang sama, dia juga menjadikan peraturan dalam masyarakat tentang cara-cara memperoleh harta dan membelanjakannya begitu teratur dengan peraturan-peraturan yang benar. Tidak dibenarkan satu individu memperoleh harta dengan cara yang merugikan orang lain. Ataupun tidak dibenarkan juga kekayaan yang di dapat dengan cara yang sah

terkumpul pada satu tempat, akan tetapia ia mesti beredar di antara ndividu-individu.55

Sesungguhnya bukanlah tujuan sistem ekonomi yang mendirikan bangunanya di atas teori ini agar sebagian dari individu memiliki harta yang melewati batas. Sementara yang lain tinggal dalam keadaan fakir, dan bukannya agar tak seorang pun di antara mereka yang menjadi kaya, dan masyarakat secara paksa harus sama kendati menurut fitrah harus berbeda. Akan tetapi tujunnya adalah antara kedua hal yang ektrim ini, agar terpenuhilah kebutuhan ekonomis semua individu dalam masyarakat.

Sebenarnya, apabila setiap individu puas dengan harta yang diperolehnyasekedar batas-batas fitrahnya, kemudian di dalam membelanjakannya ia mempertimbangkan faktor ekonomis dan rasa saling menanggung, tak mungkin masyarakat dilanda ketimpangan ekonomi ebagaimana yang kini terdapat padakapitalisme. Yang dmikian itu dikarenakan sistem ini tidak melarang seorang menjadi miliyuner, namun mustahil ia menjadikan kaya kekayaan salah seorang

55 Abul A’la Al-Maududi, “Asas Ekonomi Islam Al-Maududi, Terj.

Imam Munawwir, h. 39

60 jutawan menjadi akibat dari kefakiran dan kelaparan manusia yang lain. Di sisi lain, meskipun sistem ini menghendaki agar setiap individu dalam masyarakat memperoleh sumber-sumber penghidupan yang telah diciptakan oleh Allah di muka bumi, akan tetapi ia tidak dapat mewajibkan atasnya ikatan-ikatan pekerjaan yang merintnginya untuk memperoleh harta menurut kemampuan yang diberikan kepadanya.56

Antara Islam dan Konsep Kapitalisme sebenarnya banyak ditemukan perbedaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Dato’ Dr.Haron Din dalam bukunya “Islam: Agama Bisnis dan Pengurusan” yang Membandingkan antara konsep Islam dan Kapitalisme:57

1. Kapitalisme menganggap bahwa dia sebagai pemilik mutlak terhadap harta benda yang dimilikinya, sementara Islam memandang itu bahwa harta adalah amanah dari Allah, untuk dipergunakan mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.

56 Abul A’la Al-Maududi, “Asas Ekonomi Islam Al-Maududi, Terj.

Imam Munawwir, h. 40

57Dato’ Dr.Haron Din dalam bukunya ISLAM: Agama Bisnis dan Pengurusan, (Kuala Lumpur: PTS Millenia Sdn. Bhd.2007), 100-102

2. Tidak ada orang lain yang berhak mencampuri atau memiliki harta yang ada di tangan kapitalis. Harta yang dikeluarkan untuk kepentingan orang lain adalah semata-mata derma atau bentuk belas kasiahan. Oleh karena itu, harta yang dikeluarkan diumumkan melalui media massa (yang dikeluarkan dengan riya` dan bangga). Karena derma itu sebenarnya adalah barang langka, yang berbeda dengan konsepsi Islam, orang lain mempunyai hak atas harta benda yang dimiliki. Jadi seseorang mengeluarkan harta bukan berdasarkan belas kasihan atau perikemanusiaan semata-mata, tetapi menunaikan hak-hak orang lain yang diperintahkan oleh Allah. Perbuatan inilah yang disebut ihsan dalam Islam.

Dia mendapat ganjaran dari Allah atas keihsanannya itu.

3. Golongan Kapitalis bebas menyimpan keuntungan- keuntungan yang diperolehnya serta bebas menggunakannya menurut keinginan. Tetapi Islam mendorong supaya mengeluarkan harta benda yang lebih dinilai untuk kepentingan umum. Dan menggunakan hartanya secara sederhana, tidak melampaui batas dan hendaklah digunakan kepada jalan-jalan yang dihalalkan oleh Allah.

62 4. Kaum Kapitalis bebas memilih cara untuk mendapatkan keuntungan yang berlipatkan ganda, bahkan membeolehkan riba sebagai jalan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi Islam hanya mengakui harta yang didapatkan dengan cara yang halal saja, sementara cara yang haram tidak diakuinya. Islam memberikan batas- batas supaya orang lain tidak tertindas. Riba dilarang keras dalam Islam. Di samping itu, Islam selalu menganjurkan keikhlasan hati kepada Allah supaya dia senantiasa jujur kepada dirinya dan orang lain.tujuan Islam adalah untuk mencari keridhaan Allah.

5. Kapitalis tidak melarang monopoli, monopoli adalah sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Sedangkan Islam melarang segala bentuk monopoli, karena ia merugikan kepentingan umum.

Sesungguhnya, secara prinsip Tuhan adalah Pemilik sejati semua sumber daya kehidupan. Prinsip ini dapat diartikan bahwa kekayaan alam dan lingkungan adalah kepemilikan komunal masyarakat dengan hak-hak yang sama atas semua penduduk untuk mengambil manfaat darinya. Penggunaan kekayaan itu dapat ditangani negara secara langsung. Tetapi negara juga dapat memberikan hak-hak pribadi atas sumber daya alam

danlam kepentingan publik yang lebih besar. Negara dapat menarik pajak dari keuntungan bagi penggunaan sumber daya lingkungan tersebut. Hal ini dapat dilakukan atas dasar prinsip keadilan (beban sesuai keuntungan dan sebaliknya).58

58 Lihat Ibnu Majah, al-Sunan (Beirut: Dar al-Fikr, tth), jilid II, kitab al-Rahn bab al-Muslimun al-Shuraka fi al-thalith, 826

63 BAB III

AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG MENGISYARATKAN KAPITALISME

A. Kata-Kata Kuci dalam Al-Qur’an terkait Kapitalisme