• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Terkait dengan Diri Sendiri

BAB III PROFIL QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBAH

F. Analisis Data

2. Karakter Terkait dengan Diri Sendiri

Karakter yang terkait dengan diri sendiri beramacam-macam jumlahnya, diantaranya kejujuran, bertanggung jawab, disiplin, mencintai ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu dan lain sebagainya.47 Dalam QS al-Baqarah ayat 261-267 yang dibahas, terdapat pendidikan karakter terkait diri sendiri yaitu pada ayat 264 dan 267 , karena permulaan ayat diawali dengan seruan untuk orang-orang yang beriman.

Pendidikan karakter atau akhlak dalam Al-Qur‟an untuk manusia ini tergambar dalam berbagai ayat-ayat yang tersebar di berbagai surat. Ada pula pendidikan yang diungkap dalam bentuk hasil proses men-tadabburi alam ciptaannya, seperti digambarkan dalam Q.S ar-Rahman yang mencoba memberikan pendidikan melalui penekanan kalimat berulang-ulang hingga timbul keyakinan bagi manusia tentang pemilik nama Ar-Rahman, Dzat yang Maha Agung. Karena itu, proses pendidikan atau pembinaan yang dilakukan melalui ayat-ayat Al-Qur‟an memiliki corak dan model yang amat beragam.

a. Beriman dengan Teguh

Dalam konteks ruang lingkup pendidikan karakter, ayat-ayat dengan lafaz, ”yaa ayyuhaa al-ladziina aamanuu ” sebagai contoh pembentukan

46 Departemen Agama RI, Loc. Cit, hlm 399

47 Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia, h. 89

akhlak. Ayat-ayat berlafadz, ”yaa ayyuhaa al-ladziina aamanuu ” merupakan panggilan Allah Swt khusus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Panggilan ini mengandung rahasia yang agung karena berdimensi keimanan.

Kandungan ayatnya terkait dengan ketetapan-ketetapan yang harus dilakukan seorang mukmin tentang hukum dan syariat Islam. Tujuannya adalah untuk merealisasikan ketentraman dan kebaikan pribadi dan masyarakat Islam secara luas.

Penyebutan ”iman” bagi seorang Muslim merupakan bentuk penghormatan Allah Swt kepadanya. Para mufassirin menyebutkan kemuliaan itu datang karena aspek-aspek keimanan kepada Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada qadha dan qadar. Maka, mufassir menyimpulkan bahwa seorang manusia dianggap hidup lantaran iman dan disebut mati karena tidak beriman; iman bagaikan ruh dalam kehidupan. Jadi, ayat-ayat berlafadz,

”yaa ayyuhaa al-ladziina aamanuu” secara tidak langsung merupakan metode dalam pembentukan karakter, khusus untuk kaum mukmin.

Sahabat Rasulullah Muhammad Saw, Abdullah Ibnu Mas‟ud Radhiyallahu ‟Anhu, mengilustrasikan ‟nidaa al-ilahi‟ (panggilan ilahi) ini dengan sangat indah. Ketika salah seorang sahabat lainnya meminta nasihat kepadanya. Beliau berkata,”Jika kamu membaca firman Allah Swt dengan lafadz ”yaa ayyuhaa al-ladziina aamanuu”, maka siapkanlah pendengaranmu karena tentu hal itu merupakan kebaikan yang diperintahkan-Nya, atau keburukan yang pasti dilarang-Nya, atau kabar gembira yang akan

menyenangkanmu, atau bahaya yang mesti diwaspadai. Maka jika kandungan ayat tersebut perintah, kerjakanlah; jika larangan, tinggalkanlah; jika kabar baik, berbahagialah dan pujilah dzat-Nya; dan jika berita buruk, waspadalah”.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di memberikan penjelasan gamblang dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat terkait dengan lafaz ”yaa ayyuhaa al-ladziina aamanuu”. Menurutnya, hidupnya hati dan roh adalah dengan beribadah kepada Allah Swt serta bersungguh-sungguh taat pada-Nya dan patuh pada Rasul-Nya dengan tiada henti. Maka, seluruh panggilan Allah kepada kaum beriman dalam konteks apapun melalui Al-Qur‟an, termasuk yang berkaitan dengan teori-teori pendidikan, mengandung pesan yang

”menghidupkan” dan itulah hikmahnya ajaran agama Islam. Ayat itu juga menggambarkan peringatan pada sikap zalim terhadap hati yang kerap ”mati”

berbalik arah dari ketaatan, dan selalu tergoda pada konsep-konsep di luar Al- Qur‟an. Ajaran pada ayat tersebut sangat memengaruhi bangunan karakter manusia.48

b. Dermawan

Di dalam ayat 264 dan 267 yang menyerukan kepada orang yang beriman terdapat kata infaq dan sedekah. Kata infaq berasal dari kata anfaqa.

Kata anfaqa berasal dari kata nafaqa yang berarti telah lewat dan habis. Oleh karena itu, kata tersebut berarti juga miskin. Memang nafaqah adalah sesuatu yang diberikan atau diserahkan kepada pihak lain, yang secara lahiriah akan menghabiskan atau minimal mengurangi kuantitas sesuatu yang diberikan

48 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an, h. 81-83

tersebut. Dari sini, maka al-Qur‟an mengatur, agar kalau berinfaq tetap terukur.

Kata nafaqa seakar kata dengan nifaq, yang kemudian membentuk kata munafiq. Sebab sikap munafiq adalah sesuatu yang akan menghabiskan amal baik seseorang.

Sedangkan kata sedekah yang dalam bahasa Arabnya adalah shodaqoh adalah memberikan harta dengan beragam macam dan bentuknya kepada orang lain, dengan niat karena Allah. Sedekah yang dalam bahasa Arabnya memiliki rumpun yang sama dengan sidiq yang artinya jujur, juga dengan kata sodiq (yang artinya teman) serta sidq (yang artinya percaya). Oleh karena itu orang yang bersedekah adalah orang yang membuktikan kepercayaannya secara jujur sebagai bentuk persahabatan tanpa pamrih dalam bentuk pemberian harta.

Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang mau memberi, sebagai bentuk konkrit dari iman yang ada dalam hatinya. Pemberian itulah yang kemudian disebut infaq. Infaq hanya akan keluar dari orang yang memiliki iman yang jujur. Dari sini, maka lawan dari kata sidq adalah kidzb yang berarti bohong yang dimiliki orang munafiq.49

Maka setelah mengkaji ayat tersebut, pendidikan karakter yang kita pelajari adalah menghindari sifat riya dan menahan lisan kita agar tidak mengungkit dan menyebut sedekah dan amal perbuatan yang telah kita lakukan, karena akan berdampak batal atau hilangnya pahala sedekah. Selain itu, kita juga harus memberikan infak yang baik dari hasil jerih payah kita. Hal ini akan

49 Waryono Abdul Ghafur, Loc. Cit.

mengikis rasa cinta kepada harta dan hal duniawi serta membuktikan iman kepada janji yang Allah sebutkan.