• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TAFSIR AL-AZHAR

A. Takhrij

1. Pengertian Takhrij

Kata takhrij dalam bahasa Arab berbentuk mashdar dari kata kerja (fi‟il), kharaja-yakhruju yang mana pada dasarnya memiliki arti berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu perkara. Misalnya („Am fihi takhriji), yang artina tahun dimana terjadi kesuburan dan kekeringan. (Ardhu makhrojah), yang artinya tanah yang tumbuh tetumbuhan disatu bagian dan gersang dibagian yang lain. (Kharraja al- Lahwa Takhrija), yang artinya dia menulis disebagian papan dan mengosongkan bagian lainnya.

Asal dari takhrij ( ) adalah kharaja ( ), yang mana dalam bahasa Arab digunakan arti dengan “terang dan keluar”.

Misalnya (Kharajat as-Sama Khuruja), artinya adalah langit menjadi terang setelah duunya mendung.

(Kharaja khalid mina al-masjidi), artinya khalid telah keluar dari masjid.1

Takhrij merupakan bagian dari kegiatan penelitian hadis. Ada dua kata yang harus kita ketahui terlebih dahulu. Yang mana kata ini sama-sama berasal dari kata dasar kharaja ( ), namun kegunaanya sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yaitu, Ikhraj ( ) dan Istikhraj.

Istilah takhrij yang menurut lazimnya dalam penggunaan fiil madinya memakai kata akhroja , mempunyai tiga pengertian yaitu ;

a. Suatu usaha mencari sanad hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis karya orang lain yang menyimpang pada kitab tesebut. Kemudian dihimpun dalam sebuah kitab, dan kitab tersebut disebut dengan kitab Mustakhraj.

1 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (; PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h.20

b. Suatu penjelasan dari penyusun hadis bahwa hadis yang dinukilnya terdapat dalam kitab hadis yang telah ada atau mashur penulisnya.

c. Suatu usaha penyusun hadis untuk mencari derajat hadis melalui sanad dan rawi hadis yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab.2

Dalam mentakhrij hadis kita perlu terlebih dahulu mempelajari ilmu hadis riwayah ilmu hadis dirayah dan cabang- cabang ilmu hadis lainnya. Menurut at-Turmuzi ilmu hadis dirayah merupakan undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat- sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan menurut al-Akfani ilmu dirayah adalah :

“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya. Serta untuk mengetahui keadaan perawi, baik sayarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.

Ada pula ulama yang menjelaskan, bahwa ilmu hadis dirayah adalah :

“Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat membedakan antara hadis yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw dan hadis yang diragukan penyandarannya”.

Kesimpulannya ilmu dirayah adalah ilmu yang membahas cara untuk mengetahui keadaan perawi, baik yang menyakngkut pribadinya; seperti akhlak, tabiat dan hafalannya. Serta segala sesuatu yang menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Begitu pul dengan keadaan marwi, baik dari sudut ke shahihan dan ke dhaifannya maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. 3

Faedah mempelajari ilmu dirayah itu sendiri diantaranya adalah dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan imu hadis. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis, dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih

2 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Haditsi,(Bandung; PT Alma‟arif, 1974 ), h. 34-35

3 Munzier Suparta & Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 21-24

31 lanjut, dan dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria- kriteria hadis.4

2. Sejarah Takhrij

Secara etimologi sunnah berarti tata cara. Menurut pengarang kitab Lisan al-„Arab sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang terdahulu kemudian diikuti oleh orang- orang belakangan. Menurut ahli hadis, sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat, atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Menurut ahli ushulu fiqh, sunnah adalah sabda Nabi Muhammad saw yang bukan berasal dari al-Qur‟an, pekerjaannya atau ketetapannya.

Menurut ahli-ahli fikih, sunnah adalaha hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan. Sedangkan sunnah dalam syair-syair Arab adalah aturan atau tata cara yang dianut baik terpuji maupun tercela.

Sedangkan sunnah dalam al-Qur‟an memiliki arti tata cara dan kebiasaan. Sedangkan sunnah dalam sabda Nabi Muhammad saw adalah tata cara dan tingkah laku hidup yang menjadi panutan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian kata sunnah adalah tata cara.5

Pada zaman Rasulullah saw masih hidup pun sudah mempelajari hadis. Metode yang Rasulullah gunakan dalam pembelajaran hadis ialah; pertama, pengajaran sunnah atau hadis oleh Rasul saw secara verbal/lisan. Kedua, pengajaran melalui metode penulisan. Dan yang ketiga, pengajaran mellui demonstrasi praktis.

Sedangkan mengumpulkan dan mengkodifukasi hadis dimulai pada masa sahabat.

Pada awal masa Islam ada delapan metode yang biasa dipakai untuk mempelajari dan mencari hadis. Metode itu ialah; pertama, Sama‟ (guru membaca hadis di depan murid). Kedua, „Ardh (murid membacakan hadis yang ia dapat dari guru lain di depan gurunya).

Ketiga, Ijazah (pemberian izin oleh guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah buku hadis tanpa membaca hadis satu persatu).

Keempat, Munawalah (seorang guru memberikan materi tertulis kepada seseorang untuk meriwayatkannya). Kelima, Kitabah (seorang guru menuliskan rangkaian hadis untuk seseorang). Keenam, I‟lam (memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi materi hadis tertentu). Ketujuh, Wasyiyah

4 Munzier Suparta & Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 21-24

5 Muhammad Mustafa Azami penerjemah Ali Mustafa Yaqub, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikainya, (Jakarta; PT Pustaka Firdaus, 2012), cet. 5, h. 13-20

(seorang guru mewariskan buku-buku hadisnya kepada seseorang).

Kedekapan, Wajadah (seseorang menemukan sejumlah buku-buku hadis yang ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal namanya, seperti manuskrip).

Pendapat umum tentang hadis telah diriwayatkan secara lisan untuk jangka panjang. Kemudian zuhri mencatat hadis-hadis atas permintaan khalifah Umar bin „Abdul „Aziz. Banyak para ahli berpendapat, bahwa catatan beliau telah hilang. Kedua asumsi di atas berdasarkan pada kurangnya pengetahuan tentang sejarah liberatur di awal masa kelahiran Islam yang berkaitan dengan hadis dan corak mereka. Oleh sebab itu, problem pencatatan hadis memuntut perhatian yang amat khusus. Namun, patut diingat pencatatan materi tersebut tidak menjamin kemurnian dan pemeliharaannya.6

Dalam penelitian hadis digunakan istilah al-Naqd. Yang mana secara etimologi adalah bentuk mashdar dari )

دقني - دقن

), yang berarti mayyaza (

زّيم

), yang berarti memisakan sesuatu yang baik dari yang buruk. Kata al-Naqd juga berarti “kritik”. Seperti Naqd al-Kalam wa Naqd al-Syi‟ir, yang berarti mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi. Atau Naqd ad-Darahim, yang berarti :

“Memisahkan uang yang baik (asli) dari uang yang palsu”.

Dalam istilah ilmu hadis Naqd berarti ;

“Memisahkan hadis-hadis yang shahih dari yang dhaif , dan menetapkan para perawinya yang tsiqah dan yang jarh (cacat)”.

Meskipun penggunaan kata an-Naqd dalam pengertian kritik seperti di atas tidak ditemukan dalam al-Qur‟an dan hadis, hal tersebut bukanlah berarti bahwa konsep kritik hadis datang jauh terlambat dalam perbendaharaan ilmu hadis. Fakta menunjukan bahwa al-Qur‟an telah menggunakan kata yamiz untuk maksud tersebut, yang berarti “memisahkan yang buruk dari yang baik”.

6 Muhammad Mustafa Azami penerjemah Ahmad Yamin , Studies in Hadith Methodology and Literature,”Metodologi Kritik Hadis” (Bandung; Pustaka Hidayah, 1996), cet II, h. 27-51

33 Apabila secara sederhana kritik hadis diartikan sebagai upaya dan kegiatan untuk mengecek dan menilai kebenaran suatu hadis, maka aktivitas tersebut sudah ada pada zaman Rasul saw masaih hidup. Namun, pada tahap ini aktifitas kritik hadis masih terbatas karena hanya langsung menanyakan pada Rasulullah saw dalam membuktikan kebenaran suatu riwayat yang disampaikan oleh sahabat. Pada tahapan ini sebenarnya hanya merupakan konfirmasi agar hati menjadi tentram dan mantap.7

Kesimpulannya kegiatan penelitian atau kritik sanad sudah ada pada masa Rasulullah saw hidup. Kegiatan tersebut terus dilaksanakan oleh sahabat hingga Rasulullah saw wafat. Dan diantara sahabat yang yang terkenal melakukan verifikasi hadis dengan cara mengecek langsung kepada Rasul saw adalah, Ali, Ubai bin Ka‟ab, Abdullah ibn „Amr, „Umar, Zainab istri Mas‟ud dan lainnya.

Pada priode sahabat, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan pelopor dalam kritik hadis dan dia menepatkan menetapkan metode kritik hadis pada posisi yang penting. Al-Hakim mengatakan, “Abu Bakar adalah orang pertama yang membersihkan kebohongan dari Rasul saw”. adz-Dzahabi pun berkata, “ Abu Bakar adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima riwayat hadis”. Sikap dan tindakan hati-hati Abu Bakar telah membuktikan bahwa betapa pentingnya kritik dan penelitian hadis. Pada masa ini metode yang digunakan adalah dengan melakukan perbandingan di antara beberapa riwayat yang ada. Setelah Abu Bakar ash-Shiddiq wafat, kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khatab. Di mana pada masa ini Umar bin Khatab membakukan kaidah-kaidah dasar dalam melakukan kritik dan penelitaian hadis.8

Ibn Hibban mengatakan, “sesungguhnya Umar dan Ali adalah sahabat pertama sahabat pertama yang membahas tentang rijal (para perawi) hadis dan melakukan penelitian tentang periwayatan hadis.

Yang mana kegiatan tersebut dilanjutkan oleh ulama yang datang setelah mereka. Selain ketiga sahabat di atas, Aisyah pun dan sahabat lainnya melakukan penelitian hadis, terutama ketika menerima riwayat dari sesama sahabat.

Seiring dengan perluasan daerah Islam, maka hadis pun mulai tersebar luas ke daerah-daerah di luar Madinah. Keadaan ini mendorong lahirnya pusat-pusat pengkajian dan penelitian hadis.

Setelah masa sahabat kegiatan kritik dan penelitian hadis ini

7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (PT Mutiara Sumber Widya, 2001)h. 329-335

8 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 329-335

dilanjutkan oleh para tabi‟in yang berkonsentrasi di beberapa daerah tertentu.9

Kegiatan men-takhrij hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama mutaakhirin. Karena pada masa sebelumnya hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Menurut al-Iraqi kebiasaan ulama mutaqaddimin dalam mengutip hadis tidak pernah membicarakan dan menjelaskan darimana hadis itu dikeluarkan dan bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut. Hingga kemudian datang an-Nawawi yang melakukan pen-takhrijan hadis.

Adanya pemikiran tentang diperlukannya takhrij ini muncul ketika para ulama merasa mendapat kesulitan untuk merujuk hadis- hadis yang tersebar diberbagai kitab dengan berbagai disiplin ilmu agama yang bermacam-macam. Dari sinilah paraulama mulai membicarakan tentang takhrij, kemudian mereka mulai mengeluarkan hadis-hadis yang dikutip dalam kitab-kitab lain kemudian merujukan kepada sumbernya. Yang mana di dalamnya juga membahas kualitas- kualitas ke-shahih-annya. Dan dari perkembangan inilah kemudian muncul kitab-kitab takhrij. Menurut Mahmud ath-Thahhan ulama yang pertama kali melakukan takhrij adalah al-Khathib al-Bagdadi (463 H). Kemudian dilakukan oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (584 H) dengan karyanya Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab. Ia men- takhrij kitab fikih Syafi‟iah karya Abu Ishaq asy-Syirazi. Ada juga ulama lain yaitu Abu al-Qasim al-Husaini dan Abu al-Qasim al- Mahrawani. Namun karya kedua ulama ini hanya berupa manuskrip saja. Kemudian selanjutnya cukup banyak bermunculan kitab-kitab yang berupaya men-takhrij kitab-kitab dalam berbagai disiplin ilmu agama.10

3. Metode Takhrij

Sumber asli berupa kitab ataupun literatur, ada perbedaan dalam sistematika dan metodologinya. Demikianlah yang menyebabkan metode yang digunakan dalam meneliti hadis pun berbeda.

Ada literatur atau kitab yang disusun berdasarkan nama perawi.

Ada kitab yang disusun berdasarkan bab-bab dalam fiqh. Hal demikian mengakibatkan metode yang digunakan dalam menakhrij hadis menurut Mahmud Thahhan terdapat lima, yaitu: Pertama, Lafaz Pertama dalam Matan. Penggunaan metode ini dilakukan dengan lebih dahulu mengetahui lafaz pertama dalam matan hadis. Contoh:

9 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (PT Mutiara Sumber Widya, 2001)h. 329-335

10 Said agil husain al-munawar, Ilmu Hadis, (Jakarta; Gaya Media Pratama, 1996), cet I, h. 115-116

35

ٔٔ

Yang dimaksud lafaz pertama adalah Adapun kitab yang dapat membantu metode ini yakni kitab yang mengandung hadis-hadis populer di Masyarakat,diantaranya; Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas „Amma Isytahar Min al-Ahadis „Ala Alsinah al-Nas Karya al-„Ajluni (w. 1162 H), al-Maqasid al-Hasanah Fi Bayan Katsir Karya al-Sakhawi (w. 902 H), dan al-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadis al-Musytahirah „Karya al-Suyuti (w. 911 H).

Kedua, Indeks Kata. Metode ini digunakan dengan mencari lafaz yang menjadi kata kunci dalam hadis, dalam arti mencari lafaz dalam hadis yang jarang digunakan. Kitab yang dapat digunakan ykni al-Mu‟jam Mufahras Li Alfazh al-Hadis Karya A.J Wensinck (w.

1939) dkk. Kitab ini mengandung indeks kata kitab-kitab sumber hadis, yakni al-Kutubut al-Sittah, Muwatha‟, Musnad al-Darimi, dan Musnad Ahmad.

Ketiga, Tematis. Metode ini dapat dicapai oleh yang mempunyai insting atau citarasa dalam menentukkan tema sebuah hadis yang diteliti. Pencapaian ini juga mudah dignakan bagi seseorang yang mempunyai wawasan luas tentang ilmu keislaman khususnya tentang hadis. Contoh:

ٕٔ

“Apabila salah seorang diantara kalian melakukan sholat jum‟at, maka hendaknya ia kerjakan sesudahnya empat roka‟at”

Maksud hadis tersebut jelas berbicara tentang jum‟at baik sholat maupun hari jum‟at. Berkenaan dengan tema-tema hadis, jika tema hadis membahas tentang bab-bab yang ada dalam fiqih maka kitab yang digunakan adalah kitab sunan. Sedang jika hadis yang dikaji berkenaan dengan anjuran berbuat baik atau larangan berbuat buruk, maka literatur yang digunakan yakni kitab targib wa tarhib.

11 . Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah Shohih Bukhori, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), h.

179

12 . Adib Bisri Musthafa, Tarjamah Shohih Muslim, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), h.

32-33

Keempat, Nama Sahabat. Ketika sebuah hadis dimana perawi sahabat sudah diketahui namanya, maka metode ini bisa diterapkan.

Kemudian berlanjut pada literatur yang metodologinya berdasarkan nama-nama sahabat, yakni kitab Athraf, Mu‟jam, dan Musnad.

Contoh:

ٖٔ

Nama sahabat pada hadis di atas abdullah bin „abbas. Nama sahabat disini juga dapat dicari pada susunan sanad yang paling akhir.

Metode ini dianggap cepat dan tepat jika dapat mengetahui nama sahabat.14

Kelima, Penelusuran Kondisi Matan dan Sanad. Metode ini digunakan dengan menelusuri kondisi matan atau sanad hadis, kondisi itu bisa berupa ciri kepalsuan atau sebaliknya, berupa hadis qudsi, hadis musalsal, periwayatan bapak dari anak. Kitab atau literatur yang dapat digunakan tergantung masing-masing kondisi matan atau sanad hadis yang dikaji. Metode-metode tersebut dapat digunakan secara bersamaan atau memilih salah satu metode yang mudah dan sesuai dengan hadis yang dikaji.

Selain kelima metode di atas, dengan bertambahnya usia dan berkembangnya ilmu pengethuan dan teknologi, metode takhrij mendapat tambahan tiga cara yaitu penelusuran digital, menggunakan internet, dan bertanya pada ahlinya. Penelusuran hadis melalui komputer atau internet sungguh sangat meringankan walaupun masih diperlukan pengecekan pada kitab sumbernya dengan tujuan menghindari kemungkinan adanya kesalahan.

Selain itu juga, dapat menelusuri hadis menggunakan

“googling”. Aplikasi pencarian dengan cara mengetik redaksi hadis atau kalimat yang mewakili pada tempat pencarian, secara otomatis muncul artikel yang dicari atau yang semisalnya kemudian berlanjut pada kitab sumber aslinya.

Selanjutnya menggunakan metode bertanya langsung pada ahlinya. Bagi seseorang yang memiliki wawasan luas terutama dalam bidang hadis, atau bisa dikata pakar hadis, maka ketika ditanyakan kepadanya hal-ihwal tentang letak hadis yang dikaji, ia akan menyebutkan letak hadis tersebut pada kitab sumbernya. Kemudian melakukan konfirmasi pada kitab aslinya.

13 . Ibnu al-Jauzi, Al-Maudhu‟at, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 59

14 . Maghfur Usman, Metode Takhrij Hadis: Cara Mudah Mencari Hadis, h.65-66

37 4. Tujuan Takhrij

Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai. Karena didalamnya membahas berbagai kaidah untuk mengetahui dari mana sumber hadis itu berasal dan memtukan kualitas sanad hadis.

Menurut „Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari Tahrij adalah :”Menunjukan sumber hadis dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadis tersebut”. Dengan demikian ada dual hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu :

1. Untuk mengetahui sumber hadis

2. Untuk mengetahui kualitas hadis, apakah diterima (Shahih) atau ditolak (Dha‟if).15

5. Manfaat Takhrij

Sedangkan manfaat Takhrij banyak sekali, „Abd al-Mahdi menyimpulkannya ke dalam dua puluh manfaat, diantaranya yaitu ; Pertama, memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal suatu hadis serta ulama yang meriwayatkannya. Kedua, menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukannya.

Ketiga, memperjelas keadaan sanad, sehimgga dapat diketahui apakah Munqathi‟, Mu‟dhal atau lainnya. Keempat, memperjelas hukum hadis dan mengangkat derajat hadis dengan banyaknya riwayat lain sebagai Syawahid dan Mutabi‟. Kelima, mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hukum hadis. Keenam, memperjelas perawi yang samar. Ketujuh, memperjelas perawi yang tidak diketahui. Kedelapan, dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.

Kesembilan, dapat menhilangkan Syadz melalui perbandingan riwayat.

Kesepuluh, dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan dan yang diringkas seorang perawi. Kesebelas, dapat menjelaskan masa, sebab dan tempat kejadian timbulnya hadis. Keduabelas, dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan sanad yang ada.16

6. Kitab-kitab Takhrij Hadis

Banyak diantara ulama baik dalam bidang tafsir, bidang fiqih, bidang dzikir dan doa, tidak menyebutkan sanad dari hadis-hadis yang dibawakannya. Sehingga sulit bagi pembaca kitabnya mengetahui derajat hadis-hadis yang dibacanya itu. Demikian pula kitab-kitab tasawuf, seperti kitab Qutul Qulub karya al-Makki dan Ihya ulumu ad- Din karya al-Imam al-Ghazali yang mana didalamnya banyak terdapat hadis-hadis yang mungkar, bahkan hadis-hadis yang maudhu‟.

15 Maghfur Usman, Metode Takhrij Hadis: Cara Mudah Mencari Hadis, h.65-66

16 Maghfur Usman, Metode Takhrij Hadis: Cara Mudah Mencari Hadis, h.65-66

Maka dari itu, ahli-ahli hadis menerangkan sanad-sanad dan nilai-nilai hadis tersebut. Dengan usaha ulama-ulama besar dalam bidang hadis inilah kita dapat dengan mudah mengetahui sanad hadis dan mukhorijnya serta nilai hadis tersebut. Maka diantara kitab-kitab takhrij itu adalah :

1. Takhrij Ahaditsil Kasysyaf, karya Jamaluddin Muhammad ibn Abdulah al-Hanafi, wafat 762 H.

2. Al-Fathu as-Samawi bi Takhriji Ahaditsi al-Baidlawi karya Abdul Ra‟uf al-Manawi, wafat 1031 H.

3. Ath-Turuqu wa al-Wasa‟il fi al-Ma‟rifati Khulashoti ad- Dalail, karya Ahmad ibn Usman at-Turkumani, wafat 747 H.

4. Takhrij Ahaditsi al-Hidayah, karya Muhammad ibn Abdullah, wafat 775 H.

5. Khulashoh al-Badru al-Munir fi Takhriji Ahaditsi asy- Syarhil Kabir al-Wajiz, karya Sirajuddin ibn Umar ibn Ali al-Anshori, wafat 808 H.

6. Talkhishu al-Habir, karya al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani 7. Al-MughniAn Hamili Asfar fi Takhriji ma fi Ihya-i mina

al-Akbar, karya al-Hafid Abdur Rahman Ibnul Husain al- Iraqi, wafat 806 H.

8. Idrahu al-Haqiqoh fi Takhriji Ahaditsi fi at-Thariqah al- Muhamadiyah, karya Ali ibn Hasan ibn Sadaqah al-Ishri, wafat 1050 H.

B. Takrij Hadis Surah al-Waqi’ah 1. Hadis Tentang “Ahli Surga”

a. Teks hadis pada tafsir al-Azhar:

Bersabdalah Nabi saw ;

Demikian juga sebuah hadis yang dirawikan oleh Abu Hurairah, yang kemudian disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim.

“Beasarlah harapanku moga-moga kalian ini menjadi seperempat dari ahli surga, sepertiga ahli surga, bahkan kamu separuh dari ahli surga dan separuh lagi biarlah mereka bagi-bagikan”.

39

Selain dari riwayat Ibnu Abi Hatim ada juga diriwayatkan hadis Abu Hurairah ini Oleh Imam Ahmad.17

b. Takhrij

Hamka memyebutkan bahwa hadis ini riwayat dari Ibnu Abi Hatim. Setelah penulis menelusuri, penulis menemukan hadis tersebut pada kitab tafsir Ibnu Abi Hatim, yaitu :

Hadis riwayat Ibnu Abi Hatim nomor 18775:

Pada hadis ini Ibnu Abi Hatim tidak mencantumkan perawi secara lengkap, melainkan hanya menyebutkan perawi dari kalangan sahabat saja.

Hamka menerangkan pula bahwa ada hadis lain yang sama dengan hadis ini yaitu pada riwayat Abu Hurairah melalui jalur Imam Ahmad. Setelah ditelusuri penulis menemukan hadis tersebut pada kitab Imam Ahmad, yaitu :

Hadis riwayat Ahmad nomor 9080 :

17 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 28,(Jakarta; Pustaka Panjimas, 1985), h. 220-221

18 Abu Muhammad Abdurrohman, Tafsir Ibnun Abi Hatim, (Arab Saudi; Nazar mushthofa al-Bazi,1998) cet. 3, jilid. 10, h. 3330

19 Abu Abdillah Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut; Muasasah Risalah,2001) cet. 1, jilid. 6, h. 176

Perawi hadis riwayat Imam Ahmad :

- Aswad bin „Amir atau Abu Abdurrahman Asy-Syami, ia termasuk kalangan tabi‟ tabi‟in. Wafat di Bagdad pada tahun 208 H. Ibnu Hajar mengomentari bahwa ia seorang yang Tsiqoh.20 Aswad bin „Amir meriwayatkan hadis dari Syarîk

- Syarîk merupakan Syarîk bin „Abdullah an-Nakh‟i, wafat di Kuffah pada tahun 177 H atau 178 H. Ya‟qub bin Syaibah berpendapat bahwa Syarîk merupakan orang yang Shaduq dan Tsiqah, akan tetapi memiliki hafalan yang buruk. „Abdurrahmah bin Abi Hatim berpendapat bahwa Syarîk memiliki banyak kesalahan dalam meriwayatkan.21 Syarîk meriwayatkan hadis ini dari Muhammad (Bayyâ‟i al-Mulâ`i).

- Muhammad (Bayyâ‟i al-Mulâ`i) merupakan Muhammad bin „Abdurrahman bin Khalid bin Maysaroh al-Qarasyi, atau bisa disebut juga Abu „Amr al-Kufi al-Qushi Baya‟i al-Mulâ`i. Ibnu Hibban menyebutkan Muhammad (Bayyâ‟i al-Mulâ`i) dalam kitabnya “ats-Tsiqât”. An-Nasa`i berkata bahwa ia belum pernah mendengar komentar tentang Muhammad (Bayyâ‟i al-Mulâ`i.22 Muhammad (Bayyâ‟i al- Mulâ`i) meriwayatkan hadis ini dari ayahnya, yaitu Abdurrahman.

- `Abihi disini merupakan ayah dari Muhammad (Bayyâ‟i al- Mulâ`i), yaitu „Abdurrahman bin Khalid bin Maysaroh al- Qarasyi, ia wafat pada tahun 127 H. `Ibn Hajar berpendapat bahwa ia shadûq, sedangkan adz-Dzahabi tidak menemukan tentang „Abdurrahman bin Khalid bin Maysaroh al-Qarasyi.23 Ia meriwayatkan hadis ini dari `Abi Hurairah.

20 Yusuf bin az-Zakî al-Mizî, Tadzhibu al-Kamal fi al-`Aama`i ar-Rijâl, (Beirut;

Mu`asasa ar-Risâlah, 1980), jilid. 3, h. 226

21 Yusuf bin az-Zakî al-Mizî, Tadzhibu al-Kamal fi al-`Aama`i ar-Rijâl,.. jilid. 12, h.

462-471

22 Yusuf bin az-Zakî al-Mizî, Tadzhibu al-Kamal fi al-`Aama`i ar-Rijâl,.. jilid. 25, h.

608-609

23 Yusuf bin az-Zakî al-Mizî, Tadzhibu al-Kamal fi al-`Aama`i ar-Rijâl,..jilid. 17, h.77

Dalam dokumen PDF Kualitas Hadis Dalam Tafsir Al-azhar (Halaman 42-76)

Dokumen terkait