• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Bangsa Eropa Terhadap Etnis Tionghoa

BAB II SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI BONDOWOSO

B. Kebijakan Bangsa Eropa Terhadap Etnis Tionghoa

masyarakat etnis Tionghoa ke Batavia lebih dari 100 ribu orang sedangkan penduduk pulau Jawa diperkirakan mencapai 5 juta orang. Pada pertengahan abad ke XIX suku bangsa Hokkian yang merupakan domain grup mereka yang termasuk pandai untuk berdagang, sedangkan bangsa yang lainnya seperti halnya bangsa Hakka yang mereka pada awalnya kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan, dan kemudian mereka mendominasi pertambangan terutama pada sektor emas di Kalimantan Barat dan juga menguasai pertambangan timah yang ada di Bangka Belitung. Selanjutnya banyak di antara mereka merantau ke Pulau Jawa dan menjadi profesi sebagai saudagar atau buruh Priangan.33

“Pecinan”. Dimana pasar tersebut berdagang komoditi ekspor-impor yang dimana perdagangan tersebut di kontrol masyarakat Tionghoa.34

Awal abad ke XIIV kapal-kapal Belanda mulai berlabuh di Jayakarta di bawah pemimpin mereka yaitu, Cornelius de Houtman. Kemudian mereka mendirikan sebuah pos perdagangan bagi sebuah persekutuan perdagangan yang kita kenal dengan VOC (Verenegde Oost Indische Compagnie), yang mereka dirikan pada tahun 1602. Sedangkan pos perdagangan mereka berada di tepi timur sungai Ciliwung, dekat dengan permukiman etnis Tionghoa yang disebut daerah pecinan. Pada pos itu diperkuat dengan dibangunnya benteng- benteng. Dalam hal ini di luar perjanjian dan juga persetujuan Pangeran Jayakarta, dan oleh akibat itu peperangan tidak bisa dihindarkan, yaitu tepatnya pada 1619 bangsa Belanda berhasil merebut Jayakarta dan mereka membakar semua bangunan-bangunan yang ada di kota. Pada akhirnya Jayakarta di ubah namanya menjadi Batavia yang berada di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.35

Kemudian secara bertahap pemerintah Belanda secara perlahan mulai membangun kota yang dibelah oleh sungai Ciliwung dan juga pada saat itu permukiman mulai dibentuk. Diantaranya yaitu permukiman Etnis Tionghoa dan Portugis serta orang Timur Asing dibangun di sebelah timur yang di dalamnya dengan pasar dan juga gudang industri. Sedangkan permukiman- permukiman tersebut dikelilingi tembok kota, akan tetapi permukiman yang dihuni oleh masyarakat asli daerah itu berada di luar benteng tersebut. Pada

34 Darmawan Darwin, Identitas Hibrid Orang Cina, (LKIS Yogyakarta, 2014). 7.

35 Fokky Fuad, “Peristiwa Chinesetroubelen di Batavia Sebuah Tinjauan Sejarah Hukum”, dalam Jurnal Ilmiah Mimbar Demok rasi. Vol. 12, No, 02, (2013), 33.

abad XVIII banyaknya imigran yang datang terutama etnis Tionghoa, dengan membawa barang dagang dan juga mereka ingin mencari pekerjaan. Karena itu. pemerintah berusaha membatasi dengan memperkenalkan sistem kuota, akan tetepi yang demikian tidak berhasil. Akiabat dari kegagalan sistem kouta tersebut banyak orang yang baru menganggur dan juga berkelompok di daerah luar benteng. Banyak orang-orang Tionghoa yang bekerja di perkebunan dipecat karena pemasaran gula jatuh. Akibat hal tersebut orang-orang Tionghoa meningkat drastis dan banyak menimbulkan dampak yang begitu buruk dan menyebabkan tingkat kejahatan yang tinggi.36

Ini juga yang menjadi salah satu pemerintahan Belanda mengurangi jumlah populasi orang-orang etnis Tionghoa yang di Batavia. Hal demikian menyebabkan adanya kabar buruk tentang etnis Tionghoa yang melakukan sebuah pemberontakan. Akibatnya bangsa Belanda membasmi ribuan orang- orang Tionghoa yaitu pada tahun 1740. Sedangkan kawasan perkampungan China (pecinan) yang berada di daerah timur di bakar, dan kemudian etnis Tionghoa diusir dari dalam benteng. Banyak etnis Tionghoa yang lari ke pedalaman yang mereka anggap aman. Tahun 1770 Kapten Cook ia datang ke Batavia dan membicarakan tentang etnis Tionghoa ini nyaris mirip dengan Valentijn yang menulis pada awal abad mengatakan, “hanya sebagaian orang- orang Tionghoa hidup bersama di suatu tempat, dan tempat itu berada di luar tembok benteng kota, yang disebut pecinan. Kebanyakan diantara mereka adalah, pekerja kayu, pekerja mebel, ahli besi, jual sepatu, dan sisanya lagi

36 Ibid, Hal 35.

diantara mereka berada di pedalaman dengan profesi berkebun, dan bahkan memelihara sapi yang kemudian susu sapi tersebut mereka peras dan setiap hari dibawa ke daerah kota.37

Pada masa kepemerintahan Hindia-Belanda banyak kebijakan yang di keluarkan terutama tentang permukiman etnis Tionghoa, dimana kebijakan tersebut mengenai sistem perkampungan Tionghoa (Wijkenstelsel &

Panssenstelsel), dan (Kapitan Cina), sistem hukum bahkan kebijakan per- ekonomian sebagai pedagang, sistem status yang dimana suatu kebijakan peradilan yang menjadikan masyarakat Tionghoa tidak berbaur dengan etnis lain diluar komunitas etnis Tionghoa. Ada berapa hal yang ada di kebijakan Hindia Belanda yaitu:

1. Sistem Perkampungan Etnis Tionghoa

Nusantara orang-orang yang notabenenya etnis Tionghoa sejak awal mereka ke Indonesia, mereka di fungsikan sebagai perantara antara masyarakat lokal dan para saudagar asing yang datang ke bumi nusantara.

Berhasilnya orang Tionghoa membuat jaringan komersal sampai ke pelosok-pelosok daerah, akan tetapi nampaknya agak menghawatirkan pemerintah Belanda. Oleh karenanya pada tahun 1863 pemerintahan Belanda mengeluarkan beberapa peraturan yang khusus dalam membatasi ruang gerak etnis Tionghoa, peraturan itu berkaitan perkampungan Cina, yang tujuan awalnya untuk melindungi mereka dari masyarakat yang anti Cina dan dapat menghidari pemberontakan kepada kepemerintahan

37 Ibid, Hal 36.

Belanda di nusantara.38 Namun pada abad ke XIX, tetapnya peraturan itu juga mempunyai alasan-alasan lain, yaitu khawatirnya kepemerintahan Belanda akan bersatunya etnis Tionghoa dengan etnis yang lain yaitu masyarakat lokal, sehingga mereka di khawatirkan dapat menentang Belanda, peraturan tentang perkampungan Cina juga tercantum dalam beberapa kebijakan kepemerintahan Belanda yaitu dalam sebuah kebijakan tahun 1818, 1827 dan juga 1854. Dari kebijakan tersebut sebagai berikut:

a. Kebijakan berkaitan perkampungan Tionghoa sebelum abad 19 tidak dilakukan dengan kerasnya.

b. Kecendrungan bercampurnya etnis-etnis sebelum perantauan wajib untuk dilakukan yaitu membuat Wijkenstelsel diperketat.

Selain itu juga, dalam rangka monopoli dalam menimbun rempah-rempah, yaitu pada tahun 1863 kepemerintahan Belanda juga mengeluarkan kebijakan khusus yakni dilakukannya kebijakan tentang surat izin jalan (passenstelsel) bagi etnis Tionghoa, dan hal itu juga berkaitan dengan politik yang dilancarkan pemerintah Belanda. Tahun 1897 kebijakan itu diperketat. Adanya hal yang membatasi ini akhirnya mengurangi dominasi etnis Tionghoa di pasar daerah pedesaan. Tahun 1914-1916, etnis Tionghoa diperkenankan untuk bergerak serta bertempat dimana saja. Pada tahun 1919, semua kebijakan yang membatasi etnis Tiongho yang berdomisili di daerah Jawa dihapus. Pada tahun 1926 memperluas lagi ke luar pulau Jawa. Akan tetapi ini belum mengakhiri pemisahan etnis

38 Ibid, Hal 38

Tionghoa dari masyarakat lokal. Tahun 1908 kepemerintahan Belanda juga mendirikan Hollands Chinise School, yaitu sekolah yang diperkhususkan untuk anak-anak Tionghoa, yang terletak masih diruang lingkup pecinan.39

2. Sistem Opsir (Kapitan Cina)

Dalam menggampankan urusan kepemerintahan Belanda untuk menjalankan kepemerintahannya di nusantara, maka di perlukan adanya sistem opsir. hal yang lain diberlakukannya kebijakan opsir ini karena pemerintah Belanda tidak ingin dibuat pusing oleh adat istiadat, bahkan Agama dan juga kebiasaan dari kelompok etnis yang berbeda dengan bangsa Belanda. Karenanya kepemerintahan Belanda menetapkan sebuah kebijakan etnis minoritas yang ada di pulau Jawa, yaitu dengan cara menunjuk dan mengangkat pemimpin dari golongan etnis tersebut. Sistem tersebut berawal dari jabatan Syahbandar dan selanjutnya berkembang menjadi sebuah sistem kapitan saat Belanda berkuasa. Seorang syabandar bertugas menajadi perantara, yang dimana fungsinya menghubungkan antara pedagang asing dengan raja. Kapitan pertama dari bangsa Tionghoa adalah Sow Beng Kong yang bertugas daerah Batavia dan menjabat pada tahun 1619. Tugas opsir yaitu untuk menjelaskan kebijakan pemerintah kepada etnis Tionghoa dan mengambil pajak dari mereka. Namun akhir abad 18 situasi itu berubah, saudagar yang kaya, mereka telah menimbun kekayaan, oleh karenanya, mereka dapat menyuap bangsa Belanda agar

39 Ahmad Dahana, “Kebijakan Bangsa Eropa Terhadap Cina”, dalam Jurnal Ilmiah Wacana. Vol.

02, No, 01, (2000), 12.

tidak ditunjuk menjadi kapiten, sekretaris dan bahkan title-title yang lain.

Pada suatu saat sistem kekuasaan opsir Tionghoa itu telah melewati batas- batas yang diperkenankan pemerintah Belanda. Pada tahun 1740 terjadi pembantaian masal, yang merupakan sebuah opsir Tionghoa merupakan semacam ancaman terhadap kepemerintahan Belanda. Pada akhirnya Belanda-pun membatasi kekuasaan opsir Tionghoa hanya untuk mengurus hal yang berhubungan dengan upacara yang sifatnya tradisional. Tetapi abad ke- XX nasionalis Cina, menganggap opsir ini adalah suatu kepentingan pemerintah Belanda yang tidak menghormati etnis Tionghoa, selanjutnya, sistem opsir itu dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda karena tidak ada gunanya lagi. 40

3. Kedudukan Hukum.

Pada tahun 1854, kepemerintahan Hidia-Belanda membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yang pertama adalah bangsa Eropa yang berada didalamnya meliputi masyarakat Indo Eropa. Kedua adalah orang timur yang tidak dikenal meliputi etnis Tionghoa, etnis Arab, dan etnis Asia lainnya. Ketiga, adalah golongan orang-orang Indonesia asli. Ordonansi yang dikeluarkan 1854 ini adalah dengan tujuan agar ketiga tiga pertemuan, diserahkan berbagai buku kebijakan yang berbeda. Namun, secara eksplisit untuk bertukar. mulai dari awal VOC untuk individu diberlakukan hukum Belanda sepanjang kebijakan hukum Belanda itu masih bisa diterapkan bagi etnis Tionghoa. Akan tetapi, dalam hal

40 Ibid, hal 14.

kejahatan etnis Tionghoa disamakan dengan kelompok Inlender yang kasusnya diadili Politie roll atau Laandlard. Politie roll yaitu lembaga pengadilan yang dilakukan secara bebas atau secara sewenang-wenang di karenakan kepala polisi dapat menjatuhkan hukuman tanpa harus ada saksi-saksi, walaupun saksi itu ada, mereka tidak disumpah terlebih dahulu. Kemudian menyatakan sebuah keputusan dengan seenaknya tanpa harus ada banding bahkan, keputusan itu segera dilakukan. Sedangkan Laandlard merupakan sebuah lembaga pengadilan dimana ketuanya adalah seorang yang paham hukum. Laandlard hanya digunakan untuk menghakimi masyarakat asli bumi Nusantara, akan tetapi banyaknya pelanggaran yang dibuat oleh etnis Tionghoa dan mereka hakimi di peradilan ini. Hal tersebut menyebabkan etnis Tionghoa direndahakan dalam hal hukum. Sementara peradilan Raad Van Justitie merupakan sebuah pengadilang yang bertingkat tinggi khusus orang-orang eropa.41 4. Peraturan Ekonomi

Peraturan ekonomi kepada bangsa Tionghoa di bawah kepemimpinan bangsa Belanda, yang paling utama yang ada di daerah Jawa, dan kemudian berlandaskan kepada perubahan status Indonesia yang juga ikut andil dalam mempengaruhi perubahan dan bahkan kedudukan pedagang Tionghoa yang terbagi dalam tiga bagian. bagian yang awal, adalah saat Jawa belum di datangi oleh bangsa Eropa, saat itu perdagangan didistribusi oleh orang-orang Tionghoa kebanyakan yang ciri-ciri

41 Fadrik, “Kebijakan Hukum Bangsa Belanda Terhadap Cina”, Dalam Jurnal Ilmiah Belanda dan Cina. Vol. 01, No, 02, (2013), 20.

perdagangan seperti kelontong mancanegara yang begitu tinggi kualitasnya yaitu, sustra, porselin, tembaga, kertas, bahkan obat-obatan, gula dan kerajinan mewah lainnya. Pada bagian ini orang Tionghoa yang berada di Jawa pada saat itu, masih tidak terlalu banyak populasinya.

Kedua, adalah ketika saudagar Tionghoa menjadi perantara antara orang- orang Eropa dan masyarakat asli Nusantara. Ketiga, setelah orang-orang kompeni jatuh. Pada saat itu, para saudagar Tionghoa menjadi perantara antar saudagar secara besar-besaran, yaitu para saudagar swasta Eropa dan juga masyarakat asli Nusantara. Sedangkan perdagangan perantara iyalah, suatu cabang perdagangan yang dimana perdagangan tersebut, menjadi penghubung antar saudagar besar yang disebut industri di satu pihak.

Perdagangan besar ini meliputi perdagangan besar-besaran koleksi, yakni ekspor, dan juga distribusi, yang bisa dikatakan impor. Perdagangan besar- besaran ini terjadi, selama beberapa dekade terakhir sejak zaman pemerintahan Belanda, yang kita kenal sebagai lima besar atau Big Five, yakni yang mengusai Jacosen, Van den Berg, Itinerario, Geo Wehry, Borsumij, dan juga Lindetevse. Pada tahan yang kedua yaitu saat pemerintahan Gubernur Voc yang awal yaitu, J.P. Coen yang menggunakan peraturan dan juga yang memberi batas kongsi tersebut pada perdagangan borongan yang begitu besar, dengan bangsa Belanda yang sebagai perantara, namun, membiarkan pengeceran ditangan-tangan etnis Tionghoa.42 Ini dikarenakan jumlah orang-orang Tionghoa lebih banyak

42Ahmad Agil, “Politik Etis dan Empat Kebijakan Kolonialisme Belanda di Indonesia”, Dalam

dibandingkan bangsa Belanda dan juga, orang-orang Tionghoa dianggap lebih memahami situasi dan keadaan setempat. Akibat dari hal itu orang- orang Tionghoa dibatasi terhadap perdagangan yang sifatnya mengecer dan selanjutnya mendominasi dibagian tersebut. Dalam gelombang ini barang dagangan diutamakan dan tidak seperti barang-barang mewah dari timur yang berubah menjadi produk negara barat. Dalam proses yang ketiga, adalah setelah runtuhnya pemerintahan VOC di Nusantara, posisi etnis Tionghoa semakin menguat. Selain itu orang-orang Tionghoa juga memperkukuh kedudukan mereka dalam distribusi, akibatnya semua yang dijual oleh orang-orangg asli Nusantara kepada bangsa Eropa melalui perantara orang-orang Tionghoa, begitupun sebaliknya, barang-barang yang dibeli oleh orang asli Nusantara dari bangsa Eropa juga melalui perantara orang-orang Tionghoa. Tahun 1930, dari pekerjaan orang-orang Tionghoa yang berjumlah 102.455, yang kira-kira 57,66% adalah berdagang. Setelah bangsa Belanda membagun beberapa kekuatan di pesisir dan kemudian orang-orang Tionghoa mulai melirik daerah pedalaman Sunda. Berbagai perjalanan mulai dilakukan ke pedalaman dengan menyusuri sungai-sungai besar dan juga melewati daerah pedalaman Sunda.43

Jurnal Ilmiah Kebijak an Kolonialisme Belanda. Vol. 03, No, 02, (2011), 7.

43 Ibid, hal 9.

Dokumen terkait