• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perkembangan Permukiman Etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Sejarah Perkembangan Permukiman Etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Fiki Fardinanto NIM U20184039

UNIVERSITAS NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

JUNI 2022

(2)

ii

SKRIPSI

diajukan kepada Universitas Islam Negeri KH Ahmad Siddiq Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora

Program Studi Sejarah Peradaban Islam

Oleh:

Fiki Fardinanto NIM: U20184039

Disetujui Pembimbing

Muhammad Arif Mustaqim. S,Sos,. M,Sosio.

NUP.201603138

(3)

iii

SKRIPSI

telah diuji dan diterima untuk memenuhi salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora

Program Studi Sejarah Peradaban Islam

Tim Penguji

Ketua

Dr. Maskud, S.Ag., M.Si.

NIP 19721208 199803 001

Sekretaris

Mahillah, M.Fil.I.

NIP 198210222015032003

Anggota:

1 Dr. Akhiyat, S.Ag., M.Pd ( )

2 Muh. Arif Mustaqim S.Sos,. M.Sosio ( )

Menyetujui

Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora

Prof. Dr. M. Khusna Amal, S.Ag., M.Si.

NIP 19721208 199803 001

(4)

iv penindasan.

(Asvi Warman Adam, dalam buku Melawan Lupa, Menepis Stigma: Setelah Prahara 1965)

Manusia yang beruntung adalah, manusia yang lebih baik dari pada hari kemaren. Sedangkan manusia yang merugi adalah, manusia yang lebih buruk dari hari kemarin.

(Arti dari Al-qur’an Surat Al’ Ashr ayat 1-3)

(Penulis)

(5)

v

Kepada Kedua orang tua yang telah merawat dan membesarkan penulis yakni:

Bapak Tolak dan Ibu Rida yang selalu memberikan semangat serta do’a tanpa henti, juga seluruh keluarga terutama saudara-saudaraku yang tak henti

memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

(6)

vi

orang etnis Tionghoa juga menempati beberapa kedudukan yang mempunyai tanggung jawab yang begitu besar, dalam pemerintahan kerjaan-kerajaan Jawa. Terikatnya sebuah persekutuan, yang melalui perkawinan, dengan keluarga-keluarga etnis Tionghoa peranakan yang berada di pinggir pantai, di samping perkawinan yang mereka laksanakan dengan pangeran-pangeran kerajaan jawa. Bupati daerah Besuki yang merupakan orang Tionghoa yang bernama Han Mi Joen, yang memiliki gelar Tumenggung Suroadiwikrama.

Tahun 1795 Bupati Puger yaitu Prawirodiningrat wafat, dan pada saat itu VOC mengangkat Ronggo Besuki, yaitu kyai Ronggo Suro Adiwikrama sebagai Bupati Puger, yang diberi gelar Kyai Tumengung Sura Adiwikrama.

Dengan syarat-syarat yang sama dalam hal penyerahan hasil bumi kepada VOC seperti para pendahulunya. Pada masa Bupati inilah ibukota Kabupaten Puger di pindah ke Daerah Bondowoso. Tahun 1798, Distrik Besuki disatukan secara administratif dengan distrik Kabupaten Bondowoso dan juga Puger.

Pada saat itu hawa Bondowoso nampaknya tidak cocok, sehingga ia sering sakit. Pada tahun 1798 Tumenggung Suro Adiwikromo pindah ke daerah Besuki, dan menyerahkan pengawasan tidak langsung atas daerah tersebut kepada Mantri Wedana Kertonegoro, yaitu pada tahun 1801 Bupati Puger, Kyai Tumengung Suro Adiwikrama wafat. Menantunya yang pada saat itu menjabat sebagai Ronggo Besuki, menggantikannya sebagai Bupati Puger.

Pada tahun 1802 dengan gelar Kyai Tumenggung Surio Adiningrat dan bertempat tinggal di Bondowoso. Dari sinilah orang-orang Tionghoa berada di Daerah Bondowoso dikarenakan pemimpin-pemimpin terdahulu merupakan keturunan Tionghoa yang diprakasai oleh VOC. Ibu kota pertama daerah Bondowoso atau tempat kediaman Bupati Bondoowoso adalah daerah Blindungan Bondowoso. Pada tahun 1998 permukiman etnis Tionghoa menyebar dengan masyarakat lokal yang ada di Bondowoso, faktor yang mempengaruhi persebaran ini adalah, dikarenakan adanya asimilasi dengan masyarakat lokal yang ada di Bondowoso. Tidak adanya sekat inilah yang menyebabkan berbagai percampuran budaya selain faktor asimilasi yang mempengaruhi itu. Budaya asli etnis Tionghoa yang berada di nusantara ini berasal dari nenek moyang negeri Tiongkok (negeri Cina), yang kemudian banyak mengalami proses asimilasi atau pencampuran dengan masyarakat lokal yang ada di Indonesia. Di dalam proses perubahan Agama masyarakat etnis Tionghoa, peran masyarakat lokal juga sedikit banyak mempengaruhi, yaitu adalah dengan berbaurnya masyarakat lokal Bondowoso dengan masyarakat etnis Tionghoa, sehingga memunculkan rasa aman dan damai.

Dari sinilah munculnya keinginan masayarakat etnis Tioghoa untuk memeluk Agama Islam, yang dimana Islam merupakan Agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat lokal yang ada di Bondowoso.

Kata Kunci: Tionghoa, Permukiman, Perubahan Agama dan Budaya

(7)

vii

Dengan menghaturkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah yang telah mencurahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya serta para pengikutnya.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak, oleh sebab itu ucapan terima kasih yang tak terhingga dihaturkan kepada:

A. Allah SWT atas segala nikmat, kemudahan dan karunia-Nya yang tak terhingga.

B. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE, MM, selaku Rektor Universitas Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di lembaga yang dipimpinnya.

C. Bapak Prof. Dr. M. Khusna Amal, S.Ag., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab & Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

D. Bapak Dr. Akhiyat, S.Ag., M.Pd.I., selaku Ketua Prodi Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember yang telah memberikan ilmu.

(8)

viii atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan.

G. Seluruh pemimpin dan staf administrasi Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora yang telah membantu dan memberikan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti perkuliahan sampai selesai menyelesaikan skripsi ini.

H. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember yang banyak memberikan kemuduhan khususnya dalam menyediakan refrensi.

I. Kepada teman-teman seperjuangan prodi Sejarah Peradaban Islam, terkhusus pada angkatan 2018.

Peneliti menyadari, untuk kesempurnaan skripsi ini, penulis sangat memerlukan kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kami berlindung dan kepada Allah SWT jualah kami memohon pertolongan, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi para pembaca pada umumnya.

Jember ,4 Juni 2022

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Konteks Penelitian ... 1

B. Fokus Penelitian... 5

C. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 6

F. Studi Terdahulu ... 7

G. Kerangka Konseptual... 15

H. Metode Penelitian ... 19

I. Sistematika Pembahasan... 22

BAB II SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI BONDOWOSO ... 23

A. Sejarah Kedatangan Etnis Tionghoa di Nusantara ... 23

B. Kebijakan Bangsa Eropa Terhadap Etnis Tionghoa ... 29

C. Sejarah Etnis Tionghoa di Jawa... 39

D. Sejarah Disebutnya Etnis Tionghoa... 43

E. Sejarah Etnis Tionghoa di Karesidenan Besuki... 43

(10)

x

C. Perubahan Pola Kebudayaan Masyarakat Etnis Tionghoa di

Bondowoso ... 62

BAB IV PERUBAHAN AGAMA ETNIS TIONGHOA DI KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 1998-2003 ... 66

A. Proses Perubahan Agama Tionghoa ... 66

B. Faktor Penyebab Perubahan Agama Kristen Menjadi Agama Islam . 67 C. Pola Permukiman Etnis Tionghoa ... 67

D. Analisis Data... 76

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Bangsa ini, adalah negara yang memiliki jumlah individu terbesar keempat di dunia ini. Banyaknya penduduk yang ada di Indonesia bukan hanya penduduk asli Indonesia saja akan tetapi penduduk yang berasal dari Negara luar juga ada yang menetap di Negara ini. Beragamnya masyarakat yang multikultularisme, menyebabkan bukan hanya masyarakat asli Indonesia saja yang mendiami negara ini, akan tetapi berbagai etnis, salah satunya adalah orang-orang Tionghoa. Masyarakat Tionghoa datang ke Nusantara dengan bermacam alasan serta kepentingan yang berbeda-beda.

Dalam catatan historis, awal munculnya etnis Tionghoa ke wilayah Indonesia yaitu sekitar abad 16 dengan pertumbuhan yang lama-kelamaan meningkat yaitu, hingga pada abad 19. Hal tersebut merupakan imigrasi dari dua kelompok suku di daerah Cina yaitu suku Fukkien dan Kwangtung. Dua suku ini di kenal karena keahlian mereka dalam perdagangan. Dua suku inilah yang menjadi cikal-bakal etnis Tionghoa dikenal sebagai suatu etnis yang mampu menguasai di bidang perdagangan di Indonesia. Setelah tahun 1900, munculnya golongan-golongan etnis Tionghoa sudah mulai secara sendiri- sendiri dan banyak diantara golongan Tionghoa ini, merupakan seorang

(12)

saudagar atau orang yang sedang menempuh pendidikan dan mereka mampu secara ekonomi.1

Pada tahun 1998, etnis Tionghoa yang ada di Indonesia kira-kira ada 10 juta jiwa, dalam hal ini, jumlah populasi tersebut merupakan pertumbuhan etnis Tionghoa yang terbesar di wilayah Asia Tenggara. Hal ini, membuktikan masyarakat Tionghoa yang berada di bumi Nusantara bukanlah golongan yang kecil.

Masyarakat Tionghoa ini terbagi dalam dua macam yaitu Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok2. Bagi keturunan etnis Tionghoa kebanyakan menggunakan logat Hokkian yang dicampuri oleh bahasa tempat yang mereka tinggali, sedangkan Tionghoa totok menggunakan bahasa Kuo-yu.

Negara Indonesia banyak daerah yang khusus ditempati oleh etnis Tionghoa, yang keberadaannya tersebar di beberapa daerah. Hal demikian tidak lepas dari keterlibatan pemerintah Belanda yang waktu itu, mereka memisahkan permukiman penduduk lokal dengan Etnis Tionghoa. Etnis-etnis yang notabenenya pendatang, mereka diharuskan mendiami wilayah khusus.

Model pemisahan itu bertujuan agar memudahkan dalam mengatur masyarakat dan melakukan adu domba yang dalam hal ini bangsa Belanda melakukan pengkastaan, orang-orang asing, masyarakat asli Indonesia, dan mengkotak-kotakkan tiga etnis di tempat tinggal yang terpisah.3

1 Chandra Halim, “Komunitas Tionghoa di Solo dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta”, (Sk ripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2008), 20.

2 Melly G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia – Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: LIPI, cetakan ke-2 hal xi, 1981), 43.

3 Ibid, Hal 4.

(13)

Dengan kemampuan perdagangan yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa mereka bisa langsung dekat dengan masyarakat pribumi. Adanya interaksi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi baik sebagai tetangga yang hidup berdampingan maupun sebagai pedagang dan pembeli hingga pada akhirnya menimbulkan persepsi bagi masyarakat Tionghoa.

Persebaran etnis Tionghoa (Pecinan) di Indonesia ada di beberapa daerah salah satunya adalah Kabupaten Bondowoso yang saat ini menjadi jantung perdagangan masyarakat di wilayah Bondowoso. Ciri khusus masyarakat etnis Tionghoa yang per-ekonomian mereka menengah ke atas yaitu dengan dominannya pernak-pernik etnisnya terlihat jelas.4

Perkembangan masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Bondowoso ditandai dengan munculnya berbagai toko-toko yang notabenenya adalah masyarakat Cina, dan meluasnya permukiman Cina di Bondowoso pada tahun 1998. Sebelum itu, masyarakat Cina belum mengalami perkembangan yang sangat signifikan karena masih adanya pasar-pasar yang berjualan di dekat jalan, akan tetapi setelah adanya peraturan tentang pasar yang harus dipindah maka secara tidak langsung masyarakat Cina mengalami perkembangan.

Perdagangan di dearah pecinan saat ini menjadi satu dengan permukiman warga tanpa adanya sekat antara masyarakat Cina dan masyarakat Pribumi.5

Faktor yang mempengaruhi berkembangnya masyarakat etnis Tionghoa adalah adanya faktor asimilasi. Proses asimilasi antara orang Tionghoa

4 Arif Suparman, “Pola Permukiman Etnis Tionghoa di Bandar lampung Suatu Tinjauan Historis, Jurnal Pendidikan Sains, Sosial, dan Kemanusiaan”, dalam Jurnal Indonesian Jurnal of Chemistry, Vol. 13. No. 1 (Mei 2020), 15.

5 Wawancara, Pemilik Tok o Anyar yang Menjual Bahan -Bahan Pertanian, Bondowoso 14 Juni 2021.

(14)

peranakan Bondowoso dalam kehidupan bermasyarakat dengan orang Madura membawa perubahan yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat etnis Tionghoa. Salah satu contohnya dalam asimilasi budaya (akulturasi), dan asimilasi perkawinan, perilaku ekonomi, pendidikan, serta pergaulan. dapat membentuk daya minat karena dapat membimbing daerah setempat Identitas Tionghoa untuk melakukan koordinasi pergaulan sosial dengan lingkungan sekitar, mereka dapat bertukar pikiran tentang kehidupan sehari-hari, sesuai dengan perspektif kebangsaan atau kecenderungan sosial mereka. Sehingga disini akan ada kesamaan pemahaman tentang perbedaan yang ada, hal ini akan membuka pandangan mereka, khususnya terhadap identitas orang Tionghoa yang memiliki selektifitas dan etnosentrisme yang begitu tinggi.6

Perubahan contoh budaya etnis Tionghoa tidak hanya terjadi pada perubahan penggunaan dialek lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga terjadi dalam keyakinan yang ketat. Banyaknya individu etnis Tionghoa yang memeluk Agama Islam yang merupakan Agama sebagian besar masyarakat di lingkungan pemerintahan Bondowoso juga dapat menjadi salah satu faktor pendorong terciptanya Muslim Tionghoa kepada penduduk setempat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa bagian dari cara berperilaku sosial, misalnya, minoritas Muslim Tionghoa umumnya disambut oleh penduduk asli daerah di Bondowoso. Dalam perubahan Agama ini orang- orang Tionghoa masuk pada jajaran elit keagamaan yaitu menjadi pendakwah, salah satu contohnya adalah H.Oentono. Dengan menjadi pendakwah tentu

6 Edy Mulyono, “Asimilasi Etnis Tionghoa Keturunan Dengan Masyarakat Madura di Kecamatan Bondowoso Tahun 1998-2003”, (Sk ripsi, Universitas Jember, Jember, 2011), 11.

(15)

akan berdampak pada perubahan contoh sosial etnis Tionghoa di Indonesia Bondowoso.7

berubahnya pola kebudayaan etnis Tionghoa Bondowoso juga didukung oleh tempat tinggal etnis Tionghoa yang berdampingan dengan masyarakat asli Bondowoso. Hal inilah yang menjadi faktor perkembangan permukiman etnis Tionghoa di Bondowoso.

Mengingat klarifikasi di atas, maka peneliti tertarik mendalami lebih lanjut mengenai perkembangan etnis Tionghoa di Bondowoso. Oleh karena itu peneliti mengambil judul “Sejarah Perkembangan Permukiman Etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003.”

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana sejarah etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso?

2. Bagaimana pola permukiman etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003?

3. Bagaimana perubahan budaya dan Agama etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam hal penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di beberapa daerah yaitu, daerah Pecinan Bondowoso dan Blindungan Bondowoso. Permukiman etnis Tionghoa yang kini tidak ada sekat dengan masyarakat lokal menjadi daya tarik tersendiri, karena peneliti melihat diberbagai kota masih adanya sekat antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal.

7 Ibid, hal, 13-14.

(16)

Peneliti mengambil jangka waktu tahun 1998-2003, yang mana adanya kerusuhan anti ras pada tahun 1998 yang terjadi di berbagai daerah sehingga perkembangan masyarakat etnis Tionghoa tidak terlalu signifikan pada tahun sebelumnya. Namun menurut data dari sensus penduduk Kabupaten Bondowoso pada tahun 1998 meningkatnya orang-orang etnis Tionghoa pada tahun 1998 akibat adanya asimilasi antara masyarakat lokal dan masyarakat etnis Tionghoa.

D. Tujuan Penelitian

Ada beberapa aspek dalam tujuan penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso.

2. Untuk mengetahui dan mendalami pola permukiman etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003.

3. Untuk mengetahui perubahan budaya dan Agama etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003.

E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan konstribusi berfikir yang sangat signifikan sebagai masukan pengetahuan literatur ilmiah dan manfaat yang cepat untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat agar mengetahui sejarah perkembangan etnis Tionghoa yang ada di Bondowoso.

2. Secara Praktis

(17)

a. Bagi Peneliti

Dapat menjadi ilmu pengetahuan hal-hal baru yang ada dan mendapat pengalaman yang sangat luar biasa bagi peneliti, karena dengan melakukan penelitian secara langsung dapat memberikan wawasan yang begitu luas dan baru untuk lebih memahami bagaimana etnis Tionghoa ini berkembang sedemikian rupa dan berbaur dengan masyarakat lokal yang ada di Bondowoso dan juga peneliti bisa banyak memahami bahwa etnis Tionghoa yang ada di Bondowoso tidak mengalami sekat antara masyrakat lokal yang ada.

b. Bagi Lembaga

Menambah wawasan dan pengetahuan bagi khalayak yang membaca karya ini dan pada khususnya para akademisi di UIN KH ACHMAD SIDDIQ JEMER.

F. Studi Terdahulu

Tinjauan Pustaka atau kajian terdahulu adalah percakapan yang menggarisbawahi upaya untuk menempatkan eksplorasi yang akan dilakukan kontras dengan hasil masa lalu mengenai tema yang sama. Tinjauan pustaka bukanlah uraian tentang daftar pustaka yang akan digunakan, namun uraian singkat hasil-hasil penelitian tentang masalah sejenis yang telah dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Penelitian terdahulu dapat membantu kelancaran jalannya suatu penelitian.8

8 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarak at (Jakarta: Gramedia, 1989), 9.

(18)

Adapun penelitian yang sejenis dan relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penelitian pertama, dengan judul Sejarah dan Perkembangan Kampung Pecinan di Kota Madiun Masa Orde Lama hingga Reformasi (Studi Sosial-Ekonomi) oleh Rizki Aryono Putro dan Hartono Hadi Wasito. Fokus dari penelitian tersebut yaitu perkembangan Kampung Pecinan mulai dari Orde Lama hingga era Reformasi. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan teknik wawancara dan lain sebagainya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama membahas tentang sejarah perkembangan kampung pecinan. Namun, terdapat perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, penelitian ini akan membahas sejarah, perkembangan dan juga pola perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Bondowoso, sedangkan penelitian terdahulu tidak membahas pola perubahan budaya.9

Penelitian kedua, dengan judul Perkembangan Sejarah Kawasan Pecinan Semarang. Penelitian ini ditulis oleh Monica Lalu Melati, Ariadne Kristia Nataya, Alfonsus Arianto Wibowo. Penelitian ini memfokuskan terhadap perkembangan kampung pecinan di Kota Semarang dan juga faktor pembentuk Kota Semarang. Metode kualitatif dengan menggunakan sistem wawancara dan lain sebagainya, juga menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan sebuah teori analisis menurut

9 Rizki Aryono Putro dan Hartono Hadi Wasito, “Sejarah Dan Perkembangan Kampung Pecinan Di Kota Madiun Masa Orde Lama Hingga Reformasi (Studi Sosial-Ekonomi)”, dalam Jurnal Perk embangan Pecinan Madiun. Vol. 3, No, 02, (2013), 10-12.

(19)

Koentjaraningrat. Dari penelian tersebut terdapat persamaan terhadap penelitian ini dan penelitian terdahulu yaitu sama-membahat tentang sejarah perkembangan kampung pecinan yang ada. Akan tetapi terdapat perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu, penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso. Selain itu juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk agama Islam yang merupakan notabenenya agama mayoritas penduduk lokal.

Sedangkan penelitian terdahulu membahas sejarah dan faktor pembentuk Kota Semarang dan perkembangan pecinan.10

Penelitian ketiga berjudul Ruang Kawasan Pecinan Semarang yang ditulis oleh Rosiana mahasiswa Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kajian morfologi. Penelitian ini memfokuskan pada ruang lingkup kawasan pecinan yang ada di Kota Semarang. Dari sini terdapat persamaan yaitu sama-sama membahas sebuah daerah pecinan. Akan tetapi ada perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso. Selain itu juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk agama Islam yang merupakan notabenenya agama mayoritas penduduk lokal. Sedangkan penelitian

10 Monica Lalu Melati, Ariadne Kristia Nataya, Alfonsus Arianto Wibowo, “Perkembangan Sejarah Kawasan Pecinan Semarang”, dalam Jurnal Indonesia Mining Jurnal. Vol. 14, No, 06. (1 Mei 2014), 22.

(20)

terdahulu hanya membahas ruang lingkup pecinan Semarang dan membatasi fokus penelitiannya.11

Penelitian keempat berjudul Studi Perkembangan dan Revilitalisasi Pecinan Makassar yang ditulis oleh Kilda Wildana Nur, Endang Tri Sunarti Darjosantojo, Ispurwono Soemarno. Penelitian ini memfokuskan tentang vitalisasi pecinan dan sejarah perkembangannya di Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dari sini ada persamaan yaitu sama-sama membahas sejarah perkembangan kampung pecinan yang ada dan pemvitalan kampung pecinan. Namun juga ada perbedaan yang ada antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu, penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso. Selain itu juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk agama Islam yang merupakan notabenenya agama mayoritas penduduk lokal dan juga, penelitian ini menggunakan metode-metode sejarah dalam mengumpulkan data.12

Penelitan kelima yang berjudul Analisis Tingkat Perubahan Pada Fasad Bangunan Pecinan Di Koridor Jalan Cilangkap Pasar Lama Kota Tangerang. Penelitian ini ditulis oleh Yasyallah Mahasiswa Universitas Mercu Buana Fakultas Teknik Perencanaan dan Desain. Penelitian ini memfokuskan pada kemajuan bangunan pecinan di Kota Tangerang dan

11 Rosiana, “Ruang Kawasan Pecinan Semarang Tahun 2002-2005”, (Sk ripsi: Universitas Diponegoro, 2010)

12 Kilda Wildana Nur, Endang Tri Sunarti Darjosantojo, Ispurwono Soemarno, “Studi Perkembangan Dan Revilitalisasi Pecinan Makassar”, dalam Jurnal Studi Komunitas dan Media.

Vol. 7, No, 01, (2012), 5.

(21)

perubahannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dari sini terdapat persamaan yaitu sama-sama membahas tentang ruang lingkup pecinan, namun ada perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, dalam penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso. Selain itu juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk Agama Islam yang merupakan notabenenya Agama mayoritas penduduk lokal. Penelitian ini menggunakan metode-metode sejarah dalam mengumpulkan data, sedangkan penelitian terdahulu hanya fokus pada perkembangan bangunan dan perubahannya.13

Penelitian keenam yang berjudul Sejarah Perkembangan Pecinan di Pekalongan yang ditulis oleh Angga Panji. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan kajian morfologi. Fokus penelitian ini yaitu sejarah perkembangan pecinan yang ada di Kota Pekalongan. Dari sini terdapat persamaan yaitu sama-sama membahas perkembangan pecinan.

Namun, terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, dalam penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso. Selain itu juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk Agama Islam yang merupakan notabenenya Agama mayoritas penduduk lokal. Metode yang digunakan

13 Yasyallah, “Analisis Tingkat Perubahan Pada Fasad Bangunan Pecinan Di Koridor Jalan Cilangkap Pasar Lama Kota Tanggerang”, (Sk ripsi: Universitas Mercu Buana, Tahun 2017)

(22)

dalam mengumpulkan data pada penelitian ini yaitu metode-metode sejarah, sedangkan penelitian terdahulu hanya membahas tentang sejarah perkembangan pecinan tanpa menyinggung perubahan pola budaya dan juga menggunakan metode morfologi.14

Penelitan ketujuh yang berjudul Sejarah Perkembangan Pecinan di Medan yang ditulis oleh Bayu Wardani. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini memfokuskan kepada bagaimana sejarah perkembangan pecinan di Medan. Dari sini terdapat persamaan yaitu sama- sama membahas perkembangan pecinan. Namun, terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, dalam penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso, juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk Agama Islam yang merupakan notabenenya agama mayoritas penduduk lokal dan juga penelitian ini menggunakan metode-metode sejarah dalam mengumpulkan data, sedangkan penelitian terdahulu hanya fokus membahas bagaimana perkembangan etnis Tionghoa.15

Penelitian kedelapan yang berjudul Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis China Studi Kasus Kawasan Pecinan Semarang yang ditulis oleh M. M.

Sudarwani. Fokus penelitian ini yaitu tentang bagaimana simbol-simbol yang ada di perkampungan etnis Tionghoa. Penelitian ini menggunakan metode

14 Angga Panji, “Sejarah Perkembangan Pecinan di Pekalongan”, dalam Jurnal Sejarah dan Budaya. Vol. 4, No, 03, (2016), 11.

15 Bayu Wardani, “Sejarah Perkembangan Pecinan di Medan, Tahun 2001-2003”, (Sk ripsi: ISI Yogyakarta, 2010)

(23)

kualitatif. Dari sini terdapat persamaan yaitu sama-sama membahas perkembangan pecinan. Namun, terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, dalam penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso, juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk Agama Islam yang merupakan notabenenya Agama mayoritas penduduk lokal dan juga, penelitian ini menggunakan metode-metode sejarah dalam mengumpulkan data, sedangkan penelitian terdahulu membahas simbol yang ada pada rumah etnis Tionghoa dan fokus terhadap hal itu.16

Penelitian kesembilan yang berjudul Transformasi Sosio-Spasial Kawasan Pecinan Kota Semarang yang ditulis oleh Tiara Rizkyvea Febbi.

Penelitian ini memfokuskan terhadap perkembangan kawasan pecinan dan bagaimana sosialnya yang mengalami transformasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dari penelitian terdahulu ini terdapat persamaan dengan apa yang akan peneliti tulis yaitu sama-sama membahas bagaimana keadaan kawasan pecinan dan pola perubahan sosialnya. Namun terdapat perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu, dalam penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso, juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk Agama Islam yang merupakan

16 M. M. Sudarwani, “Simbolisasi Ruamh Tinggal Etnis China Studi Kasus Kawasan Pecinan Semarang”, dalam Jurnal Masyarak at Indonesia. Vol. 8, No, 02, (2 Mei 2012), 19.

(24)

notabenenya Agama mayoritas penduduk lokal dan juga, penelitian ini menggunakan metode-metode sejarah dalam mengumpulkan data, sedangkan penelitan terdahulu lebih fokus dengan pola perubahan sosial masyarakat etnis Tionghoa.17

Penelitian kesepuluh yang berjudul Pelestarian Kawasan Pecinan Kembang Jepun Melalui Pendekatan Pola Publik Private. Penelitan ini ditulis oleh Diana Gracea. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan fokus penelitian pada bagaimana pelestarian Kawasan Pecinan Kembang Jepun melalui pendekatan pola publik private. Dari sini terdapat persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang yaitu sama-sama membahas kawasan pecinan dan bagaimana pola pendekatannya. Namun ada perbedaan antara penelitian terdahulu dan penelitian sekarang yaitu, dalam penelitian ini membahas sejarah dan perkembangan kampung pecinan serta perubahan pola budaya yang terjadi kepada masyarakat etnis Tionghoa di Bondowoso, juga membahas faktor apa yang menyebabkan orang Tionghoa memeluk Agama Islam yang merupakan notabenenya Agama mayoritas penduduk lokal, sedangkan penelitian terdahulu hanya memfokuskan bagaimana cara melestarikan kawasan pecinan.18

G. Kerangka Konseptual

17 Tiara Rizkyvea Febbi, “Transformasi Sosio-Spasial Kawasan Pecinan Kota Semarang”, dalam Jurnal Perk embangan Kota Semarang, Vol. 5, No, 04, (7 Maret 2011), 17.

18 Diana Gracea, “Pelestarian Kawasan Pecinan Kembang Jepun Melalui Pendekatan Pola Publik Private”, dalam Jurnal Pelestarian Kampung Pecinan, Vol. 6. No, 07, (1 Januari 2010), 12.

(25)

Teori merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian dikarenakan teori adalah alat yang sangat membantu untuk menentukan arah penelitian serta menemukan konsep-konsep yang terdapat dalam sistematika penelitian.19

Dalam kerangka konseptual ini, peneliti memetakan beberapa hal yaitu, pertama peneliti ingin menyampaikan mengenai pola perubahan budaya.

Kedua peneliti juga meneliti sejarah etnis Tionghoa Bondowoso. Ketiga peneliti juga akan meneliti pola permukiman etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso.

faktor sosial yaitu berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup dalam satu ras karena adanya perasaan keamanan dan juga dapat saling membantu. Ini dikaitkan dengaan sifat ekslusif orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1998 berkembang kampung pecinan yang ada di Bondowoso. Hal ini karena adanya asimilasi dan akulturasi antara masyarakat Bondowoso dengan etnis Tionghoa sehingga masyarakat etnis Tionghoa memiliki keturunan dari masyarakat lokal Bondowoso. Masyarakat lokal Bondowoso sendiri notabenenya adalah orang-orang Madura dari segi bahasanya. Bondowoso sangat erat sekali dalam sistem toleransinya terhadap masyarakat asing yang berada di kawasan Bondowoso dan bisa hidup berdampingan dengan mereka.20

Tatanan permukiman pecinan di Bondowoso sendiri juga dipengaruhi beberapa faktor yang membuat tidak adanya sekat dengan penduduk pribumi.

19 Alwan Khoir. “Panduan Penulisan Proposal Skripsi dan Munaqsyah”, (Sk ripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2006), 13.

20 Edy Mulyono, “Etnis Tionghoa Keturunan Dengan Masyarakat Madura di Kecamatan Bondowoso Tahun 1998-2003”, (Sk ripsi, Universitas Jember, Jember, 2011), 11.

(26)

Pertama, bentuk lingkungan bangunan yang tidak mencolok, kedua kondisi alam sekitar dan ketiga kelompok komunitas dengan socio culture. Hal ini menyebabkan toleransi yang tinggi antar ras yang ada di Bondowoso.

Oleh karena itu, peneliti dapat menarik kesimpulan atas keterkaitan untuk mengambil judul “Sejarah Perkembangan Permukiman Etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso Tahun 1998-2003.” Dengan beberapa pandangan yakni, bahwa perkembangan etnis Tionghoa yang ada di Bondowoso mengalami signifikansi pada tahun 1998 dan etnis Tionghoa juga memiliki kedudukan penting dengan ditunjuknya takmir masjid yang merupakan orang Cina keturunan lewat asimilasi perkawinan (akulturasi budaya). Dari permasalahan yang ada diatas peneliti menentukan teori tindakan sosial Max Weber.

Max Weber mengatakan, individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang statis dari pada paksaan fakta sosial. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nilai, dan .yang diingat untuk gagasan realitas sosial. Terlepas dari kenyataan bahwa pada akhirnya Weber merasakan bahwa di mata publik ada desain sosial dan fondasi sosial

Dalam teori tindakan sosial Max Weber tentunya ada perspektif Max Weber sebagai pengemuka eksemplar dari paradigma definisi sosial. Secara definitif Max Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Bagi Max

(27)

Weber, studi tentang tindakan sosial berarti mencari pengertian subyektif atau motivasi yang terkait pada tindakan-tindakan sosial.

Pertama pemikiran Weber, individu itu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut.

Sementara rasionalitas dipahami sebagai individu yang menjadi agen akan selalu berusaha untuk memaksimalkan utilitas yang diterima dalam aktivitas produktif dan hubungan pertukaran serta menganggap keteraturan sosial adalah resultan kompleks dari tindakan individu.21

Serta mengharapkan permintaan sosial adalah "hasil" aktivitas orang yang membingungkan. Dengan gagasan penegasan, Weber membagi beberapa jenis aktivitas sosial. Semakin masuk akal aktivitas sosial, semakin sederhana untuk memahaminya. Mengenai Pembagian kegiatan sosial dibagi menjadi empat macam:, yaitu:

tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun dapat dipahami.

Kedua, rasionalitas yang berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika,

21 John Scott, Teori Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 121.

(28)

estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga tindakannya masih dapat dipahami.

Ketiga, tindakan afektif (affectual), yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang melakukannya. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian. Tindakan ini sukar dipahami karena kurang rasional.

Keempat, tindakan tradisional, yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun sukar dipahami karena kurang rasional bahkan tidak rasional.

Hubungan analitis antara tindakan rasional dan jenis-jenis tindakan yang lain, diteliti oleh Weber, Simmel, dan para sosiolog yang lain, juga merupakan hubungan historis. Modernisasi, sebagai sebuah proses rasionalisasi, melibatkan peningkatan peran dari tindakan rasional dan struktur tindakan dalam ketiadaan tindakan tradisional.22

Alasan peneliti mengambil teori tindakan sosial Max Weber karena peneliti ingin mengungkap beberapa aspek yang ada dipermukiman etnis tionghoa di Kabupaten Bondowoso. Pertama, peneliti ingin meneliti bagaimana pola perubahan etnis tionghoa di Kabupaten Bondowoso. Kedua, Peneliti ingin mengetahui bagaimana awal etnis tionghoa berada di Kabupaten

22 Budi F. Hardiman, Menuju Masyarak at Komunik atif, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 34.

(29)

Bondowoso. Ketiga, peneliti ingin mengetahui apa faktor yang mempengaruhi etnis tionghoa memeluk agama islam, untuk memudahkan peneliti dalam meneliti tiga aspek tersebut, maka peneliti menggunakan teori tindakan sosial Max Weber.

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Dalam penerapannya metode ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Pemilihan Topik Penelitian

Topik penelitian ini adalah sejarah perkembangan etnis Tionghoa di Kabupaten Bondowoso. Ada beberapa faktor mengapa peneliti memilih etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Bondowoso dan tahun 1998-2003 sebagai batas penelitian. Pertama, pada tahun sebelumnya terjadi kerusuhan anti Tionghoa yang terjadi di Situbondo dan merembet ke Bondowoso yang menyebabkan perkembangan etnis Tionghoa kurang signifikan. Kedua, pada tahun berikutnya yakni tahun 1998 perkembangan etnis Tionghoa berkembang sangat pesat dengan adanya asimilasi budaya.

2. Heuristik

Heuristik adalah proses mencari dan menemukan sumber-sumber yang diperlukan. Sumber yang diperlukan terbagi menjadi dua antara lain:

a. Sumber Primer, adalah suatu sumber langsung dari pelaku sejarah yang ada di Bondowoso, seperti naskah, prasasti, artefak, dokumen- dokumen, foto, bangunan, catatan harian, hasil wawancara, video, dan

(30)

lain-lain. Contohnya yaitu pemilik Toko Anyar Bondowoso yang merupakan pelaku sejarah yang masih ada.

b. Sumber Sekunder, adalah suatu sumber yang berasal dari pihak bukan pelaku sejarah, melainkan dari luar para pelaku sejarah, seperti laporan penelitian, eksiklopedia, catatan lapangan peneliti, buku, dan lain-lain.

Contohnya yaitu skripsi Edy Mulyono yang berjudul “Asimilasi Etnis Tionghoa Keturunan Dengan Masyarakat Madura di Kecamatan Bondowoso Tahun 1998-2003.” Skripsi ini sekilas menggambarkan budaya-budaya etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Bondowoso.

3. Kritik Sumber (Verifikasi)

Kritik sumber adalah sebuah verifikasi yaitu membuktikan sumber sejarah tersebut adalah asli. Kritik sumber terbagi menjadi dua yaitu:

a. Kritik Intern, adalah suatu kritik terhadap kredibilitas sumber artinya peneliti perlu menguji isi dan sumber baik secara kebendaan maupun tulisan, seperti contohnya melihat usia informan, semakin tua usianya.

Pada umumnya daya ingat dan kemampuan panca inderanya sudah berkurang. Dalam hal ini peneliti menyiasati dengan memberikan arahan dan membaca literatur yang ada sebelumnya untuk membantu mengingat-ngingat kejadian yang terjadi pada masa lalu.

b. Kritik Ekstern, yaitu suatu kritik terhadap keakuratan dan keaslian sumber, seperti materi sumber sejarah. Aspek yang dikaji adalah waktu, bahan pembuat sumber, dan pembuktian keaslian. Dalam hal

(31)

ini peneliti mencocokkan data-data yang sudah ada sehingga mampu menjadikan sebuah penelitian yang relevan.

4. Interpretasi

Interpretasi adalah melakukan suatu penafsiran akan makna ataurealitas saat ini yang harus diperlakukan tidak memihak. Terlepas dari apakah itu membutuhkan sikap emosional, harus emosional dan bijaksana.

Rekreasi acara otentik harus diserahkanmenarik dan harus memberikan riwayat yang valid atau dekat kebenaran. Seperti halnya yang ada pada sejarah etnis Tionghoa, peneliti harus bersikap objektif artinya peneliti tidak berpihak kepada salah satu pihak, baik etnis Tionghoa maupun masyarakat lokal. Secara subjektif peneliti di sini mampu menggunakan metode-metode pendekatan kepada pihak-pihak terkait agar penelitian mampu berjalan dengan apa yang peneliti harapkan.

5. Historiografi

Historiografi merupakan upaya peneliti sejarah23 dalam melakukan rekontruksi sumber-sumber yang telah ditemukan diseleksi dan dikritisi.

Dalam hal ini peneliti mencocokkan sumber-sumber dengan penelitian terdulu dan juga data-data yang ada di lapangan dengan bertanya kepada masyarakat etnis Tionghoa mapun masyarakat lokal yang ada di sekitar kampung pecinan Bondowoso.

23 Supriadi, Sejarah Indonesia k elas X Untuk SMA/MA, (Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. 1999), 7.

(32)

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, penulis menyusun secara sistematis dalam bentuk bab per bab seperti di bawah ini:

Bab I : Dalam bab ini terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka terdahulu, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.

Bab II : Menjelaskan Sejarah Singkat Etnis Tionghoa di Nusantara, Mulai dari Kebijakan Bangsa Eropa, Sejarah Etnis Tionghoa di Jawa Timur, Sejarah Etnis Tionghoa di Kerisedinan Besuki.

Bab III : Menguraikan Pola Perubahan Budaya Etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Bondowoso, maksud dari bab ini adalah untuk mengetahui perubahan Etnis Tionghoa di Bondowoso.

Bab IV : Menguraikan tentang bagaimana bentuk pola permukiman Bondowoso sehingga bisa dikatakan pecinan yang ada di Bondowoso berbeda dengan pecinan yang lainya dengan tidak adanya sekat antara masyarakat lokal dan etnis Tionghoa, serta perubahan agama Etnis Tionghoa yang ada di Bondowoso.

Bab V : Dalam bab ini berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari hasil penelitian, serta saran-saran. Dalam bab ini disimpulkan hasil pembahasan untuk menjelaskan dan menjawab permasalahan yang ada serta memberikan saran-saran dengan tetap bertitik tolak pada kesimpulan.

(33)

23

BAB II

SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI KABUPATEN BONDOWOSO

A. Sejarah Kedatangan Etnis Tionghoa di Nusantara

Datangnya Etnis Tionghoa pertamakali di bumi nusantara sebelum menjadi nama Indonesia, belum diketahui denggan pasti. Adanya sebuah jalur pelayaran yang dilakukan orang Etnis Tionghoa dan masyarakat nusantara sudah berlangsung sejak pada zaman Purba, yaitu dengan dibuktikannya dengan cara arkeologis, yaitu ditemukan beberapa gedrang perunggu berukuran besar yang ditemukan di daerah Sumatera Selatan yang merupakan budaya dari Dongson. Kemudian mengingat sejarah dan cerita dalam Dinasti Han, yang pada waktu itu di bawah pemerintahan Kaisar wang Ming, pada hal ini Tiongkok telah mengenal wilayah nusantara yang dalam bahasa cinanya adalah Huang Tse.24

Pengelompokan oleh beberapa para ahli bahwa kedatangan Etnis Tionghoa ke bumi nusantara dibagi ke berbagai beberapa kategori. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Purcell, yang berjudul Cina Di Asia Tenggara, bahwa perpindahan bangsa Tionghoa ke bumi nusantara terbagi ke-dalam tiga tahap, yaitu yang pertama pada masa Kerajaan, yang kedua pada masa kedatangan orang-orang Eropa ke nusantara, yang ketiga, yaitu pada masa

24 Nur Lina Chusna, “Tata Letak di Lingkungan Pecinan Bogor”, dalam Jurnal Perk embangan Pecinan Bogor. Vol. 2, No, 01, (2009), 21.

(34)

Belanda. Tahap awal yaitu pada saat nusantara masih diperintah oleh kerajaan- kerajaan. Jumlah etnis Tionghoa pada saat itu masih terbilang sedikit dan belum membentuk dalam satuan komunitas atau perkampungan yang seperti ditetapkan Belanda. Mereka juga belum terbentuk satuan mapan, dan juga datang sesuai dengan musim angin yang merupakan sebuah sarana pelayaran.

Bangsa Etnis Tionghoa bermukim di daerah pelabuhan dengan jangka waktu yang relatif sebentar, meskipun hal demikian berlangsung secara berabad- abad. Tahap ini terbilang lambat dan juga terbilang tidak dapat menunjukkan eksistensi yang cukup bearti. Tahap tersebut dapat dikenal dengan sebutan Chinese Follow The Trade, yaitu kedatangan bangsa bangsa Cina untuk berdagang. Dalam Hoakiu yang ada di Indonesia menyampaikan bahwa pada masa kerajaan, yaitu pada masa Airlangga telah ditemukan adanya kelompok- kelompok Tionghoa yang berada di Tuban, Jepara, Gresik, Banten, dan juga Lasem. Hal ini dikarenakan orang-orang Tionghoa dapat diterima oleh masyarakat asli setempat.25

Kedua, yaitu proses masuknya orang-orang Tionghoa ke nusantara adalah ketika bangsa Eropa mulai mulai datang ke daerah Asia Tenggara yaitu pada abad XVI. Kehadiran bangsa-bangsa Eropa yakni Portugis, Spanyol, Inggris, bahkan Belanda, menjadikan daerah Asia Tenggara semakin ramai.

Bangsa Eropa mulai menjadikan pelabuhan-pelabuhan di dearah tersebut untuk tempat per-ekonomian. Hal ini dapat menjadi pendukung orang Tionghoa bermigrasi dan semakin meningkatkan peluang bagi orang Tionghoa

25 Ni Wayan Sartini, “Ruang Lingkup Pecinan Batavia”, (Sk ripsi: Unair, 2017).

(35)

untuk ikut andil dan berperan aktif dalam berdagang. Selain hal itu, juga orang-orang Tionghoa dapat membuka peluang bagi mereka untuk berdiam di bumi nusantara dalam waktu yang relatif lama.26

Ketiga, yaitu saat Hindia-Belanda mulai mengusai nusantara, dengan ditandai terdapat berbagai permukiman Cina dibeberapa daerah seperti, pantai timur Sumatera, Kalimantan Barat, dan juga disepanjang pesisir utara Jawa.

Dalam tahap ini dikatakan bahwa jumlah orang Tionghoa begitu besar, orang Tionghoa bukan hanya didorong oleh kepentingannya untuk berdagang, akan tetapi juga kebutuhan per-ekonomian untuk umum dan juga bangsa Belanda sengaja untuk menghadirkan orang-orang Tionghoa agar dapat mengatasi kurangnya tenaga kerja untuk sebuah proyek perkebunan serta pertambangan.

Ada juga pendapat lain yang dikemukakan oleh Wang Gungwu dalam buku yang berjudul China and The Chinese Overseas, bahwa ada beberapa pola migrasi yang terjadi di Asia Tenggara, yaitu pola pertama adalah The Tread Pattern, yang merupakan sebuah pola yang dikatakan yang paling tua dalam migrasi bangsa Tionghoa, yaitu adanya perdagangan antar daerah di negeri Cina itu sendiri. Perdagangan ini kemudian melebar menjadi perdagangan antar Negara, yaitu diantaranya perdagangan ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke V sampai abad XVIII.27

Pola kedua yaitu, The Coolie Pattern atau Huagong, yaitu disebut dengan pola buruh, lalu pola buruh tersebut terkenal saat Asia Tenggara sudah dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Mereka juga memerlukan orang-orang

26 Ibid, hal, 11.

27 Ibid, hal, 12.

(36)

Tionghoa sebagai tenaga kerja untuk mengembangkan usaha pertambangan dan juga perkebunan diberbagai daerah di Asia Tenggara. Para buruh umumnya berasal keluarga yang tidak mampu yang pada umumnya merantau dengan bertujuan untuk memperbaiki per-ekonomian mereka.28

Ketiga, yaitu Sojourner Patter istilah ini berlaku bagi semua bangsa- bangsa Tioghoa diperantauan, sedangkan diperantauan tersebut adalah guru, jurnalis, dan juga kelompok-kelompok yang perduli dengan nasionalisme bangsa Tionghoa diperantauan, oleh karenanya pada masa Huaqiao juga terdapat banyak ungkapan yang yang mengacu pada perpindahan orang-orang Tionghoa seperti halnya, Huamin, Huaren, dan Min Guaren dan Tangren, sedangkan pola terakhir yang ada re-migran Pettern ataupun Huayi, pola tersebut tidak juga termasuk dari ketiga pola yang ada sebelumnya yang membuat etnis Tionghoa dengan kewarganegaraan yang begitu beragam.29

Pada pola Huayi dapat dipahami sebagai sebuah perpindahan orang Tionghoa migrasi ke negara lain. Perpindahan yang telah berlangsung cukup lama di daerah Cina itu sebetulnya mempunyai dua buah arus, yaitu arus yang pertama adalah migrasi internal, migrasi yang berlangsung yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, ke daerah utara yaitu Machuria dan Siberia. Kedua, adalah arus imigrasi eksternal migrasi ini dilakukan ke daerah selatan yang dilakukan oleh orang Tionghoa selatan. Migrasi yang dilakukan ini menggukan dua jalur, yaitu yang pertama adalah jalur darat, jalur darat yang dilalui seperti Guizhou, Guangxi, dan juga daerah Yunnan, Tangkei dan

28 Parekh, B, A New Politics Of Identity Identitas Hibrid Orang Cina, (Yogyakarta: Gading Publising, 2014), 388.

29 Ibid, hal, 339.

(37)

bahkan daerah Vietnam. Jalur ini yang digunakan oleh para pedagang Tionghoa, duta duta dan juga pendeta Tionghoa, dalam perjalanan mereka ke daerah Burma, Thailand dan Asia Tenggara. Pada masa berikutnya yang dilakukan untuk migrasi oleh orang-orang Tionghoa adalah jalur laut, yang lebih banyak dipergunakan setelah jalur darat dirasakan menemui banyak rintangan dan juga memerlukan banyak biaya. Pada jalur laut ini diperuntukkan dan juga diutamakan untuk lalu lintas perdagangan dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Ming yaitu pada tahun 1368-1644 M.30

Perkembangan perpindahan masyarakat Tionghoa yang semakin besar ke daerah Asia Tenggara. Perkembangan tersebut dikarenakan keadaan Negara Cina yang saat itu berada dibawah kekuasaan Dinasti Ming, jumlah penduduk Cina yang semakin banyak, sehingga penghidupan para petani di Cina semakin sulit. Selain hal itu, yang menyebabkan dibukanya kembali perdagangan Cina dengan wilayah Asia Tenggara yaitu, diakibatkan oleh berhasilnya peperangan yang dilakukan oleh para pasukan Ching di daerah Formosa. Sedangkan kronik dalam Dinasti Tang, dikatakan kedatangan para utusan dari kerajaan To-lo-mo sekitar tahun 525, 528, 666 sampai 669 SM di Tiongkok. Kerajaan To-lo-mo ini ternyata Ta-ru-na yang lebih dkenal Tarumanegara yang mengikuti pengucapan lidah etnis Tionghoa. Dikatakan orang etnis yang pertama datang ke bumi Indonesia atau nusantara pada waktu itu, adalah seorang Pendeta Budha yang bernama Fa-Hien (Fa Xien). Ia

30 Ibib, hal, 340.

(38)

kemudian berhenti sejenak di Pulau Jawa sekitar tahun 413M. Fa-Hien bercerita mengenai Tarumanegara, sebuah kerajaan Hindu yang terletak di sekitar aliran sungai Citarum dalam sebuah buku catatannya. Pada saat singgah itu Fa-Hien mengatakan tidak ada seorang etnis Cina pun yang tinggal di Pulau Jawa.31

Sekitar abad XIII, Cheng Ho mengatakan bahwa dalam menetap sementara di Palau Jawa, yang kebanyakan orang-orang Cina pusatnya berada di kota-kota pantai seperti halnya, Tuban, Surabaya, dan juga Gresik. Daerah itu merupakan tempat yang vital dan strategis dalam perdagangan dengan orang-orang Tionghoa. Namun ada juga orang Cina yang datang ke nusantara yang merupakan seorang pedagang yang kaya raya, yaitu sekitar abad ke XVII. Banyak daerah partikelir yang berada di daerah Batavia yang dapat dijadikan daerah perkebunan tebu. Pada saat itu penguasa bukan berasal dari Bupati akan tetapi kebanyakan daerah tersebut dikuasai oleh bangsa Etnis Tionghoa dan juga bangsa Eropa. Gubernur Jenderal Daendles kebanyakan menjual tanah pertanian kepada orang Tionghoa. Namun pada tahun 1870 sebuah hukum agrais melarang pemilikan tanah oleh orang-orang asing.32

Pada puncaknya penyebaran etnis Tionghoa dari Tiongkok bagian selatan dan Tiongkok bagian tengah yaitu sekitar akhir abad XIX sampai dengan permulaan abad ke XX. Migrasi tersebut juga diikuti oleh kolonialisme selama berabad-abad lamanya. Pada awal abad ke XIX jumlah

31 Susetno, “Steriotip dan Relasi Antar Etnis Cina dan Etnis Jawa Pada Mahasiswa di Semarang ”, (Tesis: Universitas Indonesia, 2002). 16.

32 Lindsey T, Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgheting, (Pasing Panjang, Institut Of Southeast Studies, 2005). 200.

(39)

masyarakat etnis Tionghoa ke Batavia lebih dari 100 ribu orang sedangkan penduduk pulau Jawa diperkirakan mencapai 5 juta orang. Pada pertengahan abad ke XIX suku bangsa Hokkian yang merupakan domain grup mereka yang termasuk pandai untuk berdagang, sedangkan bangsa yang lainnya seperti halnya bangsa Hakka yang mereka pada awalnya kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan, dan kemudian mereka mendominasi pertambangan terutama pada sektor emas di Kalimantan Barat dan juga menguasai pertambangan timah yang ada di Bangka Belitung. Selanjutnya banyak di antara mereka merantau ke Pulau Jawa dan menjadi profesi sebagai saudagar atau buruh Priangan.33

B. Kebijakan Bangsa Eropa Terhadap Etnis Tionghoa

Saat orang-orang Eropa mulai memasuki Indonesia, dimana pada saat itu keadaan di Jawa mulai mengalami banyak perubahan. Pada saat itu sektor kekuasaan bukan lagi berada di pedalaman akan tetapi berada di pinggir pantai utara Jawa. Pada saat itu pelabuhan yang sangat terkenal adalah pelabuhan Sunda Kelapa, kebanyakan para pedagang asing terutama Etnis Tionghoa yang menetap, tempat atau permukiman mereka berada di ssebelah timur sungai Ciliwung, sedangkan permukiman masyarakat asli tepat berada di sebelah barat yang pada saat merupakan pusat kota. Pelabuhan Jayakarta mempunyai dua pasar, yang pertama merupakan pasar tradisional yang berdagang komoditi lokal, pasar pelabuhan yang terletak dekat dengan permukiman etnis Tionghoa yang kemudian dikenal dengan sebuah sebutan

33 Ibid, hal 201.

(40)

“Pecinan”. Dimana pasar tersebut berdagang komoditi ekspor-impor yang dimana perdagangan tersebut di kontrol masyarakat Tionghoa.34

Awal abad ke XIIV kapal-kapal Belanda mulai berlabuh di Jayakarta di bawah pemimpin mereka yaitu, Cornelius de Houtman. Kemudian mereka mendirikan sebuah pos perdagangan bagi sebuah persekutuan perdagangan yang kita kenal dengan VOC (Verenegde Oost Indische Compagnie), yang mereka dirikan pada tahun 1602. Sedangkan pos perdagangan mereka berada di tepi timur sungai Ciliwung, dekat dengan permukiman etnis Tionghoa yang disebut daerah pecinan. Pada pos itu diperkuat dengan dibangunnya benteng- benteng. Dalam hal ini di luar perjanjian dan juga persetujuan Pangeran Jayakarta, dan oleh akibat itu peperangan tidak bisa dihindarkan, yaitu tepatnya pada 1619 bangsa Belanda berhasil merebut Jayakarta dan mereka membakar semua bangunan-bangunan yang ada di kota. Pada akhirnya Jayakarta di ubah namanya menjadi Batavia yang berada di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.35

Kemudian secara bertahap pemerintah Belanda secara perlahan mulai membangun kota yang dibelah oleh sungai Ciliwung dan juga pada saat itu permukiman mulai dibentuk. Diantaranya yaitu permukiman Etnis Tionghoa dan Portugis serta orang Timur Asing dibangun di sebelah timur yang di dalamnya dengan pasar dan juga gudang industri. Sedangkan permukiman- permukiman tersebut dikelilingi tembok kota, akan tetapi permukiman yang dihuni oleh masyarakat asli daerah itu berada di luar benteng tersebut. Pada

34 Darmawan Darwin, Identitas Hibrid Orang Cina, (LKIS Yogyakarta, 2014). 7.

35 Fokky Fuad, “Peristiwa Chinesetroubelen di Batavia Sebuah Tinjauan Sejarah Hukum”, dalam Jurnal Ilmiah Mimbar Demok rasi. Vol. 12, No, 02, (2013), 33.

(41)

abad XVIII banyaknya imigran yang datang terutama etnis Tionghoa, dengan membawa barang dagang dan juga mereka ingin mencari pekerjaan. Karena itu. pemerintah berusaha membatasi dengan memperkenalkan sistem kuota, akan tetepi yang demikian tidak berhasil. Akiabat dari kegagalan sistem kouta tersebut banyak orang yang baru menganggur dan juga berkelompok di daerah luar benteng. Banyak orang-orang Tionghoa yang bekerja di perkebunan dipecat karena pemasaran gula jatuh. Akibat hal tersebut orang-orang Tionghoa meningkat drastis dan banyak menimbulkan dampak yang begitu buruk dan menyebabkan tingkat kejahatan yang tinggi.36

Ini juga yang menjadi salah satu pemerintahan Belanda mengurangi jumlah populasi orang-orang etnis Tionghoa yang di Batavia. Hal demikian menyebabkan adanya kabar buruk tentang etnis Tionghoa yang melakukan sebuah pemberontakan. Akibatnya bangsa Belanda membasmi ribuan orang- orang Tionghoa yaitu pada tahun 1740. Sedangkan kawasan perkampungan China (pecinan) yang berada di daerah timur di bakar, dan kemudian etnis Tionghoa diusir dari dalam benteng. Banyak etnis Tionghoa yang lari ke pedalaman yang mereka anggap aman. Tahun 1770 Kapten Cook ia datang ke Batavia dan membicarakan tentang etnis Tionghoa ini nyaris mirip dengan Valentijn yang menulis pada awal abad mengatakan, “hanya sebagaian orang- orang Tionghoa hidup bersama di suatu tempat, dan tempat itu berada di luar tembok benteng kota, yang disebut pecinan. Kebanyakan diantara mereka adalah, pekerja kayu, pekerja mebel, ahli besi, jual sepatu, dan sisanya lagi

36 Ibid, Hal 35.

(42)

diantara mereka berada di pedalaman dengan profesi berkebun, dan bahkan memelihara sapi yang kemudian susu sapi tersebut mereka peras dan setiap hari dibawa ke daerah kota.37

Pada masa kepemerintahan Hindia-Belanda banyak kebijakan yang di keluarkan terutama tentang permukiman etnis Tionghoa, dimana kebijakan tersebut mengenai sistem perkampungan Tionghoa (Wijkenstelsel &

Panssenstelsel), dan (Kapitan Cina), sistem hukum bahkan kebijakan per- ekonomian sebagai pedagang, sistem status yang dimana suatu kebijakan peradilan yang menjadikan masyarakat Tionghoa tidak berbaur dengan etnis lain diluar komunitas etnis Tionghoa. Ada berapa hal yang ada di kebijakan Hindia Belanda yaitu:

1. Sistem Perkampungan Etnis Tionghoa

Nusantara orang-orang yang notabenenya etnis Tionghoa sejak awal mereka ke Indonesia, mereka di fungsikan sebagai perantara antara masyarakat lokal dan para saudagar asing yang datang ke bumi nusantara.

Berhasilnya orang Tionghoa membuat jaringan komersal sampai ke pelosok-pelosok daerah, akan tetapi nampaknya agak menghawatirkan pemerintah Belanda. Oleh karenanya pada tahun 1863 pemerintahan Belanda mengeluarkan beberapa peraturan yang khusus dalam membatasi ruang gerak etnis Tionghoa, peraturan itu berkaitan perkampungan Cina, yang tujuan awalnya untuk melindungi mereka dari masyarakat yang anti Cina dan dapat menghidari pemberontakan kepada kepemerintahan

37 Ibid, Hal 36.

(43)

Belanda di nusantara.38 Namun pada abad ke XIX, tetapnya peraturan itu juga mempunyai alasan-alasan lain, yaitu khawatirnya kepemerintahan Belanda akan bersatunya etnis Tionghoa dengan etnis yang lain yaitu masyarakat lokal, sehingga mereka di khawatirkan dapat menentang Belanda, peraturan tentang perkampungan Cina juga tercantum dalam beberapa kebijakan kepemerintahan Belanda yaitu dalam sebuah kebijakan tahun 1818, 1827 dan juga 1854. Dari kebijakan tersebut sebagai berikut:

a. Kebijakan berkaitan perkampungan Tionghoa sebelum abad 19 tidak dilakukan dengan kerasnya.

b. Kecendrungan bercampurnya etnis-etnis sebelum perantauan wajib untuk dilakukan yaitu membuat Wijkenstelsel diperketat.

Selain itu juga, dalam rangka monopoli dalam menimbun rempah-rempah, yaitu pada tahun 1863 kepemerintahan Belanda juga mengeluarkan kebijakan khusus yakni dilakukannya kebijakan tentang surat izin jalan (passenstelsel) bagi etnis Tionghoa, dan hal itu juga berkaitan dengan politik yang dilancarkan pemerintah Belanda. Tahun 1897 kebijakan itu diperketat. Adanya hal yang membatasi ini akhirnya mengurangi dominasi etnis Tionghoa di pasar daerah pedesaan. Tahun 1914-1916, etnis Tionghoa diperkenankan untuk bergerak serta bertempat dimana saja. Pada tahun 1919, semua kebijakan yang membatasi etnis Tiongho yang berdomisili di daerah Jawa dihapus. Pada tahun 1926 memperluas lagi ke luar pulau Jawa. Akan tetapi ini belum mengakhiri pemisahan etnis

38 Ibid, Hal 38

(44)

Tionghoa dari masyarakat lokal. Tahun 1908 kepemerintahan Belanda juga mendirikan Hollands Chinise School, yaitu sekolah yang diperkhususkan untuk anak-anak Tionghoa, yang terletak masih diruang lingkup pecinan.39

2. Sistem Opsir (Kapitan Cina)

Dalam menggampankan urusan kepemerintahan Belanda untuk menjalankan kepemerintahannya di nusantara, maka di perlukan adanya sistem opsir. hal yang lain diberlakukannya kebijakan opsir ini karena pemerintah Belanda tidak ingin dibuat pusing oleh adat istiadat, bahkan Agama dan juga kebiasaan dari kelompok etnis yang berbeda dengan bangsa Belanda. Karenanya kepemerintahan Belanda menetapkan sebuah kebijakan etnis minoritas yang ada di pulau Jawa, yaitu dengan cara menunjuk dan mengangkat pemimpin dari golongan etnis tersebut. Sistem tersebut berawal dari jabatan Syahbandar dan selanjutnya berkembang menjadi sebuah sistem kapitan saat Belanda berkuasa. Seorang syabandar bertugas menajadi perantara, yang dimana fungsinya menghubungkan antara pedagang asing dengan raja. Kapitan pertama dari bangsa Tionghoa adalah Sow Beng Kong yang bertugas daerah Batavia dan menjabat pada tahun 1619. Tugas opsir yaitu untuk menjelaskan kebijakan pemerintah kepada etnis Tionghoa dan mengambil pajak dari mereka. Namun akhir abad 18 situasi itu berubah, saudagar yang kaya, mereka telah menimbun kekayaan, oleh karenanya, mereka dapat menyuap bangsa Belanda agar

39 Ahmad Dahana, “Kebijakan Bangsa Eropa Terhadap Cina”, dalam Jurnal Ilmiah Wacana. Vol.

02, No, 01, (2000), 12.

Gambar

Foto wawancara  dengan  Junaidi
Foto wawancara  dengan  Jaelani
Foto wawancara  Sunarto  (alias)  Yap Kung  Hong
Foto wawancara  Ferry

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan: (1) Ingin mengetahui sejarah perkembangan batik di Laweyan, Surakarta tahun 1965- 2000; (2) Ingin mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah pemukiman di Kampung Lalang, untuk mengetahui perkembangan Kampung Lalang, untuk mengetahui peranan sungai

Lokasi penelitian ini adalah kampung pecinan di kota Tegal. Kehidupan multikultural di kampung pecinan bisa dilihat dari identitas etnik dan agama. Masyarakatnya

Skripsi ini membahas tentang Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Kelurahan Tlogoanyar Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Tahun 1975-2015. Permasalahan

Dinamika Sosial Budaya Etnis Tionghoa di Kabupaten Jember Tahun 1965- 2011; Melinda Puspitawati, 050210302364; 2005 ; xiii + 115 halaman; Program Studi Pendidikan

Penelitian dengan judul Sejarah Perkembangan Bioskop Di Surakarta Tahun 1950-1979 ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti sangat tertarik untuk mengangkat dalam bentuk penelitian dengan judul: “REKONTRUKSI SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, maka penelitian ini dikatakan berbeda dengan penelitian terdahulu karena dalam penelitian ini membahas tentang perbedaan