• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

C. Sasaran Penelitian

Hal yang menjadi sasaran dalam penelitin ini adalah alih fungsi rumah adat di Benteng Somba Opu Kabupaten Gowa. Untuk mengetahui ini peneliti mengambil informasi dari beberapa informan yang diambil dengan tehnik purposive sampling (pengambilan sempel berdasarkan tujuan).

Informan yang dimaksud adalah : (1) Staff di Kantor Pengelola Benteng Somba Opu, (2) Staff Kelurahan Benteng Somba Opu, (3) Pengurus Rumah Adat di Benteng Somba Opu 2 orang, (4) Pedagang Kaki Lima (PKL) di Benteng Somba Opu.

D. Deskriptif Fokus

Yang dimaksud dengan Alih fungsi adalah perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

E. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, penulis sendiri yang bertindak sebagai instrumen (human instrumen). Hal ini didasari oleh adanya potensi manusia yang memiliki sifat dinamis dan kemampuan untuk mengamati, menilai, memutuskan dan menyimpulkan secara obyektif. Guba dan Lincoln (dalam Muhadjir, 1996 : 120).

Untuk memperoleh hasil penelitian yang cermat dan valid serta memudahkan penelitian maka perlu menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara (daftar pertanyaan), pedoman observasi, pensil/pulpen dan catatan peneliti yang berfungsi sebagai alat pengumpul data serta alat pemotret.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan pada kondisi alami, (Natural setting).Yaitu :

1. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan penelitian secara langsung pada objek penelitian agar diperoleh keterangan yang lebih jelas.

Penulis akan mengamati secara langsung objek penelitian untuk mendapatkan data yang lebih jelas.

Gubo dan Lincoln ( 1981: 191-193), mengemukakan beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif, pengamatan dimafaatkan sebasar-besarnya kerana, (1) pengamatan berdasarkan atas pengalaman secara langsung, (2) teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan menagamati sendiri kemudian mencatat yang sebenarnya terjadi, (3) Memungkinkan peneliti mencatat peristiwa adalam situasi yang berakaitan dengan pengetahuan proposisional maupun

pengetahuan langsung, (4) Memungkinkan peneliti mengetahui dan mampu memahami situasi- situasi yang rumit.

2. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tatap muka, di mana pertanyaan diberikan secara lisan dan jawabannya secara lisan pula (Sukmadinata, 2004:222). Hal ini lebih mempertajam kuesioner sehingga data yang dapat diperoleh dengan kuesioner dapat dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada responden.

3. Metode Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang.

Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni yang dapat berupa gamba, patung, film dan lain-lain. Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif (Sugiono, 2008). Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang peralihan fungsi tempat wisata tentang penyalagunaan rumah adat di Benteng Somba Opu.

4. Studi pustaka

Studi Pustaka, yaitu dengan mencari tahu dan mempelajari literatur yang membahas tentang semua hal yang berkaitan dengan penelitian ini, baik melalui buku ataupun internet.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang penting dalam penelitian kualitatif.

Pada bagian ini memerlukan pekerjaan yang sistematis, komunikatif, dan koperehensif dalam merangkai dan merespon, mengorganisasi data, menyusun data dan merakitnya ke dalam satu kesatuan yang logis sehingga jelas kaitannya.

Untuk menganalisis data, data digunakan model analisis interaktif (Interactive Model Analisys). Menurut HB.Sutopo, bahwa dalam proses analisis data ada tiga komponen pokok yang harus dimengerti dan dipahami oleh setiap peneliti. Tiga komponen tersebut adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (HB. Sutopo, 2002: 91-93). Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyerderhanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalam field note. Proses ini berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari bahkan sebelum pengumpulan data.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah suatu rakitan informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dilakukan. Pada bagian ini, data yang disajikan telah disederhanakan dalam reduksi data dan harus ada gambaran secara menyeluruh dari kesimpulan yang diambil. Susunan kajian data yang baik adalah yang jelas sistematiknya, karena hal ini akan banyak membantu dalam penarikan kesimpulan. Adapun sajian data dapat berupa gambar, matriks, tabel maupun bagan.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah suatu proses penjelasan dari suatu analisis (reduksi data). Ketiga proses analisis data tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang saling menjelaskan data berhubungan erat.

H. Teknik Pengabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, pengabsahan data merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena tanpa pengabsahan data yang di peroleh dari lapangan maka akan sulit peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya.

Dalam hal pengabsahan data, peneliti menggunakan metode triangulasi.

Untuk melihat derajat kebenaran dari hasil penelitian ini, maka dilakukan pemeriksaan data, yang mengisyaratkan bahwa “untuk menetapkan keabsahan data diperlukan pemeriksaan data”. Pengabsahan data dilakukan dengan menggunakan triangulasi, yaitu:

1. Triangulasi Data (Data Triangulation)

Peneliti menggunakan variasi sumber-sumber data yang berbeda, seperti dokumen, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.

2. Triangulasi Peneliti (Investigator Triangulation)

Adanya pernyataan peneliti atau di luar peneliti yang turut memeriksa pengumpulan data, seperti dosen pembimbing yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.

3. Triangulasi Teoritis (Theoritical Triangulation)

Peneliti menggunakan beberapa perspektif yang berbeda untuk mrnginterpretasikan data yang sama. Penggunaan teori yang berlainan di gunakan untuk memastikan bahwa data yang di kumpulkan sudah memenuhi syarat.

4. Triangulasi Metode (Methodological Triangulation)

Peneliti memakai beberapa metode yang berbeda untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara dan peneliti.

41 A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasai Penelitian

a. Sejarah Singkat, Letak, Luas dan Batas Wilayah Benteng Somba Opu

Dari beberapa catatan sumber sejarah di peroleh keterangan bahwa Benteng Somba Opu didirikan atas perintah Raja Gowa IX yaitu karaen Tumaparisi Kallonna yang memerintahkan memasang tembok di sekeliling kota Somba Opu yang terbuat dari tanah liat, kemudian dilanjutkan oleh Raja Gowa XII Karaeng Tunijallo’ dan diberi batu bata oleh Raja Gowa XIV Sultan Alauddin. Pada akhirnya disempurnakan dan dijadikan sebagai benteng induk atau benteng utama dari beberapa benteng pertahanan yang ada dalam wilayah Kerajaan Gowa oleh Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa XVI (1631-1670). Demikian pula beliau menjadikannya sebagai tempat kediaman atau istana Raja sesudah Benteng Kale Gowa, juga sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa, maka jelaslah pula kekuasaan dan pengaruhnya sangat besar di seluruh Indonesia bagian Timur khususnya di daerah Sulawesi Selatan. Sejalan dengan makin berkembangnya kerajaan Gowa itu, makin bertambah pula kemnkinan adanya perlawanan dan serangan-serangan terhadap kekuasaan Kerajaan Gowa, baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar seperti bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan terutama Bangsa Belanda.

Kerajaan Gowa merasa sangat perlu untuk memperkuat benteng pertahanannya. Oleh karena itu selain Benteng Somba Opu didirikan pula serankaian benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Tallo, benteng Ujungpandang, Benteng Ujung Tanah, Benteng Mariso, Benteng Panakukang, Benteng Garassi, Benteng Galesong, Benteng Barombong an sebagainya. Jadi Benteng Somba Opu inilah yang merupakan benteng kebanggaan kerajaan Gowa.

Keberhasilan dalam dunia maritim di Asia Tenggara yang berpusat di Somba Opu Makassar menarik banyak pedagang, Somba Opu membeberkan suasana yang baik dari pada pelabuhan lain dalam pertukaran barang-barang seperti rempah- rempah dari Maluku, kain dari India, barang logam dan sutra dari Cina, perak dari Spanyol/Mexico dan lada dari Sumatera dan kalimantan.

Somba Opu jadi pusat perdagangan, kota niaga telah berperan secara internasional. Rupanya kejayaan itulah yang membuat VOC berusaha menggalakkan usaha-usahanya untuk merebut kejayaan orang Makassar memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kejayaan itulah orang asing banyak mengunjungi Somba Opu pada periode I sampai pertengahan abad ke-17 bahkan portugis mendirikan basis perdagangan utamanya di Asia Tenggara sesudah jatuhnya Malaka. Inggris mendirikan sebuah industri kecil dalam tahun 1613 dan membangun suatu hubungan khusus dalam tahun 1630-an.

Pada Tanggal 15 Juni 1669 belanda mengadakan serangan yang terbesar atas benteng Somba Opu karena perundingan-perundingan yang diajukan Belanda semua ditolak oleh Sultan dan pada malam 24 Juni 1669 Somba Opu dihancurkan dengan

dinamid sampai rata dengan tanah. Sejak saat itu lumpulah kekuatan Gowa. Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dan diganti oleh anaknya. Kekalahan Kerajaan Gowa jika dilihat dari strategis pertahanan seperti bangunan-bangunan benteng hanya difokuskan pada pertahanan serangan dari laut, sehingga pasukan belanda dapat menyerang dari darat.

Jadi pada zaman pemerintahan Sultan Hasanuddin Benteng Somba Opu yang tadinya berperan sebagai pelabuhan internasional lebih berperan sebagai benteng pertahanan dari serangan Belanda.

Rumah tradisional kini kian sulit dijumpai. Hampir semua rumah warga sudah dibangun dengan menggunakan gaya arsitektur modern. Atas dasar itulah berdirilah Taman Miniatur Sulawesi Selatan yang didirikan pada tahun 1991 dengan mengikuti konsep Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Berada di jalan Daeng Tata, kelurahan Somba Opu, kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Taman ini berada satu kompleks dengan Benteng Somba Opu.

Rumah tradisional di Sulawesi Selatan adalah salah satu bangunan yang tergolong unik di Indonesia. Bangunannya terbuat dari kayu berkualitas tinggi dan mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama. Di Taman Miniatur ini dapat menjumpai koleksi 27 bangunan rumah tradisional yang mewakili empat etnis di Sulawesi Selatan yakni Bugis, Toraja, Mandar dan Makassar. Sedikitnya ada 23 rumah yang dibangun oleh setiap pemerintah daerah dan 4 rumah yang dibangun oleh pemerintah provinsi.

Rumah-rumah tradisional yang dibangun di Taman Miniatur ini umumnya masih mempertahankan arsitektur asli dan dibangun dengan kayu berkualitas sangat baik. Kompleks ini tertata rapi. Bahkan setiap tahunnya pemerintah provinsi Sulawesi Selatan melaksanakan sebuah pamerah yang memperlihatkan berbagai kemajuan dalam bidang infrastruktur dan hasil bumi.

b. Kondisi Geografis

Benteng Somba Opu merupakan benteng pertahanan ibukota Kerajaan Gowa terletak di Kelurahan Benteng Somba Opu Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara astonomis benteng tersebut terletak pada 05° 11’

21.8”LS dan 119° 24’ 07.5”BT pada ketinggian 0-10 mdpl, berdiri di sebuah dataran yang merupakan delta Sungai Jeneberang.

Benteng Somba Opu berbatasan dengan 1). Sebelah utara berbatasan dengan Tanjung Merdeka. 2). Sebelah selatan berbatasan dengan Barombong. 3) Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Merdeka. 4). Sebelah timur berbatasan dengan Tamannyeleng.

c. Kondisi Demografis

Secara arsitektural, begitu menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Berdasarkan data hasil sensus penduduk tahun 2014 disebutkan bahwa total jumlah penduduk di Kelurahan Benteng Somba Opu adalah

5374 jiwa dengan rincian laki-laki berjumlah 2706 jiwa dan perempuan berjumlah 2668 jiwa. Jenis pekerjaan penduduk Kelurahan Benteng Somba adalah sebagai karyawan, wiraswasta, buruh tani, pertukangan, pensiunan, dan nelayan. (Kantor Kelurahan Benteng Somba, 2014)

2. Alih Fungsi Tempat Wisata pada Rumah Adat di Benteng Somba Opu a. Sekilas Tentang Miniatur Rumah Adat di Benteng Somba Opu

Menurut Muh. Yusuf Husain salah satu staff dan sebagai pemandu wisata di dalam kawasan Benteng menyatakan:

“Memang awalnya replika rumah adat Sulawesi Selatan yang berada di kawasan Benteng Somba Opu ini berjumlah 27 akan tetapi sekarang hanya tinggal 26 rumah. Itu dikarenakan etnis Mandar telah berpisah dengan Sulawesi selatan dan berdiri sendiri menjadi Sulawesi Barat. Beliau juga menambahkan bahwa di dalam kawasan ini juga terdapat beberapa museum dan galeri kesenian. Dimana masing-masing tempat mempunyai fungsi masing-masing.

(Wawancara, 10 Oktober 2014).”

Menurut Sitti Ramlani selaku staff di kantor kelurahan Benteng Somba Opu menambahkan bahwa:

“Semuarumah adat di dalam benteng somba opu ini mewakili Sulawesi Selatan secara keluruhan dan dengan adanya kompleks miniature rumah adat ini, menandakan bahwa Sulawesi Selatan juga mempunyai identitas budayanya tersendiri. Jadi kita bangga jadi orang Sulawesi . ( Wawancara 12 Oktober 2014).”

Lain hal yang dikatakan oleh Mail selaku pengurus salah satu rumah adat bahwa:

”Bahwa Dimana semua rumah adat yang terdapat ditempat ini itu dapat menggambarkan seluruh rumah adat yang ada di Sulawesi Selatan serta budayanya masing-masing. (Wawancara 14 Oktober 2014).”

Dari hasil wawancara diatas peneliti bisa mendeskripsikan bahwa Kompleks Miniatur rumah adat Sulawesi Selatan yang berada di kawasan Benteng Somba Opu yang awalnya berjumlah 27 kini hanya berjumlah 26 dengan 3 rumah adat yang menandakan etnis Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Toraja dan Makassar. Sedangkan etnis mandar sendiri dihilangkan dikarenakan telah mempunyai provinsi sendiri yaitu Sulawesi Barat. Miniatur rumah adat didirikan untuk menandakan identitas budaya masing-masing daerah yang berada di Sulawesi selatan dan untuk mengetahui bentuk rumah adat Sulawesi Selatan tanpa harus mengunjungi daerahnya. Miniatur rumah adat ini juga sekaligus mewakili hampir semua daerah yang berada di Sulawesi Selatan. Sehingga mudah diketahui.

b. Kondisi Rumah Adat di Benteng Somba Opu

Rumah adat sekarang mengalami degradasi akibat beberapa faktor, kurangnya perhatian dari pemerintah, akses yang sulit menuju benteng sehingga kurang wisatawan yang berkunjung, serta masyarakat lokal yang acuh terhadap kondisi rumah adat. Hal ini dapat kita lihat dimana sebagian rumah sudah tidak terawat, Tiang rumah banyak yang telah lapuk akibat dimakan waktu serta dinding rumah sebagian sudah rapuh.

Menurut Dg. Ugi selaku perawat dan pengurus rumah adat menjelaskan bahwa:

“Memang beberapa bangunan tampak mulai tak terurus. selama ini para penghuni yang mendiami rumah-rumah tradisional ini, biasanya adalah perwakilan dari masing-masing etnis yang dihunjuk oleh pemerintahnya.

Namun seperti diakui Dg. Ugi mengatakan bahwa para penghuni itu mungkin tak cukup paham bagaimana merawat dan menjaga keutuhan bangunan.

Apalagi hampir semua bangunan berbahan dasar kayu, serta penuh dengan ornamen. (Wawancara 13 Oktober 2014)”

Lain hal yang dikatakan oleh Wari salah satu pedagang kaki lima yang berjualan di dalam kawasan rumah adat mengatakan bahwa:

“beberapa rumah, terlihat mulai lapuk. Malah sebagian ada yang nyaris rubuh.

Kesadaran para penghuni yang mendiami rumah-rumah itu juga mesti mendapat perhatian serius. Pola hidup sesuka hati, masih tampak di sana-sini.

(Wawancara 16 Oktober 2014)”

Menurut Muh.Yusuf Husein:

”Sebenarnya rumah-rumah adat disini sudah maksimal dijaga, dipelihara, dirawat. Namun banyaknya masalah dan beberapa pertimbangan. Sehingga apa yang nampak sekarang tidak sesuai dengan harapan. Apalagi ditambah kurangnya kesadaran masyarakat yang menempati rumah adat itu. Contohnya, mereka menjemur pakaian mereka di sembarang tempat. Padahal jelas, bahwa kawasan tempat mereka tinggal adalah situs sejarah budaya yang juga menjadi tempat tujuan wisata. Amat sangat tidak elok, ketika turis berkunjung mendapati pakaian-pakaian yang bergelantungan di sudut-sudut rumah tradisional itu. (Wawancara 10 Oktober 2014).

Berikut penyebab kondisi rumah adat yang mulai tidak terurus di Kelurahan Somba Opu Kecamatan Somba Opu Kota Makassar antara lain sebagai berikut :

a. Kurangnya pengetahuan masyarakat sekitar tentang perawatan dan pemeliharaan rumah adat yang sebenarnya.

b. Tidak adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya rumah adat sebagai situs sejarah budaya.

c. Kurangnya partisipasi pemerintah dalam hal insfrastruktur yang ada dalam kawasan tersebut.

Menurut Siti Ramlani:

“Padahal jika rumah adat lebih dirawat dengan baik, bukan tidak mungkin Rumah adat khususnya benteng somba opu ini Mampu menjadi tempat wisata

sejarah yang dapat menarik wisatawan lokal, nasional dan internasional.

(Wawancara 14 Oktober 2014) Mail menambahkan bahwa:

”Rumah adat ini sebaiknya lebih diperhatikan karena Merupakan Aset Lokal, Nasional maupun Internasional dan Merupakan salah satu cagar budaya yang sangat berharga. (Wawancara 12 Oktober 2014)”

c. Fungsi Utama Miniatur Rumah Adat di Benteng Somba Opu Menurut Muh. Yusuf Husein:

”Fungsi utama didirikannya taman miniatur rumah adat di kawasan benteng ini yaitu 1) Sebagai situs sejarah, 2) Untuk meningkatkan PAD, 3) Sebagai pajangan, 4) Sebagai Tempat Pameran budaya-budaya Sulawesi Selatan.

(Wawancara 10 Oktober 2014).”

Dari penuturan informan diatas terdapat empat fungsi utama miniature rumah adat, namun fungsi tidak selamanya dijalankan sesuai rencana. Seperti yang dikemukakan oleh Sitti Ramlani bahwa:

”Memang rumah adat ditempat ini unik dan menarik, namun sekarang sudah mulai hilang nilai-nilainya karena kurang dikembangkan. (Wawancara 12 Oktober 2014).”

Menurut Dg. Ugi menyatakan:

”Fungsi replika Rumah adat (Rumah Miniatur) sekarang ini dijadikan tempat tinggal oleh penduduk setempat dan disewakan untuk kegiatan mahasiswa/remaja, siswa. (Wawancara 14 Oktober 2014).”

Lain halnya yang disampaikan Wari mengatakan bahwa:

”Beberapa rumah adat yang telah berdiri dalam situs benteng Somba Opu beralih fungsi misalnya Baruga Somba Opu yang semula merupakan tempat pertemuan yang intens digunakan oleh masyarakat berlaih fungsi menjadi restoran. Selain itu, beberapa rumah adat lainnya akan menjadi penginapan bagi pengunjung yang ingin menginap. Tentunya rumah-rumah adat tersebut akan mengalami perubahan agar dapat berfungsi sebagai penginapan.

(Wawancara 16 Oktober 2014).”

Dari penuturan para informan dapat disimpulkan bahwa fungsi utama rumah adat dikawasan benteng Somba Opu sudah tidak sesuai dengan fungsi utamanya.

Nilai-nilai sejarah yang terkandung didalamnya sudah mulai dilupakan, parahnya lagi rumah adat sebagai identitas yang menandakan Propinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan disewakan oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan yang diluar fungsi sebenarnya, ditambah lagi isu bahwa miniature rumah adat di Kawasan benteng akan dijadikan restoran maupun penginapan. Dengan hal semacam itu bukan tidak mungkin miniature rumah adat seiring berjalnnya waktu akan hilang dari Kawasan tersebut.

3. Faktor Penyebab Alih Fungsi Rumah Adat di Benteng Somba Opu

Faktor-faktor penyebab alih fungsi miniatur rumah adat di Kawasan Benteng Somba Opu, ini sebabkan: (a) Pengelolaan yang lamban dan manajemen pengelola yang kurang yang tanggap. Padahal dengan pengelolaan yang baik Miniatur Rumah Adat bisa menjadi tempat favorit wisatawan. (b) Kepadatan penduduk di Kawasan benteng yang memicu benteng menjadi kotor dan tidak terawat. (c) Akses ke miniatur rumah adat yang minim. (d) Kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya miniatur rumah adat di Benteng somba opu. (e) Fasilitas sarana dan prasarana yang kurang memadai. Berikut ini penjelasan dari beberapa informan tentang faktor penyebab terjadinya alih fungsi miniature rumah adat di Benteng Somba Opu:

a. Pengelolaan Miniatur Rumah Adat

Secara keseluruhan Benteng Somba Opu dan Miniatur rumah adat dikelola oleh pemerintah pusat, tetapi pada kenyataannya pemerintah sama sekali tidak ada

perhatian penuh terhadap Benteng Somba Opu sebagai benda cagar budaya yang merupakan aset negara. Sebagaimana yang diutarakan oleh Bapak Muh. Yusuf Husein bahwa:

”Manajemen pengelolaan yang kurang terpusat sehingga pengelolaan Benteng oleh pemerintah menjadikan benteng terbengkalai. (Wawancara 10 Oktober 2014).”

Lain halnya dengan informan Sitti Ramlani yang mengatakan:

”Denganpengelolaan yang baik dari pemerintah sebenarnya dapat menjadikan Benteng sebagai tempat wisata Heritage dan budaya. (Wawancara 12 Oktober 2014).”

Menurut Mail bahwa:

”Jika miniatur rumah adat ini jika dikelola dengan baik maka mampu menjadi sumber pendapataan daerah yang besar dan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. (Wawancara 14 Oktober 2014).”

Dari hasil wawancara dari para informan dapat disimpulkan bahwa kurangnya perhatian dalam hal pengelolaan dan manajemen pengelolaan yang kurang terpusat serta kebijakan Provinsi yang tidak sejalan dengan kotamadya dalam hal pengelolaan Benda Cagar Budaya, sehingg hal ini dapat mengakibatkan Benda Cagar Budaya terbengkalai.

b. Kepadatan Fisik dan Kepadatan Penduduk

Untuk area sekitar Benteng kepadatan bangunannya masih rendah dan masih banyak ruang terbuka sedangkan di luar benteng telah dipadati bangunan permukiman warga setempat serta penyebaran pedagang kaki lima. Akibat dari kepadatan penduduk dan masih banyaknya ruang kosong di dalam Kawasan Benteng sehingga berdampak pada miniature rumah adat yang berada dalam kawasan benteng.

Replika Rumah adat (Rumah Miniatur) dijadikan tempat tinggal oleh penduduk setempat dan disewakan untuk kegiatan mahasiswa/remaja. Fasilitas umum sekitar benteng (Baruga, Masjid, tempat pameran) terbengkalai.

Menurut Dg. Ugi menyetakan:

”Kepadatan penduduk dari tahun ke tahun dan kurangnya lahan tempat tinggal menyebabkan penduduk memanfaatkan lahan terbuka disekitaran benteng bahkan didalam benteng. (Wawancara 14 Oktober 2014).

Masalah ini dipertegas lagi oleh Bapak Muh. Yusuf Husein yang mengatakan:

”Bahwa memang untuk mengurus rumah adat ini kita melibatkan penduduk setempat dalam pengelolaan (perawatan, guide, produksi kerajinan) sehinga mampu meningkatkan perekonomian mereka. Namun disekitar rumah adat ini banyak penduduk asal menempati saja tanpa memikirkan fungsi yang sebenarnya. Kami juga mempunyai keterbatasan untuk melarang ini sebenarnya tugas kita semua untuk menjaga kawasan ini tapi sebaiknya pemerintah yang harus turun tangan memberikan dan menata wadah untuk kegiatan penduduk setempat sehingga mereka dapat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan benteng. (Wawancara 10 Oktober 2014).”

Menurut Mail mengatakan bahwa:

”Agar miniatur rumah adat ini tidak digunakan sembarangan sebaiknya pemerintah memberikan sosialisasi kepada penduduk setempat dan melibatkan pemerintah dalam hal penegasan aturan. (Wawancara 14 Oktober 2014).”

Dari keterangan para informan diatas dapat disimpulkan salah satu faktor penyebab beralihnya fungsi rumah adat adalah jumlah kepadatan penduduk disekitar kawasan benteng. Yang berakibat menganggu miniature rumah adat itu sendiri.

Kurangnya sosialisasi oleh pihak-pihak terkait serta tidak adanya penegasan aturan kepada warga sehingga menyebabkan kawasan benteng menjadi tempat tinggal.

Dimana seharusnya benteng dan miniature rumah adat diajadikan tempat wisata

Dokumen terkait