BAB I PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori dan Konseptual
cKerangka teori merupakan salah satu pendukung sebuah penelitian, hal ini karena kerangka teori adalah wadah dimana akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan variabel-variabel yang diteliti. Arikunto mengatakan,
“Kerangka teori merupakan wadah yang menerangkan variabel atau pokok permasalahan yang terkandung dalam penelitian.” Teori-teori tersebut digunakan sebagai bahan acuan untuk pembahasan selanjutnya. Kerangka teoretis disusun agar penelitian diyakini kebenarannya.16
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Teori Kepastian Hukum.
a. Teori Kepastian Hukum. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dan dapat dikatakan upaya mewujudkan keadilan. bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap suatu tindakan
16 http://digilib.unimed.ac.id/15084/1/208311030%20BAB%20II.pdf, Diakses tanggal 14 September 2023, Pkl 14.04 WIB
tanpa memandang siapa yang melakukan. Adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika melakukan tindakan hukum itu, kepastian sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan.
kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk normah hukum tertulis.
Adapun Teori Kepastian Hukum menurut para Ahli yaitu sebagai berikut : a) Teori Kepastian Hukum menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah
sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek
“seharusnya” atau dass sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma atau ketetapan yang berisi aturan umum dapat dijadikan pedoman perilaku manusia dalam masyarakat. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. 17 oleh karena itu, kepastian hukum berarti bahwa supremasi hukum harus secara jelas memberikan perlindungan bagi para pihak yang berpekara. Hukum adalah kumpulan norma yang didasarkan asas-asas hukum. Untuk melindungi kepentingan
17 Hans Kelsen dalam Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana, hal 158
manusia dan menciptakan ketertiban sosial, norma hukum harus menerapkan hukum.
b)
Teori Kepastian Gustav Radburch, Gustav Radbruch pun menjelaskan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu tujuan dari hukum itu sendiri. Gustav Radbruch menjelaskan,18 bahwa dalam teori kepastian hukum yang ia kemukakan ada empat hal mendasar yang memiliki hubungan erat dengan makna dari kepastian hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut :1)
Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa hukum positif ialah perundang-undangan.2)
Hukum didasarkan pada sebuah fakta, artinya hukum itu dibuat berdasarkan pada kenyataan.3)
Fakta yang termaktub atau tercantum dalam hukum harus dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga akan menghindari kekeliruan dalam hal pemaknaan atau penafsiran serta dapat mudah dilaksanakan.4)
Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.Pendapat Gustav Radbruch mengenai kepastian hukum tersebut, didasarkan pada pandangannya mengenai kepastian hukum yang berarti adalah kepastian hukum itu sendiri. Gustav Radbruch mengemukakan, bahwa kepastian hukum adalah salah satu produk dari hukum atau lebih khususnya lagi merupakan produk dari perundang-undangan.19
18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2012, hal 19 19 Ibid, hal 20
Berdasarkan pendapat dari Gustav Radbruch mengenai kepastian hukum, hukum merupakan hal positif yang mampu mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat dan harus selalu ditaati meskipun, hukum positif tersebut dinilai kurang adil. Lebih lanjut, kepastian hukum merupakan keadaan yang pasti, ketentuan maupun ketetapan.
c)
Teori Kepastian Hukum Sudikno Mertokusumo, Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan jaminan bahwa hukum dijalankan dan yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan.20Penulis menggunakan teori kepastian hukum oleh Hans Kelsen karena teori yang dipakai oleh hans kelsen sangat berhubungan dengan penelitian yang sedang penulis kaji dalam penyelesaian sengketa terhadap debitur wanprestasi, hans kelsen mengatakan bahwa Norma atau ketetapan yang berisi aturan umum dapat dijadikan pedoman perilaku manusia dalam masyarakat.
2. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual merupakan pengertian dari dasar dalam suatu tulisan yang di dalamnya terdapat beberapa istilah, dan juga batasan-batasan serta bahasan yang akan diuraikan dalam sebuah karya ilmiah. Agar tidak terjadi multi
20 Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT.Raja Jakarta : Grafindo Persada, 2010, hal 24
tafsir serta mempermudah pengertian, penulis berupaya menjelaskan batasan istilah yang berkaitan dengan judul penelitian ini :
a.
Perjanjian, adalah suatu perbuatan dengan mana (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih;21b.
Kreditur, adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat menagih di muka pengadilan.22c.
Debitur, Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.23 d. Prestasi, adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiapperikatan.24
e. Wanprestasi, adalah suatu kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.25
f.
Hutang-Piutang, Pengertian Hutang Piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentutan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 yang berbunyi :“pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.”
g.
Gugatan Sederhana, Gugatan Sederhana merupakan gugatan perdata dengan nilai gugatan materill paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta21 Pasal 1313, Kitab undang-undang hukum perdata
22 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000, hal 365
23 https://www.hukumonline.com/klinik/a/masalah-istilah-debiturkreditur-cl1328, Masalah istilah kreditur dan debitur¸diakses pada tanggal 3 November 2023, pukul. 20.09 WIB 24 http://www.sangkoeno.com/2015/01/prestasi-dan-wanprestasi.html, Prestasi dan
wanprestasi, diakses pada tanggal 3 November 2023, pukul 20.12 WIB
25 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers, 2007, hal 74
rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana, Penyelesaian dengan gugatan sederhana hanya bisa digunakan untuk perkara ingkar janji (wanprestasi) dan/atau Perbuatan Melawan Hukum.26
G. Metode Penlitian
Dalam melakukan suatu penelitian, tidak akan terlepas dari penggunaan metode. Karena metode penelitian merupakan cara atau jalan yang digunakan dalam sebuah penelitian atau bagaimana seseorang harus bertindak. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.27
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum yang bersifat normatif, Penelitian hukum normatif disebut juga dengan hukum dokrtinal. Penelitian ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books), dan juga penelitian terhadap asas-asas hukum.28 Setelah itu, pada penelitian normatif ini tak terlepas dari putusan pengadilan dan juga para pakar hukum sebagai doktrin.
2. Sumber Data
Menurut Beni Ahmad Saebani29 yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data dalam
26 Mahkamah Agung, PSHK, LeIP, 2015, Buku Saku Gugatan Sederhana, Mahkamah Agung 27 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008, hal 43
28 Amiruddin, Pengantar Metode Pnelitian hukum Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012, hal 118 29 Beni Ahmad Saebani, Op.cit., hal, 93.
penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu Sumber data Primer dan Sumber data Sekunder.
Dalam penelitian normatif sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan, berupa dokumen, buku, laporan, arsip, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki sifat mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terikat dengan objek penelitian yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia 1945;
2) Undang-Undang Kitab Hukum Perdata (KUHPerdata);
3) KUHAPerdata;
4)
Perma Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Perma Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana;b.
Bahan Hukum Sekunder, Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelesan mengenai bahan hukum primer. Sumber bahan hukum sekunder meliputi rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian ilmiah dari para pakar hukum dan wawancara hakim, serta literaturliteratur hukum yang meliputi buku-buku ilmiah yang terkait ilmu hukum dan hukum perjanjian, dan proses penyelesaian sengketa perjanjian di peradilan.c.
Bahan Hukum Tersier, Bahan hukum tersier atau juga disebut bahan hukum penunjang, yang dimana bahan-bahan hukum tersier yang memberipenjelasan tambahan terhadap hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi kamus-kamus hukum, ensiklopedia, internet, dan bibliografi.
3. Metode Penelitian Data
Metode pengumpulan bahan hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier dan/atau bahan non hukum. Penelusuran bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan maupun ditelusuri melalui media internet. untuk mengalanisis bahan hukum yang telah terkumpul digunakan berbagai teknik analisis diantaranya. Teknik deskripsi, yaitu teknik yang tidak dapat dihindari penggunaannya. dekskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.30
4. Analisis Data
Penelitian normatif yang penulis gunakan untuk penelitan ini, yang dimana penelitian hukum normatif meliputi pengolahan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.31 Penulis juga membaca dan mempelajari buku-buku hukum, literasi-literasi hukum, dan juga peraturan perundang-undangan yang dianggap relevan serta mendukung kesempurnaan skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
30 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal 13-14
31 Bambang Sugono, Metodologi penelitian hukum, Jakarta : Raja Grafindo, 2011, hal 186
Penulisan skripsi ini disusun dalam suatu sistematika yang terdiri dari empat bab merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan yang antara lain sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, jenis penelitian, sumber data, analisis data, dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka, yang berisi penjelasan tinjauan umum tentang perjanjian, tinjauan umum tentang perjanjian utang piutang, tinjauan umum tentang wanprestasi, tinjauan umum tentang gugatan sederhana.
BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisikan dan menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu penyelesaian sengketa debitur wanprestasi dalam perkara perjanjian utang-piutang melalui gugatan sederhana, kekuatan hukum dalam penyelesaian sengketa debitur wanprestasi dalam perkara perjanjian utang-piutang melalui gugatan sederhana.
BAB IV Penutup, merupakan Bab penutup, yang berisikan tentang kesimpulan dari pengamatan penulis di berbagai literatur yang terkait dan selanjutnya akan di sambung dengan saran penulis yang berhubungan dengan kesimpulan yang telah diambil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Menurut Subekti, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.32 Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.33 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal- hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.34
32 Subekti I, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, 1984, hal 1
33 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal 45
34 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005, hal 18
Perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.
KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.
2. Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian menjadi perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Yang dinamakan perjanjian bernama adalah perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata mulai dari Bab V sampai Bab XVIII. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang
tidak diatur dalam KUHPerdata (atau sering disebut perjanjian khusus).35 Tetapi yang terpenting adalah sejauh mana kita dapat menetukan unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa mengelompokkan suatu perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1234 KUHPerdata tentang jenis perikatan.
Untuk membuat ketentuan-ketentuan didalam perjanjian/ kontrak, harus ada unsur-unsur yang dapat dijadikan acuan.36 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a.
Unsur esensialia.Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dan merupakan hal pokok dalam suatu perjanjian, sehingga tanpa hal pokok tersebut perjanjian menjadi tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang membuatnya. Sebagai contoh, unsur esensialia pada perjanjian jual beli adalah adanya barang dan harga.
Contoh dalam perjanjian pinjam meminjam adalah adanya barang yang dipinjam dan jumlah/ nilai barang yang dipinjam.
b.
Unsur naturalia.Unsur naturalia adalah ketentuan umum yang tidak bersifat wajib. Artinya, tanpa pencantuman syarat ini pun perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak mengikat. Contoh hal-hal umum yang termasuk unsur naturalia antara lain cara pembayaran, waktu dan
35 Idil Viktor, Permasalahan Pokok dalam Perjanjian, artikel diakses pada 11 Desember 2023, dari: http://idilvictor.blogspot.com/2009/01/hukum-perikatan.html.
36 Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Jakarta:
Visimedia, 2008, hal 48
tempat penyerahan serta biaya pengangkutan dan pemasangan dan instalasi.
Misalnya didalam kontrak jual beli kenderaan ternyata tidak diatur mengenai biaya pengangkutan dan balik nama, maka dalam hal ini akan berlaku kebiasaan jika biaya pengangkutan dan balik nama kenderaan dilakukan oleh pihak penjual.
c.
Unsur aksidentalia.Unsur aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular) yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Aksidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat atau tidak. Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan- ketentuan yang dapat diatur secara khusus oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama- sama oleh para pihak. Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana prestasi dilakukan.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
a)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinyab)
Cakap untuk membuat suatu perjanjianc)
Mengenai suatu hal tertentud)
Suatu sebab yang halal.Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, pembeli mengingini sesuatu barang penjual.37
Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan. Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendakkehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
37 Subekti, I, Op.Cit, hal 17
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan Undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.
Mengenai kekeliruan atau kesilapan Undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan.
Menurut pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian.
Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan terhadap unsur pokok dari barang–
barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui, seandainya orang tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan
hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggungjawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Dalam pandangan saya, causa dalam