• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk kerja sama dalam muamalah Islam

BAB I PENDAHULUAN

B. Bentuk-bentuk kerja sama dalam muamalah Islam

7 Enang Hidayat, Fiqh Jual Beli, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), Cet. 1, h. 71

8 Muhammad Sharif Chaudhary, Fundamental of Islamic Economic Sysytem, terj.

Sistem Ekonomi Islam oleh Suherman Rosyidi (Jakarta: Kencana, 2012), Cet. 1, h. 293

Kerja sama adalah sesuatu bentuk tolong menolong yang dianjurkan dalam agama selama kerja sama tersebut tidak dalam bentuk dosa dan permusuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur`an surat al-Maidah:2

 ...

















“...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran....”( QS. Al-Maidah [5]: 2)

Kerja sama berlaku dalam bidang perdagangan, industri, pertanian, dan peternakan. Kerjasama dalam bidang perdagangan dan industri dapat terjadi antara para pemilik modal dengan pengelola, dimana satu pihak memberikan modal sedangkan pihak lainnya menyediakan tenaga, kerjasama ini disebut dengan mudhârabah, atau kerjasama antara sesama pemiik modal yang disebut musyârakah. Sedangkan kerja sama dalam pertanian dapat belaku antara pemilik lahan dengan petani yang biasa disebut muzâra‟ah, atau antara pemilik tanaman dengan pekerja perawat tanaman tersebut disebut dengan musâqah.9

1. Mudhârabah

a. Pengertian Mudhârabah

Kata mudhârabah berasal dari kata

ر ًاب َض ْ - ُب ِر ْض َي - َب َض َر

yang

berarti bergerak, menjalankan, memukul, dan lain-lain. (lafazh ini merupakan lafazh musytarak yang mempunyai banyak arti),

9 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana,2003), Cet. 1, h. 239

kemudian mendapat ziyadah (tambahan) sehingga menjadi

َرا َض َب

ُي - َض ُب ِرا ُم - ِرا َب َض

ُة

yang berarti saling bergerak, saling pergi, saling menjalankan atau saling memukul.10

Mudhârabah dalam bahasa Arab berasal dari kata:

َب َرا َض

yang sinonimnya:

َرََّتَّ

ا, seperti kalimat:

ِوِلاَم ِفِ ِن َلَُفِل َبَراَض

yang

artinya:

ِوْيِف ُوَل َرََّتَِّا

yakni: ia memberikan modal untuk berdagang kepada si Fulan. Istilah mudhârabah dengan pengertian bepergian untuk berdagang digunakan digunakan oleh ahli (penduduk) Irak. Sedangkan penduduk Hijaz menggunakan istilah qiradh yang artinya

ُع ْط َا ْل َق

yakni memotong. Dinamakan demikian, karena pemilik modal memotong sebagian dari hartanya untuk di perdagangkan oleh „âmil (pekerja) dan memotong sebagian dari keuntungannya.11

Menurut istilah, mudhârabah atau qiradh dikemukakan para ulama sebagai berikut:

1) Menurut Hanafiyah

َدَحَأ ْنِم ٍلاَِبِ ِحْبيرلا ِفِ ِةَكْريشلا ىَلَع ٌدْقُع َنِم ٍلَمَعَو ِْينَ بِناَْلْا

ِرَخَلْا

Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa

10 Sohari Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghia Indonesia, 2011), Cet ke-1, h. 187

11 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet ke-2 h. 365- 366

2) Menurut Malikiyah

ِهِْيرَغِل ِلاَمْلا يبَر ْنِم َرَداَص ٍلْيِكْوَ ت ُدْقُع ِنْيَدْقَّ نلا ِصْوُصُِبِ

)ِةَّضِفْلاَو ِبَىَّذلا(

Akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak)12

3) Menurut Hanabilah

ُبِحاَص َعَفْدَي ْنَا ُةَراَبِع ْنَم َلَِإ ِوِلاَم ْنِم اَني يَعُم اًرْدَق ِلاَمْلا

ِوِْبِْر ْنِم ٍمْوُلَم ٍعاَشُم ٍءْزُِبِ ِوْيِف ُرِجَّتَ ي

Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui13

4) Menurut penduduk Hijaz, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail:

ِقْلَا َكِب ُضْر ْس ِر

ْلا َق َنِم ٍبْصَنِب ُلِماَعلا ُةَلَماَعُم َوُىَو ِفا ِحْييرلا

ِْلا ِلْىَأ ِةَغُل ِفِ

ِفِ ِبْرَّضلا َنِم ٌةَذْوُخْأَم ًةَبَراَضُم ىَّمَسُتَو ِزاَج

لا َناَك اَمَك ِضْرَلْا َنِم ْوَأ ِرَفَّسلاِب ِبِلاَغْلا ِفِ ُلُصَْيَ ِحْيير

ِفُّرَصَّتلا َوُىَو ِلاَمْلا ِفِ ِبْرَّضلا

Qiradh dengan kasrah qaf adalah kerja sama pemilik modal dengan pembagian laba, dalam istilah ahli hijaz disebut mudhârabah diambil dari kata

ِض ْر َْلْا ِفِ ُب ْر َّضل َا

(berjalan dimuka bumi) karena menurut kebiasaan laba itu diperoleh dengan berjalan-jalan atau mendistribusikan harta.14

12 Hendi Suhendi, fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Cet. 5, h. 136

13 Hendi Suhendi, fiqh Muamalah, h. 137

14 Sohari Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, h. 187

5) Menurut pendapat Wahbah Zuhaili

Mudhârabah atau qiradh menurut syara‟ adalah penanaman sejumlah modal oleh pemilik kekayaan kepada seseorang (pengusaha) untuk kepentingan bisnis di bidang perdagangan, dan laba yang diperoleh menjadi milik bersama.15

Dalam peraturan Bank Indonesia mudhârabah adalah penanaman dana dari pemilik modal (shâhibul mâl) kepada pengelola dana (mudhârib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.16

Sedangkan dalam peraturan Otoritas jasa Keuangan (OJK) Mudhârabah (qiradh) adalah perjanjian (akad) kerjasama antara pihak pemilik modal (shâhib al-Mâl) dan pihak pengelola usaha (mudhârib) dengan cara pemilik modal (shâhib al-Mâl) menyerahkan modal dan pengelola (mudhârib) mengelola modal tersebut dalam suatu usaha.17

Secara terminologis mudhârabah adalah kontrak (perjanjian) antara shahib al-mâl (pemilik dana) dan mudhârib (pengelola dana) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemilik modal dan pengelola. Jika ada kerugian disebabkan bukan karena kelalaian pengelola maka kerugian di

15 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, terj. Al-Fiqhu asy-Syafi‟i al-Muyassar oleh Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. 1, h. 189

16 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal 1 ayat (5)

17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 53/POJK.04/2015 tentang Akad yang digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, Pasal 1 ayat (4)

tanggung pemilik dana, tetapi jika kerugian disebabkan karena pengelola maka kerugian itu di tanggung oleh pengelola.

b. Dasar Hukum Mudhârabah

Para Ulama madzhab sepakat bahwa mudhârabah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-Qur`an, sunnah, ijma‟, qiyas dan kaidah fiqhiyah.

1) Al-Qur`an

a) Surah al-Muzzammil (73) ayat (20)

...















....

“...Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...” (QS. al-Muzzammil [73]:20)

b) Surah al-Jumu‟ah (62) ayat 10

































“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebarkanlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS. al-Jumu‟ah [62]:10)

c) Surah al-Baqarah (2) ayat 198

















....

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rejeki hasil perniagaan )dari Tuhanmu....”(QS. al-Baqarah [2]:198)

2) Hadis

a) Hadis Riwayat Ibnu Majah

ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ،ِويِبَأ ْنَع ، ٍبْيَهُص ِنْب ِحِلاَص ْنَع :َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُللها ، ٍلَجَأ َلَِإ ُعْيَ بْلا ،ُةَكَرَ بْلا َّنِهيِف ٌث َلََث «

يرُ بْلا ُط َلَْخَأَو ،ُةَضَراَقُمْلاَو ِعْيَ بْلِل َل ِتْيَ بْلِل ،ِيرِعَّشلاِب

ٔٛ

»

Dari Shuhaib, Rasulullah Saw bersabda: “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqâradha (mudhârabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

b) Hadis Riwayat al-Baihaqi

َعَفَد اَذِإ ِبِلَّطُمْلا ِدْبَع ُنْب ُساَّبَعْلا َناَك " :َلاَق ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع ِوِبِحاَص ىَلَع َطَرَ تْشا ًةَبَراَضُم ًلاَم َلَو ،اًرَْبْ ِوِب َكُلْسَي َل ْنَأ

َوُهَ ف َلَعَ ف ْنِإَف ،ٍةَبْطَر ٍدِبَك َتاَذ ِوِب َيَِتَْشَي َلَو ،اًيِداَو ِوِب َلِزْنَ ي ،َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها ِلوُسَر َلَِإ ُوَطْرَش َعَفَرَ ف ،ٌنِماَض

" ُهَزاَجَأَف يقاهيبلا هاور(

ٜٔ

(

Dari Ibnu Abbas RA bahwa Al-Abbas bin Abdil Mutthalib RA bila menyerahkan harta secara mudharabah mensyaratkan kepada rekannya untuk tidak membawa harta itu melewati laut, atau menuruni lembah dan tidak membelanjakan hewan yang punya hati kering.

18 Ibn Majah Abu „Abdillah Muhammad bin yazid al-Qazawaini, Sunan Ibn Majah, Juz. 2, (t.tp: Dar Ihya al-Kitab al-„Arabiyyah, t.th), Bab al-Musyarakah wa al-Mudharabah, hadis no. 2289, h. 768

19Ahmad bin al-Husain bin „Alî bin Mûsâ al-Khusraujirdî al-Khurâsânî, As-Sunân al-Kubrâ, Juz. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Kitâb al-Qirâdh, h. 184, Hadis ke-11611

Dia rekannya menyetujui syarat itu maka dia menjaminnya. Maka diangkatlah syarat itu kepada Rasulullah SAW dan beliau SAW membolehkannya (HR.

Al-Baihaqi) 3) Ijma‟ Ulama

Para imam madzhab sepakat mengatakan mudhârabah dibolehkan. Demikian juga para sahabat Nabi Saw telah sepakat terhadap pengelolahan harta anak yatim secara mudhârabah.20Para sahabat itu antara lain Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas‟ud, Abdullah ibn Umar, Abdillah ibn Amir dan Aisyah.21

4) Qiyas

Dibolehkannya mudhârabah juga dianalogikan atau diqiyaskan dengan musâqah. Namun demikian, sebagian kalangan ulama tidak memasukkan qiyas sebagai landasan hukum akad mudhârabah.22

5) Kaidah fikih

ىَلَع ٌلْيِلَد َّلُدَي ْنَا َّلِإ ُةَحاَبِلْا ِت َلََماَعُمْلا ِفِ ُلْصَْلَْا اَهِِيِِرَْتَ

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali tidak ada dalil yang mengharamkannya”

Disyariatkan mudhârabah, karena ini sangat dibutuhkan oleh manusia yang dimana ada seseorang yang mempunyai modal atau

20 Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangang Syariah Kontemporer (Mu‟amalat, Maliyyah, Muashirah), (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), h. 106

21Siah Khosyi‟ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), Cet. 1, h. 154

22Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Cet. 1, h. 154

dana akan tetapi dia tidak bisa mengelola karena tidak pandai berdagang, untuk membantu orang lain, atau bahkan tidak mempunyai waktu untuk mengelola modal atau dana tersebut.

Sedangkan disisi lain ada manusia yang pandai berdagang mempunyai banyak waktu untuk mengelola dana akan tetapi dia tidak mempunyai modal atau dana.23

c. Rukun dan Syarat Mudhârabah

Rukun dan syarat merupakan hal yang terpenting dalam keabsahan suatu akad. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun dan syarat mudhârabah, berikut rukun dan syarat menurut pendapat para imam madzhab:

1) Madzhab Hanafiyah

Rukun mudhârabah menurut madzhab Hanafiyah hanya ijab dan qabul.

Sedangkan syarat-syarat mudhârabah menurut madzhab Hanafiyah, yaitu:

a) Modal berupa mata uang yang berlaku di negara tertentu sebagai alat transaksi.

b) Besarnya modal harus diketahui secara jelas.

c) Modal merupakan hak milik pemilik modal, jika modal berupa utang maka akad mudhârabah tidak sah.

d) Modal harus diserahkan sepenuhnya kepada pengelola agar dikelola sesuai dengan usaha yang akan dilakukan atau sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.

e) Bagian keuntungan sudah ditentukan secara jelas, misalnya di setengah, sepertiga atau lainnya.

23 Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangang Syariah Kontemporer (Mu‟amalat, Maliyyah, Muashirah), h. 107

f) Bagian keuntungan diambil dari keuntungan bukan dari modal.24

2) Madzhab Malikiyah

Rukun mudhârabah menurut pendapat madzhab Malikiyyah ada lima, yaitu:

a) Modal

b) Pekerjaan atau bentuk usaha c) Laba atau keuntungan

d) Para pihak yang mengadakan perikatan

e) Shigat atau lafadz ijab qabul yang jelas, apabila mudhârabah dengan cara mewakilkan kepada orang lain, maka hendaklah menggunakan kata mudhârabah.

Sedangkan syarat-syarat mudhârabah, yaitu:

a) Modal harus diserahkan kepada pengelola segera setelah ijab qabul antara para pihak

b) Jumlah modal harus diketahui dengan jelas

c) Tanggung jawab modal tetap dibebankan kepada pemilik modal. Jika uang tersebut hilang dan tanggung jawab diserahkan kepada pengelola maka akad mudhârabah tidak sah

d) Modal mudhârabah harus berupa uang yang berlaku sebagai alat transaksi di suatu negara

e) Pembagian keuntungan harus jelas disebutkan dalam perjanjian, seperti dibagi dua, sepertiga, seperempat, dan sebagainya.

24 Siah Khosyi‟ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, h. 158

f) Salah satu pihak tidak boleh menambah kelebihan keuntungan selain yang diperjanjikan dalam akad g) Modal dikelola pengelola, pemilik modal tidak boleh

membatasi waktu dalam pengelolahan atau jenis usaha yang dilakukan pengelola. Karena menurut madzhab Malikiyah jika pemilik modal membatasi waktu pengelolahan maka akad mudhârabah tidak sah.25 3) Madzhab Syafi‟iyah

Rukun mudhârabah menurut pendapat madzhab Syafi‟iyah, yaitu:

a) Shahib al-mâl (pemilik modal) b) Mudhârib

c) Bentuk usaha yang dilakukan oleh pengelola

d) Keuntungan yang dibagi sesuai dengan kesepakatan e) Modal berupa uang yang dijalankan

f) Akad beruba ijab dan qabul.26

Sedangkan syarat-syarat mudhârabah, yaitu:

a) Harta yang digunakan untuk berdagang berupa uang b) Orang yang mempunyai modal atau harta, memberi

keluasan atau kebebasan dalam menjalankan usahanya atau boleh membatasi dan menentukannya

c) Memberi ketentuan bagian keuntungan secara jelas d) Tidak dibatasi waktu (seperti lima bulan atau satu

tahun tepat).27 4) Madzhab Hanabilah

25 Siah Khosyi‟ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, h. 159-160

26 Siah Khosyi‟ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, h. 161

27 Musthafa Diibu Bhigha, Fiqh Menurut Madzhab Syafi‟i, terj. at-Tadzhib fî

`Adillah Matan al-ghâyah wa at-Taqrîb, Oleh Moh. Rifaʹi dan Baghawi Masʹudi, (Semarang:

Cahaya Indah, t.t), h. 210

Rukun mudhârabah menurut madzhab Hanabilah yaitu ijab dan qabul dengan menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mudhârabah.

Sedangkan syarat-syarat menurut madzhab Hanabilah yaitu:

a) Disebutkan bagian keuntungan untuk pengelola modal, misalnya, setengah, sepertiga dan seterusnya. Jika pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola agar bertanggung jawab atas uang yang diterimanya, maka syarat itu tidak harus dilaksanakan karena akad mudhârabah sebagai amanat tanpa jaminan

b) Apabila pemilik modal mensyaratkan agar modal itu di serahkan semua untuk pengelola maka akad itu dianggap dengan utang piutang, dalam hal ini apabila ada kerugian maka yang bertanggung jawab adalah pengelola modal

c) Jumlah modal harus diketahui secara jelas

d) Modal harus ada wujudnya, tidak sah apabila modal tersebut dalam tanggungan orang lain atau berupa utang, kecuali pemilik modal menitipkan kepada orang lain sebagai wakil menyerahkan modal tersebut

e) Modal harus berupa mata uang sebagai alat pembayaran yang sah yang diakui oleh negara, akan tetapi apabila pemilik modal memiliki barang untuk diperjualbelikan dan nilai harga dari barang tersebut sama dengan jumlah modal yang dijanjikan untuk dikelola dalam bentuk usaha

f) Bagian keuntungan sudah dijelaskan ketika perjanjian.28

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam Pasal 231 dan juga Pasal 232 terkait syarat dan rukun mudhârabah.

Dalam Pasal 231 syarat-syarat mudhârabah yaitu:

a) Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha.

b) Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati.

c) Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad.

Rukun-rukun mudhârabah yaitu:

a) Shahib al-mâl (pemilik modal) b) Mudhârib (pelaku usaha) dan c) Akad.29

d. Macam-macam Mudhârabah

Secara umum, mudhârabah terbagi menjadi dua macam:

1) Mudhârabah Muthlaqah

Yang dimaksud dengan mudhârabah muthlaqah adalah akad kerjasama dimana shahib al-Mâl (pemilik modal) tidak memberi batasan kepada mudhârib (pengelola) terkait tentang batasan waktu, bentuk usaha yang akan dilakukan

28 Siah Khosyi‟ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, h. 163-164

29 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II, Bab VIII tentang Mudhârabah, pasal 231 dan 232

pengelola dan juga tempat usahanya. Dalam ungkapan fiqh ulama salafus shalih seringkali di ungkapkan dengan kalimat if‟al mâl (lakukanlah sesukamu) dari shahib al-Mâl (pemilik modal) kepada mudhârib (pengelola).

2) Mudhârabah Muqayyadah

Mudhârabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudhârabah atau specified mudhârabah adalah akad kerja sama dimana shahib al-Mâl (pemilik modal) memberi batasan kepada mudhârib (pengelola) terkait tentang batasan waktu, bentuk usaha yang akan dilakukan pengelola dan juga tempat usahanya. Adanya pembatasan ini biasanya pemilik modal cenderung dalam memasuki jenis usaha yang dilakukan oleh mudhârib.30

e. Pembagian Keuntungan Dalam Mudhârabah

Keefektifan dalam perencanaan pembagian keuntungan dalam sebuah persyerikatan atau kerjasama terletak pada kerjasama sang pemilik modal dengan pengelola serta peningkatan mutu hubungan mereka. Pembagian keuntungan dari hasil usaha diberikan kepada pengelola akan sangat meningkatkan efisien kerja, ketika diketahuinya bahwa dia akan memperoleh bagian dari keuntungan maka dia akan bekerja sungguh-sungguh dalam peningkatan kualitas pekerjaan.

f. Batalnya Perjanjian Mudhârabah

30 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2001), Cet. 1, h. 97

Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad mudhârabah dinyatakan batal dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Mudhârabah dapat batal karena dibatalkan oleh para pihak, dihentikan kegiatannya, atau diberhentikan oleh pemilik modal. Hal ini apabila terdapat syarat pembatalan dan penghentian kegiatan atau pemecatan tersebut, yaitu sebagai berikut:

a) Pihak yang bersangkutan yaitu mudhârib (pekerja) mengetahui pembatalan dan penghentian kegiatan tersebut. Apabila mudhârib (pekerja) tidak tahu tentang pembatalan dan pemecatannya, lalu ia melakukan tasharruf maka tasharrufnya hukumnya sah.

b) Pada saat pembatalan dan penghentian kegiatan usaha atau pemecatan tersebut, modal harus dalam keadaan tunai sehingga jelas ada atau tidak adanya keuntungan yang menjadi milik bersama antara pemilik modal dan pekerja. Apabila modal masih berbentuk barang maka pemberhentian hukumnya tidak sah31

2) Salah seorang yang berakad meninggal dunia. Jika pemilik modal wafat, menurut jumhur ulama, akad itu batal, karena akad mudhârabah sama dengan akad wakalah (perwakilan) yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan. Di samping itu, jumhur ulama berpendapat bahwa akad mudhârabah tidak boleh diwariskan akad tetapi, ulama Malikiyyah berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal dunia, akadnya tidak batal tetapi

31 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 388-389

dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena menurut ulama Malikiyyah akad mudhârabah boleh diwariskan

3) Salah seorang yang berakad kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila, karena orang gila tidak cakap bertindak lagi.32

4) Apabila pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), lalu ia meninggal dunia, atau dihukum mati karena riddah atau ia berpindah ke dar al-harb (negeri bukan Islam) maka mudhârabah menjadi batal, semenjak ia keluar dari Islam, akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah, apabila mudharib yang murtad maka akad mudhârabah tetap berlaku karena ia memiliki ahliyah (kecakapan)

5) Apabila modal rusak atau hilang di tangan mudhârib sebelum ia membeli sesuatu maka mudhârabah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan sudah jelas modal yang diterima oleh mudharib untuk kepentingan akad mudhârabah. Dengan demikian, akad mudhârabah menjadi batal karena modalnya rusak atau hilang. Demilian pula halnya, mudhârabah dianggap batal, apabila modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikit pun yang dibelanjakan.33

2. MUSYARAKAH

a. Pengertian musyarakah

Kata syirkah ditinjau dari aspek bahasa bermakna perseroan atau penggabungan, yaitu penggabungan antara sesuatu dengan yang

32 Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, cet ke-2, 2007), h. 180

33 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 389-390

lainnya, sehingga sulit dibedakan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Kata syirkah dalam bahasa Arab berasa dari kata

َش ِر َي ْش َك ُر ُك َش ِر ْي ًك ِش/ا ْر َك َش/ ًة ِر ْي

ًة َك

artinya bersekutu, berserikat dengan dia.34 Sedangkan secara istilah para ulama mendefinisikan musyarakah sebagai berikut:

a. Menurut ulama Hanafiyah

َكِراَشَتُمْلا َْينَ ب ٌدْقَع ِحْبيرلاَو ِلاَمْلا ِسْأَر ِفِ َْين

“Transaksi yang dilakukan oleh dua pihak yang bekerja sama, baik dalam kapital (modal) maupun keuntungan (profit).”

b. Menurut ulama Malikiyah

اَمَُلَ ٍلاَم ِفِ اَمِهِسُفْ نَأ َعَم ِفُّرَصَّتلا ِفِ ٌنْذِإ

“Izin seseorang untuk tasharruf hartanya kepada orang lain seperkongsian dengan tetap melekatnya hak tasharruf masing- masing.”

c. Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah

ِءْيَّشلا ِفِ يقَْلا ُتْوُ بُ ث ِعْوُ يُّشلا ِةَئْيَى ىَلَع َرَ ثْكَأَف

“Tetapnya hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih karena berkongsi.”

Definisi yang dikemukakan oleh para ulama madzhab pada prinsipnya hanya berbeda secara redaksional, sedangkan maknanya sama.35

34 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, t.t), h. 196

35 Siah Khosyi‟ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, h. 201-202

d. Menurut Wahbah Zuhaili

ٌةَغُل ُةَكْريشلا ِب َْينِلاَمْلا ِدَحَأ ُطْلَخ ْيَأ ُطَلَِتْخِْلْا َيِى :

ُثْيَِبْ ِرَخَْلْ ا

َتُْيِ َل اَمِهِضْعَ ب ْنَع ِناَزا

ٖٙ

“Syirkah adalah pencampuran yaitu bercampurnya suatu modal dengan lainnya, sampai tidak dapat dibedakan antara keduanya”.

Menurut Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya al-sailul Jarrar III, syirkah adalah terwujudnya (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha diantara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing diantara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari‟at, hal itu tidak mengapa, karena usaha itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.37

Dalam peraturan Bank Indonesia, musyarakah adalah penanaman dari pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana atau modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan

36 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqhu al-Islâmiyyu wa Adillatuhu, Juz 4, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), Cet. 2, h. 792

37 Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), Cet. 1, h. 96

kerugian ditanggung semua pemilik dana atau modal berdasarkan bagian dana atau modal masing-masing.38

Sedangkan dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan, musyarakah adalah perjanjian (akad) kerjasama antara dua pihak atau lebih (syarik) dengan cara menyertakan modal baik dalam bentuk uang maupun bentuk aset lainnya untuk melakukan suatu usaha.39

Adapun menurut makna syara‟, musyarakah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja dengan tujuan memperoleh keuntungan.

b. Dasar hukum musyarakah

Para Ulama madzhab sepakat bahwa mudhârabah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-Qur`an, sunnah, ijma‟, dan kaidah fiqhiyah.

1) Al-Qur`an

a) Qs. an-Nisa‟ [4]: 12

 ...







....

“...Maka mereka bersam-sama dalam bagian yang sepertiga itu....” (QS. an-Nisa‟ [4]: 12)

38 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal 1 ayat (6)

39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 53/POJK.04/2015 tentang Akad yang digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, Pasal 1 ayat (5)

a) Qs. Shad [38]: 24

...































 ....

“...Memang banyak diantara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zhalim kepada orang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebijakan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu....” (QS. Shad [38]: 24) 2) Sunnah

ُوَعَ فَر ،َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع َْلَ اَم ِْينَكيِرَّشلا ُثِلاَث اَنَأ :ُلوُقَ ي َوَّللا َّنِإ " :َلاَق

" اَمِهِنْيَ ب ْنِم ُتْجَرَخ ُوَناَخ اَذِإَف ،ُوَبِحاَص اَُهُُدَحَأ ْنَُيَ

وبا هاور(

ٗٓ

دواد (

“Sesungguhnya Allah berfirman, “aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah seorang dari mereka tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, maka aku keluar dari antara mereka”.

(HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).

3) Ijma‟ Ulama

Para ulama telah berkonsesus terhadap legiltimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari musyarakah.41

4) Kaidah fiqh

ِت َلََماَعُمْلا ِفِ ُلْصَْلَْا اَهِِيِِرَْتَ ىَلَع ٌلْيِلَد َّلُدَي ْنَا َّلِإ ُةَحاَبِلْا

40 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟at, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al-Maktabah al- Ashriyah, t.t.), h. 256

41 Syarif Hidayatullah, Qawa‟id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah Kontemporer (Muamalat, Maliyyah Islamiyyah, Mu‟ashirah), h. 121

Dokumen terkait