Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat khas. Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan para ahli dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan
tindak pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh mengatakan, “memidana sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya”.64
Sementara itu, Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa
“salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum”.65
Dengan demikian, untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum.
Memang dalam KUHP yang berlaku sekarang, perkataan “melawan hukum” kadang-kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, kadang-kadang tidak.
Hal ini juga berpengaruh dalam lapangan hukum acara (pembuktian) yang menimbulkan perbedaan pandangan mengenai beban pembuktian. Sementara penulis berpendapat pembuktian sifat melawan hukum diperlukan jika hal itu menjadi bagian inti rumusan tindak pidana, sehingga sebaliknya tidak perlu dibuktikan jika menjadi unsur diam-diam. Pendapat yang lain, jika berpandangan suatu tindak pidana mutlak harus bersifat melawan hukum, maka apakah disebutkan atau tidak hal itu harus dibuktikan.
64 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 1
65Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 42
Dalam Rancangan KUHP, melawan hukum dipandang selalu ada kecuali ada alasan pembenar. Ketentuan ini cenderung dapat ditafsirkan bahwa melawan hukum tidak perlu dibuktikan, kecuali terdakwa atau penasihat hukumnya dapat membuktikan bahwa ada alasan pembenar dari perbuatannya. Memang hanya apa yang ditentukan dalam rumusan tindak pidana yang seharusnya dibuktikan.
Rancangan KUHP juga menentukan masalah sifat melawan hukum tindak pidana. Pasal 11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2013, menentukan bahwa, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Sedangkan menurut Pasal 11 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2013 dinyatakan bahwa “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”.
Perkembangan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013, sifat melawan hukum dirumuskan secara eksplisit, sedangkan dalam KUHP tidak dirumuskan secara eksplisit. Mengenai sifat melawan hukum ini, dalam KUHP hanya berorientasi kepada kepastian hukum tertulis, sedangkan dalam RUU KUHP Tahun 2013 berorientasi pada keadilan.
Rumusan ini apabila dikaji dari teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, memuat hal yang perlu mendapat perhatian. Dalam hukum pidana terdapat dua pandangan
mengenai sifat melawan hukum yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman bahwa di dalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility). Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai orangnya.66
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat kesalahan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja. Sedangkan pertanggungjawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana.
Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana.
Suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana, jika perbuatan itu juga bersifat melawan hukum. Bukan berarti tindak
66Septina Ayu Handayani, Pandangan Monistis dan Dualistis Hukum Pidana, dalam aurockefeller.blogspot.com, diakses pada 10 Desember 2013
pidana yang tidak memuat perkataan ‘melawan hukum’, tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian, ‘melawan hukum’ dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Hal tersebut juga berdampak pada bunyi putusan. Dalam praktik umumnya jika tidak terbuktinya ‘melawan hukum’ yang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, menyebabkan putusan bebas (vrijspraak).
Berbeda halnya jika ‘melawan hukum’ tidak dirumuskan. Tidak terbuktinya hal ini menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (ontslaag van alle rechtvevolging).
Beberapa putusan pengadilan yang diteliti dalam disertasi Komariah Emong Sapardjaja,67 memutuskan “lepas dari segala tuntutan hukum” terhadap terdakwa yang tidak terbukti sifat melawan hukum tindak pidana yang didakwakan terhadapnya.
Dengan demikian, melawan hukum dipandang sebagai unsur tindak pidana, sekalipun tidak dirumuskan.
Praktik peradilan sebagaimana dikemukakan di atas tidak lagi dapat dipertahankan, terutama dilihat dari teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tidak terbukti melakukan tindak pidana menyebabkan terdakwa diputus bebas. Baik ketika salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan tersebut tidak terbukti
67Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 136
(termasuk perkataan melawan hukum yang disebutkan secara tegas), maupun ketika tindak pidana yang didakwakan tersebut terbukti tetapi dipandang tidak bersifat melawan hukum (melawan hukum menjadi unsur diam-diam).
Dengan demikian, tidaklah perlu dibedakan tidak terbuktinya tindak pidana karena bagian inti “melawan hukum” tidak terbukti dan tindak pidana yang dipandang tidak bersifat melawan hukum. Tidak perlu dibedakan apakah melawan hukum sebagai elementen dan bestandeel. Suatu perbuatan sekalipun mencocoki rumusan tindak pidana tetapi tidak bersifat melawan hukum tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana, sehingga lebih tepat jika terdakwanya kemudian dibebaskan. Dengan kata lain, termasuk diputus bebas, jika sifat melawan hukum suatu tindak pidana (yang menjadi unsur diam- diam) tidak terbukti.68
Pendapat ini juga dapat dikaitkan dengan ketentuan tentang Surat Dakwaan. Tidak terbukti melakukan tindak pidana berarti tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Mengingat syarat materiil Surat Dakwaan menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, adalah “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan”. Dengan demikian, pasti yang didakwakan adalah tindak pidana dan bukan sekedar perbuatan. Dapat dikatakan tindak pidana itu tidak terbukti, jika suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa dipandang tidak bersifat melawan hukum.
68Chairul Huda, Op. Cit., hlm. 52
Konsepsi ini menyebabkan konstruksi Pasal 191 ayat (1) KUHAP harus diperbaiki. Cukup ditentukan, “apabila tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka putusannya bebas”. Dapat saja ditambahkan, “termasuk diputus bebas, apabila suatu perbuatan yang didakwakan mencocoki isi rumusan tindak pidana, tetapi dipandang tidak bersifat melawan hukum”. Dengan demikian, rumusan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tidak lagi diperuntukkan bagi “kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.
Tinggal kemudian, ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP diperuntukkan pada perkara dimana tindak pidananya terbukti, tetapi pembuatnya tidak bersalah atas tindak pidana tersebut. Dengan demikian, bunyi putusan jika pembuat tidak diliputi kesalahan ketika melakukan tindak pidana adalah terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menentukan, “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidaklah merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, juga harus diperbaiki. Perumusan ini agak janggal. Dalam hal ini, yang terbukti bukanlah ‘tindak pidana’ tetapi ‘perbuatan’. Hal mana tidak termasuk rumusan Surat Dakwaan sesuai Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, cukup ditentukan, “apabila terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Ada pandangan yang memandang kesalahan sebagai bagian dari sifat melawan hukum tindak pidana. Ajaran feit materiil dapat dipandang sebagai ajaran yang menempatkan kesalahan sebagai bagian melawan hukum. Demikian pula halnya dengan finale handlungslehre,69 yang memasukkan kesalahan (kesengajaan) sebagai bagian dari perbuatan (tindak pidana yang melawan hukum). Hal ini juga berhubungan dalam lapangan acara pidana. Hal ini berarti pembuktian adanya tindak pidana dipandang dengan sendirinya sebagai pembuktian adanya kesalahan. Kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana semata-mata berhubungan dengan unsur- unsur tindak pidana.
Berbeda halnya jika mengikuti aliran dualistis pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Untuk dapat dikatakan seseorang mempunyai kesalahan, maka sebelumnya yang bersangkutan telah terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Pertanggungjawaban pidana tergantung pada apakah pembuat telah melakukan tindak pidana. Lebih jauh lagi, pertanggungjawaban pidana itu baru dapat dipikirkan setelah terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat melawan hukum.
Dengan demikian, baru dapat dipikirkan tentang adanya kesalahan terdakwa, jika yang bersangkutan telah terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Sebaliknya, tidak perlu
69 Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1985, hlm. 13
dipikirkan, apakah ada kesalahan pada diri pembuat, jika tidak dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana yang bersifat melawan hukum.
Seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, justru karena ia telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawabannya itu ditujukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Berhubung setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka pertanggungjawaban tadi juga diarahkan kepada sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain, kesalahan pembuat yang dipertanggungjawabkannya itu, juga ditujukan kepada timbulnya tindak pidana yang bersifat melawan hukum.
Hal demikian itu sangat tampak pada kesalahan yang berbentuk kesengajaan. Van Hamel yang merupakan pengikut aliran monistis mengatakan bahwa pada delik-delik kesengajaan, kesengajaannya selalu harus diarahkan pada kelakuan dan akibat konstitutifnya.70 Dengan demikian, kesengajaan ditujukan justru terhadap terciptanya keadaan yang melawan hukum itu. Dolus menguasai atau menentukan unsur melawan hukum.71 Sengaja memengaruhi semua unsur lain yang mengikutinya, termasuk unsur melawan hukum. Artinya, tindak pidana yang bersifat melawan
70Roeslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1994, hlm. 61
71 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, terj. Tristam P. Moeliono, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 164
hukum hanya mempunyai arti dalam hukum pidana jika berlangsung karena diketahui dan dikehendaki pembuatnya.
Bagaimana suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum, umumnya juga telah terjadi kesatuan pendapat. Baik dalam teori maupun dalam praktik hukum melawan hukum materiil telah diterima. Suatu tindak pidana dikatakan bersifat melawan hukum bukan saja karena secara formal telah taatbestand dengan isi rumusan tindak pidana dalam undang-undang, tetapi juga perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Dengan kata lain, bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, menurut versi Rancangan KUHP. Diterimanya ajaran sifat melawan hukum materiil tidak berarti suatu tindak pidana melawan hukum semata- mata karena bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
Melainkan juga sebelumnya bertentangan dengan undang-undang.
Hal yang terakhir ini, berhubungan dengan bagaimana fungsi dari sifat melawan hukum materiil itu. Memang telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini. Perbedaan pendapat berkisar apakah melawan hukum materiil ini hanya dapat digunakan dalam fungsinya yang negatif, atau justru penggunaan dalam fungsinya yang positif dapat digunakan secara terbatas. Artinya, apakah melawan hukum materiil digunakan sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang atau justru digunakan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan yang secara formal sebenarnya bukanlah suatu tindak pidana.
Dalam common law system situasinya agak heterogen. Ajaran melawan hukum materiil juga berlaku dalam common law system, khususnya di Inggris dan Australia. Kedua negara tersebut mengenal unlawfully72, sebagai suatu alasan penghapus pidana di luar undang- undang. Namun demikian, sebaliknya di Amerika Serikat ajaran melawan hukum materiil tidak dikenal.73
Penulis mengikuti pandangan yang menerima ajaran sifat melawan hukum materiil terbatas pada fungsinya yang negatif.
Menjadikan melawan hukum materiil sebagai unsur mutlak setiap tindak pidana, berarti menggunakan hal itu sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Dengan demikian, terdapat dua alasan penghapus pidana, yaitu yang ditentukan dalam undang-undang dan yang berada di luarnya.
Pertalian antara sifat melawan hukum dan kesalahan juga tampak dalam hubungannya dengan alasan penghapusnya. Selama ini undang-undang merumuskan masalah alasan penghapus sifat melawan hukum bercampur dengan alasan penghapus kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana umumnya dirumuskan dalam bentuk negatif. Dalam hal ini undang-undang umumnya merumuskan alasan- alasan penghapus pidana sebagai alasan-alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. Demikian pula dalam tradisi common
72 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara &
Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2002, hlm. 94
73Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit., hlm. 185
law. Alasan-alasan penghapus pidana dikumpulkan begitu saja dalam general defence atau general exceptions of liability.
Berkenaan dengan aliran dualistis pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dihubungkan dengan melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, maka hal itu merupakan alasan tambahan untuk meniadakan pidana. Dalam hal ini merupakan alasan- alasan yang menyebabkan suatu perbuatan sekalipun telah memenuhi isi rumusan undang-undang mengenai suatu tindak pidana, tetapi kemudian karena alasan-alasan tersebut, perbuatan itu menjadi dibenarkan. Dalam hal ini sifat tidak hukum (unlawfull) yang ada pada perbuatan tersebut menjadi hilang karena adanya alasan-alasan tadi.
Dalam ilmu hukum hal ini disebut dengan alasan pembenar (justification of crime), yang dibedakan dengan alasan pemaaf, yaitu alasan-alasan penghapus kesalahan (excusing of liability).
Pasal 11 ayat (3) Rancangan KUHP Tahun 2013 menentukan bahwa “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2013, telah merumuskan keadaan-keadaan bagaimana yang termasuk alasan pembenar dan alasan pemaaf juga perkembangan diakuinya sifat melawan hukum material. Apabila konsisten dengan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka alasan pembenar semestinya dirumuskan di bawa paragraf tindak pidana dan alasan pemaaf menjadi Bagian Paragraf Pertanggungjawaban Pidana. Sekalipun tidak
dapat disangkal keduanya merupakan alasan-alasan penghapus pidana, tetapi cara kerjanya berlainan. Alasan pembenar menghapuskan pidana dengan membenarkan perbuatan yang pada pokoknya tindak pidana. Dengan adanya alasan pembenar, maka perbuatan yang pada pokoknya merupakan tindak pidana, menjadi dibenarkan. Alasan pemaaf menghapuskan pidana dengan memaafkan pembuat dari kesalahannya. Pembuat dipandang tidak bersalah, karena sesuatu dari luar yang menyebabkannya tidak dapat dicela.
Dalam hal alasan adanya alasan pembenar, sifat melawan hukum perbuatan hilang, baik karena alasan yang ditentukan dalam undang-undang (alasan penghapus melawan hukum formal), maupun yang berada di luar ketentuan undang-undang (alasan melawan hukum materiil). Dikatakan ada alasan pembenar jika ada dua kewajiban hukum yang saling bertentangan, sedang salah satunya telah dipenuhi, atau jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi karena terpaksa oleh keadaan atau apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk memenuhi norma-norma hukum yang lebih penting daripada yang ada dalam ketentuan pidana.74
Ketentuan Pasal 50 dan 51 ayat (1) KUHP merupakan alasan pembenar yang timbul karena berbenturannya dua kewajiban hukum, di mana salah satunya telah dipenuhi. “Sementara yang berada di luar undang-undang misalnya adalah beroeprecht, seperti hak jabatan dokter untuk melakukan pembedahan yang taatbestand dengan pasal-
74Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana..., Op. Cit., hlm. 73
pasal penganiayaan”.75 Sedangkan, ketentuan Pasal 49 ayat (1) merupakan alasan pembenar yang timbul karena tidak dapat dipenuhinya norma hukum pidana karena terpaksa oleh keadaan.
Namun demikian, dalam hubungannya dengan kesalahan, perlu diingat kesengajaan tidak juga harus diarahkan kepada ketiadaan alasan-alasan pembenar.76 Dalam hal ini melawan hukum ditujukan kepada perkecualian terhadap perbuatan yang secara formal diperbolehkan. Dengan demikian, kesengajaan tidak diarahkan kepada perkecualian-perkecualian tersebut.
Uraian di atas menunjukkan bahwa antara sifat melawan hukum dan kesalahan selalu terdapat hubungan. Kelakuan yang bersifat culpa merupakan bentuk dasar tiap-tiap sifat melawan hukum setidaknya jika perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan pembuatnya. Dengan kata lain, untuk dapat disebut bersifat melawan hukum cukup jika ada kealpaan. Sementara itu, kesengajaan adalah suatu surplus. “Kesengajaan merupakan sifat pembuat yang memberi tambahan dasar susila dari sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam hal ini kesengajaan telah memberi suatu tambahan atas isi kesalahan”.77 Minimal sebenarnya telah melawan hukum jika suatu perbuatan dilarang karena dapat ditimbulkan oleh kealpaan pembuatnya. Apalagi apabila perbuatan tersebut dapat terjadi karena
75Indriyanto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 164
76Roeslan Saleh, Masih Saja..., Op. Cit., hlm. 67
77Ibid., hlm. 103
kesengajaan pembuatnya, maka sudah pada tempatnya jika dikatakan bersifat melawan hukum.
Kesalahan sebagai ukuran pengenaan pidana, pada hakikatnya menempatkan kesalahan sebagai batas-batas pengenaan pidana. Dalam hal ini, kesalahan pembuat merupakan batas yang dengan hal itu dapat ditakar pemidanaan yang tepat baginya. Kesalahan dengan demikian ditempatkan sebagai takaran (ukuran) yang paling menentukan dalam memutuskan bentuk dan lamanya pidana yang tepat bagi seorang pembuat tindak pidana.
Sekalipun tidak diragukan lagi kesalahan yang menentukan ukuran pemidanaan, tetapi pemidanaan hanya dapat dilakukan sebatas yang ditentukan undang-undang. Pemidanaan bukan saja hanya dapat dijatuhkan berdasarkan hukum, tetapi juga penjatuhannya sebatas apa yang ditentukan hukum. Dengan demikian, batas pemidanaan yang pertama ditentukan oleh model perumusan ancaman pidana dalam peraturan perundang-undangan. Dalam tradisi common law system, batas yang demikian ini pertama-tama ditentukan oleh precedent, berdasarkan doktrin stare decises. Baru kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan (statute law).
Konsepsi di atas berhubungan dengan asas legalitas, tetapi perlu diingat bukan semata-mata seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas bukan hanya berarti “nullum crima sine lege”, tetapi juga “nulla poena sine lege”. Artinya, bukan hanya mengenai pelarangan atas suatu perbuatan tetapi bentuk dan jumlah
pengenaan pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya pun harus ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, bentuk dan lamanya pidana yang dapat dikenakan, terbatas hanya yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Asas legalitas ternyata memiliki aspek yang lebih luas daripada sekadar yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam pasal tersebut hanya ditentukan keharusan perumusan dengan undang- undang suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan hal-hal yang menentukan keberlakuan undang-undang tersebut dari segi waktu. Sementara itu, mengenai bentuk dan jumlah pidana yang dapat dijatuhkan juga terbatas dengan apa yang ditentukan undang- undang. Sayangnya hal ini tidak secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Berbeda halnya dengan Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC). Dalam statuta tersebut asas legalitas dirumuskan baik dalam arti nullum crimen sine lege (Pasal 22) maupun nulla poena sine lege (Pasal 23).
Konsekuensi hal ini adalah penentuan bentuk dan lamanya pidana di luar dari yang telah ditetapkan undang-undang, melanggar asas legalitas. Dalam hal ini fungsi kesalahan dalam menentukan dipidananya pembuat dibatas oleh asas legalitas. Dengan demikian, bekerjanya asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan karenanya dibatasi oleh bekerjanya asas legalitas. Hal ini juga sebagai bagian dari konsekuensi dianutnya teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan yang ditempatkan dalam konteks ketentuan undang- undang mengenai bentuk dan jumlah pidana, hanya mempunyai arti jika sistem perumusannya membuka kemungkinan bersifat
“discretionary”. Dapat dicelanya pembuat merupakan pengertian penilaian berdasar aturan perundang-undangan. Dalam melakukan penilaian tersebut, hakim pertama-tama dibatasi oleh undang-undang.
Konsekuensi atas dapat dicelanya pembuat juga ditentukan berdasar undang-undang. Pidana dan pemidanaan merupakan wujud celaan yang ditentukan undang-undang bagi pembuat tindak pidana.
Sekalipun peraturan perundang-undangan pidana telah menentukan batas luar pengenaan pidana, tetapi penerapannya masih menjadikan kesalahan sebagai balas dendam. Sedikitnya terdapat tiga hal yang berkaitan dengan batas pidana yang ditentukan undang- undang, yang implementasinya sangat bergantung pada kesalahan pembuat. Pertama, ketentuan undang-undang yang mengancam pembuat suatu tindak pidana dengan beberapa bentuk pidana. Dalam hal ini bentuk pidana yang lebih berat diancamkan secara alternatif dan/atau kumulatif dengan bentuk pidana yang lebih ringan. Kedua, undang-undang juga menentukan batas minimum dan/atau batas maksimum dari pidana-pidana tersebut. Hakim bebas menentukan putusan pemidanaan dari minimum umum atau khusus (jika ditentukan secara tersendiri), sampai dengan maksimum khusus dan umum (jika terjadi pemberatan tindak pidana). Penerapan hal tersebut terutama bergantung pada kesalahan pembuat.
Selain itu, dianutnya double track system pemidanaan, yang memungkinkan selain pidana terhadap pembuat dapat pula padanya hanya dijatuhkan tindakan (maatregel), juga mempunyai pengaruh.
Hal ini menyebabkan undang-undang juga memberi batas pengenaan pidana yang ketiga, yaitu pidana dialternatifkan dengan tindakan.
Dalam hal ini sebenarnya lebib tepat batas pengenaan tindakan daripada batas pengedaan pidana.78
Selanjutnya, inti persoalan dalam melihat hubungan kesalahan dan pengenaan pidana atau pemidanaan, adalah bahwa hal itu mesti dilakukan secara proporsional. Bahkan banyak penulis yang memandang hal ini sebagai asas hukum tersendiri, yaitu sebagai pasangan asas legalitas (tindak pidana) dan asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (pertanggungjawaban pidana). Begitu pentingnya proporsionalitas ini, sehingga dipandang sebagai asas hukum yang menentukan pengenaan pidana dan pemidanaan.
Dengan demikian, baik menurut teori pembalasan maupun teori pencegahan, prinsip proporsionalitas sangat penting sebagai dasar dan asas pembatas pengenaan pidana. Pengenaan pidana dibatasi hanya dapat dilakukan terhadap pembuat yang melakukan tindak pidana dengan kesalahan. Adanya kesalahan pada pembuat menjadi batas umum pengenaan pidana. Kesalahan pembuat yang menentukan
78 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2003