• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMOHON II DAN I ADALAH KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 1 Angka 6 sepanjang kata “negara”, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), yang para Pemohon nilai bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3),

B. Penjelasan Atas Pasal-Pasal yang Dimohonkan Uji Materi

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan pengujian pasal-pasal UU Kehutanan terhadap UUD 1945, serta memberi putusan sebagai berikut:

1. menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);

2. menolak permohonan pengujian para Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard);

3. menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 Angka 6, sepanjang kata "negara‖, juncto Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa "sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional", juncto Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa "dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya", dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa "sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya", ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa "dan ayat (2)", UU Kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 18B UUD1945;

Namun demikian apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono);

[2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Pemerintah mengajukan dua orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 5 Juni 2012 dan 14 Juni 2012, sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H.,M.Si.

Bahwa ada dua perspektif terhadap pasal-pasal UU Kehutanan yang diuji

materi. Pertama, Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan yang menyatakan bahwa pada prinsipnya hutan adat adalah

bagian dari hutan negara, maka hal tersebut secara parsial dan tekstual dinilai meniadakan hutan adat. Kedua, menyangkut keberadaan masyarakat hukum adat, dipandang secara parsial dan tekstual, maka dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan dinilai meniadakan keberadaan masyarakat hukum adat;

Bahwa Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menyebutkan bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara yang berada dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Jika dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kehutanan, maka hutan adat akan ditetapkan apabila masyarakat hukum adat sebagai subjek pemegang hak atas hutan adat diakui keberadaannya.

Apabila menggunakan penafsiran contrario, maka pengelolaan hutan adat akan kembali kepada Pemerintah jika masyarakat hukum adat sudah tidak ada lagi;

Bahwa dengan memahami secara komprehensif Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kehutanan, sangat jelas bahwa eksistensi hutan adat tetap diakui dan pengakuan tersebut diberikan jika masyarakat hukum adatnya ada. Pengelolaannya pun diberikan kepada masyarakat hukum adat yang ada;

Bahwa persyaratan eksistensi masyarakat hukum adat tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 67 UU Kehutanan. Persyaratan tersebut merupakan konsekuensi dari konsep negara kebangsaan, yang berarti mengakui keberadaan masyarakat, kelompok, dan masyarakat hukum adat sebagai komponen pembentuk bangsa dan negara. Namun perlu dipahami pula komitmen kesatuan, yang berarti eksistensi masyarakat hukum adat tidak boleh eksklusif seperti ketika Indonesia belum merdeka;

Bahwa diperlukan Undang-Undang mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Berkaitan dengan konteks UU Kehutanan,

undang-undang tersebut tidak menyalahi UUD 1945. Namun persoalannya adalah semangat yang ada di dalam UU Kehutanan tidak terinternalisasi ke dalam lingkungan-lingkungan instansi sektoral, sehingga tidak pernah dikembangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih konkret. Akibatnya muncul pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

Instansi sektoral saling menunggu untuk menyatakan masyarakat hukum adat yang mana yang ada;

2. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.

Bahwa dalam Perubahan Kedua UUD 1945 antara lain dilakukan perubahan terhadap bab tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum diubah, ketentuan mengenai Pemerintahan Daerah diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 18 (tanpa ayat); dan setelah diubah menjadi 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Perubahan dalam bab ini dan juga pada bagian lainnya merupakan suatu pendekatan baru dalam mengelola negara.

Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan di pihak lain ditampung kemajemukan bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika;

Bahwa pencantuman tentang Pemerintah Daerah di dalam perubahan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan setelah belajar dari praktik ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis, adanya penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah. Akibat kebijakan yang cenderung sentralistis, Pemerintah Pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan daerah, sehingga daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang dimilikinya;

Bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945 menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi menjadi agenda nasional. Melalui penerapan bab tentang Pemerintahan Daerah diharapkan

Iebih mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Pengertian

"rakyat" dalam konteks ini tentunya termasuk mencakup masyarakat hukum adat;

Bahwa semua ketentuan tersebut dirumuskan tetap dalam kerangka menjamin dan memperkuat NKRI, sehingga dirumuskan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;

Bahwa ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B berkaitan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik; Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan; dan Pasal 25A mengenai wilayah negara; yang menjadi wadah dan batas pelaksanaan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B;

Bahwa dengan pengaitan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 25A UUD 1945 tersebut dalam konteks perubahan pasal-pasal yang terkait dengan bab tentang Pemerintahan Daerah dalam Perubahan Kedua UUD 1945 justru memperkuat kewenangan "negara" yang banyak dipersoalkan oleh pihak Pemohon; dan juga dalam konteks hubungan antara "negara"

(yang direpresentasikan oleh "Pemerintah Pusat") dan "daerah" (yang direpresentasikan oleh "Pemerintahan Daerah");

Bahwa sebagaimana dikemukakan di muka, sebagai salah satu hasil Perubahan Kedua UUD 1945, telah dihasilkan pula Pasal 18B ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

Bahwa dalam penjelasan resminya terhadap ketentuan pasal dan ayat tersebut, MPR RI sebagai lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945 menjelaskan sebagai berikut:

 Satuan pemerintahan di tingkat desa seperti gampong (di NAD), nagari (di Sumatera Barat), dukuh (di Jawa), desa dan banjar (di Bali) serta

berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah hidup berdasarkan adat dan hak-haknya, seperti hak ulayat, tetapi dengan satu syarat bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-paksakan ada; bukan dihidup-hidupkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, kelompok itu harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Selain itu, penetapan itu tentu saja dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan;

Walaupun pada era pasca perubahan UUD 1945 tidak lagi memiliki bagian Penjelasan sebagaimana UUD 1945 yang asli, namun alinea di muka dapat dianggap sebagai semacam interprestasi otentik terhadap substansi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, karena deskripsi tersebut merupakan bagian Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 dan ketetapan MPR;

Deskripsi tersebut juga sekaligus memberikan pemahaman bahwa frasa yang menyatakan "sepanjang (menurut) kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional" justru sejalan dengan substansi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945;

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa timbulnya kerugian-kerugian sebagaimana didalilkan oleh pihak Pemohon II dan Pemohon III sehubungan dengan penerbitan beberapa Keputusan Menteri Kehutanan, Ahli berpendapat bahwa kerugian tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai kerugian konstitusional karena keputusan-keputusan Menteri Kehutanan tersebut bersifat beschiking (penetapan), dan bukan bersumber dari pasal-pasal dan ayat-ayat dalam UU Kehutanan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian tidak terdapat permasalahan konstitusionalitas dalam penerbitan berbagai keputusan Menteri Kehutanan tersebut;

Bahwa Ahli berpendapat Pasal 1 angka 6, sepanjang kata "negara", juncto Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa "sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional", juncto Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa "dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya", dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa

"sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadannya", ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa "dan ayat (2)", UU Kehutanan sebagaimana dikemukakan dalam bagian Petitum dari permohonan Pemohon, baik mengenai pembentukan maupun materinya, sebagian atau keseluruhan, tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 Juli 2012, sebagai berikut:

A. KETENTUAN UU KEHUTANAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN