• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMOHON II DAN I ADALAH KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 1 Angka 6 sepanjang kata “negara”, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), yang para Pemohon nilai bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3),

C. KETERANGAN DPR

2. PENGUJIAN UU KEHUTANAN

Terhadap permohonan pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:

1) Alinea IV Pembukaan UUD 1945 menyebutkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan pembentukan Negara Indonesia tersebut kemudian dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 salah satunya dirumuskan Pasal 33

ayat (3) UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi (tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia;

2) Negara diberi kebebasan untuk mengatur, membuat kebijakan, mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan ukuran konstitusional, yaitu

“sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu, maka semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tanah, air dan semua sumber daya alam di Indonesia seharusnya merujuk tujuan yang hendak dicapai Negara melalui Pasal 33 UUD 1945.

Dengan demikan maka hal ini pun berlaku bagi pengaturan mengenai kehutanan seperti diatur di dalam UU Kehutanan;

3) Berdasarkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka pengelolaan hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum terkait kehutanan, selanjutnya Pemerintah diberikan wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.

Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

4) Dalam UU Kehutanan, hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak;

a. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya

dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai, mengatur, dan mengurus oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan;

b. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai;

5) Keberadaan masyarakat hukum adat ditandai oleh 3 (tiga) faktor, yaitu:

a. adanya kelompok masyarakat yang terikat secara tradisional pada wilayah tertentu;

b. adanya kelembagaan serta perangkatnya; dan

c. adanya pranata hukum yang mengikat dan ditaati, khususnya tentang peradilan adat;

6) UU Kehutanan telah mengakomodasi kepentingan terkait dengan masyarakat hukum adat, hal ini dapat dilihat dengan adanya bab tersendiri di dalam UU kehutanan, yaitu Bab IX tentang Masyarakat Hukum Adat, yang didalamnya mengatur hak, pengukuhan keberadaan dan hapusnya, serta pendelegasian pengaturan terkait keberadaan, pengukuhan, dan penghapusan masyarakat hukum adat;

7) Ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, menyatakan yang dimaksud dengan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Konsep hutan adat adalah hutan negara selain karena konsekuensi dari berlakunya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hal ini juga dikarenakan hutan negara tidak dapat disejajarkan dengan hutan milik dalam hal ini adalah hutan adat, karena apabila status hutan adat disejajarkan dengan hutan milik suatu saat apabila masyarakat adat sudah tidak ada lagi maka status penguasaan hutan adat menjadi tidak jelas. Sebaliknya apabila statusnya tetap merupakan hutan negara yang

dikelola masyarakat hukum adat maka apabila dikemudian hari masyarakat hukum adat sudah tidak ada lagi hutan tersebut akan tetap menjadi hutan negara;

8) Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan, menyatakan hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan rakyat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan;

9) Jabaran mengenai status dan penetapan hutan adat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan sebagaimana diuraikan diatas telah sejalan dengan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

10) Bahwa penguasaan hutan oleh negara sama sekali tidak menghalangi hak masyarakat adat untuk mengelola hutan adat hal tersebut dijamin dalam ketentuan UU Kehutanan sebagai berikut:

a. Pasal 34 jo. Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan masyarakat hukum adat dapat melakukan pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus penelitian dan pengembangan; pendidikan dan latihan; dan religi dan budaya dengan tidak mengubah fungsi pokok, kawasan hutan;

b. Pasal 37 mengatur pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu

fungsinya;

c. Pasal 67 ayat (1) mengatur, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya;

11) Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan, menyatakan masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;

12) Perlindungan masyarakat adat atas haknya terhadap hutan adat juga diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan yang mengatur mengenai pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait berdasarkan Penjelasan Pasal 67 ayat (2) undang-undang a quo;

13) Bahwa masyarakat hukum adat hanya ada pada lokasi-lokasi tertentu, untuk itu maka perlu ada proses pengakuan dari pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah yang dimaksud adalah Pemerintah Daerah yaitu Bupati atau Walikota. Pengakuan tersebut perlu dilakukan karena tidak disemua tempat masyarakat hukum adat masih ada, dan pada tempat dimana masyarakat hukum adat masih ada justru akan lebih memperkuat status hukum dari masyarakat hukum adat tersebut.

Pengaturan ini dilakukan bertujuan untuk menghindari timbulnya tuntutan dari masyarakat yang sudah tidak memiliki kriteria masyarakat

hukum adat lagi;

14) Bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai keberadaan dan pengakuan masyarakat hukum adat dan pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat di dalam Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang a quo diatur dengan Peraturan Pemerintah yang materinya berisi tata cara penelitian; pihak-pihak yang diikutsertakan; materi penelitian, dan kriteria, penilaian keberadaan masyarakat hukum adat, sehingga pengaturan mengenai hal diatas tidaklah semata-mata didasarkan kepada keputusan Pemerintah secara mutlak, tetapi setelah melalui parameter yang terukur;

15) Bahwa berdasarkan keterangan mengenai bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diuraikan diatas maka ketentuan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaanya”, dan ayat (4), Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih ada dan diakui keberadaanya.”, ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa “dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah” telah sejalan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945

Demikian keterangan DPR disampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;

2. Menyatakan Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat

(2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3), UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat;

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon dan Pemerintah menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 12 Juli 2012 dan 10 Juli 2012 yang masing-masing pada pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;