Achmad Anwar Abidin
A. PENDAHULUAN
Kurang enam tahun lagi Nahdlatul Ulama menapaki usia seabad. Usia matang bagi sebuah organisasi kemasyarakatan yang berpangkal dari agama mayoritas pada bangsa yang besar. Sebagai organisasi masyarakat terbesar tentu punya cara jitu dalam mempertahankan eksistensi diberangi kemampuan dalam menciptakan inovasi dalam setiap aspek yang menjadi bagian dari organisasi.
Dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama banyak catatan emas yang telah tertulis. Mulai dari jiwa nasionalisme tinggi yang tumbuh dan berkembang dari setiap anggota dalam mewujudkan dan mengawal kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian memunculkan resolusi jihad yang begitu fenomenal.
Kiprahnya sangat luar biasa, tidak ada yang bisa membantah. Setelah merdeka tokoh-tokoh utama Nahdlatul Ulama adalah tokoh sentral dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian pada dekade
awal kemerdekaan saat bentuk pemerintahan pengakuan terhadap pemerintahan yang dianggap sebagian kelompok dianggap sekuler dan perlu di”syariatkan”
pendek kata nahdhatul ulama selalu ada guna memastikan bangsa Indonesia selalu bersatu dalam maju bersama.
Dalam perjalanan yang sudah satu masa umur manusia, nahdlatul ulama tentu telah banyak menghasilkan program-program yang luar biasa. Dalam bidang politik Nadlatul Ulama adalah guru bagi setiap ormas yang ingin tetap mempertahankan eksistensi dalam setiap situasi politik, mampu mewarnai dan sulit baca oleh lawan. Bila kita membaca sejarah perpolitikan Indonesia, NU selalu ada dan mewarnai dalam setiap lini. Dalam bidang pendidikan, NU adalah basis dari setiap pondok pesantren yang ada di tanah jawa, karena NU lahir dari rahim pesantren dan tidak dapat dipisahkan. Hanya saja dalam bidang ekonomi, NU belum bisa berbuat banyak.
Dalam bidang ekonomi, NU punya konsep mabadi khoiru ummah yang lahir pada munas alim ulama lampung tahun 1992 yang disandarkan pada hasil konggres NU tahun 1935 yang pada awalnya adalah langkah-langkah antisipatif terhadap perkembangan NU dalam bidang ekonomi dalam rangka kesejahteraan masyarakat khususnya warga NU yang kebanyakan adalan masyarakat di pedesaan.
B. PEMBAHASAN
Mabadi’ Khoiru Ummah Lanskap Kesejahteraan Umat Jika kita telisik mabadi khoiru ummah bisa dimaknai sebagai langkah-langkah awal menuju terwujudnya umat yang ideal, mungkin hampir sama dengan konsep umatan wasathan milik Muhammadiyah. Konsep ini adalah gagasan besar dalam mewujudkan masyarakat terbaik atau mirip konsep civil society dalam teori barat. Dalam konsep ini ada perilaku wajib yang dimiliki oleh masyarakatnya yakni: As-Shidqu (kejujuran), Al Wafa bi Al- Ahdi (komitmen), Al Adalah (bersikap adil) dan Al- Istiqhamah (konsisten).
Al Shidqu sebagai landasan dalam setiap gerak dan ucap
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka.
Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Pesan Nabi Muhammad SAW “Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” Yang selalu kita ajarkan kepada anak-
anak kita tentu menjadi landasan kita dalam berprilaku dalam keseharian. Apalagi dalam muamalah yang terkait dengan orang banyak, kejujuran adalah kunci.
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Dalam praksisnya kalau terdapat sebuah berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya.
Sebagai ilustrasi apabila ada seorang yang beramal kerena riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya).
Dalam konsep kejujuran ini asasnya adalah keimanan dan ketakwaan kita pada Allah SWT. Begitupun sebaliknya, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Tetapi dalam praktik kesehariannya akan berbeda tergantung tingkat keimanan dan ketakwaan dari masing- masing individu.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan. Kejujuran senantiasa mendatangkan keberkahan dalam hidup, oleh sebab itu pentingnya jujur apalagi dalam muamalah.
Sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akhirat. Tak salah kiranya dalam konsep mabadi’ Khoiru ummah kejujuran ditempatkan diurutan pertama.
Banyak macam-macam kejujuran. Jujur dalam niat dan kehendak. Tentu kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.