BAB 2 UMKM dan Kolaborasi Inklusif Triple Helix
C. Kolaborasi Triple Helix di Indonesia
saling memengaruhi lembaga, kebijakan, dan norma sosialnya (Cai, 2013). Dengan kerangka kerja seperti itu, penerapan model triple helix menjadi penting dalam analisis kebijakan industri demi mendorong pelaku usaha memanfaatkan teknologi dan mengembangkan iptek nasional.
Perkembangan teknologi, termasuk model usaha dan inovasinya, mendorong perubahan hubungan antara lembaga akademis dan pelaku usaha. Diener dan Piller (2010) menjelaskan saat ini perusahaan (pelaku usaha/UMKM) memanfaatkan pengetahuan, teknologi, dan berkompetensi dengan perusahaan lain. Di sisi lain, perusahaan juga bersedia mengomersialkan dan mengizinkan teknologi serta idenya untuk digunakan di luar perusahaan itu sendiri (misalnya dengan lisensi). Jadi, saat ini kemampuan untuk membentuk jaringan dengan aktor-aktor inovatif di luar perusahaan menjadi kunci efisiensi pengembangan inovasi (Diener & Piller, 2010).
63, 2020), memerlukan berbagai upaya untuk sampai pada tahap terjadinya kolaborasi triple helix yang kuat. Integrasi dari kolaborasi antarunsur triple helix perlu diakselerasi dengan menempatkan pemerintah sebagai inisiator dalam pengembangan riset dan inovasi sejalan dengan hasil penelaahan Galvão et al. (2019).
Pengembangan riset dan inovasi difokuskan terlebih dahulu pada lembaga riset untuk kemudian diterapkan hasilnya oleh UMKM. Belajar dari Kolade et al. (2022) pada kasus negara-negara di Afrika, model kolaborasi triple helix yang digunakan ialah model yang terintegrasi, tersinergi, dan dapat mengangkat UMKM, serta mendifusikan teknologi (kasus 3D) secara luas (inklusif) di Afrika.
Model triple helix di beberapa wilayah Indonesia yang berkategori tertinggal, mengharuskan pemerintah berperan sangat kuat dalam mengembangkan UMKM dan mendorong pengembangan riset serta inovasi bersama universitas lokal. Terbatasnya sarana prasarana penelitian dapat diantisipasi dengan keterlibatan lembaga riset besar, seperti BRIN melalui kerja sama riset. Jika unsur triple helix ini diasumsikan sebagai gabungan perusahaan, hal terpenting pertama yang harus dilakukan ialah analisis komprehensif terhadap kebutuhan (demand analysis), kondisi, dan potensi pengembangan objek di wilayah yang digarap (Business Wire, 2019; Barnett, 1988). Dalam kasus kolaborasi triple helix di daerah Indonesia adalah UMKM. Hal ini dilakukan sebagai dasar penentuan model kolaborasi triple helix yang paling tepat untuk diterapkan.
Mengacu kepada Business Wire (2019) dan Barnett (1988), untuk memahami kondisi dan kebutuhan di daerah Indonesia, langkah awal yang harus dilakukan, yaitu melakukan survei dan analisis pasar guna memahami kebutuhan serta potensinya; melakukan riset dan analisis terhadap potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan keunggulan kompetitif di daerah. Di samping itu, pihak akademisi bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat, perlu melakukan
Buku ini tidak diperjualbelikan.
dialog bersama pelaku UMKM dan asosiasinya untuk memahami kondisi riil, masalah, dan tantangan yang dihadapi oleh UMKM di daerah tersebut.
Sebelum menentukan model triple helix yang digunakan, pemerintah daerah bersama akademisi harus mempertimbangkan kondisi infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya, seperti transportasi, jaringan listrik, jaringan internet, dan layanan logistik di daerah yang akan dikembangkan. Setelah memahami kondisi dan kebutuhan daerah, barulah dicarikan pendekatan yang sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang tersedia di daerah tersebut. Jika mengacu pada model kolaborasi triple helix yang dijelaskan Kimatu (2016), pendekatan secara evolusi harus dilakukan dari model kolaborasi triple helix yang kurang berkaitan (Gambar 2.1a), menuju kebersamaan (Gambar 2.1b), dan pada model kolaborasi yang kuat (Gambar 2.1c).
Agar proses evolusi berjalan cepat dan lancar, diperlukan proses transformasi pada seluruh unsur triple helix. Jika mengacu pada Etzkowitz dan Leydesdorff (2000), transformasi atau perubahan perlu dilakukan oleh semua unsur triple helix dalam berinteraksi dan bekerja sama. Etzkowitz dan Leydesdorff (2000) menjelaskan bahwa kolaborasi triple helix bukan hanya sekadar kerja sama untuk menghasilkan inovasi, melainkan juga harus mampu menghasilkan perubahan dalam struktur, budaya, dan nilai-nilai yang mendasari interaksi di antara ketiga pihak. Kolaborasi harus mendorong terjadinya perubahan yang menyeluruh, berkelanjutan, dan menghasilkan kebijakan publik yang mendukung, serta mendorong transformasi pada unsur triple helix.
Transformasi tersebut menjadi bagian dari sistem inovasi secara holistik dan berkelanjutan sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).
Menurut Etzkowitz dan Leydesdorff (2000), berikut adalah tiga dimensi dalam menjalankan transformasi unsur triple helix.
Buku ini tidak diperjualbelikan.
1) Dimensi institusional: transformasi dalam kebijakan dan regulasi untuk menguatkan hubungan antarunsur triple helix (universitas/
lembaga riset, industri/dunia usaha, dan pemerintah).
2) Dimensi struktural: transformasi dalam struktur organisasi dan tata kelola untuk lebih mempererat kolaborasi unsur triple helix.
3) Dimensi kognitif: transformasi dalam cara berpikir dan memandang pentingnya pengetahuan dan sumber daya intelektual sebagai sumber keunggulan kompetitif (Etzkowitz
& Leydesdorff, 2000).
Di tingkat pemerintahan pusat, model triple helix di Indonesia juga mengalami perkembangan seiring dengan waktu dan pembangunan. Pada awalnya, hubungan antara pemerintah, industri, dan akademisi cenderung terbatas dan tidak terkoordinasi dengan baik (Moeliodihardjo et al., 2012; Surminah, 2013), namun seiring berjalannya waktu, Indonesia mulai memperbaiki hubungan tersebut dengan mengembangkan berbagai program dan inisiatif yang menempatkan ketiga unsur tersebut dalam posisi yang lebih erat.
Salah satunya adalah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (LLDIKTI, 2023). Program PKM memfasilitasi kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan industri untuk mengembangkan inovasi dan teknologi baru yang bermanfaat untuk masyarakat. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mendorong kerja sama antara industri dan perguruan tinggi untuk mengoptimalkan potensi inovasi dan pengembangan teknologi (Herlina, 2021).
Indonesia juga meluncurkan program “Making Indonesia 4.0” yang bertujuan mengembangkan industri 4.0 di Indonesia (Kementerian Perindustrian, 2018). Program ini melibatkan pemerintah, industri,
Buku ini tidak diperjualbelikan.
dan akademisi dalam mengembangkan teknologi digital dan aplikasinya di sektor industri (Kementerian Perindustrian, 2018).
Masih banyak tantangan yang dihadapi untuk memperkuat model triple helix di Indonesia, terutama di daerah-daerah terbelakang (Perpres No. 63, 2020). Namun, dengan makin banyaknya program dan inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah, industri, dan akademisi, diharapkan kolaborasi di antara ketiga unsur triple helix tersebut dapat makin baik dalam mewujudkan inovasi dan pengembangan iptek di Indonesia.