• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komplikasi Persalinan dan penatalaksanaannya a. Komplikasi pada Kala I dan Kala II

Dalam dokumen BAB 2 - Perpustakaan Poltekkes Malang (Halaman 39-53)

pembalut sedikit. Luegenbiehl (1990) dalam Sondakh (2014) mengemukakan Pembalut yang basah dari ujung ke ujung mengandung sekitar 68-80 ml darah.

2.1.9 Komplikasi Persalinan dan penatalaksanaannya

3) Periksa kefon dalam urine dan berikan cairan, baik oral maupun parenteral dan upayakan buang air kecil (kateter bila perlu).

tramadol atau berikan analgesic petidin 25 mg IM (maximum 1 mg/kg BB atau morfin 10 mg IM, jika pasien merasakan nyeri.

4) Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada dalam persalinan.

5) Nilai frekuensi dan lamanya His . 2. Distosia Bahu

Distosia bahu secara sederhana adalah kesulitan persalinan pada saat melahirkan bahu (Varney, dalam sumarah 2011:117). Pada presentasi kepala, bahu anterior terjepit diatas simfisis pubis sehingga bahu tidak dapat melewati panggul kecil atau bidang sempit panggul. Bahu posterior tertahan di atas promotorium bagian atas.

Menurut sumarah,dkk (2011:117) Predisposisi distosia bahu adalah sebagai berikut :

1) Ibu mengalami diabetes mellitus, kemungkinan terjadi macrosomia pada janin. Makrosomia adalah berat badan janin lebih besar dari 4000 gram.

2) Adanya janin gemuk pada riwayat persalinan terdahulu.

3) Riwayat kesehatan keluarga ibu kandung adalah riwayat diabetes mellitus.

4) Ibu mengalami obesitas sehingga ruang gerak janin ketika melewati jalan lahir lebih sempit karena ada jaringan berlebih pada jaln lahir disbanding ibu yang tidak mengalami obesitas.

5) Riwayat janin tumbuh terus dan bertambah besar setelah kelahiran.

6) Hasil USG mengindikasikan adanya macrosomia/janin besar.

Dengan ditemukannya diameter biakromial pada bahu lebih besar dari pada diameter kepala.

7) Adanya kesulitan pada riwayat persalinan yang terdahulu.

8) Terjadinya Chapalo pelvic disproportion (CPD) yaitu adanya ketidaksesuaian antara kepala dan panggul.

9) Fase aktif yang lebih panjang dari keadaan normal. Fase aktif yang memanjang menandakan CPD.

10) Penurunan kepala sangat lambat atau sama sekali tidak terjadi penurunan kepala.

11) Mekanisme persalinan tidak terjadi rotasi dalam (putar paksi dalam) sehingga memerlukan tindakan forsep atau vakum. Hal ini menunjukkan adanya CPD dan mengindikasikan pertimbangan dilaksanakan seksiosesaria.

Menurut sumarah,dkk (2011:117) komplikasi pada janin dan ibu pada distosia bahu adalah sebagai berikut :

1) Terjadinya peningkatan insiden kesakitan dan kematian intrapartum. Pada saat persalinan melahirkan bahu beresiko anoksia sehingga dapat mengakibatkan kerusakan otak.

2) Kerusakan saraf, kerusakan atau kelumpuhan pleksus brachial dan keretakan bahkan sampai fraktur tulang klavikula.

3) Ibu mengalami laserasi daerah perineumdan vagina yang luas.

4) Ibu mengalami gangguan psikologi sebagai dampak dari pengalaman persalinan yang traumatik.

5) Ibu mengalami depresi bila janin cacat atau meninggal.

Menurut Varney, dalam sumarah (2011:119), penatalaksanaan Distosia bahu adalah sebagai berikut:

1) Bersikap rileks. Hal ini akan menkondisikan penolong untuk berkonsentrasi dalam menangani situasi darurat secara efektif.

2) Memanggil Dokter, bila bidan masih terus menolong sampai bayi lahir sebelum dokter datang, maka dokter akan menangani perdarahan yang mungkin terjadi atau untuk tindakan resusitasi.

3) Siapkan peralatan tindakan resusitasi.

4) Menyiapkan peralatan dan obat-obatan untuk penanganan perdarahan.

5) Beritahu ibu prosedur yang akan dilakukan.

6) Atur posisi ibu McRobert.

7) Cek posisi bahu ibu diminta tidak mengejan. Putar bahu menjadi diameter oblik dari pelvis atau antero posterior bila melintang.

Kelima jari satu tangan satunya pada punggung janin sebelah kiri. Perlu tindakan secara hati-hati karena tindakan ini dapat menyebabkan kerusakan pleksus saraf brakhialis.

8) Meminta pendamping persalinan untuk menekan daerah supra public untuk menekan kepala kea rah bawah dan luar. Hati-hati dalam melaksanakan tarikan ke bwah karena dapat menimbulkan kerusakan pleksus saraf brakhialis. Cara menekan daerah supra public dengan cara kedua tangan saling menumpuk di letakkan di atas simfisis. Selanjutnya ditekan ke arahbawah perut.

9) Bila persalinan belum menunjukkan kemajuan, kosongkan kandung kemih karena dapat mengganggu turunnya bahu, melakukan episiotomi, melakukan pemeriksaan dalam untuk mencari kemungkinan adanya penyebab lain distosia bahu.

Tangan diusahakan memeriksa kemungkinan tali pusat pendek, bertambah besarnya janin pada daerah thorak dan abdomen oleh karena tumor, dan lingkaran bandl yang mengindikasikan akan terjadi rupture uteri.

10) Mencoba kembali melahirkan bahu, bila distosia bahu ringan janin dapat dilahirkan

11) Lakukan tindakan perasat seperti menggunakan alat untuk membuka botol (corkscrew) dengan cara seperti menggunakan

prinsip skrup wood. Lakukan pemutaran dari bahu belakang menjadi bahu depan searah jarum jam, kemudian diputar kembali dengan posisi bahu belakang menjadi bahu depan berlawanan arah dengan jarum jam putar 180 derajat, lakukan gerakan pemutaran paling sedikit 4 kali, kemudian melahirkan bahu dengan menekan kepala kea rah belakang disertai dengan penekanan daerah suprapubik.

12) Bila belum berhasil, ulangi melakukan pemutaran bahu janin seperti langkah 11

13) Bila tetap belum berhasil, maka langkah selanjutnya mematahkan clavikula anterior kemudian melahirkan bahu anterior, bahu porterior dan badan janin.

14) Melakukan maneuver zevenelli, yaitu suatu tindakan untuk memasukkan kepala kembali ke dalam jalan lahir dengan cara menekan dinding posterior vagina, selanjutnya kepala janin di tahan dan dimasukkan, kemudian dilakukan SC

b. Komplikasi pada Kala III dan Kala IV 1. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi

plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.

(Manuaba (2007:176).

Plasenta inkarserata artinya plasenta telah lepas tetapi tertinggal dalam uterus karena terjadi kontraksi di bagian bawah uterus atau uteri sehingga plasenta tertahan di dalam uterus. (Manuaba (2007:176).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera.

Penyebab Retentio Plasenta menurut Rohani (2011:218) adalah:

1) His kurang kuat (penyebab terpenting)

2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba);

bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive.

Menurut Manuaba (2007:301) kejadian retensio plasenta berkaitan dengan:

1) Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta 2) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan Menurut Rohani (2011:218) Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:

1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.

2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.

3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.

4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.

Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.

5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuretage sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.

6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.

7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.

2. Atonia Uteri

Atonia Uteri adalah pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah kelahiran.

Menurut JNPK-KR (2014), Definisi atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan keluarnya darah dari tempat implantasi plasenta dan menjadi tidak terkendali.

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.

Menurut Rohani (2011:216) Penatalaksanaan Atonia Uteri adalah sebagai berikut:

1) Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus dan ke dalam vagina ibu.

2) Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.

3) Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior uterus, ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus kea rah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan ke belakang.

4) Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.

5) Evaluasi keberhasilan :

Jika uterus bekontraksi dan pendarahan berkurang, terus melakukan KBI selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat selama kala empat. Jika uterus berkontraksi tetapi pendarahan masih berlangsung, periksa ulang perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segera lakukan penjahitan untuk menghentikan pendarahan. Jika uterus tidak berkontraksi selama 5 menit, ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE) kemudian lakukan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.

6) Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600-1000 mcg per rectal. Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena ergometrin dapat menaikkan tekanan darah.

7) Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan berikan 500cc larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.

8) Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.

9) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu karena ini merupakan bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan tindakan gawatdarurat di fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah.

10) Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infus cairan hingga ibu tiba di tempat rujukan. Infus 500 ml pertama dihabiskan dalam waktu 10 menit.Berikan tambahan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 L dan kemudian lanjutkan dalam jumlah 125cc/jam. Jika cairan infus tidak cukup, infuskan 500 ml (botol kedua) cairan infus dengan tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi.

3. Robekan Jalan Lahir

Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahin terdiri dari :

1) Robekan Perinium

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.

Menurut widyastuti, (2011:159) robekan perineum yang melabihi derajat 1harus di jahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harusdikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan ini ditunda sampai menunggu plasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptic dan luas robekan ditentukan dengan seksama. Pada robekan perineum derajat 2, setelah diberi anastesi local otot-otot diafragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mangikutsertakan jaringan-jaringan di bawahnya. Sedangkan menjahit robekan perineum derajat 3 harus dengan teliti; mula- mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada

robekan perineum derajat 2, untuk mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna.

2) Robekan Serviks

Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir belakang servik dijepit dengan klem fenster kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.

Menurut Widyastuti (2011: 161)Penanganan menjahit robekan serviks adalah sebagai berikut :

(a) Pertama-tama pinggir robekan sebelah kiri dan kanan di jepit dengan klem sehingga perdarahan menjadi berkurang atau berhenti

(b) Kemudian sevix di tarik sedikit, sehingga lebih jelaskelihatan dari luar

(c) Jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum di jahit pinggir tersebut diratakan dulu dengan jalan menggunting pinggir yang bergerigi tersebut.

(d) Setelah itu robeka dijahit dengan cutgut cromik, jahitan dimulai dari ujung robekan dengan cara jahitan terputus-putus atau jahitan angka delapan

(e) Pada robekan yang dalam, jahitan harus di lakukan lapis demi lapis. Ini dilanjutkan untuk menghindari terjadinya hematoma dalam rongga di bawah jahitan.

3) Rupture Uteri

Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.

Ruptur uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya ruptura uteri.

Menurut Widyastuti (2011:161) pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.

Ruptura uteri termasuk salah satu diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.

Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan

hematoma pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena perdarahan hebat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama.

Menurut widyastuti (2011:161) cara penangan rupture uteri adalah dengan mengatasi syok, perbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus, pemberian kardiotonika dan antibiotika, jika sudah mulai membaik lakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.

2.1.10 Bayi baru Lahir

Dalam dokumen BAB 2 - Perpustakaan Poltekkes Malang (Halaman 39-53)

Dokumen terkait