• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Iman

Dalam dokumen CORAK - UIN Sunan Ampel Surabaya (Halaman 82-87)

74

Untuk mendukung pendapatnya ini al-Bazda>wi mengemukakan dali-dalil antara lain QS al-Rum ayat 22

: مورلا( ْمُكِناَو ْلَأَو ْمُكِتَنِسْلَأ ُف َلًِتْخاَو ِضْرَ ْلْاَو ِتاَواَمهسلا ُقْلَخ ِهِتاَيآ ْنِمَو )

22

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lain bahasamu dan warna kulitmu” (al-Rum: 22).

QS. al-Mulk ayat 13-14

َقَلَخ ْنَم ُمَلْعَي ل َ َ

أ . ِروُد صلا ِتا َذِب ٌميِلَع ُههنِإ ِهِب اوُرَهْجا ِو َ

أ ْمُكَلْوَق او ِسِ َ أَو : كللما( ُيِْبَ ْ

لْا ُفيِط هللا َوُهَو

13 -

)

14

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (al-Mulk: 13-14).

QS>. al-Rum ayat 22 memberikan pengertian bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta menciptakan perbedaan ucapan (bahasa) sebagaimana menciptakan warna kulit manusia. Dan QS. al-Mulk ayat 12-13 memberikan pengertian bahwa ucapan manusia baik yang rahasia ataupun yang keras semuanya diciptakan Allah, demikian menurut al- Bazda>wi.55

75 lebih disebabkan perbedaan mereka dalam memahami kekuatan akal dan fungsi wahyu; Apakah tanpa bantuan wahyu akal manusia dapat mengetahui Tuhan, dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, begitu pula wajib berterima kasih kepada Tuhan dan wajib mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk sebelum turunnya wahyu.

Bagi Mu’tazilah yang berpendapat bahwa masalah- masalah di atas dapat diketahui oleh akal manusia semata, maka konsep iman tidak sekedar hanya tasdiq, dan ma’rifah tetapi harus meningkat kepada ‘amal. Iman bagi mereka bukan tasdiq dan bukan pula ma’rifah tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat ma’rifah. Dengan demikian iman menurut Mu’tazilah adalah pelaksanaan dari perintah-perintah Tuhan;

seseorang tidak dikatakan sebagai mukmin, jika ia mengetahui Tuhan tetapi tidak melaksanakan perintah-perintah-Nya atau menentang-Nya.56 Ayat al-Qur’an yang dibuat sandaran Mu’tazilah dalam hal ini adalah QS. al-Anfal ayat 2

ُهُتاَيآ ْمِهْيَلَع ْتَيِلُت اَذِإَو ْمُهُبوُلُق ْتَلِجَو ُ هللَّا َرِكُذ اَذِإ َنيِ هلَّا َنوُنِمْؤُمْلا اَمهنِإ : لافنلا( َنو ُ هكََّوَتَي ْمِهِّبَر َ َعَلَو ااناَميِإ ْمُهْتَداَز )

2

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (al-Anfal: 2).

Sikap tawakkal pada akhir ayat ini menuntut manusia untuk melaksanakan usaha sesuai dengan tuntutan yang telah diberikan Allah. Bukan mengabaikan usaha, atau menyia- nyiakan diri.

Adapun menurut Ma>turi>di> Samarkand iman adalah tasdiq bukan dengan lisan, tetapi tasdiq dari hasil ma’rifah, atau dengan kata lain tasdiq yang dihasilkan dari pengamatan akal

56 Harun, Teologi, 147.

76

bukan semata berdasarkan al-sam’u (mendengar berdasar wahyu). 57 Pendapat di atas didasarkan pada QS. al-Hujurat ayat 14 dan QS. al-Baqarah ayat 260

اَنْمَلْس َ أ اوُلوُق ْنِكَلَو اوُنِمْؤُت ْمَل ْلُق اهنَمآ ُباَرْعَ ْلْا ِتَلاَق ِفِ ُناَميِ ْ

لْا ِلُخْدَي اهم َلَو

: تارجلْا( ْمُكِبو ُلُق )

14

“Orang-orang ‘Arab badwi itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’ . karena iman itu belum masuk ke dalam hatinya” (al-Hujurat: 14).

ْنِكَلَو َلََب َلاَق ْنِمْؤُت ْمَلَوَأ َلاَق َتَْوَمْلا ِ ْحُْت َفْيَك ِنِِر َ

أ ِّبَر ُميِهاَرْبِإ َلاَق ْذِإَو : ةرقلْا( ه ِئَِم ْطَ ِلِ

)

260

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati’. Allah berfirman:

“Belum yakinkah kamu?”. Ibrahim menjawab: “Aku telah menyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)” (al-Baqarah: 260).

Ayat pertama menunjukkan bahwa iman tidak cukup hanya dengan perkataan semata, sementara hati tidak beriman, oleh karenanya iman harus disertai dengan pengakuan hati.

Adapun ayat kedua menjelaskan bahwa permintaan Ibrahim yang demikian itu agar imannya disertai dengan hasil ma’rifah.

Demikian menurut Abu> Mans}u>r al-Ma>turi>di>.58

Bagi Ash’ariyah, karena masalah-masalah dia atas hanya dapat diketahui dengan informasi wahyu maka iman adalah tasdiq, yakni membenarkan apa yang didengar dari wahyu. Al-Shahrasta>ni menjelaskan bahwa yang dimaksud iman oleh golongan Ash’ariyah adalah membenarkan dengan hati, sedang mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota badan merupakan cabangnya; oleh sebab itu barangsiapa membenarkan dalam hatinya akan ke-Esaan Allah

57 Abu> Mans}u>r al-Ma>turi>di>, Kita>b al-Tauhid (Istanbul: al-Maktabah al- Isla>miyah, 1979), 89.

58 Ibid., 372-381.

77 dan membenarkan bahwa segala yang dibawa para rasul Allah itu dari Allah, maka dia adalah orang yang beriman.59 Dalil yang dikemukakan Ash’ariyah dalam hal ini adalah QS.

Ibrahim ayat 4

: ميهاربا( ِهِمْوَق ِناَسِلِب ه

لِإ ٍلوُسَر ْنِم اَن ْلَسْرَأ اَمَو )

4

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya” (Ibrahim: 4).

Ayat ini menurut al-Ash’ari bahwa informasi tentang agama yang harus diimani itu, disampaikan rasul dengan bahasa kaum dimana rasul itu diutus. Dengan demikian iman berarti al- tasdiq terhadap apa yang diturunkan Allah.60

Sebagaimana Ash’ariyah, Ma>turi>di> Bukha>ra juga mempunyai pandangan yang sama berkaitan dengan masalah iman. Iman sebagaimana dinyatakan oleh al-Bazda>wi adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada serupa bagi-Nya.61 Ayat yang menjadi sandaran al-Bazda>wi adalah QS. Yusuf ayat 17

: فسوي( َينِقِدا َص اهنُك ْوَلَو اَ َلن ٍنِمْؤُمِب َتْنَأ اَمَو )

17

“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (Yusuf: 17).

Ayat di atas menurut al-Bazda>wi merupakan penjelas bahwa iman itu adalah tasdiq, baik secara lisan atau syari’ah.62

Demikian beberapa pandangan teologi para mutakallimin (teolog muslim) berserta argumen masing-masing terkait dengan masalah sifat-sifat Tuhan, keadilan Tuhan, kehendak mutlak Tuhan, takdir dan kebenbasan manusia dan konsep iman. Pandangan teologi para mutakallimin (teolog

59 al-Shahrasta>ni, al-Milal, 101.

60 al-Ash’ari, al-Luma>’, 123.

61 al-Bazda>wi, Us}u>l al-Di>n, 142.

62 Ibid., 145.

78

muslim) di atas dalam penelitian ini berfungsi sebagai kajian teori untuk melihat pandangan teologi Wahbah al-Zuhaili melalui interpretasinya terhadap ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan masalah teologi.

79

Dalam dokumen CORAK - UIN Sunan Ampel Surabaya (Halaman 82-87)

Dokumen terkait