• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH PERTAMA

Dalam dokumen Karya Imam al-Ghazali (Halaman 83-143)

Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Eternitas Alam

VN

URAIAN TEMA

P

ara ilsuf berbeda pendapat tentang eternitas (qidam) alam, dan yang ditetapkan dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ilsuf dari dulu sampai kini bahwa alam adalah kekal. Ia ada bersama dengan Allah, menjadi akibat dari keberadaan-Nya, namun adanya secara bersamaan, tanpa perbedaan urutan waktu seperti kebersamaan sebab dan akibat serta kebersamaan matahari dan sinarnya. Prioritas atau keberadaan lebih awal (taqaddum) Allah atas alam seperti priortas sebab atas akibat, yaitu prioritas esensial dan tingkatan, bukan prioritas dalam urutan waktu.

Konon—menurut Plato—alam diciptakan dan memiliki awal temporal. Lalu, para ilsuf memberikan interpretasi berbeda terhadap pandangan tersebut dan tidak mengakui bahwa keberawalan alam merupakan keyakinan Plato.

Dalam buku Ma Ya’taqiduhu Jalinus Ra’yan (Apa Yang Dipercaya Galen), Galen bersikap netral dan tidak menyatakan apa-apa. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak tahu apakah alam itu kekal (qadim) atau memiliki awal temporal (muhdis)? Dan ia

menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin diketahui. Hal itu bukan karena keterbatasan kemampuan diri, melainkan karena kerumitan inheren dalam persoalan ini atas akal. Tapi pandangan ini tidak bergema dalam belantara pemikiran para ilsuf. Rata- rata, kaum ilsuf sepakat bahwa alam kekal dan kemunculan sesuatu yang berawal dan yang kekal tanpa perantara sama sekali tidak bisa diterima akal.

EKSPOSISI ARGUMEN

Jika kami harus menyajikan semua argumen yang dikemukakan para ilsuf dan menampilkan argumen kontranya, tentu akan menghabiskan banyak halaman buku. Padahal, pemborosan wacana dan perbincangan yang terlalu panjang Iebar adalah tidak baik. Karena itu, kami lantas melakukan seleksi dengan membuang argumen-argumen yang tak berdasar atau berdasar imajinasi lemah, yang hanya menghambat para pengkaji masalah ini. Kami hanya akan menyajikan argumen-argumen yang signiikan pada inti persoalan, yang selama ini telah menggoncang keyakinan para pemerhati ilsafat. Sedangkan goncangan dalam keyakinan masyarakat awam bisa saja disebabkan oleh masalah- masalah sepele. Dalam konteks ini, terdapat tiga argumen dasar.

Pertama: para ilsuf menyatakan bahwa sesuatu yang berawal, mustahil lahir dari yang kekal secara mutlak. Karena misalnya, jika kita mengandaikan adanya sesuatu yang kekal pada saat alam belum ada, maka ketiadaan alam pada saat itu hanya karena tidak ada penentu (murajjih) untuk mengadakannya.

Bahkan keberadaan alam pada saat itu, hanya merupakan sebuah kemungkinan. Jika setelah itu alam ada, kita pun masih berhadapan dengan dua alternatif: penentu itu telah mengadakan

alam atau tidak. Jika penentu itu tidak mendorong terciptanya alam, maka alam akan tetap menjadi kemungkinan semata, seperti sebelumnya.Jika penentu itu mendorong terciptanya alam, maka siapa yang menciptakan penentu itu? Mengapa baru muncul saat penciptaan alam, dan tidak muncul sebelumnya? Dengan demikian, persoalan munculnya penentu masih merupakan persoalan tersendiri.

Secara umum, jika kondisi zat yang kekal tetap serupa dan tidak berubah, maka terdapat dua hal yang bisa terjadi: ia sama sekali tidak bisa melahirkan sesuatu selainnya, atau melahirkan sesuatu secara terus-menerus. Hanya saja mustahil untuk memisahkan kondisi keterlepasan (tark) dari kondisi ketermulaan (syuru’).

Uraian lebih rincinya, mengapa alam tidak diciptakan pada masa sebelum kejadiannya? Tentu tidak mungkin mendasarkan pada alasan ketidakmampuan-Nya untuk menciptakan alam serta kemustahilan terciptanya alam. Sebab alasan itu akan mengantar pada perubahan Yang Kekal dari kondisi tak mampu menjadi mampu dan perihal alam dari mustahil menjadi mungkin.

Kedua kondisi itu sama-sama mustahil. Juga tidak mungkin menyatakan bahwa alam tidak terwujud sebelumnya karena tidak adanya intensi (qasd) Tuhan, dan kemudian maksud itu muncul pada saat lahirnya alam. Seperti juga tidak mungkin beralasan karena sebelumnya tidak ada instrumen, dan setelah itu muncul instrumen, lalu alam pun jadi diciptakan. Yang paling mungkin adalah menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kehendak (iradah) untuk menciptakan alam sebelum itu. Karena itu, harus dikatakan bahwa keberadaan alam terwujud karena Tuhan berkehendak untuk mengadakannya setelah sebelumnya tak berkehendak. Dengan demikian, kehendak menjadi sesuatu yang

baru muncul. Padahal menetapkan awal temporal bagi kehendak Tuhan adalah mustahil, sebab ia tidak berada dalam wilayah yang memiliki awal temporal. Oleh karena itu, keberawalannya—yang tidak dalam zatnya sendiri—tidak bisa menjadikan Tuhan sebagai Yang Berkehendak (Murid).

Mari kita tinggalkan problem keberawalan kehendak Tuhan dan tetap melihat pada persoalan alam. Bukankah persoalannya tetap berakar pada asal keberawalannya? Dari mana alam itu berawal? Mengapa terjadi saat itu, bukan sebelumnya?

Apakah kejadiannya pada saat itu tidak berasal dari Tuhan? Jika mungkin sesuatu yang memiliki awal temporal bisa muncul tanpa ada yang memunculkan, maka alam merupakan sesuatu yang memiliki awal temporal dan keberadaannya tidak terikat pada pencipta. Jika demikian, apa bedanya sesuatu yang memiliki awal temporal dengan sesuatu yang memiliki awal temporal lainnya?

Jika alam terwujud karena diciptakan Tuhan, mengapa diciptakan pada saat itu, bukan sebelumnya? Apakah karena tidak adanya alat, kemampuan, tujuan, atau karakter? Jadi, ketika ketiadaan alam berganti menjadi ada dan terjadi, maka persoalannya belum selesai. Atau tidak terciptanya alam pada saat itu karena tidak adanya kehendak? Jika demikian, maka kehendak tersebut akan menunggu adanya kehendak lain dan kehendak lain juga akan menunggu kehendak yang lain lagi, dan begitu seterusnya, ad ininitum.

Dengan demikian, sudah jelas secara absolut bahwa kemunculan sesuatu yang memiliki awal temporal (hadis) dari sesuatu yang kekal (qadim) adalah mustahil, jika tidak disertai oleh perubahan pada diri yang kekal, menyangkut kemampuan, alat, waktu, maksud ataupun karakternya. Padahal menetapkan adanya perubahan perihal pada yang kekal adalah mustahil. Sebab

berbicara tentang perubahan yang memiliki awal temporal berarti juga berbicara tentang hal selainnya. Semua itu adalah hal yang mustahil. Bagaimana pun, selama alam telah ada dan menutup kemungkinan untuk memiliki awal temporal, maka eternitasnya tidak bisa dibantah.

Begitulah retorika licik para ilsuf dalam menyampaikan argumentasinya. Secara umum, pembicaraan mereka tentang persoalan metaisika lainnya tidak lebih signiikan dari pembicaraan dalam persoalan ini. Sebab dari sini, mereka mengalirkan argumennya ke wilayah yang lain. Karena itu, kami mendahulukan penyajiannya berikut argumen terpenting yang mereka bangun.

***

SANGGAHAN DARI DUA SISI

Pertama, mesti dipertanyakan: dengan apa Anda akan membantah pendapat orang bahwa yang menyatakan alam berawal bersama Allah. Kehendak Allah menetapkan keberadaannya ada di saat alam pertama kali ada (mewujud karena diciptakan).

Dengan kehendak Allah, ketiadaan akan terus berlangsung sampai titik paling akhir dan wujud sesuatu akan bermula pada saat kehendak untuk mewujudkan itu bermula. Dengan pandangan ini, eksistensi alam sebelum titik waktu yang dikehendaki adalah di luar kehendak sehingga ia tidak akan mewujud secara aktual. Demikian juga eksistensi alam merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh kehendak kekal (iradah qadimah) pada saat ia mewujud secara aktual. Apa yang dapat membantah keyakinan semacam ini dan kontradiksi apa yang terdapat di dalamnya?

Jika dikatakan:

Pandangan seperti ini jelas sekali mustahil. Sebab sesuatu yang temporal adalah akibat atau produk (mujab/ musabbab), sebagaimana sesuatu yang memiliki awal temporal mustahil ada tanpa sebab atau pencipta (mujib/ musabbib). Dengan demikian, mustahil pula adanya sebab yang tidak bisa memproduksi akibat pada saat semua persyaratan dan faktor yang diperlukan telah terpenuhi untuk mewujudkan suatu hubungan kausal. Bahkan eksistensi akibat merupakan keniscayaan, dan penangguhannya merupakan kemustahilan ketika semua syarat dan kondisi sebab telah terpenuhi. Tidak hadirnya akibat dalam kondisi seperti ini sama mustahilnya dengan adanya akibat yang memiliki awal temporal tanpa keberadaan sebab.

Sebelum adanya alam, yang berkehendak (murid) telah ada, begitu juga kehendak (iradah) dan relasi (nisbah) kehendak dengan objek yang dikehendaki (murad). Subyek yang berkehendak tidak akan memperbarui diri dan kehendak juga tidak akan hadir sebagai sesuatu yang baru, demikian juga relasi dengan objek akibat yang dikehendaki. Karena itu, semua akan menggiring pada perubahan. Lalu bagaimana objek yang dikehendaki bisa muncul sebagai sesuatu yang baru dan memiliki awal temporal?

Apa yang mencegahnya untuk muncul sebelum itu?

Periha kehadiran barunya (tajaddud) tidak mungkin berbeda dengan perihal sebelumnya dalam segala hal, baik faktor, kondisi, dan relasinya. Sebab segalanya akan tetap sebagaimana adanya. Tapi meski demikian, akibat sebagai objek kehendak bukanlah sesuatu yang ada sejak awal. Ia merupakan sesuatu yang diciptakan dan muncul kemudian. Bukankah ini merupakan sebuah realitas yang sangat kontradiktif?

Kontradiksi ini tidak semata berada dalam ranah sebab- akibat yang tak terbantah (daruri) dan esensial (zati), tapi juga dalam ranah konvensional (‘urf) dan terkualiikasi (wad’i). Sebagai contoh, jika seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya, tapi tidak langsung berpisah (sebagai akibat pernyataan talak), maka tak bisa diterima oleh akal jika akibat itu (perpisahan) masih akan terjadi setelah adanya penundaan tersebut. Sebab ia menjadikan ungkapan talak sebagai motif hukum (‘illah)—

yang merupakan sebab—yang berlaku secara positif (wad’i) dan berdasar istilah. Karena itu, adanya penangguhan akibat (dari penetapan talak) tidak bisa diterima akal sehat, kecuali mengaitkannya dengan waktu “besok” atau dengan syarat

“memasuki rumah”. Dengan demikian, tentu talak tak akan terjadi pada saat diucapkan, namun masih menunggu datangnya

“besok” dan terjadinya tindakan “masuk rumah” sebagai syarat yang ditetapkan untuk jatuhnya talak. Karena dengan begitu, sang suami mengaitkan penetapan talak dengan sesuatu yang masih ditunggu dan belum terjadi. Ketika syarat itu tidak ada pada saat talak (sebagai sebab) diucapkan, maka terjadinya talak (sebagai akibat) harus ditangguhkan pada sesuatu yang belum ada pada saat itu. Karena itu, akibat dari pernyataan talak tidak bisa terwujud kecuali setelah munculnya hal hal baru, yaitu datangnya

“hari esok” atau tindakan “masuk rumah”. Dengan begitu, seandainya seseorang hendak menangguhkan akibat pernyataan talak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang belum ada, maka hal itu tidak masuk akal, sekalipun ia membuat pernyataan itu sendiri dan bebas memilih maksud pernyataan yang dikehendaki.

Sebab hal tersebut berkaitan dengan ketetapan umum yang positif berlaku dan istilah yang biasa digunakan. Lalu, jika tidak mungkin menetapkan hal tersebut sekehendak kita, dan kita

menilainya tidak masuk akal karena kehendak sering berubah- ubah, maka bagaimana semua itu bisa masuk akal dalam wilayah ketetapan kausal yang esensial (zati), rasional (‘aqli), dan rill dengan sendirinya (daruri).

Sedangkan dalam adat dan kebiasaan, objek intensi atau kemauan (maqsud) tidak akan tertunda perwujudannya sebagaimana dimaksudkan, ketika ada intensi (qasd), kecuali terdapat hal-hal yang menghalanginya. Sebab ketika intensi dan kemampuan telah ada, sementara tidak ada penghalang apa pun, maka tak mungkin menangguhkan perwujudan objek kemauan itu. Penangguhan itu bisa terjadi, jika suatu tindakan hanya didasarkan pada inklinasi atau kecenderungan hati (‘azm), sebab hal itu tidak memenuhi kualiikasi untuk melahirkan tindakan.

Inklinasi untuk menulis tidak otomatis melahirkan tulisan, selama tidak didukung oleh intensi. Karena intensi merupakan pendorong yang ada dalam diri manusia yang muncul sebelum tindakan terwujud.

Jika kehendak kekal sama dengan intensi diri dalam melahirkan tindakan, maka tidak mungkin terjadi penundaan terjadinya objek lntensi, kecuali jika ada penghalang. Dan dalam hal ini, tidak boleh ada kesenjangan antara intensi dan objek intensi. Dengan demikian, menjadi tidak masuk akal bila pada saat berintensi untuk bangun, namun masih akan dilaksanakan besok, kecuali hal itu hanya sebatas inklinasi. Jika kehendak kekal sama dengan inklinasi pada diri kita, tentu ia tidak memenuhi syarat untuk merealisasikan objeknya. Sebab ia—tidak boleh tidak—masih tetap memerlukan dorongan intensi ketika akan mewujudkannya. Namun, dengan itu, berarti terjadi perubahan dalam diri yang Kekal. Dengan demikian, persoalan yang tersisa dan belum terpecahkan adalah mengapa dorongan intensi,

kehendak, atau apa pun namanya, terjadi pada saat penciptaan itu, bukan sebelumnya? Maka hanya tinggal ada dua alternatif untuk menjawabnya: mengakui adanya yang berawal temporal yang muncul tanpa sebab atau adanya rangkaian kehendak yang tak berujung, sebab setiap kehendak memerlukan kehendak lain untuk mewujudkannya.

Kata akhir dan substansi dari penyataan (Anda): bahwa sebab telah ada dengan syarat-syarat yang sudah lengkap serta tidak ada sesuatu yang mesti ditunda. Namun bersama itu,

“akibat” ternyata ditangguhkan dan tidak diadakan pada suatu waktu yang tidak dapat diperkirakan awalnya, seribu tahun sekalipun. Kemudian “akibat” itu dimunculkan secara tiba-tiba tanpa ada faktor-faktor baru yang masuk pada prosesnya serta syarat-syarat yang bisa merealisasikannya. Dan semua itu adalah hal yang mustahil terjadi.

Jawabannya:

Bagaimana Anda tahu bahwa kehendak kekal tidak mungkin melahirkan sesuatu? Atas dasar pengetahuan yang niscaya benar (darurah al-’aql) atau berdasar pengetahuan teoretis (nazar)? Dengan berdasarkan istilah kalian dalam logika, Anda dapat menentukan titik temu antara dua terma hadd (batasan):

melalui hadd al-ausat (batasan pertengahan) atau tanpa melalui hadd al-ausat. Jika menggunakan hadd al-ausat—yaitu model penalaran deduktif—maka Anda harus menunjukkannya atau memberikan penjelasan tentang proses penarikan kesimpulannya.

Jika Anda mengetahuinya secara intuitif dan berdasarkan atas pengetahuan niscaya benar (darurah), mengapa orang lain tidak mengetahuinya dan justru berbeda pendapat dengan Anda.

Orang yang meyakini bahwa alam memiliki awal temporal dan mewujud dengan perantara kehendak kekal yang tak terhitung jumlahnya dan menembus batas-batas geograis. Jelas bahwa, demi akal, mereka tidak memercayai sesuatu yang mereka ketahui tidak benar. Maka Anda harus membuktikan berdasarkan aturan- aturan Logika, bahwa keyakinan tersebut tidak benar. Sebab semua yang Anda uraikan tersebut masih sekadar gagasan atau sugesti dan penyamaan kehendak kekal dengan intensi dan inklinasi manusia, padahal penyamaan tersebut tak bisa dibenarkan. Sebab kehendak kekal tidak menyerupai intensi-intensi temporal.

Sementara usul dan sugesti saja tidak cukup dalam persoalan ini.

Jika dikatakan:

Kami mengetahuinya berdasar pengetahuan intuitif dan niscaya rasional (darurah al-’aql), bahwa tidak mungkin suatu sebab yang telah terpenuhi syarat-syaratnya tidak mewujudkan akibat. Orang yang meyakini kemungkinan tersebut berarti menentang tuntutan rasional.

Akan kami katakan:

Apa bedanya Anda dengan lawan-lawan polemik Anda, ketika mereka mengatakan: “Secara pasti kami mengetahui kemustahilan pendapat orang yang mengatakan bahwa Zat (Tuhan) Yang Tunggal mengetahui segala universalia (kulliyyat), tanpa pengetahuan itu mengharuskan lahirnya pluralitas, tanpa pengetahuan itu masuk menjadi tambahn pada esensi-Nya, tanpa pengetahuan itu berlipat ganda bersamaan dengan berlipat gandanya objek pengetahuan (ma’lum).” Pendapat ini adalah

pendapat Anda tentang sifat atau hal yang terkait dengan Allah. Jika itu dinisbatkan pada pengetahuan kita, tentu sangat tidak masuk akal. Tapi Anda membantahnya, bahwa pengetahuan kekal tidak bisa dianalogikan dengan pengetahuan temporal. Suatu kelompok dari golongan kalian merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang mustahil dan menyatakan bahwa Allah hanya mengetahui diri-Nya sendiri. Dia adalah yang berpikir (‘aqil), pikiran (‘aql), dan yang dipikirkan (ma’qul). Ketiganya manunggal menjadi satu kesatuan.

Jika dipersoalkan, bukankah kemanunggalan itu diketahui secara pasti sebagai suatu kemustahilan, sebab beranggapan bahwa pencipta alam tidak mengetahui ciptaan-Nya dengan pasti. Dengan demikian, jika yang Kekal hanya mengetahui dirinya sendiri—

Mahatinggi Allah dari segala pendapat mereka serta pendapat orang yang menyimpang—tentunya, Ia tidak akan mengetahui ciptaan- Nya sekali.

Tapi kami tidak akan keluar dari inti persoalan dalam konteks ini. Akan kami katakan: “Dengan apa kalian menanggapi lawan lawan polemik kalian, ketika mereka menyatakan bahwa kekalitas alam adalah hal yang mustahil. Sebab hal itu akan mengantar pada airmasi atas perputaran benda-benda langit yang tidak terhitung jumlahnya dan tak terbatas satuannya, walaupun terbukti bahwa perputaran tersebut dapat diukur dengan ukuran seperenam, seperempat, atau setengah. Matahari menyelesaikan satu kali putaran dalam rotasinya selama satu tahun dan Saturnus menghabiskan waktu tiga tahun. Dengan demikian, putaran Saturnus sepertiga putaran Matahari. Sementara itu, putaran Yupiter adalah seperdua belas putaran Matahari, sebab Yupiter melakukan satu kali putaran dalam jangka dua belas tahun.

Lantas, sebagaimana jumlah putaran Saturnus merupakan sesuatu yang tak terhingga, demikian pula jumlah putaran

Matahari, padahal ia sepertiganya. Bahkan putaran bintang yang menghabiskan tiga puluh ribu tahun untuk sekali putaran juga tak terhingga, sebagaimana gerakan timur-barat Matahari yang hanya memerlukan waktu sehari semalam dalam sekali gerak.

Jika ada orang menyatakan bahwa hal ini termasuk sesuatu yang secara pasti adalah mustahil, lalu bagaimana Anda menyanggahnya? Bahkan kalau ada yang mempertanyakan apakah jumlah putaran itu genap atau ganjil, atau genap sekaligus ganjil?

Atau tidak genap dan tidak ganjil? Jika Anda menjawab genap dan ganjil, atau tidak genap dan tidak ganjil, tentu jawaban ini absurd secara pasti. Jika Anda menjawab genap, maka tambahan satu akan menjadikannya ganjil. Lalu bagaimana tambahan “satu” itu dapat membatasi ketakterhinggaan perputaran tersebut? Jika Anda menjawab ganjil, maka tambahan satu juga akan menjadikannya genap. Lalu bagaimana pula tambahan “satu” akan membatasi ketakterhinggaannya? Dengan kenyataan ini, Anda tidak punya pilihan lain dan harus menyatakan bahwa putaran itu tidak genap dan tidak ganjil (walaupun itu mustahil).

Jika dikatakan:

Hanya yang terhingga saja yang dapat diberi kategori ganjil dan genap. Sedang yang tak terhingga tidak bisa.

Akan Kami katakan:

Totalitas itu terbentuk dari satuan-satuan. Ia dapat dibagi dalam seperenam dan sepersepuluh, seperti di atas. Lalu jika tidak bisa diberi kategori genap atau ganjil, jelas itu tak bisa diterima secara pasti. Bagaimana Anda akan memberikan uraian dalam hal ini?

Jika dikatakan:

Letak kesalahan pernyataan Anda adalah pada keyakinan bahwa totalitas harus terdiri dari satuan-satuan, padahal pada hakikatnya putaran-putaran benda langit itu tidak ada (ma’dum), sebab yang terjadi pada masa lampau telah lewat dan tiada, sedang yang akan terjadi belum terwujud. Sedangkan totalitas itu sendiri menunjuk pada maujud-maujud yang ada saat ini dan pada saat ini, tidak ada maujud apa pun dari putaran-putaran tersebut.

Akan kami katakan:

Angka atau bilangan mesti dapat diberi kategori genap atau ganjil, tak akan bisa lepas dari kedua kategori tersebut, baik benda-benda yang dihitung itu ada atau tidak. Misalnya, jika kita mengandaikan jumlah kuda, kita mesti yakin bahwa jumlahnya tidak bisa lepas dari ganjil atau genap, baik kuda itu ada atau tidak ada. Bahkan, meskipun kuda itu sudah lenyap (mati) setelah sebelumnya ada, keputusan bilangannya tidak akan berubah.

Kita juga akan mengatakan kepada mereka, bahwa berdasarkan prinsip mereka sendiri, tidak mustahil adanya maujud yang merupakan satuan yang memiliki sifat berlainan dan tak terhingga. Ia adalah jiwa manusia yang berpisah dari jasad karena kematian. Ia adalah maujud-maujud yang tidak dapat diberi kategori genap atau ganjil. Dengan apa Anda akan menanggapi pendapat yang menilai pandangan di atas tak benar berdasarkan pengetahuan niscaya rasional, sebagaimana pendapat Anda tentang kemustahilan—secara pasti—adanya hubungan kehendak kekal dengan sesuatu yang berawal temporal? Pendapat tentang jiwa ini dianut oleh Ibnu Sina, dan barangkali juga merupakan pendapat Aristoteles.

Jika dikatakan:

Yang benar adalah pendapat Plato, bahwa jiwa itu kekal.

Ia adalah maujud tunggal yang hanya terbagi pada badan. Jika berpisah dari badan, maka ia akan kembali ke asalnya dan menjadi tunggal.

Akan kami katakan:

Pendapat ini justru lebih memuakkan dan harus diyakini sebagai pendapat yang berseberangan dengan keniscayaan rasional. Misalnya kita bertanya, apakah jiwa Zayd identik dengan jiwa ‘Amr atau yang lain? Jika jawabannya identik, maka jelas merupakan jawaban absurd dengan sendirinya. Karena pada dasarnya, masing-masing individu tahu terhadap jiwanya sendiri dan dapat membedakan dirinya dengan yang lain. Jika setiap individu itu identik (karena jiwanya identik), maka pengetahuan- pengetahuan yang merupakan sifat esensial jiwa pun memiliki kesamaan, di mana pengetahuan itu masuk bersama jiwa dalam setiap kaitan dengan yang lain.

Jika kalian menyatakan bahwa jiwa-jiwa itu tidak identik, dan jiwa-jiwa itu terbagi berdasar badan (sebagai wadah), kami akan katakan: pembagian “yang tunggal” yang tidak memiliki kuantitas dan ukuran adalah mustahil secara pasti berdasarkan akal. Bagaimana mungkin yang satu menjadi dua, bahkan seribu, kemudian kembali lagi menjadi satu. Pembagian seperti itu hanya dapat terjadi dalam wujud yang memiliki ukuran dan kuantitas, seperti air laut yang terbagi pada air yang ada di sungai-sungai dan kali, kemudian kembali bersatu lagi di laut. Sementara yang tidak memiliki kuantitas dan ukuran, bagaimana bisa akan terbagi lagi?

Dalam dokumen Karya Imam al-Ghazali (Halaman 83-143)

Dokumen terkait