II. Konfigurasi politik yang mempengaruhi pengakuan hukum
1. Masyarakat Baduy
Salah satu yang membedakan antara wilayah Masyarakat Baduy dengan wilayah lainnya dalam penelitian ini adalah bahwa wilayah Masyarakat Baduy berada di luar kawasan administrasi kehutanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga pada wilayah Masyarakat Baduy tidak berlaku UU Kehutanan, melainkan yang berlaku adalah UUPA.
Konsepsi tentang masyarakat adat dan hak mereka atas sumber daya alam antara UU Kehutanan dengan UUPA berbeda satu sama lain. UUPA secara substansial lebih menghargai keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat. Bahkan di dalam UUPA dinyatakan bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam di Indonesia adalah hukum adat.
Setelah rezim Orde Baru tumbang juga ada inisiatif dari Kementerian Agraria/Kepala BPN untuk menciptakan mekanisme hukum yang dapat dipakai untuk menyelesaikan persoalan yang berkait dengan tanah ulayat masyarakat adat. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat. Keputusan Menteri inilah yang dimanfaatkan sebagai peluang hukum untuk membuat Perda tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy punya akses kepada para penguasa melalui pendekatan‐
pendekatan yang dilakukannya. Salah satu upacara adat yang menjadi media bagi Masyarakat Baduy untuk mengkomunikasikan kepentingannya adalah seba. Kegiatan seba dilakukan oleh Masyarakat Baduy dengan menyampaikan pesan dan memberikan sebagian hasil panennya kepada pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Tradisi ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum Republik Indonesia berdiri.
94
Upacara sSeba ini biasanya diikuti oleh ratusan orang laki‐laki dari Baduy dan disambut oleh bupati atau gubernur di pendopo kabupaten atau pendopo provinsi. Pesan yang selalu disampaikan oleh Masyarakat Baduy adalah pesan untuk mengajak pemerintah dan seluruh masyarakat menjaga alam. Selain pesan menjaga alam, secara khusus juga ada pesan‐pesan tertentu yang disampaikan. Pendekatan ini dapat dikatakan efektif untuk mengangkat keberadaan Masyarakat Baduy di hadapan pemerintah. Dalam upacara seba terakhir yang dilakukan pada bulan April 2010, Masyarakat Baduy secara khusus meminta agar pemerintah daerah turut mendorong lahirnya undang‐undang yang khusus mengakui dan melindungi keberadaan dan hak‐hak masyarakat adat.
Selain melalui pendekatan tersebut, Masyarakat Baduy juga punya akses kepada kekuasaan. Hampir semua Presiden di Indonesia pernah menjalin komunikasi dengan Masyarakat Baduy. Diantaranya seperti Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid bahkan pernah berkunjung ke wilayah Masyarakat Baduy. Bahkan dalam keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 ada satu orang warga keturunan Baduy yang menjadi anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan yang mewakili golongan adat. Para pejabat yang baru menjabat di Baduy juga sering berkunjung ke Baduy untuk menjalin silaturahmi, minta dido’akan atau sekedar hanya ingin mengetahui kehidupan masyarakat Baduy yang masih menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Sedangkan terkait dengan kelahiran Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy sangat dipengaruhi oleh kunjungan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2001. Waktu itu, Gus Dur datang ke Desa Ciboleger yang merupakan pintu masuk utama menuju kawasan Masyarakat Baduy. Dalam sambutannya, Gus Dur menyampaikan perlunya pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak‐hak Masyarakat Baduy. Gus Dur bahkan meminta agar pemerintah daerah mengeluarkan Perda. Lebih lanjut, menurut Iman (Wammby), Gus Dur menyampaikan bila pemerintah tidak mau mengeluarkan Perda, maka ia akan mengeluarkan Keputusan
95
Presiden!39 Hal inilah yang mendorong proses perancangan Perda tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy berjalan lebih cepat.
Jaro Dainah yang merupakan Kepala Desa Kanekes (wilayah kehidupan Masyarakat Baduy) dan beberapa orang Masyarakat Baduy serta didampingi oleh Wammby adalah pihak dari masyarakat yang terlibat dalam proses lahirnya Perda No. 32 Tahun 2001. Sedangkan dari Pemerintah yang terlibat adalah Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak, Badan Pertanahan Kabupaten Lebak dan DPRD Lebak.
Dalam sidang pembahasan rancangan Perda tersebut Masyarakat Baduy terlibat langsung dalam menentukan setiap pasal yang dibahas dan memberikan persetujuan melalui cap jempol dan tandatangan. Isi Perda tersebut sangat spesifik menyangkut batas wilayah, luas, hak dan kewajiban serta sanksi bagi pihak‐pihak yang melakukan pelanggaran.
Keterlibatan Masyarakat Baduy di dalam pembahasan RanPerda ini menurut Jaro Daina merupakan hal yang sangat penting karena yang paling tahu tentang wilayah Masyarkat Baduy adalah orang Baduy itu sendiri. Sehingga dibutuhkan keterlibatan langsung dari masyarakat untuk menentukan isi dari Perda tersebut. Perda yang hanya berisi 13 pasal tersebut akhirnya disahkan oleh Bupati Lebak, H. Moch. Yas’a Mulyadi pada tanggal 13 Agustus 2001.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Perda tersebut Masyarakat Baduy melalui pemerintahan Desa Kanekes terlibat langsung dalam mengkonsolidasikan Tanah Adat Baduy yang dikuasai oleh pihak luar. Pemerintah Desa Kanekes dalam hal ini melalui Jaro Dianah (Kepala Desa Kanekes) mengirimkan surat kepada pihak‐pihak yang menguasai wilayah masyarakat baduy agar pihak tersebut menyerahkan kembali tanah yang mereka kuasai kepada orang Baduy. Surat tersebut ditembuskan kepada pihak kecamatan dan kepolisian setempat. Konsolidasi tanah tersebut dilakukan untuk membuat tanah ulayat masyarakat baduy kembali utuh berdasarkan pengukuran yang dilakukan bersama‐sama dengan pihak BPN Kabupaten Lebak dalam rangka penyusunan Perda pengakuan.
39 Iman Solichudin, wawancara, 9 April 2010.
96
Upaya konsolidasi tanah tersebut telah berhasil mengembalikan tanah‐tanah Masyarakat Baduy yang dikuasai oleh 56 orang luar Baduy. 51 orang menyerahkan secara sukarela kawasan Baduy yang dikuasainya setelah ada surat yang disampaikan oleh Masyarakat Baduy agar tanah tersebut dikembalikan kepada Masyarakat Baduy. Tapi ada lima orang yang menolak menyerahkan tanah yang dikuasainya. Sehingga berdasarkan Perda No. 32 Tahun 2001, lima orang tersebut diproses melalui hukum negara. Akhirnya lima orang tersebut juga mengembalikan tanah Masyarakat Baduy yang dikuasainya.
Dalam implementasi Perda ini, Masyarakat Baduy lebih banyak berhubungan dengan pihak kepolisian dan Bantara Bimbingan Desa (Babinsa) karena hal ini menyangkut keamanan wilayah. Sedangkan program‐program pemerintah yang terkait langsung dengan pelaksanaan Perda ini tidak banyak. Yang dapat ditemukan ada Proyek Pengukuran dan Pemetaan Tanah Masyarakat Baduy yang didanai oleh Pemerintah Daerah Lebak.
Pemerintah Daerah Lebak menganggarkan biaya sebesar Rp 322,145,000 (Tiga ratus dua puluh dua juta seratur empat puluh lima ribu rupiah) dari APBD tahun 2002. Proyek yang merupakan program dari Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Lebak ini dilakukan untuk mengukur, memetakan dan memasng patok batas wilayah Masyarakat Baduy.
Selain program tersebut, program lain dilakukan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal pada masa Menteri Syaifulah Yusuf. Program dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal ini dilakukan untuk membuat pagar batas wilayah masyarakat baduy. Program ini hanya mampu dilakukan untuk membuat pagar batas pada sebagian wilayah Masyarakat Baduy. Pembuatan pagar batas wilayah tidak tuntas karena kekurangan dana. Dalam beberapa tahun terakhir, pagar batas tersebut sudah mulai dirusak oleh orang luar. Program‐program dalam implementasi Perda ini diawasi langsung oleh Masyarakat Baduy. Beberapa program yang dijalankan berkontribusi baik untuk memperkuat hak‐hak masyarakat baduy atas wilayah kehidupannya.
2. Masyarakat Desa Adat Datuk Sinaro Putih di Desa Batu Kerbau dan Masyarakat Desa