• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realitas pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat   atas sumber daya alam di Indonesia 

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Realitas pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat   atas sumber daya alam di Indonesia "

Copied!
132
0
0

Teks penuh

Kewenangan dan Hukum: Realitas Pengakuan Hukum atas Hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Meskipun terdapat pengakuan normatif terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat atas sumber daya alam.

SEKILAS KOMUNITAS YANG DITELITI

Orang asli Datuk Sinaro Putih di kampung Batu Kerbau dan orang asli kampung Guguk di Jambi. Subjek kajian ini ialah orang asli Datuk Sinaro Putih di Kampung Batu Kerbau.

PROSES DAN BENTUK PENGAKUAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT ADAT DI  DAERAH

Pengakuan hukum hak Masyarakat To Kulawi di Boya Marena

Pasalnya masyarakat Boya Marena memanfaatkan lahan di wilayahnya berdasarkan kearifan dan aturan setempat. Begitu pula dengan masyarakat adat Kulawi Boya Marena yang mengakui dan menghormati keberadaan TNLL sebagai kawasan hutan lindung. 20 Nixen Lumba, salah satu anggota Lembaga Adat Kulawi di Boya Marena mengatakan “Kalau kita berbicara tentang pentingnya pengakuan TNLL oleh masyarakat,.

Bagi To Kulawi di Boya Marena, sumber daya alamnya antara lain hutan (kayu, rotan, kelapa sawit, pandan, satwa dan damar), kebun, ladang, sungai dan potensi lahan. Dalam pola penguasaan sumber daya alam, masyarakat Boya Marena mengenal dua hak kepemilikan, yaitu hak kepemilikan kolektif (nanu hangkani/nanu humawe) dan hak kepemilikan pribadi atau keluarga (nano hadua/dodoha). Hingga kini masyarakat Boya Marena merasa belum diakui haknya oleh pemerintah atas sumber daya alam yang dimilikinya.

Masyarakat Boya Marena mengklaim sumber daya alam yang ada adalah huaka To Kulawi yang diwariskan secara turun temurun. Melihat proses pengakuan hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan keterwakilan masyarakat adat Kulawi di Boya Marena mengalami perubahan. Namun hingga proses pengakuan hukum, To Kulawi di Boya Marena tidak pernah merambah lahan yang mereka sertifikasi.

Aktor dan implementasi pengakuan hHukum

Masyarakat Adat Baduy

Sebagian besar departemen yang dikelola LSM belum mengambil langkah nyata menuju proses pengakuan hukum bagi masyarakat Baduy dan wilayahnya. Ditambah dengan dukungan yang didapat dari Presiden saat itu, Abdurrahman Wahid, pemerintah daerah mulai mengambil langkah nyata dengan menyusun Peraturan Daerah tentang pengakuan Masyarakat Baduy. Momen politik yang baik ini dimanfaatkan masyarakat Badui untuk meminta pengakuan hukum kepada Presiden.

Gus Dur menyambut baik permintaan tersebut dan memerintahkan Pemerintah Daerah segera membuat Peraturan Daerah tentang pengakuan masyarakat Baduy dan wilayahnya. Maka sejak saat itu, Pemda Lebak mulai mengambil langkah nyata dengan menetapkan peraturan daerah yang mengakui masyarakat Baduy. Langkah konkrit tersebut diawali dengan pembentukan tim asistensi yang antara lain terdiri dari Bagian Hukum Pemda Lebak, perwakilan masyarakat Baduy, dan LSM Wammby.

Dapat dikatakan bahwa pengakuan hukum terhadap masyarakat Baduy sebenarnya dipengaruhi oleh sikap politik Abdurrahman Wahid. Karena luas wilayah adat masyarakat Baduy lebih dari 1.000 hektar, maka pengukuran dan pemetaan dilakukan bersama Badan Pertanahan Negara (BPN). Saat ini wilayah hak ulayat masyarakat Baduy tercatat dalam peta dasar pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan Lebak dan juga dalam pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Negara.

Masyarakat  Adat Datuk Sinaro Putih  di Desa Batu  Kerbau  dan Masyarakat Adat Desa  Guguk

56 Tahun 2003 tentang Penetapan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat di Desa Guguk; (c) Keputusan bersama lembaga adat, badan perwakilan desa dan kepala Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin No. Pihak yang melaksanakan pengakuan hukum hutan adat antara lain masyarakat adat, masyarakat luar, perusahaan dan pemerintah. Sebab, pengakuan hukum yang diharapkan masyarakat adalah pengakuan hukum yang sah dan dilindungi undang-undang yang mengatur hutan adatnya.

Masyarakat juga berpendapat sama bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab melaksanakan pengakuan hukum terhadap hutan adat. Di Desa Batu Kerbau misalnya, terjadi pelanggaran terhadap hutan adat yang dilakukan oleh perorangan dan ada pula yang dilakukan oleh perusahaan. Namun pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat di hutan adat, khususnya kayu, tidak lagi melalui KPHA, melainkan melalui Rio.

Perkebunan jati seluas 50 ha di hutan adat oleh Pemerintah Kabupaten Bungo melalui proyek penanaman kembali pada tahun 2003.27. Hal ini ditunjukkan dengan dikenakannya denda kepada pihak-pihak yang melanggar piagam kontrak pengelolaan dan pemeliharaan hutan secara umum di Desa Guguk. 287 Tahun 2003 tentang pentahbisan kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat bagi masyarakat hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, pemerintah jelas merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengawasi pelaksanaan pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat tersebut. .

Masyarakat adat Kampung Sanjan, Sanggau

Banyak pihak baik masyarakat, LSM dan pemerintah daerah bekerja sama untuk mewujudkan dan melaksanakan pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Kabupaten Sanggau. KKMA memperjuangkan pengakuan hukum dari pemerintah yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Padahal, masyarakat adat di Kabupaten Sanggau sudah lama menganut sistem pengelolaan desa, sehingga harus menjadi cikal bakal dan sistem pemerintahan daerah.

Selain itu, lembaga swadaya masyarakat juga ikut memantau pelaksanaan pengakuan hukum melalui peraturan daerah, bersama dengan KKMA yang mendapat amanah dari masyarakat Dayak dan Melayu yang memperjuangkan pengakuan hukum melalui peraturan desa. Dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah dan DPRD merupakan pihak yang dominan dalam pengakuan hukum ini, karena pemerintah selain mempunyai kewenangan juga mempunyai anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan pengakuan hukum tersebut. Pemerintah daerah harus bertanggung jawab menanggung biaya penerapan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dan sumber daya alamnya.

Masyarakat menilai pihak yang bertanggung jawab memberikan pengakuan hukum adalah pemerintah daerah bersama DPRD. Meskipun Desa Sanjan belum memiliki pengakuan hukum secara tertulis, namun melalui Kebijakan Pemerintah Daerah (RPJMD yang bertujuan untuk mereposisi kebijakan daerah yang ditujukan pada perekonomian kerakyatan, harmonisasi investor, masyarakat dan pekerja/pegawai), telah meletakkan landasan bagi upaya pemulihan ekonomi kerakyatan. tutupan hutan adat masyarakat Sanjan dari konsesi PT SIA Hingga penelitian dilakukan, ada inisiatif dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau yang melakukan dialog dengan Masyarakat Adat Desa Sanjan. Masyarakat untuk mentransfer inisiatif pemetaan tutupan hutan adat yang sudah dianggarkan dalam APBD.

To' Kulawi

Jika melihat proses pelaksanaan pengakuan hukum masyarakat adat Kulawi di Boya Marena atas haknya atas sumber daya alam huaka, tidak lepas dari proses reklamasi lahan yang dikuasai PD. Berdasarkan kesepakatan tersebut dilakukan perencanaan strategis Boya Marena (2003), pemetaan kawasan Huaka (2004), dokumentasi kearifan lokal (2005), dialog hasil pemetaan dan dokumen kearifan lokal dengan Balai TNLL dan Balai Besar. Dinas Kehutanan Provinsi (2006), pembahasan isi pengenalan konsep dan terakhir dilakukan dialog kembali dengan pihak TNLL sehingga dilakukan proses penandatanganan kesepakatan pengelolaan sumber daya alam Huaka pada bulan Agustus 2007 antara masyarakat Boya Marena . dan TNLL. Secara singkat perjalanan menuju pengakuan hukum masyarakat adat, khususnya di Boya Marena, dapat dibagi dalam beberapa periode.

Awam Green melaksanakan kegiatan: Mampakarohoki Poncura Hintuwu bo Katuwua (Revitalisasi Sistem Sosial dan Restorasi Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Manusia) di Boya Marena. Luaran program yang diharapkan dari program mampakarohoki poncurahintuwu bo katuwua adalah: Pertama, revitalisasi prakarsa pengelolaan sumber daya alam masyarakat Boya Marena dan terbentuknya tata kelola daerah dalam tatanan sosial ekonomi wilayahnya. Pada tahun 2018, proses negosiasi dilakukan secara mandiri, baik oleh masyarakat Boya Marena maupun LSM yang terlibat langsung.

Sementara itu, masyarakat adat Boya Marena saat ini menunggu pihak pusat untuk bersama-sama melanjutkan proses pelaksanaan dalam bentuk kerjasama yang lebih konkrit. Di tingkat masyarakat di Boya Marena, pengawasan terhadap pengakuan hukum dilakukan oleh kepala desa, Lembaga Adat Boya Marena (Tondo Boya) sebagai lembaga yang mengontrol pengelolaan sumber daya alam Huaka, dan Balai TNLL. Dari semua itu, dapat dikatakan bahwa di Boya Marena belum ada program yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan pengakuan hukum.

Konfigurasi politik yang mempengaruhi pengakuan hukum

  • Masyarakat Baduy
  • Masyarakat  Desa  Adat  Datuk Sinaro Putih di  Desa  Batu Kerbau dan  Masyarakat  Desa  Guguk
  • Masyarakat adat Kampung Sanjan
  • To Kulawi

Konfigurasi politik di daerah mempengaruhi proses, bentuk dan pelaksanaan pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat atas sumber daya alam di daerah. Berikut ini diuraikan beberapa situasi di daerah yang mempengaruhi proses, bentuk dan pelaksanaan pengakuan hukum masyarakat adat. Dalam sambutannya, Gus Dur menyampaikan perlunya pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak masyarakat Baduy.

Jika mencermati beberapa pengalaman yang ada, maka pola hubungan antara masyarakat, pemerintah dan pengusaha sangat menentukan bentuk, proses dan pelaksanaan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat. Pergeseran paradigma ini terlihat dengan munculnya pengakuan hukum yang berbeda oleh pemerintah daerah dan pedesaan terhadap kedua komunitas adat tersebut. Oleh karena itu, pemerintah daerah menjadi pihak yang dominan dalam memberikan pengakuan hukum dan menentukan bentuk pengakuan yang diberikan.

Sementara itu, pengakuan hukum terhadap Masyarakat Desa Sanjan dan haknya atas tutupan hutan adat belum diakui secara hukum. Pihak yang paling dominan dalam menentukan lahir dan berjalannya pengakuan hukum masyarakat adat adalah Balai TNLL, Dinas Kehutanan Provinsi, Bappeda Provinsi dan Dewan Desa. Hal inilah yang menjadi faktor utama terhambatnya pengakuan hukum terhadap masyarakat Boya Marena.

Realitas dinamika pengakuan hukum

Hal ini tercermin dari tren peraturan hukum daerah mengenai masyarakat adat dan pemanfaatan sumber daya alam. Ia memainkan peran sentral dalam mengupayakan dan menegakkan pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Bentuk hukum di daerah yang mengatur pengakuan hukum atas hak masyarakat adat atas sumber daya alam tidak seragam; ada pula yang berbentuk keputusan induk daerah, peraturan daerah, dan juga peraturan berdasarkan kesepakatan.

“Semakin mengarah pada tren eksploitasi sumber daya alam, maka pengakuan hukum atas hak masyarakat adat atas sumber daya alam akan semakin gagal atau melemah.” Situasi ini menunjukkan dinamika yang semakin mengarah pada kecenderungan eksploitasi sumber daya alam, pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam semakin tidak berjalan atau melemah. Semakin banyak sumber daya alam yang melimpah dan semakin bergantung pada pemerintah daerah tertentu, maka semakin lemah pula upaya pengakuan hukum terhadap masyarakat adat atas sumber daya alam.

Dan hal ini menjadi tantangan bagi penelitian lebih lanjut mengenai bentuk hukum ideal yang dapat mewujudkan pengakuan dan perlindungan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Agar 'peregangan' dinamika politik hukum pengakuan hukum hak masyarakat adat atas sumber daya alam tidak terguncang secara ekstrem sehingga menghilangkan hak-hak mereka. Perjanjian Pengelolaan Sumber Daya Alam Huaka antara Balai Taman Nasional Lore Lindu dan Masyarakat Adat Kulawi di Boya Marena (2007).

Kertas Kerja EPISTEMA

EPISTEMA INSTITUTE merupakan lembaga penelitian dan pengelolaan ilmu pengetahuan tentang hukum, masyarakat dan lingkungan hidup yang didirikan pada bulan September 2010 oleh Yayasan Epistema. Mendirikan pusat pembelajaran hukum, masyarakat dan lingkungan hidup untuk mendukung gerakan mewujudkan sistem hukum nasional yang berdasarkan nilai-nilai, demokrasi, keadilan sosial dan lingkungan serta pluralisme budaya. Lingkaran Pembelajaran untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan (LeSSON-JUSTICE).

Penelitian interdisipliner tentang hak sosial untuk kehidupan yang lebih baik, tradisi sosial dan lingkungan yang berkelanjutan atau Penelitian interdisipliner tentang hak sosial untuk penghidupan yang lebih baik, tradisi sosial dan lingkungan yang berkelanjutan (IN-CREASE). Pusat Data dan Sumber Daya Keadilan Sosial dan Lingkungan atau Resource Center for Social and Environmental Justice (RE-SOURCE).

Struktur organisasi dan personel

Referensi

Dokumen terkait

https://jurnal.uisu.ac.id/index.php/languageliteracy 284 Nationally Accredited SINTA 3, and indexed in DOAJ and Copernicus APPRAISAL ANALYSIS OF THE JAKARTA POST’S NEWS ARTICLE ON