• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat mendambakan kehidupan yang damai

Bagian Kedua Memberdayakan

B. Mewujudkan Kedamaian Dalam Hidup Bermasyarakat 1. Memahami makna dan hakekat mewujudkan

2. Masyarakat mendambakan kehidupan yang damai

Manusia yang menyadari akan kemanusiaannya pasti mendambakan kehidupan yang damai, jika tidak mereka sesungguhnya bagaikan binatang/hewan bahkan lebih rendah dari padanya.

Tempat mereka nanti di akhirat ada di dalam neraka Jahannam.

122

Hal ini karena mereka tidak mau memberdayakan spiritual dan menggunakan akal pikirannya akan tetapi lebih cenderung mengedepankan hawa nafsu atau nafsu hewaniahnya. Sehingga mereka dalam kehidupan ini cenderung suka melakukan perkelahian bahkan saling memangsa dan membunuh sesamanya.

Model manusia seperti ini telah digambarkan oleh Allah Swt dalam kitab suci-Nya sebagai berikut:

Artinya, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka punya hati tetap tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda- tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.

Mereka itulah orang-orang yang lalai”.151

151 Lihat al-Qur’an, 7 (al-A’rof): 179.

123

Untuk itu dalam pandangan aliran Psikoanalisa (Freud) dan Behaviorisme (John B Watson), manusia disamakan dengan binatang.

Anggapan kedua aliaran ini bahwa manusia memiliki kesamaan dengan binatang karena kedua aliran ini menafikan unsur batin/spiritual yang dimiliki manusia.152 Maka hal ini akan menjadi benar bahwa manusia dianggap bagaikan binatang jika dirinya tidak menyadari kemanusiaannya yang memiliki unsur batiniyah/spiritual untuk diberdayakan.

Sebaliknya manusia yang menyadari akan kemanusiaannya dengan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya maka ia merasa di antara mereka sejatinya saling bersaudara yang harus tetap menjalin persaudaraan hingga akhir hayatnya. Persudaraan itu tentu berasal sama-sama anak cucu Adam sebagai manusia pertama dan ibu Hawa sebagai ummul basyar (ibu umat manusia)153 di muka bumi yang telah lama

152 Erdy Nasrul, Pengalaman Puncak Abraham Maslow (Ponorogo: CIOS- ISID-Gontor, 2010), 20-21.

153 Wikipedia, “Adam dan Hawa”, dalam

https://id.wikipedia.org/wiki/Adam_dan_Hawa (17 Nopember 2016).

124

terlupakan. Selain itu karena manusia memang bukan anak cucu kera (hewan) seperti yang dikemukakan Darwin. Untuk itu secara naluri kejiwaan sejatinya manusia yang satu dengan lainnya ketika dalam hidup bermasyarakat akan senantiasa mendambakan kehidupan yang damai, kasih sayang dikarenakan masih ada hubungan tali persaudaraan.

Hal ini seperti pandangan Abraham Maslow pakar psikologi humanistik, dalam kehidupannya manusia membutuhkan self-actualizing. Maslow memandang manusia bukan hanya bergerak dengan insting alam bawah sadarnya, manusia perlu memandang masa depannya, mencurahkan segala daya potensinya, kasih sayang dan cinta kasih dalam kehidupannya. Dengan demikian manusia sejatinya perlu memenuhi kebutuhan hidupnya akan kebaikan, cinta kasih, penghargaan dan rasa aman.154

Diskursus mengenai persaudaraan (ukhuwah) itu sendiri maka dapat diklasifikasikan menjadi saudara

154 Erdy Nasrul, Pengalaman…, 23.

125

dekat dan jauh, yang terdiri dari saudara satu kandung, saudara satu bangsa (ukhuwah wathaniyah), saudara satu keturunan dari Adam sebagai manusia pertama (ukhuwah basyariyah) serta saudara sebagai manusia yang sama-sama beriman kepada Allah, Tuhan YME.

Karena masyarakat lupa akan dirinya sebagai manusia yang satu saudara ini maka Tuhan YME mengutus orang-orang suci seperti nabi dan rasul untuk mengingatkan dan mengajak kembali merajut persaudaraan yang telah terputus dan terlupakan agar tidak terjadi permasalahan. Selanjutnya tugas itu dilanjutkan oleh para penerusnya seperti para wali-Nya dan orang suci lainnya yakni para pendekar sejati.

Melalui upaya tersebut diharapkan dambaan kehidupan yang damai dalam masyarakat bisa terwujud.

Hal ini seperti yang difirmankan Allah dalam kitab suci sebagai berikut:

Artinya, “Manusia itu adalah umat yang satu.

(Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah

126

menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara tentang perkara yang mereka perselisihkan...”155

Firman Allah lain artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”156 Adapun dalam riwayat hadits dari Abu Ad-Darda ra, Rasulullah Saw bersabda, artinya, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. At- Tirmidzi).

Orang-orang suci di antara para nabi, ulama, wali, pendekar spiritualis sejatinya merupakan perantara antara diri-Nya (Allah Swt) dengan para hamba-Nya.

Kedudukan mereka di sisi Tuhannya sejatinya sebagai perantara-Nya untuk mengajak dan menebarkan kasih sayang, cinta kasih, kedamaian (rahmat lil alamin) dalam kehidupan untuk menuju Tuhannya.

Dalam keterangan yang lain Allah Swt berfirman artinya, “Kemudian kitab itu Kami wariskan

155 Lihat al-Quran, 2 (al-Baqoroh): 213.

156 Ibid., 21 (al-Anbiya’): 107.

127

kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba- hamba kami.”157

Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi menjelaskan dengan mengutib pernyataan Ibnu Katsir rahimahullah bahwa, Allah Swt berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) al-Kitab (al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83).

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, maknanya adalah “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-

157 Ibid., 35 (Fathir): 32.

128

hamba Kami yaitu al-Kitab (al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang- orang setelah mereka”.

Sungguh Allah Swt telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Swt menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam (anak cucu Adam yang terbaik).” (Fathul Qadir, hal. 1418). Mereka adalah sederetan orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati.158

Dengan diutusnya orang-orang suci seperti di atas untuk merajut kembali persaudaraan yang sudah

158 Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi “Ulama’ adalah

Pewaris Nabi”, dalam

https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/07/ulama-adalah-pewaris- nabi/ (07 Juli 2009).

129

terlupakan menjadi indikator bahwa dalam realitas empirisnya ternyata tidak semudah membalik telapak tangan untuk mewujudkan kehidupan yang damai dalam masyarakat.

Seperti dalam uraian di atas masyarakat yang mendambakan kehidupan damai itu sesungguhnya mereka yang menyadari akan kemanusiaannya, menggunakan akal pikiran dan hati nuraninya serta tidak mengedepankan nafsu angkoro-nya.

Mereka yang mendambakan kehidupan yang damai menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk sosial yang antara satu dengan lainnya saling membutuhkan dalam rangka kelangsungan hidup hingga akhir hayatnya.

Hal ini seperti yang dikemukakan Azyumardi Azro, manusia sebagai makhluk sosial maka ia tidak dapat hidup sendiri dalam lingkungan masyarakat.

Dalam menjalani kehidupan tentu mereka saling membutuhkan, tolong menolong, kerja sama untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Hal itu

130

dilakukakannya dalam rangka memenuhi hajat hidup bersama dan mencapai tujuan serta kesejahteraan di semua sektor kehidupan.159

Selain sebagai makhluk sosial masyarakat yang mendambakan kehidupan yang damai menyadari bahwa dirinya adalah makhluk religius dan spiritual yang taat kepada ajaran agamanya merupakan bagian dari kebutuhan hidupnya. Di mana mewujudkan kedamaian dalam hidup bermasyarakat merupakan perintah dari Tuhannya untuk kebaikan bersama.

Bertitik tolak dari semua ini maka mereka menjadi mendambakan kehidupan yang damai yakni kehidupan yang aman, tenteram, tenang, rukun, sehingga tidak ada peperangan, perkelahian, kerusuhan, permusuhan.

Apabila sebaliknya jika kehidupan yang damai dalam masyarakat tidak terwujud maka mereka sejatinya telah kehilangan hakekat kemanusiaannya.

Mereka bukan manusia lagi tapi bagaikan binatang.

Bagi masyarakat yang meyadarinya akan merasa

159 Azyumardi Azra dkk, Fikih Kebinekaan (Jakarta: Mizan Pustaka, 2015), 172.

131

terancam kelangsungan hidupnya. Lebih-lebih masyarakat yang spiritualis akan merasa bersalah dan dosa dihadapan Tuhan karena tidak mampu memenuhi harapan Tuhannya agar dapat mewujudkan dan menciptakan kedamaian hidup. Sehingga kebutuhan hidupnya menjadi makhluk sosial dan regious/spiritual menjadi tidak terpenuhi. Atas dasar berbagai pertimbangan yang sangat mendasar inilah maka masyarakat menjadi mendambakan kehidupan yang damai.

Dengan demikian masyarakat yang mendambakan kehidupan yang damai sejatinya didasari karena sadar merasa satu saudara anak cucu nabi Adam dan ibu Hawa yang harus terus menjalin persaudaraan, menyadari akan kemanusiaannya (bukan hewan), kebutuhan hidup menjadi makhluk sosial, merupakan perintah dari Tuhannya (memenuhi kebutuahan spiritual/religius) serta agar hajat/tujuan hidupnya mudah terwujud. Ini semua sejatinya yang menjadi alasan masyarakat mendambakan kehidupan yang damai.

132

3. Berbagai faktor yang mempengaruhi terwujudnya